Minggu, 27 Oktober 2013

Makalah Fungsi dan Kontribusi Sosiologi Agama



A.      PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami kesempatan  mampu menyelesaikan tugas ini, kami dari kelompok tiga jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan kelas B telah berhasil menyelesaikan tugas makalah dari Bpk. Dr. H. Zulfi Mubaroq M,Ag dengan judul “Fungsi dan Kontibusi Sosiologi Agama” dengan tepat waktu untuk mata kuliah Sosiologi Agama. Besar harapan kami, makalah ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran guna mengembangkan jati diri calon akademis dan prefesional perguruan tinggi khususnya bidang pendidikan dan pengajaran, juga dimaksudkan sebagai perekat agar mahasiswa tidak kehilangan arah.
Urgensi topik kami yang berjudul “Fungsi dan Kontibusi Sosiologi Agama” adalah yang pertama mengenai pengertian fungsi dan kontribusi.Disini kami membahas definisi fungsi dan kontribusi secaraetimologi dan terminologi.Yang kedua, fungsi sosiologi agama, kontribusi sosiologi agama. Disini kami mencoba untuk membahas itu karena sekang ini bayak sekali masalah – masalah yang terjadi dalam lingkup sosial religius.
Isi global makalah ini membahas fungsi dan kontribusi sosiologi agama yang mana dapat membantu dalam menjawab problematika yang ada dalam lingkup masyarakat beragama pada umumnya.






2.    Tujuan Pembahasan
a.    Memahami pengertian fungsi dan kontribusi secara etimologi.
b.    Memahami pengertian fungsi dan kontribusi secara terminologi.
c.    Memahami fungsi sosiologi agama
d.   Memahami kontribusi sosiologi agama.

3.      Rumusan Masalah
a.    Apa pengertian fungsi dan kontribusi secara etimologi ?
b.    Apa pengertian fungsi dan kontribusi secara terminologi ?
c.    Apa fungsi sosiologi agama ?
d.   Apa kontribusi sosiologi agama?












