BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Imam Al Ghazali
Al Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad
ibnu Ahmad Al Ghazali Al Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H / 1058 M di
Ghazal, Thus, provinsi Khurasan, republik Islam Iran. Dengan demikian dia
adalah keturunan Persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawwuf,
karena orang tuanya hanya mau makan dari hasil tangannya sendiri dari menenun
wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi
seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya
menyaksikan anaknya berhasil sesuai dengan doanya. Sebelum meninggal ia masih sempat
menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya, Ahmad, kepada seorang sufi,
sahabatnya untuk dididik dan di bimbingnya dengan baik.
Akan tetapi, hal ini tidak berjalan lama. Harta
warisan yang ditinggalkan untuk bekal hidup kedua anak itu habis, sufi yang
juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini tidak
mampu memberikan tambahan nafkah. Maka Al Ghazali dan adiknya diserahkan ke
suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah
inilah Al Ghazali bertemu dengan Yusuf Al Nassaj, seorang sufi kenamaan pada
masa itu, dan disini pula sebagai titik awal bagi perkembangan intelektual dan
spiritualnya yang kelak membawanya menjadi ulama besar yang berpengaruh dalam
perkembangan pemikiran Islam. Sepeninggal gurunya, Al Ghazali belajar di Thus
pada seorang ulama yang bernama Ahmad Ibnu Muhammad Al Razakanya Al Thusi.
Selanjutnya ia belajar pula kepada Abu Nashr Al Isma’ily di Jurjan dan akhirnya
ia masuk kesekolah di Naisabur yang dipimpin oleh Imam Al Haramain (Imam dua
kota: Makkah dan Madinah). Selain
itu, disekolah ini pula Al Ghazali pernah belajar teori dan praktik tasawwuf
kepada Abu Ali al Fadhl ibnu Muhammad Ibnu Ali al Farmadhi (W. 477 H). Di
sekolah nidzamiyah ini pula dia diangkat menjadi dosen dalam usianya yang 25
tahun kemudian setelah gurunya, al Juwaini, wafat 478 H Al Ghazali pindah ke
Mu’askar dan berhubungan baik dengan nidzam Al Mulk, perdana menteri sultan
bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya sebagai guru besar di sekolah Ndzamiyah
Bagdad.
Dikota Bagdad ini, nama Al Ghazali semakin
populer, khalaqah (kelompok)
pengajiannya semakin luas. Dikota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan
golongan bathiniyah isma’iliyah dan kaum filosof. Pada periode ini pula ia
menderita krisis rohani sebagai akibat sikap kesangsiannya (al syak) yang oleh orang barat dikenal
dengan skepticisme, yaitu krisis yang
menyangsikan terhadap semua ma’rifat, baik yang bersifat empiris maupun
rasional. Kemudian ia, meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor
dan guru besar di bagdad, ia mengembara ke damaskus. Dimasjid jami’ Damaskus,
ia mengisolasi diri (Uzlah) untuk
beribadah, kontemplasi, dan sufistik, yang berlangsung dua tahun. Lalu pada
tahun 490H/ 1098 M ia menuju Palestina berdoa disamping kubur nabi Ibrahim AS
kemudian, ia berangkat ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan
berziarah ke makam Rasulullah Muhammad SAW. Akhirnya, ia terlepas dari
kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawwuf. Setelah sembuh dari penyakit
rohaninya ini, Al Ghazali kembali memimpin perguruan tinggi nidzamiyah di
Bagdad atas desakan perdana menteri Fakhr Mulk, anak Nidzam al Mulk. Setelah
perdana menteri ini mati terbunuh, ia kembali ke Thus tempat kelahirannya,
disini ia membangun sebuah madrasah Khan-Kah
(semacam praktik suluuntuk mengajar tasawwuf. Usaha ini ia lakukan sampai
ia wafat 18 Desember 1111M. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia
5 tahun. Jasadnya dikebumikan disebelah timur benteng dekat Thabaran
berdampingan dengan makam penyair yang terkenal Al Firdausy.
Adapun karyanya
antara lain:
a. Maqasid al
Falasifah, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan.
b. Tahafut al
falasifah, berisikan kritik terhadap para filosof.
c. Al Munqiz
min al dhalal, dipaparkan didalamnya seperangkat ilmu yang
mewarnai zamannya dan bebagai aliran yang penting. Ilmu dan aliran-aliran
tersebut dikajinya secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan
kesalahanya.
d. Mizan al
‘amal, didalmnya berisikan penjelasan tentang akhlaq.
