Jumat, 01 November 2013

Makalah Logika Ilmu dan Metode Ilmiah (Bayani, Burhani, Irfani)



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Alhamdulillah kami dari kelompok Lima telah menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Logika Ilmu dan metode Ilmiah dalam Filsafat Ilmu”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu pada semester tiga ini, yang dibimbing oleh Bapak M.Tulus Yamani M.Pdi.
Pentingnya pembahasan tema ini yaitu agar kita mengetahui cara mendapatkan pengetahuan yang benar..Seperti yang kita ketahui  Ilmu pengetahuan dan teknologi hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan epistemologis. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika epistemologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebanaran, metode-metode ilmiah, dan aliran-aliran teori pengetahuan. Secara global, makalah ini mengkaji  banyak bagian-bagian dari Epistemologi yang masing-masing sebagai rancangaan dalam membangun sebuah ilmu, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology selanjutnya.
A.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kita memperoleh suatu pengetahuan?
2.      Apakah pengertian tentang logika ilmu?
3.      Apa sajakah Epistemologi Ilmu dalam Islam? Dan apa pengertian masing-masing?

B.     Tujuan
1.      Mengetahui sumber dari suatu pengetahuan.
2.      Mengetahui pengertian mengenai logika ilmu.
3.      Mengetahui macam-macam Epistemologi Ilmu dalam Islam dan mampu menjelaskannya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Logika Ilmu
Logika berasal dari bahasa Yunani, logos adalah kata, pikiran, atau berpikir. Logis artinya berkat benar, tepat, jernih, dan lurus.[1] Logika adalah bagian filsafat yang memperbincangkan hakikat ketepatan, cara menyusun pikiran yang dapat menggambarkan ketepatan berpengetahuan. Tepat belum tentu benar, sedangkan benar selalu mempunyai dasar yang tepat. Logika tidak mempersoalkan kebenaran sesuatu yang dipikirkan, tetapi membatasi diri pada ketepatan susunan berpikir menyangkut pengetahuan. Jadi, logika memprasyaratkan kebenaran, bukan wacana kebenarannya.[2]
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.[3] Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal. Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.
B.       Metode Ilmiah
1.    Bayani
Secara etimologi, bayani mempunyai arti menyambung, memisah-misahkan, terang dan jelas, kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan, serta kekuatan untuk  menerima dan menyampaikan kejelasan.
Sedangkan secara terminologi, dengan mengutip pendapat al-Jahiz dalam kitabnya al-Bayan wa al-Tabyin, mengartikannya sebagai nama universal (ism jami’) bagi setiap pemahaman  makna,  sedangkan apabila merujuk kepada pendapat al-Syafi’i, bayani merupakan nama universal bagi makna-makna yang terdapat dalam kumpulan landasan pokok (al-ashl) dan  mengurai cabang (al-furu’).
Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fikih dan ushulfikih, kalam dan balaghah). Dalam sejarahnya, aktivitas bayani sudah dimulai sejak munculnya pengaruh Islam, tetapi belum merupakan kajian ilmiah seperti identifikasi keilmuan dan peletakkan aturan penafsiran teks. Tahap selanjutnya adalah mulai munculnya usaha untuk meletakkan aturan penafsiran wacana bayani, tetapi masih terbatas pada pengungkapan karakteristik ekspresi bayani dalam AL Qur’an. Dalam bahasa Arab sendiri bayani terbatas pada tinjauan bahasa dan gramatikanya saja. Proses peletakan aturan-aturan penafsiran wacana bayani (dalam bentuknya yang baku dan tidak dalam aspek linguistiknya saja) dilakukan oleh Imam al Syafi’i. Imam Syafi’I adalah orang yang pertama memposisikan al Sunnah sebagai nash kedua. Nash tersebut berfungsi sebagai mushari’ (penetap hukum), perluasan cakupan al Sunnah yang dengan tidak secara tegas membedakan antara “sunnah-tradisi” dan “sunnah-wahyu” serta pembatasan ruang gerak ijtihad dengan nash (Al Qur’an dan Al Sunnah).[4]
Al Syafi’I berhasil membakukan cara-cara berfikir yang menyakut hubungan antara lafaz dan makna serta hubungan antara bahasa dan teks al-Qur’an. Ia juga merumuskan aturan-aturan bahasa Arab sebagai acuan untuk menafsirkan al-Qur’an. Ia menjadikan al-Qur’an, Hadis,Ijma dan Qiyas sebagai sumber penalaran yang absah untuk menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat.
