A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Alhamdulillah
puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami kesempatan
mampu menyelesaikan tugas ini, kami dari kelompok tiga jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan kelas B telah berhasil menyelesaikan tugas makalah dari Bpk. Dr. H. Zulfi Mubaroq
M,Ag dengan judul “Fungsi dan Kontibusi Sosiologi
Agama” dengan tepat waktu untuk
mata kuliah Sosiologi Agama. Besar harapan kami,
makalah ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran guna mengembangkan jati
diri calon akademis dan prefesional perguruan tinggi khususnya bidang
pendidikan dan pengajaran, juga dimaksudkan sebagai perekat agar mahasiswa
tidak kehilangan arah.
Urgensi
topik kami yang berjudul “Fungsi dan Kontibusi Sosiologi Agama” adalah yang
pertama mengenai pengertian fungsi dan kontribusi.Disini kami membahas definisi
fungsi dan kontribusi secaraetimologi dan terminologi.Yang kedua, fungsi
sosiologi agama, kontribusi sosiologi agama. Disini kami mencoba untuk membahas
itu karena sekang ini bayak sekali masalah – masalah yang terjadi dalam lingkup
sosial religius.
Isi global makalah ini membahas fungsi
dan kontribusi sosiologi agama yang mana dapat membantu dalam menjawab
problematika yang ada dalam lingkup masyarakat beragama pada umumnya.
2.
Tujuan Pembahasan
a. Memahami pengertian fungsi dan kontribusi secara etimologi.
b. Memahami pengertian fungsi dan kontribusi secara terminologi.
c. Memahami fungsi sosiologi agama
d. Memahami kontribusi sosiologi agama.
3.
Rumusan Masalah
a. Apa pengertian fungsi dan kontribusi secara etimologi ?
b. Apa pengertian fungsi dan kontribusi secara terminologi ?
c. Apa fungsi sosiologi agama ?
d. Apa kontribusi sosiologi agama?
B. POKOK PEMBAHASAN
1. Pengertian fungsi dan kontribusi secara
etimologi
Pengertian
fungsi secara etimologi
berarti kegunaan, manfaat, peran, tugas.[1] Fungsi adalah
sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat atau
pelaksanaannya.[2]
Sedangkan Kontribusi berasal
dari bahasa inggris
yaitu contribute, contribution, maknanya adalah keikutsertaan,
keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan.kontribusijuga bisa berarti andil, bantuan, jasa,
pemberian, pertolongan, saham, sokongan, sumbangan, partisipasi, peran,
peranan.[3]
2. Pengertian fungsi dan kontribusi secara
terminologi
Fungsi adalah sesuatu yang masih bersifat umum
sebagai manfaat dari apa yang kita lakukan. ( Fungsi adalah kegunaan, manfaat,
peranan yang dapat diperoleh dari sesuatu hal)
Kontribusi
adalah segala bentuk tindakan dan pemikiran yang bertujuan untuk mewujudkan
cita-cita bersama. Berarti dalam
hal ini kontribusi
dapat berupa materi
atau tindakan. Hal
yang bersifat materi misalnya
seorang individu memberikan
pinjaman terhadap pihak lain demi kebaikan bersama. Kontribusi
dalam pengertian sebagai tindakan yaitu
berupa perilaku yang
dilakukan oleh individu
yang kemudian memberikan dampak baik
positif maupun negatif
terhadap pihak lain.