B. POKOK PEMBAHASAN
1. Pengertian fungsi dan kontribusi secara etimologi
Pengertian fungsi secara etimologi berarti kegunaan, manfaat, peran, tugas.[1] Fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat atau pelaksanaannya.[2]
Sedangkan Kontribusi  berasal  dari  bahasa  inggris  yaitu  contribute,  contribution, maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan.kontribusijuga bisa berarti andil, bantuan, jasa, pemberian, pertolongan, saham, sokongan, sumbangan, partisipasi, peran, peranan.[3]
2. Pengertian fungsi dan kontribusi secara terminologi
            Fungsi adalah sesuatu yang masih bersifat umum sebagai manfaat dari apa yang kita lakukan. ( Fungsi adalah kegunaan, manfaat, peranan yang dapat diperoleh dari sesuatu hal)
Kontribusi adalah segala bentuk tindakan dan pemikiran yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bersama. Berarti  dalam  hal  ini  kontribusi  dapat  berupa  materi  atau  tindakan.  Hal  yang bersifat  materi  misalnya  seorang  individu  memberikan  pinjaman  terhadap  pihak lain demi kebaikan bersama. Kontribusi dalam pengertian sebagai tindakan  yaitu berupa  perilaku  yang  dilakukan  oleh  individu  yang  kemudian  memberikan dampak  baik  positif  maupun  negatif  terhadap  pihak  lain.  Sebagai  contoh, seseorang  melakukan  kerja  bakti  di  daerah  rumahnya  demi  menciptakan  suasana asri  di  daerah  tempat  ia  tinggal  sehingga  memberikan  dampak  positif  bagi penduduk maupun pendatang. Dengan kontribusi  berarti  individu  tersebut  juga  berusaha  meningkatkan efisisensi  dan  efektivitas  hidupnya.  Hal  ini  dilakukan  dengan  cara  menajamkan posisi perannya, sesuatu yang kemudian mejadi bidang spesialis, agar lebih tepat sesuai  dengan  kompetensi.  Kontribusi  dapat  diberikan  dalam  berbagai  bidang yaitu  pemikiran,  kepemimpinan,  profesionalisme,  finansial,  dan  lainnya.[4]  
3. Fungsi Sosiologi Agama
Munculnya Sosiologi Agama dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sebagaimana Sosiologi Positif telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian pula Sosiologi Agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan. Dalam bidang teoritis di mana para ahli keagamaan merupakan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka Sosiologi Agama dapat memberikan sumbangannya. Terutama Sosiologi Agama Kristen yang ternyata sudah lebih maju dari pada Sosiologi Agama di luar Agama Kristen, dapat memberikan sumbangan yang berharga khususnya kepada teologi tentang Gereja (ekklesiogi), kepada misiologi, dan tidak kurang kepada teologi pastoral, pun pula kepada teologi pembebasan dan teologi pembangunan.[5]
Jika kita telaah satu persatu, fungsi utama agama adalah mengurangi kegelisahan, memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri dan yang terpenting adalah memelihara keadaan manusia agar tetap siap menghadapi realitas.Namun, ada yang juga yang mengatakan bahwa fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya.  Dalam bidang teoritis dimana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangannya.
Pada prinsipnya sosiologi agama sama dengan sosiologi umum yang membedakannya adalah obyek materinya. Sosiologi umum membicarakan semua fenomena yang ada dalam masyarakat secara umum, sedangkan sosiologi agama membicarakan salah satu aspek dari berbagai fenomena sosial yaitu agama dalam perwujudan agama. Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama seperti magic, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam kehidupan masyarakat pedesaan agama masih berperan dalam berbagai aspek kehidupan, bahwa hampir disetiap kegiatan selalu melibatkan agama baik itu dalam ekonomi, pendidikan, politik dan sosial lainnya. Berbeda dengan masyarakat perkotaan kecil, pada masyarakat seperti ini agama mulai kurang peranannya dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Ide-ide modernisasi selalu terhambat oleh pemikiran-pemikiran keagamaan yang membatasi kreativitas bebas dalam melaksanakan pembaruan sosial. Apalagi di masyarakat kota metropolitan, pada masyarakat seperti ini peran agama hampir hanya dalam kehidupan individu dan keluarga saja.
Menurut pendapat para ahli, yaitu Durkheim, fungs sosiologi agama adalah mendukung dan melestarikan masyarakat yang sudah ada. Djamari berpendapat bahwa ada 2 implikasi sosiologi agama bagi agama, yaitu:
1. menambah pengertian tentang hakikat fenomena agama diberbagai kelompok masyarakat maupun pada tingkat individu
2. suatu kritik sosiologis tentang peran agama dalam masyarakat dapat membantu kita untuk menentukan masalah teologi yang mana yang paling berguna dalam masyarakat, baik dalam arti sekuler maupun religious.
