BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat
Sebelum lebih jauh membahas tentang hakekat
manusia dalam pandangan filsafat, izinkan penulis sedikit memaparkan tentang
pengertian filsafat itu sendiri terlebih dahulu. Secara etimologis, filsafat
berakar dari bahasa Yunani yaitu phillein yang berarti cinta, dan shopia
yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat adalah “cinta kebijaksanaan”.
Kemudian dari pendekatan etimologis tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat
berarti pengetahuan mengenai pengetahuan, akar dari pengetahuan atau
pengetahuan yang terdalam.[1][1]
Secara terminologis, banyak sekali
pendapat-pendapat yang berkenaan dengan pengertian filsafat. Tidak ada
pengertian yang secara pasti, tetapi berikut beberapa pengertian yang penulis
dapat dari beberapa sumber.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang amat luas
(komprehensif) yang berusaha untuk memahami persoalan-persoalan yang timbul
didalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia.[2][2]
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan
sungguh-sungguh tentang hakekat kebenaran sesuatu.[3][3]
Filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal
budinya untuk memahami, mendalami dan menyelami secara radikal, dan integral
serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya yang dapat dicapai akal
manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahua
tersebut.[4][4]
B.
Hakekat Manusia dalam Pandangan Filsafat
Sabagaimana telah sedikit di utarakan di awal
tadi, manusia merupakan makhluk yang sangat unik. Upaya pemahaman hakekat
manusia sudah dilakukan sejak dahulu. Namun, hingga saat ini belum mendapat
pernyataan yang benar-benar tepat dan pas, dikarenakan manusia itu sendiri yang
memang unik, antara manusia satu dengan manusia lain berbeda-beda. Bahkan orang
kembar identik sekalipun, mereka pasti memiliki perbedaaan. Mulai dari fisik,
ideologi, pemahaman, kepentingan dll. Semua itu menyebabkan suatu pernyataan
belum tentu pas untuk di amini oleh sebagian orang.
Para ahli pikir dan ahli filsafat memberikan
sbuten kepada manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan manusia di
bumi ini;[5][5]
a. Manusia adalah Homo
Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi,
b. Manusia adalah Animal
Rational, artinya binatang yang berpikir,
c. Manusia adalah Homo
Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan
pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun,
d. Manusia adalah Homo
Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat perkakas atau
disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai membuat alat,
e. Manusia adalah Zoon
Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain
dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
f. Manusia adalah Homo
Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan
bersifat ekonomis,
g. Manusia adalah Homo
Religious, yaitu makhluk yang beragama. Dr. M. J. Langeveld seorang tokoh
pendidikan bangsa Belanda, memandang manusia sebagai Animal Educadum dan
Animal Educable, yaitu manusia adalah makhluk yang harus dididik dan
dapat dididik. Oleh karena itu, unsur rohaniah merupakan syarat mutlak
terlaksananya program-program pendidikan.
Penulis akan mencoba memaparkan apa sebenarnya
hakekat manusia yang dirangkum dari beberapa sumber bacaan. Ilmu yang
mempelajari tentang hakekat manusia disebut Antropologi Filsafat.[6][6] Berikut pembahasan mengenai manusia:
1. Masalah Rohani
dan Jasmani
Setidaknya terdapat empat aliran pemikiran yang
berkaitan tentang masalah rohani dan jasmani (sudut pandang unsur pembentuk
manusia) yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran
aksistensialisme.
a. Aliran Serba
zat (Faham Materialisme)
Aliran serba zat ini mengatakan yang
sungguh-sunguh ada itu adalah zat atau materi, alam ini adalah zat atau materi
dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau
materi.[7][7] Manusia ialah apa yang nampak sebagai
wujudnya, terdiri atas zat (darah, daging, tulang).[8][8]
Jadi, aliran ini lebih berpemahaman bahwa
esensi manusia adalah lebih kepada zat atau materinya. Manusia bergerak
menggunakan organ, makan dengan tangan, berjalan dengan kaki, dll. Semua serba
zat atau meteri. Berdasar aliran ini, maka dalam pendidikan manusia harus melalui
proses mengalami atau pratek (psikomotor).