Sebagai contoh, seseorang melakukan
kerja bakti di
daerah rumahnya demi
menciptakan suasana asri di
daerah tempat ia
tinggal sehingga memberikan
dampak positif bagi penduduk maupun pendatang. Dengan
kontribusi berarti individu
tersebut juga berusaha
meningkatkan efisisensi dan efektivitas
hidupnya. Hal ini
dilakukan dengan cara
menajamkan posisi perannya, sesuatu yang kemudian mejadi bidang
spesialis, agar lebih tepat sesuai
dengan kompetensi. Kontribusi
dapat diberikan dalam
berbagai bidang yaitu pemikiran,
kepemimpinan,
profesionalisme, finansial, dan
lainnya.[4]
3. Fungsi Sosiologi Agama
Munculnya
Sosiologi Agama dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil
bagi instansi keagamaan. Sebagaimana Sosiologi Positif telah
membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam
masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan
masyarakat, demikian pula Sosiologi Agama bermaksud membantu para pemimpin
agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya
dengan masalah-masalah sosial non keagamaan. Dalam bidang teoritis di mana para
ahli keagamaan merupakan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang
sulit diperoleh dari teologi, maka Sosiologi Agama dapat memberikan
sumbangannya. Terutama Sosiologi Agama Kristen yang ternyata sudah lebih maju
dari pada Sosiologi Agama di luar Agama Kristen, dapat memberikan sumbangan
yang berharga khususnya kepada teologi tentang Gereja (ekklesiogi), kepada
misiologi, dan tidak kurang kepada teologi pastoral, pun pula kepada teologi
pembebasan dan teologi pembangunan.[5]
Jika kita telaah satu persatu,
fungsi utama agama adalah mengurangi kegelisahan, memantapkan kepercayaan
kepada diri sendiri dan yang terpenting adalah memelihara keadaan manusia agar
tetap siap menghadapi realitas.Namun, ada yang juga yang mengatakan bahwa
fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul
di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya
keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.Oleh karena itu, diharapkan agama
menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya.
Dalam bidang teoritis dimana para ahli keagamaan
memerlukan konsep-konsep dan resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari
teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangannya.
Pada
prinsipnya sosiologi agama sama dengan sosiologi umum yang membedakannya adalah
obyek materinya. Sosiologi umum membicarakan semua fenomena yang ada dalam
masyarakat secara umum, sedangkan sosiologi agama membicarakan salah satu aspek
dari berbagai fenomena sosial yaitu agama dalam perwujudan agama. Sosiologi
agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan
suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar
agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang
bukan agama seperti magic, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam kehidupan masyarakat pedesaan agama masih
berperan dalam berbagai aspek kehidupan, bahwa hampir disetiap kegiatan selalu
melibatkan agama baik itu dalam ekonomi, pendidikan, politik dan sosial
lainnya. Berbeda dengan masyarakat perkotaan kecil, pada masyarakat seperti ini
agama mulai kurang peranannya dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Ide-ide
modernisasi selalu terhambat oleh pemikiran-pemikiran keagamaan yang membatasi
kreativitas bebas dalam melaksanakan pembaruan sosial. Apalagi di masyarakat
kota metropolitan, pada masyarakat seperti ini peran agama hampir hanya dalam
kehidupan individu dan keluarga saja.
Menurut pendapat para ahli, yaitu Durkheim, fungs sosiologi
agama adalah mendukung dan melestarikan masyarakat yang sudah ada. Djamari
berpendapat bahwa ada 2 implikasi sosiologi agama bagi agama, yaitu:
1. menambah pengertian tentang
hakikat fenomena agama diberbagai kelompok masyarakat maupun pada tingkat
individu
2. suatu kritik sosiologis tentang
peran agama dalam masyarakat dapat membantu kita untuk menentukan masalah
teologi yang mana yang paling berguna dalam masyarakat, baik dalam arti sekuler
maupun religious.
Dengan
cara ini, sosiologi agama memberikan sumbangan kepada diolog keagamaan di dalam
masyarakat. Semua pelopor sosiologi Eropa, seperti Karl Marx, Weber, Durkheim
serta simmel berpendapat bahwa untuk mengerti masyarakat modern, seseorang
harus mengerti peran penting agama dalam masyarakat.[6]
4. Kontribusi Sosiologi
Agama
Munculnya Sosiologi
Agama dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil bagi
instansi keagamaan.. Sebagai sosiologi positif ia
telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan yang
muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan
pengembangan masyarakat, demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para
pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah
beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan, memberikan pengetahuan
tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat,
membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku
keberagamaan kita dalam kehidupan bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi
agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai, norma, tradisi dan
keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan yang ada.