Dengan cara ini, sosiologi agama memberikan sumbangan kepada diolog keagamaan di dalam masyarakat. Semua pelopor sosiologi Eropa, seperti Karl Marx, Weber, Durkheim serta simmel berpendapat bahwa untuk mengerti masyarakat modern, seseorang harus mengerti peran penting agama dalam masyarakat.[6]
4. Kontribusi Sosiologi Agama
            Munculnya Sosiologi Agama dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan.. Sebagai sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai, norma, tradisi  dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan yang ada. Tanpa hal itu, mejadi alasan untuk timbulnya konflik di antara umat beragama, membuat kita lebih tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala social keberagamaan masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat dan akurat terhadap setiap situasi social yang kita  hadapi.[7]
Sosiologi agama adalah cabang dan juga bagian vertikal dari sosiologi umum. Ia merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang “profan”. Ia bukan ilmu yang sacral: bukan seperti ilmu teologi, tetapi ilmu profane, yang positif dan empiris yang dilakukan dan dibina oleh sarjan sosial,entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukan untuk membuktikan kebenaran(objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ihwal masyarakat agama. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa sosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu sosial yang lain. Namun, bila dilihat sejarah kelahiran dan berkembangnya sosiologi agama itu, maka ilmu ini lebih merupakan ilmu terpakai dari pada ilmu teoritas murni. Ia diciptakan oleh pendukung-pendukungnya untuk kepentingan praktis, antara lain untuk memecahkan masalah sosio-religius yang timbul waktu di eropa akibat kurangnya pengetahuan tentang segi-segi sosiologis kehidupan beragama. Sudah barang tentu bahwa keterangan ilmiah yang merupakan hasil sementara dan masih bertambah jumlahnya, pada tahap berikutnya akan merupakan bahan-bahan yang berguna untuk menyusun dan mengembangkan sosiologo agama bercorak teori murni.[8]
Kegunaan sosiologi dalam forum keilmuan merupakan sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sebagaimana sosiologi positif telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian pula sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah sosial nonkeagamaan. Dalam bidang teoritis dimana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangan. Terutama sosioogi keristen yang ternyata sudah lebih majudari pada sosiologi agama dari luar agama Kristen, dapat memberikan sumbangannya.[9]
Jika kita lihat masyarakat Indonesia sebagai Negara yang agamis, dimana kehidupan keagamaan masih memainkan peranan penting yang dominant bagi kehidupan bangsa dan Negara, namun sebaliknya juga sering merupakan sumber ketegangan(konflik) yang membawa banayk keresahan: maka kita dapatmembuat suatu praduga yang kuat bahwa sosiologi agama dapat lahir dan dibina dengan baik dan pecintanya, niscaya hal itu akan memberikan sumbangan yang sangat berharga dan kehadirannya akan disambut dengan rasa gembira, baik oleh kalangan sarjana ilmu sosial maupun kalangan pemerintah. Akan tetapi,itu baru praduga, suatu hipnotis yang belum diuji kebenarannya secara actual, karena memang belum ada ahli sosiologi yang menangani masalah kehidupan agama dengan teknik yang memenuhi persyaratan ilmiah.[10]
Ketika mengkaji suatu agama, para peneliti biasanya terhalang oleh keberpihakan (subjektifitas) mereka kepada keyakinan agamanya. Oleh karna itu, para sosiolog agama akan berusaha menetralkan emisi mereka, ketika mengkaji agama yang berbeda dengan agama mereka sendiri. Walaupun mungkin hal itu tidak bisa lepas sama sekali, namun objektivitas terhadap penelitian agama sangat diharapkan dalam kajian sosiologi agama.[11]
Akhir-akhir ini masyarakat dihadapkan dengan masalah-masalah sosial yang semakin krusial yang tidak lepas dari kekuatan sosial yang bersumber dari persoalan politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Hal ini seringkali menimbulkan gejolak yang menjurus pada gerakan-gerakan negative yang bersifat kritis, dalam bentuk unjuk rasa, mimbar terbuka, demontrasi, dan lain sebagainya. Semua ini bersumber pada perbedaan presepsi dan kecemburuan sosial. Ini kadang-kadang, jika tidak terkendalikan, akan menjurus keberingasan massa. Masalah lain adalah keterbelakangan pendidikan dan pengajaran, dari persoalan buta huruf sampai kekurangan guru dan gedung sekolah, disamping masih terdapatnya sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi persyaratan mutu nasional akibat dari demonasi kurikulum