b. Aliran Serba
Ruh
Dalam buku lain, aliran ini diberi nama Aliran
Idealisme. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di
dunia ini adalah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh.[9][9] Ruh disini bisa diartikan juga sebagai jiwa,
mental, juga rasio/akal. Karena itu, jasmani atau tubuh (materi, zat) merupakan
alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa (rohani,
spirit, ratio) manusia.[10][10]
Jadi, aliran ini beranggapan bahwa yang
menggerakkan tubuh itu adalah ruh atau jiwa. Tanpa ruh atau jiwa maka jasmani,
raga atau fisik manusia akan mati, sia-sia dan tidak berdaya sama sekali. Dalam
pendidikan, maka tidak hanya aspek pengalaman saja yang diutamakan, faktor
dalam seperti potensi bawaan (intelegensi, rasio, kemauan dan perasaan)
memerlukan perhatian juga.
c. Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada
hakekatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani.[11][11] Aliran ini melihat realita semesta sebagai
sintesa kedua kategori animate dan inanimate, makhluk hidup dan benda mati.
Demikian pula manusia merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga.[12][12]
Misalnya ada persoalan: dimana letaknya mind
(jiwa, rasio) dalam pribadi manusia. Mungkin jawaban umum akan menyatakan bahwa
ratio itu terletak pada otak. Akan tetapi
akan timbul problem, bagaiman mungkin suatu immaterial entity (sesuatu
yang non-meterial) yang tiada membutuhkan ruang, dapat ditempatkan pada suatu
materi (tubuh jasmani) yang berada pada ruang wadah tertentu.[13][13]
Jadi, aliran ini meyakini bahwa sesungguhnya
manusia tidak dapat dipisahkan antara zat/raga dan ruh/jiwa. Karena pada
hakekatnya keduanya tidak dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki peranan yang
sama-sama sangat vital. Jiwa tanpa ruh ia akan mati, ruh tanpa jiwa ia tidak
dapat berbuat apa-apa. Dalam pendidikan pun, harus memaksimalkan kedua unsur
ini, tidak hanya salah satu saja karena keduanya sangat penting.
d. Aliran
Eksistensialisme
Aliran filsafat modern berpikir tentang hakekat
manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi
intinya hakikat manusia itu yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh.
Disini manusia dipandang dari serba zat, serba ruh atau dualisme dari kedua
aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri di
dunia.[14][14]
2. Sudut Pandang
Antropologi
Dari segi antropologi terdapat tiga sudut
pandang hakekat manusia, yaitu manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial
dan makhluk susila. Berikut penjelasan dari ketiganya:
a. Manusia Sebagai
Makhluk Individu (Individual Being)
Dalam bahasa filsafat dinyatakan self-existence
adalah sumber pengertian manusia akan segala sesuatu. Self-existence ini
mencakup pengertian yang amat luas, terutama meliputi: kesadaran adanya diri
diantara semua relita, self-respect, self-narcisme, egoisme, martabat
kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain, khususnya kesadaran
akan potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar bagi self-realisasi. Manusia
sabagai individu memiliki hak asasi sebagai kodrat alami atau sebagi anugrah
Tuhan kepadanya. Hak asasi manusia sebagai pribadi itu terutama hak hidup, hak
kemerdekaan dan hak milik.[15][15]
Disadari atau tidak menusia sering memperlihatkan
dirinya sebagai makhluk individu, seperti ketika mereka memaksakan kehendaknya
(egoisme), memecahkan masalahnya sendiri, percaya diri, dll. Menjadi seorang
individu manusia mempunyai ciri khasnya masing-masing. Antara manusia satu
dengan yang lain berbeda-beda, bahkan orang yang kembar sekalipun, karena tidak
ada manusia di dunia ini yang benar-benar sama persis. Fisik boleh sama, tetapi
kepribadian tidak.
Jadi dalam pendidikan seorang guru sangat perlu
memahami hakekat manusia sebagai individu. Itu kaitanya dengan menghargai
perbedaan dalam setiap anak didiknya, agar sang guru tidak semena-mena dan
memaksakan kehendaknya (diskriminasi) kepada peserta didik. Perbedaan itu bisa
berupa fisik, intelejensi, sikap, kepribadian, agama, dll.
b. Manusia Sebagai
Makhluk Sosial (Sosial Being)
Telah kita ketahui bersama bahwa manusia tidak
dapat hidup sendirian, manusia membutuhkan manusia lain agar bisa tetap exsis
dalam menjalani kehidupan ini, itu sebabnya manusia juga dikenal dengan istilah
makhluk sosial. Keberadaanya tergantung oleh manusia lain.
Esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah
adanya kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan
bersama dan bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu.
Adanya kesadaran interdependensi dan saling membutuhkan serta dorongan-dorongan
untuk mengabdi sesamanya adalah asas sosialitas itu. Kehidupan individu di
dalam antar hubungan sosial memang tidak usah kehilangan identitasnya. Sebab,
kehidupan sosial adalah realita sama rielnya dengan kehidupan individu itu
sendiri. Individualitas itu dalam perkembangan selanjutnya akan mencapai
kesadaran sosialitas. Tiap manusia akan sadar akan kebutuhan hidup bersama
segera setelah masa kanak-kanak yang egosentris berakhir.[16][16]
Seorang guru dalam kegiatan pembelajaran perlu
menanamkan kerjasama kepada peserta didiknya, agar kesadaran sosial itu dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut dapat dicapai dengan penerapan
strategi dan metode yang tepat, juga dengan pemberian motivasi tentang
kebersamaan.
c. Manusia Sebagai
Makhluk Susila (Moral Being)
Asas pandangan bahwa manusia sebagai makhluk
susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara apriori
adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma. Kesadaran susila (sense of
morality) tak dapat dipisahkan dengan realitas sosial, sebab, justru adanya
nilai-nilai, efektivitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah di
dalam kehidupan sosial. Artinya, kesusilaan atau moralitas adalah fungsi sosial.
Asas kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar fundamental yanng membedakan
manusia dari pada hidup makhluk-makhluk alamiah yang lain. Rasio dan budi
nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral itu.[17][17]
Ketiga esensi diatas merupakan satu kesatuan yang
tidak terlepaskan dari diri manusia, tinggal ia sadar atau tidak. Beberapa
individu mempunyai kecenderungan terhadap salah satu esensi itu. Ada yang
cenderung esensi pertama yang lebih menonjol, ada yang kedua dan ada yang
ketiga. Semua tergantung pemahaman dan pendidikan yang dialami oleh si individu
tersebut. Fungsi pendidikan adalah mengembangkan ketiganya secara seimbang.
Agar manusia dapat menempatkan diri sesuai situasi dan kondisi yang sedang
dialami. Sesuatu yang berlebihan atau malah kurang itu tidak baik, jadi yang
terbaik itu adalah seimbang.
Menurut Freud (ahli ilmu jiwa), struktur jiwa
(kepribadian) terbentuk oleh tiga tingkatan atau lapisan, yaitu bagian dasar
(das Es), bagian tengah (das Ich) dan bagian atas (das Uber ich).
a. Bagian Dasar
atau das Es (the Id)
Bagian ini merupakan bagian paling dasar yaitu
berkenaan dengan hasrat-hasrat atau sumber nafsu kehidupan. Semua tuntutan das
Es semata-mata demi kepuasan, tanpa memperhatikan nilai baik-buruk. das Es ini
merupakan prototype dari sifat individualistis manusia, egoistis,
a-sosial bahkan a-moral. Dan ketika manusia semata-mata mengikuti dorongan das
Es yang demikian tadi, maka sesungguhnya manusia tidak ada bedanya dengan
makhluk alamiah lain.
b. Bagian Tengah
atau das Ich (aku)
Bagian ini terletak ditengah antara das Es dan
das Uber Ich. Menjadi penengah antara kepentingan das Es dan tujuan-tujuan das
Uber Ich. Das Ich ini bersifat objektif dan realistis, sehingga pribadi
seseorang dapat berjalan dengan seimbang dan harmonis. Sesuai letaknya, das Ich
ini lebih sadar norma dibanding das Es. Kesadaran das Ich yang bersifat
ke-aku-an ini lebih bersifat social, sehingga das Ich dapat disamakan sebagai
aspek social kepribadian manusia.
c. Bagian Atas
atau das Uber Ich (superego)
Bagian jiwa yang paling tinggi, sifatnya paling
sadar norma, paling luhur. Bagian ini yang paling lazim disamakan dengan budi
nurani. Setiap motif, cita-cita dan tindakan das Uber Ich selalu didasarkan
pada asas-asas normative. Superego ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai,
baik nilai etika maupun nilai religious. Dengan demikian, superego adalah
bagian jiwa yang palling sadar terhadap makna kebudayaan, membudaya dalam arti
terutama sadar nilai moral, watak superego ialah susila.