Tanpa hal itu, mejadi alasan untuk timbulnya konflik di antara umat beragama,
membuat kita lebih tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala
social keberagamaan masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat
dan akurat terhadap setiap situasi social yang kita hadapi.[7]
Sosiologi agama adalah cabang dan
juga bagian vertikal dari sosiologi umum. Ia merupakan suatu ilmu yang
menduduki tempat yang “profan”. Ia bukan ilmu yang sacral: bukan seperti ilmu
teologi, tetapi ilmu profane, yang positif dan empiris yang dilakukan dan
dibina oleh sarjan sosial,entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud
ilmu tersebut bukan untuk membuktikan kebenaran(objektivitas) ajaran agama,
melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ihwal masyarakat
agama. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa sosiologi agama mempunyai kedudukan
yang sama tingginya dengan rumpun ilmu sosial yang lain. Namun, bila dilihat
sejarah kelahiran dan berkembangnya sosiologi agama itu, maka ilmu ini lebih
merupakan ilmu terpakai dari pada ilmu teoritas murni. Ia diciptakan oleh
pendukung-pendukungnya untuk kepentingan praktis, antara lain untuk memecahkan
masalah sosio-religius yang timbul waktu di eropa akibat kurangnya pengetahuan
tentang segi-segi sosiologis kehidupan beragama. Sudah barang tentu bahwa
keterangan ilmiah yang merupakan hasil sementara dan masih bertambah jumlahnya,
pada tahap berikutnya akan merupakan bahan-bahan yang berguna untuk menyusun
dan mengembangkan sosiologo agama bercorak teori murni.[8]
Kegunaan sosiologi dalam forum
keilmuan merupakan sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan.
Sebagaimana sosiologi positif telah membuktikan daya gunanya dalam hal
mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukan cara-cara
ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian pula sosiologi
agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah
sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah sosial nonkeagamaan.
Dalam bidang teoritis dimana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan
resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi
agama dapat memberikan sumbangan. Terutama sosioogi keristen yang ternyata
sudah lebih majudari pada sosiologi agama dari luar agama Kristen, dapat
memberikan sumbangannya.[9]
Jika kita lihat masyarakat Indonesia
sebagai Negara yang agamis, dimana kehidupan keagamaan masih memainkan peranan
penting yang dominant bagi kehidupan bangsa dan Negara, namun sebaliknya juga
sering merupakan sumber ketegangan(konflik) yang membawa banayk keresahan: maka
kita dapatmembuat suatu praduga yang kuat bahwa sosiologi agama dapat lahir dan
dibina dengan baik dan pecintanya, niscaya hal itu akan memberikan sumbangan
yang sangat berharga dan kehadirannya akan disambut dengan rasa gembira, baik
oleh kalangan sarjana ilmu sosial maupun kalangan pemerintah. Akan tetapi,itu
baru praduga, suatu hipnotis yang belum diuji kebenarannya secara actual,
karena memang belum ada ahli sosiologi yang menangani masalah kehidupan agama
dengan teknik yang memenuhi persyaratan ilmiah.[10]
Ketika mengkaji suatu agama, para
peneliti biasanya terhalang oleh keberpihakan (subjektifitas) mereka kepada
keyakinan agamanya. Oleh karna itu, para sosiolog agama akan berusaha
menetralkan emisi mereka, ketika mengkaji agama yang berbeda dengan agama
mereka sendiri. Walaupun mungkin hal itu tidak bisa lepas sama sekali, namun
objektivitas terhadap penelitian agama sangat diharapkan dalam kajian sosiologi
agama.[11]
Akhir-akhir ini masyarakat
dihadapkan dengan masalah-masalah sosial yang semakin krusial yang tidak lepas
dari kekuatan sosial yang bersumber dari persoalan politik, ekonomi, sosial,
dan keagamaan. Hal ini seringkali menimbulkan gejolak yang menjurus pada gerakan-gerakan
negative yang bersifat kritis, dalam bentuk unjuk rasa, mimbar terbuka,
demontrasi, dan lain sebagainya. Semua ini bersumber pada perbedaan presepsi
dan kecemburuan sosial. Ini kadang-kadang, jika tidak terkendalikan, akan
menjurus keberingasan massa. Masalah lain adalah keterbelakangan pendidikan dan
pengajaran, dari persoalan buta huruf sampai kekurangan guru dan gedung
sekolah, disamping masih terdapatnya sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi
persyaratan mutu nasional akibat dari demonasi kurikulum agama, yang umumnya
mengikuti pola pendidikan tradisional yang menutup anak didik dari nilai
sekuler yang sudah menguasai masyarakat luas. Belum lagi problem besar
kemiskinan, baik yang disebut kemiskinan structural dan non structural, yang
apriori dapat dipastikan ada kaitannya dengan unsur-unsur “credo” keagamaan dan
kepercayaan yang dianut oleh pemeluknya dan yang diterima dengan reladan tidak
rela sebagai nasib yang dikehendaki tuhan. Lebih berat lagi dalah permasalahan
kesatuan dari sekian banyak suku bangsa di tanah air, yang tidak dapat
dipisahkan dari unsure-unsur keagamaan yang berbeda dan diyakini suku-suku
sebagai pemeluknya yang berbeda pula. Bahkan, dewasa ini semakin disadari
banyak cendekiawan yang yakin bahwa fenomena sosial yang disebut dengan ras,
agama, suku merupakan problem nasional yang berat. Di samping itu, masih banyak
dapat diketengahkan kesulitan-kesulitan yang bersumber pada masalah kurtural.