agama, yang umumnya mengikuti pola pendidikan tradisional yang menutup anak didik dari nilai sekuler yang sudah menguasai masyarakat luas. Belum lagi problem besar kemiskinan, baik yang disebut kemiskinan structural dan non structural, yang apriori dapat dipastikan ada kaitannya dengan unsur-unsur “credo” keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh pemeluknya dan yang diterima dengan reladan tidak rela sebagai nasib yang dikehendaki tuhan. Lebih berat lagi dalah permasalahan kesatuan dari sekian banyak suku bangsa di tanah air, yang tidak dapat dipisahkan dari unsure-unsur keagamaan yang berbeda dan diyakini suku-suku sebagai pemeluknya yang berbeda pula. Bahkan, dewasa ini semakin disadari banyak cendekiawan yang yakin bahwa fenomena sosial yang disebut dengan ras, agama, suku merupakan problem nasional yang berat. Di samping itu, masih banyak dapat diketengahkan kesulitan-kesulitan yang bersumber pada masalah kurtural. Adanya tradisi budaya yang masih dipertahankan sebagai warisan bagi generasi muda yang kadang-kadang sebagian warisan itu menurut akal sehat kurang menguntungkan lagi bagi kelangsungan tata hidup masyarakat modern. Disini orang menghadapi bukan saja etnis, melainkan masalah sosiologi-kultural. Bukan lagi komunikasi antar suku bangsayang satu dengan yang lain,melainkan antara strata sosial yang satu dengan yang lain.[12]
Melihat begitu beratnya masalah yang dihadapi bangsa ini, maka dapat diajukan berbagai pertanyaan berikut. mana ilmu pengetahuan yang dirasa kompeten dan dapat diharapkan sanggup memecahkan masalah diatas dengan wajar, tehnologi, teologi, ilmu ekonomi, ilmu polotik, antropologi budaya atau ilmu hukum?. teologi saja misalnya, ia tidak dapat diharapkan mampu memecahkan persoalan, apalagi teologi yang masih berpegangan pada pola tradisional dan biasanya kurang menguasai pengetahuan sosiologis. munculnya usaha pengembangan kearah teoritis dan praktis dalam ilmu teologi, seperti teologi sosial, teologi bisnis, dewasa ini sesungguhnya merupakan jawaban dari kesempitan makana teologi yang sampai sekarang ini dianut oleh sebagian besar muslim di Indonesia. Dari teknologi pun juga belum cukup, karena teknik pembangunan dari sarana-sarana  disik adalah lain dari “teknik” menangani masalah sosial. Masyarakat tidak dapat digerakan dalam pembangunan ini dengan hanya ditawari teknologi-teknologi canggih, melainkan perlu teknik-teknik penyadaran akan perlunya kehidupan yang lebih baik. Untuk itu butuh ilmu-ilmu, misalnya psikologi atau sosiologi umum.[13]
Demikian pula ilmu ekonomi, hukum, antropologi dan yang lain lagi, tidak dapat diharapkan memberikan jawaban yang khas dibutuhkan, karena sudut pandang dan tujuannya memang khusus.maka, ilmu yang layak diharapkan sanggup memberikan jawaban yang khas dan tepat dan tepat dalam masalah-masalah tersebut di atas tinggallah sosiologi agama. yang dimaksud dengan ketepatan jawaban ialah bilamana dalam penelusuran masalah itu orang berbentur pada urat nadi kesulitan yang berpangkal pada sumber keagamaan. sekurangnya, demikian anggapan sejumlah agamawan tekemuka yang didukung penganut-penganut nya. Akan tetapi, apabila masalah ortodoksi (dogma dan moral), melainkan hanya masalah kebudayaan, pendeknya masalah sosiologis.[14]
Teori sosiologi tidak hanya berurusan dengan masalah-masalah perubahan sosial, masih banyak masalah-masalah sosiologis lainya yang sama pentingnya untuk diperhatikan. Namun pengalaman hidup dimasa masa terjadi perubahan pesat dan keprihatinan akan masa depan secara pribadi dan kolektif harus merangsang kita untuk melakukan refleksi, implikasi perubahan sosial. Jika sosiologi mempunyai arti dan relevan untuk sekarang, maka sosiologi juga harus mampu untuk membantu memahami isu-isu tersebut.[15]
Teori tersebut juga tidak memberikan formula dengan kekuatan magis untuk menginterpretasi kenyataan sosial atau meramalkan masa depan ataupun memberikan jalan keluar terhadap isu-isu intelektual atau masalah-masalah yang dihadaapi itu. Namun, kerangka konseptual dan intelektual dari perspektif sosiologi, serta gaya analisa yang diberikan oleh teori-teori tertentu dapat memahami kita dalam dunia sosial. Dan pada gilirannya dapat menunjang objektivitas, kepekaan dan dapat meningkatkan efektifitas dalam berhubungan dengan orang lain. Sementara itu, kita juga memperoleh kepuasan intelektual dari belajar mengenai strategi-strategi baru dalam menganalisis dan memahami kenyataan sosial.[16]
Dalam menelaah sesuatu, kita harus mulai membuat beberapa asumsi tentang sifat-sifat yang harus dipelajari.Seperangkat asumsi kerja disebut “perspektif”, suatu “pendekatan” atau kadang-kadang disebut juga “paradigma”.perspektif-perspektif yang digunakan dalam sosiologi agama, sebagaimana yang digunakan dalam sosiologi umumadalah sebagai berikut:
1.    Perspektif Interaksionis[17]
Perspektif ini tidak menyarankan teori –teori besar tentang masyarakat karena istilah “masyarakat”, “negara” dan “lembaga masyarakat” aalah abstraksi konseptual saja, sedangkan yang dapat ditelaah secara langsung hanyalah orang –orang dan interaksiny saja.
Para ahli interaksi simboli, seperti G.H. Mead (1863 – 1931)[18] dan C.H. Cooley (1846 – 1929)[19] , memusatkan perhatian nyaterhadap interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa orang –orang berinteraksi terutama dengan menggunakan simbol –simbol yang mencakup tanda , isyarat, dan yang paling penting, melalui kata- kata tertulis dan lisan. Suatu kata tidak memiliki makna yang melekat dalam kata itu sendiri, melainkan hanyalah suatu bunyi, dan baru akan memiliki makna bila orang sependapat bahwa bunyi tersebut mengandung suatu arti khusus. Dengan demikian kata –kata “ya” , “tidak” , “pergi”, “datang” dan ribuan bunyi lainnya adalah simbol –simbol karena melekatnya suatu arti pada setiap kata tersebut. Meskipun beberapa arti dapat dikomunikasi tanpa kata –kata sebagaimana diketahui oleh semua yang sedang bercinta, sebagian terbesar dapat dikomunikasikan secara lisan.[20]
Manusia tidak bereaksi terhadap dunia sekitar secara langsung mereka bereaksi terhadap makna yang mereka hubungkan dengan benda – benda dan kejadian –kejadian disekitar mereka:lampu lalu lintas, antrian pada loket karcis, pluit seorang polisi dan isyarat tangan. Seorang sosiolog dini, W.I. Thomas (1863 -1947)[21], mengungkapkan tentang definisi suatu situasi, yang mengutarakan bahwa kita hanya dapat bertindak tepat bila kita mengulurkan tangan kanannya, kita mengartikan sebagai suatu salam persahabatan: bila mendekat dengan tangan mengepal, maka situainya akan berlainan. Seseorang yang keliru mengartikan sesuat, umpanya berusaha lari padahal seharusnya bercumbu atau sebaliknya, akan tanpak seperti orang aneh. Namun dalam kehidupan nyata, kegaglan merumuskan situasi perilaku yang secara benar dan bereaksi dengan tepat dapat menimbulkan akibat- akibat yang kurang menyenangkan.[22]
Sebagaimana diungkapkan Berger dan Luckmann[23] dalam buku mereka the social construction of reality, masyarakat adalahsuatu kenyataan objektif, dalam arti orang, kelompok, dan lembaga –lembaga adalah nyata, adalah juga suatu kenyataan subjektif dalam arti bagi setiap orang dan lembaga- lembaga lain tergantung pada pandangan subjektif orang tersebut. Apakah sebagian besar orang sangat baik atau sangat keji, apakah polisi perlindungan atau penindas apakah perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau kepentingan pribadi, ini adalalah persepsi yang mereka bentuk dari pengalaman –pengalaman mereka sendiri dan persepsi ini merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberika penilaian tersebut.[24]
Para ahli dalam bidang perspektif interaksi modern, seperti Ervin Goffman[25] dan Herbert Blumer[26], menekan kan bahwa orang tidak menanggapi orang lain secara lansung, sebaliknya mereka menanggapi orang lain sesuai dengan “bagaimana mereka membayangkan orang itu”. Dalam perilaku manusia, kenyataan bukanlah suatu yang tanpak saja seperti gili –gili atau trotoar sepanjang jalan, kenyataan dibangun dalam alam pikiran orang-orang pada waktu mereka saling menilai dan menerka perasaan serta gerak hati satu sama lainnya.apakah seseorang aalah teman atau musuh, atau seorang yang asing, bukanlah karakteristik dari orang tersebut. Baik buruk nya, diukur oleh pandangan tentang dia. Dengan demikian saya menciptakan kenyataan dengan dia dalam pikiran saya sendiri dan kemudian saya ereaksi terhadap kenyataan yang telah saya bangun tersebut. Pembentukan kenyataan sosial ini berlangsung berkesinambungan sepanjang orang menetapkan perasaan- perasaan dan keinginan atas orang lain. Dengan demikian, orang –orang dengan siapa kita saling berhubungan dan batas- batas tertentu, adalah makhluk- mkhluk bayangan kita. Suatu “pembentukan kenyataan sosial” terjadi bilamana dua kelompok, misalnya manajer dan buruh, sampai pada seperangkat penilaian yang dipegang kuat terhadap masing-masing pihak. Dengan cara yang sama, kita mendefinisikan situasi dan menjadi bagian dari kenyataan yang kita tanggapi. Apakah suatu peraturan baru merupakan perlindungan atau suatu tekanan, diukur oleh definisi kita.