4. Sudut Pandang
Asal-Mula dan Tujuan Hidup Manusia
Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini
pasti mempunyai asal-usul dan tujuan keberadaanya, begitu juga manusia. Asala
mula dan tujuan hidup manusia merupakan merupakan substansi yanng sulit
dijelaskan. Karena akal manusia sangat terbatas untuk mencapai pada substansi
tersebut.
Pikiran manusia tidak pernah mampu menjelaskan
secara terperinci tentang substansi asal-mula tersebut. Mekipun demikian,
pikiran manusia dapat dipastikan mampu secara logis menyimpilkan dan menilai
bahwa hakekat asal mula itu hanya ada satu, bersifat universal, dan berada di
dunia metafisis, karena itu bersifat absolut dan tidak mengalami perubahan
serta sebagai sumber dari segala sumber yang ada.[19][19]
Ketika manusia menyadari bahwa asal mula dan
tujuan hidup hanya satu, bersifat universal dan berada di dunia metafisis, maka
pernyataan itu merujuk pada keberadaan Tuhan. Dalam agama islam, manusia
meyakini bahwa ia berasal dari Alloh SWT dan nantinya akan kembali kepada-Nya
juga.
Akal pikiran manusia dapat memastikan bahwa
kehidupan ini berawal dari causa prima (Tuhan) dan pada akhirnya kembali
kepada causa prima (Tuhan) pula.[20][20]
Jadi, jika demikian adanya maka dalam islam
setidaknya manusia mempunyai beberapa tujuan. Tujuan manusia hidup manusia
paling sedikit ada empat macam; beribadah, menjadi khalifah Alloh di muka bumi
(yang baik dan sukses tentunya), memperoleh kesuksesan (kebaikan, kebahagiaan
dan keberuntungan) di dunia dan di akhirat, dan mendapat ridho Alloh.[21][21]
C.
Hubungan Antara Filsafat, Pendidikan dan
Manusia
Dari pemaparan diatas, ternyata menusia
benar-benar merupakan makhluk yang unik. Manusia memiliki berbagai dimensi
dasar, baik secara pribadi, jiwa, kelompok, dll. Semua itu bercampur aduk
menjadi potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari atau tidak,
manusia telah mengembangkan potensi tersebut, baik secara maximal atau tidak,
dengan baik atau buruk. Semuanya tergantung manusia itu sendiri dan lingkungan
yang mempengaruhinya.
Kaitanya dengan hal tersebut, dengan akal
manusia yang bisa dikatakan jenius, manusia dapat menemukan jalan untuk
mengembangkan potensi-potensi mereka dengan baik. Yaitu dengan pendidikan.
Manusia mulai sadar akan arti penting pendidikan bagi kehidupan mereka.
Dalam sub bab ini, penulis mencoba mencari
keterkaitan antara pendidikan dengan manusia. Atau, apakah arti penting
pemahaman tentang hakekat manusia tadi terhadap proses pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar, terencana,
sistematis dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi-potensi bawaan
manusia, memberi sifat dan kecakapan, sesuai dengan tujuan pendidikan.[22][22]
Pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang
diharapkan untuk mencapai suatu tujuan.[23][23]
Melihat pengertian diatas, dapat disimpulkan
bahwa hubungan pendidikan dengan manusia itu sangat erat. Adanya pendidikan
untuk mengembangkan potensi manusia, menuju manusia yang lebih baik, dan dapat
mengemban tugas dari Alloh swt.