Dari hasil pemaparan diatas dapat dilihat bahwa Al Ghazali dalam hidupnya telah
menmpuh berbagai jalan dan meneliti berbagai madzhab; dimulai sebagai ahli
hukum Islam, berbalik menjadi seorang teolog Muslim, berpindah sebagai filosof
Muslim, dan berakhir sebagai seorang sufi.[1]
B. Pengertian
Pendidikan Menurut Al Ghazali
Al- Ghazali tidak merumuskan pengertian
pendidikan secara jelas. Namin berdasarkan unsur pembentuk pengertian
pendidikan yang diungkapkan dapat dirumuskan pengertian pendidikan menurut
Al-Ghazali.
Adapun unsur-unsur pembentuk pengertian
pendidikan dari Al-Ghazali dalam pernyataan berikut ini:
“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan
diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian
malaikat dan berkemampuan dengan malaikat tinggi.”
“Dan ini, sesungghunya adalah dengan ilmu yang
berkembang melalui pelajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”
Jika kita perhatikan, pada kutipan yang
pertama, kata “hasil” menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah”
menunjukkan tujuan dan kata “ilmu” menunjukkan alat, sedangkan pada kutipan
kedua merupakan penjelasan mengenai ilmu, yakni disampaikan dalam bentuk
pengajaran.[2]
Mengenai proses pendidikan, kapan dimulai dan
kapan berakhirnya, Al-Ghazali mengemukakan bahwa batas awal berlangsungnya
proses pendidikanadalah sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal kejadian
manusia. Mengenai batas akhir pendidikan, Al-Ghazali mengutip sebuah pernyataan
Abu Darda sebagai berikut:
“Orang yang berilmu dan orang yang menuntut
ilmu itu adalah dua sekutu yang berserikat pada kebaikan dan manusia yang
lainnya adalah bodoh. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu atau belajar
atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang yang keempat (tidak salah seorang
dari yang tiga tadi), maka binasalah engkau.”
Anjuran Abu Darda’ dalam pernyataan diatas
adalah. Manusia harus berilmu dengan mengajarkan ilmunya selama hidup manusia
dituntut untuk melibatkan diri dalam pendidikan sehingga mejadi insan kamil.
Dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan
pendidikan menurut Al-Ghazali adalah “Proses memanusiakan manusia sejak masa
kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran
itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri
kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna (insan kamil).
Al-
Ghazali (dalam Zainuddin dkk., 1991) menjelaskan tentang tugas dan kewajiban
seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya, Ihya ‘Ulumuddin dan Mizan
Al-Amal, di mana pembahasan dalam bab ini dapat diuraikan sebagai berikut,
yakni:[3]
a. Mengikuti jejak Rasullulah dalam tugas dan kewajibannya.
“Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah
SAW, dialah sebenar-benarnya ‘alim (berilmu, intelektual). tetapi tidak pulalah
tiap-tiap orang yang ‘alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti
Rasullulah SAW itu”.
Dengan demikian seorang guru hendaknya menjadi wakil dan pengganti
Rasullulah yang mewarisi ajaran-ajarannya dan memperjuangkan dalam kehidupan
masyarakat di segala penjuru dunia, demikian juga perilaku, perbuatan dan
kepribadian seorang pendidik harus mencerminkan ajaran-ajarannya, sesuai dengan
akhlak Rasullulah karena memang beliau dilahirkan di dunia ini adalah sebagai
“Uswatun Hasanah”bagi umat pada umumnya dan bagi seorang pendidik pada
khususnya.
b. Memberikan kasih saying kepada anak didik.
Al-Ghazali mengatakan:
“Memberikan kasih sayang kepada murid-murid dam memperlakukan
mereka seperti anaknya sendiri”.
c. Menjadi teladan bagi anak didik
Al-Ghazali mengatakan:[4]
“Serang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkatannya.
karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. sedangkan
perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. padahal yang mempunyai mata kepala
adalah lebih banyak”.
d. Menghormati kode etik guru
Al-Ghazali mengatakan:
“Seorang guru yang memegang salah satu vak mata pelajaran,
sebaiknya jangan menjelek-jelekkan mata pelajaran lainnya dihadapan muridnya”.
Penjelasan al-Ghazali mencakup pula pada
bagaimana seorang guru harus bersikap dan memperlakukan murid dalam pengajaran
yang dilakukan, bahkan ia juga menyinggung metode pengajaran keteladanan dan
kognitifistik. Selain itu ia juga memakai pendekatan behavioristik sebagai
salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini tampak dalam
pandangannya yang menyatakan jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang
Guru mengapresiasi Murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan.
