BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alhamdulillah
kami dari kelompok Lima telah menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Logika Ilmu dan metode Ilmiah dalam Filsafat Ilmu”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu pada semester tiga ini, yang dibimbing oleh Bapak M.Tulus Yamani M.Pdi.
Pentingnya
pembahasan tema ini yaitu agar kita mengetahui cara mendapatkan pengetahuan
yang benar..Seperti yang kita ketahui Ilmu
pengetahuan dan teknologi hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar
dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa
ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan epistemologis. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, asal mula pengetahuan,
batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika
epistemologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebanaran, metode-metode
ilmiah, dan aliran-aliran teori pengetahuan. Secara global, makalah ini mengkaji banyak
bagian-bagian dari Epistemologi
yang masing-masing sebagai rancangaan
dalam membangun
sebuah ilmu, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu
secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu
cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Dalam pembahasannya akan ditemukan
fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology
selanjutnya.
A. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan?
2. Apakah
pengertian tentang logika ilmu?
3. Apa sajakah Epistemologi Ilmu dalam Islam? Dan apa pengertian masing-masing?
B. Tujuan
1. Mengetahui sumber dari suatu pengetahuan.
2. Mengetahui
pengertian mengenai logika
ilmu.
3. Mengetahui macam-macam Epistemologi Ilmu dalam Islam dan mampu
menjelaskannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Logika Ilmu
Logika
berasal dari bahasa Yunani, logos adalah kata, pikiran, atau berpikir. Logis
artinya berkat benar, tepat, jernih, dan lurus.[1]
Logika adalah bagian filsafat yang memperbincangkan hakikat ketepatan, cara
menyusun pikiran yang dapat menggambarkan ketepatan berpengetahuan. Tepat belum
tentu benar, sedangkan benar selalu mempunyai dasar yang tepat. Logika tidak
mempersoalkan kebenaran sesuatu yang dipikirkan, tetapi membatasi diri pada
ketepatan susunan berpikir menyangkut pengetahuan. Jadi, logika memprasyaratkan
kebenaran, bukan wacana kebenarannya.[2]
Sebagai ilmu,
logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu
logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara
lurus, tepat, dan teratur.[3]
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan
mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam
tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan
masuk akal. Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana obyek materialnya
adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika
adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.
B. Metode Ilmiah
1. Bayani
Secara
etimologi, bayani mempunyai arti menyambung, memisah-misahkan, terang dan
jelas, kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan, serta kekuatan untuk
menerima dan menyampaikan kejelasan.
Sedangkan
secara terminologi, dengan mengutip pendapat al-Jahiz dalam kitabnya al-Bayan
wa al-Tabyin, mengartikannya sebagai nama universal (ism jami’) bagi
setiap pemahaman makna, sedangkan apabila merujuk kepada pendapat
al-Syafi’i, bayani merupakan nama universal bagi makna-makna yang terdapat
dalam kumpulan landasan pokok (al-ashl) dan mengurai cabang (al-furu’).
Bayani adalah
suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal dari
bahasa Arab (yaitu nahwu, fikih dan ushulfikih, kalam dan balaghah). Dalam
sejarahnya, aktivitas bayani sudah dimulai sejak munculnya pengaruh Islam,
tetapi belum merupakan kajian ilmiah seperti identifikasi keilmuan dan
peletakkan aturan penafsiran teks. Tahap selanjutnya adalah mulai munculnya
usaha untuk meletakkan aturan penafsiran wacana bayani, tetapi masih terbatas
pada pengungkapan karakteristik ekspresi bayani dalam AL Qur’an. Dalam bahasa
Arab sendiri bayani terbatas pada tinjauan bahasa dan gramatikanya saja. Proses
peletakan aturan-aturan penafsiran wacana bayani (dalam bentuknya yang baku dan
tidak dalam aspek linguistiknya saja) dilakukan oleh Imam al Syafi’i. Imam
Syafi’I adalah orang yang pertama memposisikan al Sunnah sebagai nash kedua.
Nash tersebut berfungsi sebagai mushari’ (penetap hukum), perluasan cakupan al
Sunnah yang dengan tidak secara tegas membedakan antara “sunnah-tradisi” dan
“sunnah-wahyu” serta pembatasan ruang gerak ijtihad dengan nash (Al Qur’an dan
Al Sunnah).[4]
Al Syafi’I
berhasil membakukan cara-cara berfikir yang menyakut hubungan antara lafaz dan
makna serta hubungan antara bahasa dan teks al-Qur’an. Ia juga merumuskan
aturan-aturan bahasa Arab sebagai acuan untuk menafsirkan al-Qur’an. Ia
menjadikan al-Qur’an, Hadis,Ijma dan Qiyas sebagai sumber penalaran yang absah untuk
menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat.
Sedangkan al-Jahiz berusaha mengembangkan bayani tidak hanya terbatas pada “memahami” tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca faham akan wacana. Bahkan ia ingin membuat pendengar memahami, menenangkan pendengar, menuntaskan perdebatan dan membuat lawan bicara tidak berkutik lagi. Ibn Wahab sendiri berusaha untuk mensistematikanya denagn cara merumuskan kembali teori bayani sebagai metode dan sistem mendapatkan pengatahuan. Jadi pada kesimpulannya dalam epistimologi bayani sumber pengetahuan berasal dari teks atau nash. Pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Sementara metode yang dipakai adalah qiyas, istinbat, tajwiz, ‘adah. Sehingga peran akal disini memang terjustifikasi karena menggunakan argumen yang bersifat jadaliyyah. Sesuatu dapat dikatakan valid jika adanya kedekatan teks dan kenyataan.