Berbicara tentang pendidikan, berarti
membicarakan tentang hidup dan kehidupan manusia. Sebaliknya, berbicara tentang
kehidupan manusia berarti harus mempersoalkan masalah kependidikan.[24][24] Jadi, antara manusia dan pendidikan terjalin
hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena
pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang
manusiawi.[25][25]
Manusia merupakan subyek pendidikan, tetapi
juga sekaligus menjadi objek pendidikan itu sendiri. Pedagogik tanpa ilmu jiwa,
sama dengan praktek tanpa teori. Pendidikan tanpa mengerti manusia, berarti
membina sesuatu tanpa mengerti untuk apa, bagaimana, dan mengapa manusia
dididik. Tanpa mengerti atas manusia, baik sifat-sifat individualitasnya yang
unik, maupun potensi-potensi yang justru akan dibina, pendidikan akan salah
arah. Bahkan tanpa pengertian yang baik, pendidikan akan memperkosa kodrat
manusia.[26][26]
Esensia kepribadian manusia, yang tersimpul
dalam aspek-aspek: individualitas, sosialitas dan moralitas hanya mungkin
menjadi relita (tingkah laku, sikap) melalui pendidikan yang diarahkan kepada
masing-masing esensia itu. Harga diri, kepercayaan pada diri sendiri
(self-respect, self-reliance, self confidence) rasa tanggung jawab, dan
sebagainya juga akan tumbuh dalam kepribadian manusia melalui proses
pendidikan.[27][27]
Jadi, hubungan antara filsafat, pendidikan dan
manusia secara singkat adalah sebagai berikut; filsafat digunakan untuk mencari
hakekat manusia, sehingga diketahui apa saja yang ada dalam diri manusia. Hasil
kajian dalam filsafat tersebut oleh pendidikan dikembangkan dan dijadikannya
(potensi) nyata berdasarkan esensi keberadaan manusia. Sehingga dihasilkan
manusia yang sejati, yang utuh sebagaimana dititahkan oleh Alloh SWT.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan
di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut; filsafat berakar dari
bahasa Yunani yaitu phillein yang berarti cinta, dan shopia yang
berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat adalah “cinta kebijaksanaan”.` Filsafat
adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang hakekat kebenaran
sesuatu.
Dalam filsafat, pemahaman manusia dilihat dari
berbagai sudut pandang, yaitu: pertama, masalah rohani dan jasmani;
Aliran Serba zat (Faham Materialisme), Aliran Serba Ruh, Aliran Dualisme, dan
Aliran Eksistensialisme. Kedua, sudut pandang antropologi;
manusia sebagai makhluk individu (individual being), manusia sebagai makhluk
sosial (sosial being) dan manusia sebagai makhluk susila (moral being). Ketiga,
pandangan Freud tentang struktur jiwa (kepribadian); bagian dasar atau
das Es (the Id), bagian tengah atau das Ich (aku) dan bagian atas atau das Uber
Ich (superego). Keempat, sudut pandang asal-mula dan tujuan hidup
manusia ; kehidupan ini berawal dari causa prima (Tuhan) dan pada
akhirnya kembali kepada causa prima (Tuhan) pula.
Hubungan antara manusia, filsafat dan
pendidikan terletak pada; filsafat digunakan untuk mencari hakekat manusia,
sehingga diketahui apa saja yang ada dalam diri manusia. Hasil kajian dalam
filsafat tersebut oleh pendidikan dikembangkan dan dijadikannya (potensi) nyata
berdasarkan esensi keberadaan manusia.
Demikian pemaparan penulis mengenai hakekat
manusia dalam pandangan filsafat. Terima kasih,....
DAFTAR BACAAN
Asifudin, Ahmad
Janan. 2009. Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauann Filosofis). Yogyakarta:
Suka Press
Ihsan, Hamdani
dan Fuad Ihsan. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka setia
Jalaludin dan
Abdulloh. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama
Noor Syam,
Mohammad. 1988 cet.4. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Suhartono,
Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media
[3][3] Hamdani
Ihsan dan Fuad Ihsan, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Bandung: Pustaka
setia, 2007), hal.9
[8][8] Mohammad
Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 163
[10][10] Mohammad
Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 164
[11][11] Jalaludin
dan Abdulloh, “Filsafat Pendidikan”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997)
hal. 108
[12][12] Mohammad
Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 165
[14][14] Jalaludin
dan Abdulloh, “Filsafat Pendidikan”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997)
hal. 108
[15][15] Mohammad
Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 170
[21][21] Ahmad
Janan Asifudin, “Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauann
Filosofis)”, (Yogyakarta: Suka Press, 2009), hal. 49-50
[22][22] Pengertian
dari Ibu Susilaningsih, Dosen Pengampu Mata Kuliah Psikologi Belajar UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
[23][23] Hamdani
Ihsan dan Fuad Ihsan, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Bandung: Pustaka
setia, 2007), hal. 59
[26][26] Mohammad
Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 160-161
0 komentar:
Posting Komentar