Untuk bentuk pengapresiasian gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan
behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward and panisment-nya
dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawa
(pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping pendekatan behavioristik diatas,
al-Ghazali juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan
bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistic
dan mengahrgai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah
bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh dengan kasih
sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan
ungkapan seperti ini tentu al-Ghazali menginginkan sebuah pemanusiaan anak
didik oleh guru.
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidikan tidak
semata-mata suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang
diserap oleh siswa, yang setelah prose situ masing-masing guru dan murid
berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi
yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran
sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang
terakhir mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan.
C. Tujuan
Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al Ghazali, pendidikan dalam prosesnya
haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insan,
mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan
akhirat.
Pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan
pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu sendiri tidak akan dapat diperoleh
manusia kecuali melalui pengajaran.
Dapat dipahami bahwa menurut Al Ghazali tujuan
pendidikan dapat dibagi menjadi dua:[5]
1) Tujuan jangka panjang
Tujuan pendidikan jangka panjang ialah
pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan
manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada tuhan pencipta
alam. Semakin lama seseorang duduk dibangku pendidikan, semakin bertambah ilmu
pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah. Al Ghazali berkata.
“Hasil dari ilmu sesungguhnya adalah
mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri
dengan malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah
kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara
naluri.”[6]
2) Tujuan jangka pendek
Menurut Al Ghazali tujuan pendidikan jangka
pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai bakat dan kemampuannya. Sayarat
untuk mencapai tujuan itu, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, baik yang
termasuk fardhu’ain maupun fardhu kifayat. Dengan menguasai ilmu fardhu kifayah
dan selanjutnya menguasai profesi tertentu, manusia dapat melaksanakan
tugas-tugas keduniaan, dapat bekerja dengan sebaik-baiknya.
Dapat dirumuskan bahwa tujuan pendidikan
menurut Al Ghazali adalah sebagai berikut:
a) Mendekatkan
diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri
melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b) Menggali dan
mengembangkan potensi atau fiteah manusia.
c) Mewujudkan
profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d) Membentuk
masnusi yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat
tercela.
e) Mengembangkan
sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
D. Kurikulum
Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Mengenai kurikulum pendidikan menurut
al_ghazali ada dua hal yang menarikbagi kita.
Pertama,
pengklarifikasiannya terhadap ilmu pengetahuan yang sangat terperinci dan
segala aspek yang terkait dengannya. Sebagaimana dapat kita lihat skema dibawah
ini.
Kedua, Al-Ghazali
mendasarkan pemikirannya bahwa kurikulum pendidikan harus disusun dan
selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
psikisnya. Artinya, penjelasan harus disampaikan secara bertahap dengan
memperhatikan teori, hukum, dan periodesasi perkembangan anak.
Pentahapan dalam kurikulum yang dirumuskan
Al-Ghazali ini sesuai dengan proses pendidikan anak yang diajarkan Rasulullah
secara didaktis, penjabarannya sebagai berikut:
a. Usia 00-06
tahun, adalah masa asuhan orang tua. Sedini mungkin anak dijaga dari segala
yang mengotori jasmani dan ruhaninya, antara lain disembelihkan akikah dan
diberi nama yang baik. Pendidikan pada usia ini bersifat informal, anak
dibiasakan agar melakukan amalan-amalan yang baik berupa perkataan dan
perbuatan yang terpuji dengan memberikan contoh-contoh praktis atau teladan.
Dengan kata lain, usia ini adalah masa pendidikan secara dressur (pembiasaan).
b. Usia 06-09
tahun, adalah masa dimulainya pendidikan anak secara formal. Pada masa ini anak
telah mampu menerima pengertian dari apa yang telah dibiasakan, anak juga mampu
menerima ganjaran dan hukuman, tetapi dampak keduanya berbeda.
c. Usia 09-13
tahun, adalah masa pendidikan kesusilaan dan latihan kemandirian. Sebagai
kelanjutan dari pembiasaan terhadap yang baik dan pemberian pengertian tentang
apa yang dibiasakan, anak pada usia ini telah mampu membedakan antara yang baik
dan yang buruk.
d. Usia 13-16
tahun, adalah masa evaluasi terhadap pendidikan yang telah bejalan sejak
pembiasaan, dimulainya formal, pendidikan kesulsilaan dan pendidikan
kemandirian. Jika ditemukan kekurangan-kekurangan dalam mendidik anak, maka
untuk membentuk pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab atas segala
perbuatan yang dilakukan, anak perlu diberi sangsi. Misalnya ketika
meninggalkan shalat.
e. Usia 16 tahun
dan seterusnya, adalah pendidikan kedewasaan. Menurut Islam, anak usia ini
diangap dewasa dan segala yang dilakukan sudah mempunyai nilai tersendiri
dihadapan Allah.[7]
Jika kita
perhatikan apa yang diuraikan Al-Ghazali mengenai kurikulum pendidikan, maka
sebenarnya Islamiyah yang mempelopori pembahasan mengenai tahap yang berbeda
dalam pertumbuhan dan perkembangan anak serta hak dan kebutuhan dalam setiap
tahapan.