Sedangkan al-Jahiz berusaha mengembangkan bayani tidak hanya terbatas pada “memahami” tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca faham akan wacana. Bahkan ia ingin membuat pendengar memahami, menenangkan pendengar, menuntaskan perdebatan dan membuat lawan bicara tidak berkutik lagi. Ibn Wahab sendiri berusaha untuk mensistematikanya denagn cara merumuskan kembali teori bayani sebagai metode dan sistem mendapatkan pengatahuan. Jadi pada kesimpulannya dalam epistimologi bayani sumber pengetahuan berasal dari teks atau nash.  Pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Sementara metode yang dipakai adalah qiyas, istinbat, tajwiz, ‘adah. Sehingga peran akal disini memang terjustifikasi karena menggunakan argumen yang bersifat jadaliyyah. Sesuatu dapat dikatakan valid jika adanya kedekatan teks dan kenyataan. 
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.
2.    Burhani
Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argumen yang clear . Dalam pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan yang bukti-buktinya  mendahului  kebenaran. Sedangkan dalam pengertian umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk menetapkan kebenaran sesuatu. 
Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan  yang  berbeda  dengan  metode  pemikiran  tertentu  dan memiliki world view tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani  mengandalkan  kekuatan  indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran. 
Ketiga kecenderungan epistemologis Islam ini, secara teologis mendapatkan  justifikasi dari  al-Qur’an.  Dalam al-Qur’an banyak ditemukan  ayat-ayat  yang  berbicara  tentang  pengetahuan  yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan  berbagai  macam bentuk  kalimat  dan  ungkapan  merupakan suatu  indikasi  yang  jelas  untuk  hal ini. Akan tetapi, meskipun demikian, tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkapkan tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau perasaan) terdalam.
Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan.
3.    Irfani
Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang berarti ma’rifah (ilmu pengetahuan. Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai terminologi  mistik  yang  secara  khusus  berarti  “ma’rifah”  dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan]”. Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi langsung), dan isyra.
Aliran-aliran yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan memiliki kesatuan pandangan dalam permasalahan yang esensial dan substansial ini dimana mereka menyatakan bahwa pencapaian dan penggapaian  hakikat segala sesuatu hanya dengan metode intuisi mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan penalaran dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan pengatahuan adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta penyatuan dengannya.
Para sufi beranggapan bahwa segala makrifat dan pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran daripada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Mereka menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasi-Nya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam  melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci,lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.[5]
4.    Positivisme
Suatu alira yang berorientasi pada ilmu pengetahuan alam, tetapi menolak metafisika, yaitu positivisme sebagaimana dikemukakan oleh August comte (1794-1857) dalam tulisannya “Cours du philosophie Positives”. Menurut Comte hendaknya kita memandang phenomenon atau gejala itu sebagai sesuatu yang tunduk pada hokum alamiah yang menetap atau yang mutlak (tidak bergantung pada apapun).[6]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi bayani menekankan kajian dari teks (nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah)
Sikap terhadap ketiga epistimologi diatas yaitu, bayani, burhani, dan irfani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan ketiganya. Dari perpaduan ketiganya akan muncul ilmu islam yang lengkap (komprehensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keindonesiian.

DAFTAR PUSTAKA




1.      Nasution, Khoiruddin, “Pengantar Studi islam”.Yogyakarta: Tazzaff dan ACAdeMIA, 2009.
2.       Zainuddin, M.  “Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam.Yogyakarta : Bayu Media, 2003.
3.      Prof. Dr. Wiramihardja, Sutardjo. Pengantar Filsafat”.Bandung: PT Refika Aditama, 2007.



[1] Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), 81.
[2] Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), 28-29.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Logika (diunduh pada 05 Oktober 2013)
[6] Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), 145.















































0 komentar:

Posting Komentar