Ini tidak berarti bahwa semua kenyataan adalah subjektif, yakni hanya ada dalam pikiran. Ada juga fakta objektif dalam alam semesta, matahari, bulan dan bintang adalah nyata dan tetap akan berada disana, sekalipun tak ada manusia yang meihatnya. Manusia adalah nyata, mereka lahir dan mati, mereka melakukan tindakan – tindkan yang mengandung akibat. Namun, suatu fakta tidak dengan sendirinya mempunyai suatu makna. makna diberikan pada suatu fakta dan  tindakan manusia oleh manusia. Perspektif Interaksionis Simbolik memusatkan perhatian nya pada arti- arti apa yang ditemukan orang pada perilaku orang lain, bagaimana arti ini diturunkan dan bagaimana  orang menanggapinya. Para ahli perspektif interaksi telah banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan kepribadian da perilaku manusia. Akan tetapi, kurang membantu dalm studi terhadap kelompok –kelompok besar dan lembaga –lembaga sosial.
2.    Perspektif Fungsionalis[27]
Dalam perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang di anut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang labil dengan suau kecendrungan kearah keseimbangan, yaitu suatu kecendrungan untuk mempertahankan suatu sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Dalam perspektif fungsionalais, dengan Tallcott Tarsons,[28] Robert Merton[29]dan Kingsley sebagai juru bicara yang terkemuka, setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus menerus, karena hal itu fungsional. Jadi sekolah mendidik anak-anak, mempersiapkan para pegawai, mengambil tanggung jawab orang rua murid dalam sebagian waktu siang hari, dan sebaliknya.
Corak perilaku timbul secara fungsionl bermanfaat. Didaerah perbatasan Amerika dimana terdapat beberapa penginapan dan hanya sedikit orang mampu menyewannya, tumbuhlah suatu pola sikap yang penuh keramahtamahan. Keluarga-keluarga yang tengah berpergian pada waktu malam, merupakan tamu-tamu yang disambut hangat oleh setiap penduduk. Mereka yang berpergian itu membawa berita-berita pelipur kebosanan, tuan rumah menyediakan makanan dan penginapan. Dengan bertambah mantapnya daerah perbatasan, pola keramahtamahan tidak lagi penting dan menurun. Jadi pola-pola perilaku timbul untuk memenuhi kebutuhan dan hilang bila kebutuhan berubah.[30]
Perubahan sosial mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun tidak lama kemudian terjadi keseimbangan baru. Sebagai contoh, dalam sebagian besar sejarah, keluarga-keluarga besar sangat didambakan. Tingkat kematian tinggi dan keluarga besar membantu untuk meyakinkan adanya beberapa yang selamat. Khususnya di Amerika suatu benua yang sangat luas yang belum memiliki cukup tenaga kerja untuk melaksanakan pekerjaan, secara fungsional keluarga besar bermanfaat. Keluarga-keluarga itu menyediakan tenaga kerja. Persaudaraan dan jaminan masa tua itu merupakan hal yang baik, baik bagi perorangan maupun untuk masyarakat. Kini dengan padatnya penduduk dunia, dengan tingkat kematian yang rendah, keluarga tidak lagi merupakan kebanggaan. Dengan kata lain, keluarga besar menjadi gangguan fungsional dan mengancam kesejahteraan masyarakat maka keseimbangan baru sedang dalam proses dimana, ganti tingkat kematian dan tingkat kelahiran tinggi, mudah-mudahan kita mengalami tingkat kelahiran dan kematian yang rendah. Jadi suatu nilai atau kejadian pada suatu waktu atau tempat dapat menjadi fungsional dan disfungsional pada saat dan tempat yang berbeda.[31]
Bila suatu perubahaan sosial tertentu, mempromosikan suatu keseimbangan serasi, hal tersebut dianggap fungsional, bila perubahan sosial tersebut tidak membawa pengaruh, maka hal tersebut tidak fungsional. Dalam suatu negara demokratis, partai-partai politik adalah fungsional, sedangkan pemboman, pembunuhan, dan terorisme politik adalah gangguan fungsional; perubahan-perubahan dalam kamus politik atau perubahan dalam lambang partai adalh tidak fungsional. [32]
3.    Perspektif evolusionis [33]
Perspektif evolusioner adalah perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Berdasarkan pada karya Auguste Comte[34](1798-1857) dan Harbert Spancer[35](1820-1903) perspektif ini memberikan keterangan yang memuaskan tentang bagaimana masyarakat menusia berkembang dan tumbuh. Setelah beberapa dasawarsa kurang mendapat perhatian, kini perspektif ini kembali berperan.
Para sosiolog memekai perspektif evolusioner, mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mengetahui apakah ada urutan umum yang dapat ditemukan. Mungkin karna mereka bertanya-tanya apakah paham komunisme china akan berkembang sama seperti paham komunisme rusia yang memperoleh kekuasaan 3 dasawarsa lebih dahulu ataukah proses indusrtialisasi terhadap keluarga di negara berkembang akan sama dengan yang ditemui di negara berat. Perspektif evolusioner adalah perspektif yang aktif, sekalipun bukan merupakan perspektif utama dalam sosiologi.