E. Metode
Pendidikan Menurut Al Ghazali
Setelah menguraikan pentahapan pendidikan, maka
kemudian Al-Ghazali menciptakan pemikirannya tentang metode khusus yang mana
beliau lebih menitik beratkan pada pendidikan agama dan akhlak.
a. Metode khusus pendidikan agama
Metodik pendidikan agama menurut Al-Ghazali,
pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan
dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan
keterangan yang menunjang penguatan akidah. Yang demikian ini merupakan
pantulan dari sikap hidupnya yang sufi dan tekun beribadah. Dari pengalaman
pribadinya, Al-Ghazali menemukan cara untuk mencegah manusia dari keraguan
terhadap persoalan agama ialah adanya keimanan terhadap Allah, menerima dengan
jiwa yang jernih dan akidah yang pasti pada usia sedini mungkin. Kemudian
mengkokohkan dengan argumentasi yang didasarkan atas pengkajian dan penafsiran
Al-Qur’an dan hadist-hadist secara mendalam disertai dengan tekun beribadah,
bukan melalui ilmu kalam atau lainnya yang bersumber pada akal.
b. Metode khusus pendidikan akhlak
Uraian Al-Ghazali tentang metodik praktis dan etodik
khusus membentuk akhlak mulia menunjukkan bahwa untuk mengadakan perubahan
akhlak tercela anak adalah menyuruhnya melakukan perbuatan yang sebaliknya. Hal
ini dapat dimengerti karena penyakit badan atau raga, maka obatnya adalah
membuang penyakit itu. [8]
F. Evaluasi
Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti
usaha memikirkan, membandingkan, memprediksi (memperkirakannya), menimbang,
mengukur, dan menghitung segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses
pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan kreativitasnya sehingga dapat
seefektif dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan yang lebih baik diwaktu
yang akan datang.
Adapun subyek evaluasi pendidikan adalah orang
yang terikat dalam proses kependidikan meliputi: pimpinan, subyek didik, wali
murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan
adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing
dalam proses kependidikan.
Tujuan evaluasi pendidikan ialah mengontrol
efektifitas dan efisiensi usaha dan sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung
dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang
menghambat diperbaiki atau diganti dengan usaha atau sarana lain yang lebih
menguntungkan.
BAB
III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pendidikan menurut Al-Ghazali adalah “Proses
memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui
berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara
bertahap. Tujuan pendidikan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah.
Menurut Al Ghazali tujuan pendidikan jangka pendek adalah diraihnya profesi
manusia sesuai bakat dan kemampuannya.
Metodik pendidikan agama menurut Al-Ghazali,
pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan
dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan
keterangan yang menunjang penguatan akidah. Uraian Al-Ghazali tentang metodik
praktis dan metodik khusus membentuk akhlak mulia menunjukkan bahwa untuk
mengadakan perubahan akhlak tercela anak adalah menyuruhnya melakukan perbuatan
yang sebaliknya.
Menurut Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti
usaha memikirkan, membandingkan, memprediksi (memperkirakannya), menimbang,
mengukur, dan menghitung segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses
pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan kreativitasnya sehingga dapat
seefektif dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan yang lebih baik diwaktu
yang akan datang.
[1]Osman, bakar. Hierarki Ilmu Membangun
rangka Pikir Islamisasi Ilmu. 1997. Mizan:
Bandung . hal. 183-185
[2] Irsyad zamjani,
Wacana Pendidikan Ghazali Jurnal Studi Agama dan Demokrasi. 2002.
Risalah Gusti : Surabaya. Hlm. 215-216
[3] Prof. Pupuh Fathurrohman & M. Sobry
Sutikno, M.Pd. Strategi Belajar Mengajar: Melalui Penanaman Konsep Umum
& Konsep Islami. (Bandung: PT Refika Aditama, 2009). hlm. 131.
[4] Ibid., 132.
[5] Rusn, Abidin Ibnu. Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. 1998 hlm. 56 – 59.
[7] Rusn, Abidin Ibnu. Pemikiran
Al Ghazali Tentang Pendidikan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. 1998. Hlm. 89.
[8] Rusn, Abidin Ibnu. Pemikiran Al Ghazali Tentang
Pendidikan. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. 1998. Hlm. 97.
0 komentar:
Posting Komentar