Sedangkan al-Jahiz berusaha mengembangkan bayani tidak hanya terbatas pada “memahami” tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca faham akan wacana. Bahkan ia ingin membuat pendengar memahami, menenangkan pendengar, menuntaskan perdebatan dan membuat lawan bicara tidak berkutik lagi. Ibn Wahab sendiri berusaha untuk mensistematikanya denagn cara merumuskan kembali teori bayani sebagai metode dan sistem mendapatkan pengatahuan. Jadi pada kesimpulannya dalam epistimologi bayani sumber pengetahuan berasal dari teks atau nash. Pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Sementara metode yang dipakai adalah qiyas, istinbat, tajwiz, ‘adah. Sehingga peran akal disini memang terjustifikasi karena menggunakan argumen yang bersifat jadaliyyah. Sesuatu dapat dikatakan valid jika adanya kedekatan teks dan kenyataan.
Dalam bahasa
filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai Model
metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang
memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal
hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam
pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya
sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau
diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu
fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.
2. Burhani
Al-Burhan
dalam bahasa Arab berarti argumen yang clear . Dalam pengertian logika,
al-burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan kebenaran sesuatu melalui
penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan yang bukti-buktinya
mendahului kebenaran. Sedangkan dalam pengertian umum, al-burhan berarti
aktivitas fikir untuk menetapkan kebenaran sesuatu.
Al-Jabiri
menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan
yang berbeda dengan metode pemikiran
tertentu dan memiliki world view tersendiri, yang tidak bergantung pada
hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani mengandalkan
kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran.
Ketiga
kecenderungan epistemologis Islam ini, secara teologis mendapatkan
justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan
ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang
bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan
berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan
suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan
tetapi, meskipun demikian, tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang
mengungkapkan tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau
perasaan) terdalam.
Van Peursen
mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak
dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan,
sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan
pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional
argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio
melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.)
dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun
teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan.
3. Irfani
Kata ‘irfan
adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang berarti ma’rifah (ilmu pengetahuan.
Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai terminologi mistik yang
secara khusus berarti “ma’rifah” dalam pengertian
“pengetahuan tentang Tuhan]”. Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni
pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan
burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh
qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi langsung), dan isyra.
Aliran-aliran
yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan memiliki kesatuan pandangan dalam
permasalahan yang esensial dan substansial ini dimana mereka menyatakan bahwa
pencapaian dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya dengan metode
intuisi mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan
penalaran dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan
pengatahuan adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur
penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan
penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta
penyatuan dengannya.
Para sufi beranggapan
bahwa segala makrifat dan pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah,
dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran daripada ilmu-ilmu yang
digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Mereka menyatakan bahwa
indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam
dan manifestasi-manifestasi-Nya, namun manusia dapat berhubungan secara
langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal
alam melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat
berpengaruh ketika manusia telah suci,lepas, dan jauh dari segala bentuk
ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.[5]
4. Positivisme
Suatu alira yang
berorientasi pada ilmu pengetahuan alam, tetapi menolak metafisika, yaitu
positivisme sebagaimana dikemukakan oleh August comte (1794-1857) dalam
tulisannya “Cours du philosophie Positives”. Menurut Comte hendaknya kita
memandang phenomenon atau gejala itu sebagai sesuatu yang tunduk pada hokum
alamiah yang menetap atau yang mutlak (tidak bergantung pada apapun).[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi
bayani menekankan kajian dari teks (nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi
dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun
di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian
(al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan
epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara
naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al tajribah
wa muhakamah 'aqliyah)
Sikap terhadap ketiga epistimologi diatas yaitu, bayani, burhani, dan
irfani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu
diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem dalam studi islam justru
dianjurkan untuk memadukan ketiganya. Dari perpaduan ketiganya akan muncul ilmu
islam yang lengkap (komprehensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem
sosial kekinian dan keindonesiian.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Nasution, Khoiruddin, “Pengantar Studi islam”.Yogyakarta:
Tazzaff dan ACAdeMIA, 2009.
2.
Zainuddin, M. “Filsafat Ilmu Perspektif
Pemikiran Islam”.Yogyakarta : Bayu Media, 2003.
3.
Prof. Dr.
Wiramihardja, Sutardjo.
“Pengantar Filsafat”.Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
[1] Prof. Dr.
Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2007), 81.
[2] Prof. Dr.
Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2007), 28-29.
[4] http://babydee-el-habib.blogspot.com/2012/04/bayani-burhani-irfani.html (Diunduh pada
22 September 2013).
[5]
http://blog.umy.ac.id/aufklarung/2011/11/29/epistimologi-bayani-burhani-dan-irfani/aufklarung (Diunduh pada 22
September 2013).
[6] Prof. Dr.
Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2007), 145.
0 komentar:
Posting Komentar