4.    Perspektif konflik[36]
Meskipun berasal dari karya para sarjana, namun perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Kalr Marx[37] (1818-1883), yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Setelah untuk waktu yang lama perspektif konflik diabaikan oleh para sosiolog. Baru-baru ini perspektif tersebut telah dibangkitkan kembali oleh C. Wright Mills[38] (1956-1959), Lewis A.Coser,[39] Raimond Aron,[40] Ralf Dahdendorf[41] (1959-1964), Randall Collins[42], dan Rollin Chanbliss.[43] Bilamana para fungsionalis melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, maka para teoritis konflik melihat masyarakat sebagai benda dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok dan kelas. Sekalipu Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas untuk memiliki kekayaan yang produktif, para teoritis konflik modern berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai penentang kleas bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.
Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama karaeana kekuatan dari kelompok atau kelas dominan. Maka mereka mengklaim bahwa “nilai- nilai kebersamaan” yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah benar-benar suatu konsensus yang benar, sebaliknya konsensus tersebut adalah ciptakan kelompok atau kelas yang dominan untuk melaksanakan nila- nilai serta peraturan mereka terhadap semua orang. Menurut para teoritisi konflik para fungsionalis gagl mengajukan pertanyaan “secara fungsional bermanfaat untuk siapa?” para teoritisi konflik menuduh para fungsionalis berkecendrungan konservatif, dalam arti para teoritisi konflik berasumsi bahwa keseimbangan yang serasi bermanfaat bagi setiap orang, sedangkan hal itu menguntungkan beberapa orang dan merugikan sebagian yang lainnya. Para teoritisi konflik memandang keseimbangan suatu masyarakat yang serasi sebagai suatu hayalan dari mereka yang tidak berhasil mengetahui bagaiman akelompok yang dominan telah membungkam mereka yang di eksploitasi. [44]
Manfaat (contibution)  penelitian sosiologi dapat di tinjau dari berbagai segi. Pertama, segi internal ada tiga penelitian yaitu murni, masalah dan terpan. Penelitian murni bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara teoritis, penelitian masalah bertujuan untuk memecahkan masalah dalam perkembangan teori, dan penelitian terapan bertujuan menerapkan konsep untuk mencari solusi dari problem yang dihadapi masyarakat dan pemerintah. Kedua, segi eksternal yaitu hasil –hasil penelitian sosiologi dapat dimanfaatkan oleh ilmu –ilmu lain dan memberi masukan yang berguna bagi pembangunan, baik sebagai bahan perencanaan, proses pelaksanaan maupun tahap evaluasi.[45]

C. ANALISIS DAN DISKUSI
1.    Analisis
a.    Fungsi adalah manfaat atau kegunaan dari sesuatu. Fungsia dalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat atau pelaksanaannya.
b.    Kontribusi  berasal  dari  bahasa  inggris  yaitu  contribute,  contribution, maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan. kontribusi adalah sumbangan yang telah dirasakan manfaatnya.
c.    Fungsi sosiologi agama adalah menyelesaikan konflik- konflik yang terdapat dalam masyarakan beragama serta mengatur bagaimana umat beragama itu hidup bermasyarakat yang berbeda agama dengannya.
d.   kontribusi sosiologi agama memberikan masukan yang berguna bagi pembangunan, baik sebagai bahan perencanaan, proses pelaksanaan maupun tahap evaluasi serta memberikan sumbangan terhadap kehidupan bermasyarakat sehingga masyarakat dapat hidup dengan sejahtera.

2.    Diskusi
D.  KESIMPULAN

1.    Pengertian fungsi secara etimologi berarti kegunaan, manfaat, peran, tugas. Sedangkan kontribusi  berasal  dari  bahasa  inggris  yaitu  contribute,  contribution, maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan.

2.    Fungsi adalah sesuatu yang masih bersifat umum, sebagai manfaat dari sebuah kegiatan yang kita lakukan. Kontribusi adalah segala bentuk tindakan dan pemikiran yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bersama.


3.    Sosiologi agama berfungsi membantu memecahkan masalah sosial-religius dikarenakan, ilmu ini bukan untuk membuktikan kebenaran ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama. Sehingga ilmu ini disebut juga dengan ilmu praktis, empiris dan positif.

4.    Sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai, norma, tradisi  dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan yang ada.



DAFTAR RUJUKAN

Abdulloh, Syamsudin. 1997. Agama dan Masyarakat Pendekatam Sosiologi Agama. Ciputat: Logos
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia-UMM Press
Kahmad, Dadang. 2009.Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mubaraq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. Malang: UIN Press.
Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Saebany, Beni Ahmad.2007. Sosiologi Agama. Bandung: Reflika Aditama.
http://Sosiologi-Agama\SHOLIHUL HADY -Sosiologi-Agama.
http://SOSIOLOGI-AGAMA-DALAM-KONSEPSI MARK-di-danel.



[1] eko endarmoko, tesaurus bahasa indonesia(jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007).387
[3]eko endarmoko, tesaurus bahasa indonesia(jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007).532
[4]Anne Ahira:2012
[5] http://Sosiologi-Agama\SHOLIHUL HADY -Sosiologi-Agama.
[6] http://Sosiologi-Agama\SHOLIHUL HADY -Sosiologi-Agama.
[7] Dadang, kahmad .Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya.

[8][8]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi  Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 25.
[9]Ibid., 26.
[10]Ibid., 26.
[11] Kahmad, Sosiologi Agama, 47.
[12]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi  Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 27.
[13]Ibid., 27.
[14]Ibid., 28.
[15]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 19.
[16]Doyne Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Moderen 1. Terjemahan (Jakarta:Gramedia, 1994), 25.
[17]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi  Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 13-14.
[18]Lihat George Herbet Mead, Mind, self and Socienty(Chicago:University of Cicago, 1934).
[19]Lihat Charles Horton Cooley, Human Nature And The Social Order (New York:Schocken Books, 1964).
[20]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 21
[21]Lihat William I. Thomas, The Unadjusted Girl (Boston: Little Brown, 1923)
[22]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 21 - 22

[23]Lihat Petter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Constrution of Reality (New York: Doubleday, 1966).
[24]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 22.
[25]Lihat Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York Doubleday, 1966).
[26]Lihat Herbert Blumer, Symbolic Interationmisn: Perspective and Method (New Jersey: Unwin,1969).
[27]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi  Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 15.
[28]Lihat Tallcott Tarsons, The Structure of Social Action (New York: McGraw-Hill,1937).
[29]Lihat Robert Merton, Social Theory and Social Structure (New York: Free press, 1968).
[30]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 25.
[31]Ibid 25.
[32]Ibid 26
[33]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi  Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 16.
[34] Lihat Aguste Comte, The Positive phylosophy of Auguste Comte (New York: Calvin Blachard, 1858).
[35]Lihat Herbert Spancer, Evolution of Society: selection from Harberd Spanser’s Principles of Sociology (Chicago:University of Chicago, 1967).
[36]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi  Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 17.
[37]Lihat Karl Mark Ekonomi, Class and Social Revolution (London:Michael Joseph, 1971).
[38]Lihat C. Wight Milss, The Power Elite (New York Oxford University Press, 1956).
[39]Lihat Lewis Coser, The Functions Of Social Conflict (Glencoe: Free Press, 1956).
[40]Lihat Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought (New York: Basic Books, 1967).
[41]Lihat Raff Dhadendorf, Class and Class Conflict industrial Socienty (Standford: Stndford University Press 1959).
[42]Lihat Randell Collin, Conflict in Sociology: Toward An Explanatioriy Science (New York: Academic Press 1975).
[43]Lihat Rollin Chambilss, Social Thought (New York: Dryden, 1954).
[44]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 28.
[45]Soerjono Soekanto, Sosiologi (Suatu Pengantar Jakarta: Rajawali Pers, 1987), 380 - 383

0 komentar:

Posting Komentar