Adanya tradisi budaya yang masih dipertahankan sebagai warisan bagi generasi
muda yang kadang-kadang sebagian warisan itu menurut akal sehat kurang
menguntungkan lagi bagi kelangsungan tata hidup masyarakat modern. Disini orang
menghadapi bukan saja etnis, melainkan masalah sosiologi-kultural. Bukan lagi
komunikasi antar suku bangsayang satu dengan yang lain,melainkan antara strata
sosial yang satu dengan yang lain.[12]
Melihat begitu beratnya masalah yang dihadapi bangsa ini, maka
dapat diajukan berbagai pertanyaan berikut. mana ilmu pengetahuan yang dirasa
kompeten dan dapat diharapkan sanggup memecahkan masalah diatas dengan wajar,
tehnologi, teologi, ilmu ekonomi, ilmu polotik, antropologi budaya atau ilmu
hukum?. teologi saja misalnya, ia tidak dapat diharapkan mampu memecahkan
persoalan, apalagi teologi yang masih berpegangan pada pola tradisional dan
biasanya kurang menguasai pengetahuan sosiologis. munculnya usaha pengembangan
kearah teoritis dan praktis dalam ilmu teologi, seperti teologi sosial, teologi
bisnis, dewasa ini sesungguhnya merupakan jawaban dari kesempitan makana
teologi yang sampai sekarang ini dianut oleh sebagian besar muslim di
Indonesia. Dari teknologi pun juga belum cukup, karena teknik pembangunan dari
sarana-sarana disik adalah lain dari
“teknik” menangani masalah sosial. Masyarakat tidak dapat digerakan dalam
pembangunan ini dengan hanya ditawari teknologi-teknologi canggih, melainkan
perlu teknik-teknik penyadaran akan perlunya kehidupan yang lebih baik. Untuk itu butuh ilmu-ilmu, misalnya
psikologi atau sosiologi umum.[13]
Demikian
pula ilmu ekonomi, hukum, antropologi dan yang lain lagi, tidak dapat
diharapkan memberikan jawaban yang khas dibutuhkan, karena sudut pandang dan
tujuannya memang khusus.maka, ilmu yang layak diharapkan sanggup memberikan
jawaban yang khas dan tepat dan tepat dalam masalah-masalah tersebut di atas
tinggallah sosiologi agama. yang dimaksud dengan ketepatan jawaban ialah
bilamana dalam penelusuran masalah itu orang berbentur pada urat nadi kesulitan
yang berpangkal pada sumber keagamaan. sekurangnya, demikian anggapan sejumlah
agamawan tekemuka yang didukung penganut-penganut nya. Akan tetapi, apabila
masalah ortodoksi (dogma dan moral), melainkan hanya masalah kebudayaan,
pendeknya masalah sosiologis.[14]
Teori
sosiologi tidak hanya berurusan dengan masalah-masalah perubahan sosial, masih
banyak masalah-masalah sosiologis lainya yang sama pentingnya untuk
diperhatikan. Namun pengalaman hidup dimasa masa terjadi perubahan pesat dan
keprihatinan akan masa depan secara pribadi dan kolektif harus merangsang kita
untuk melakukan refleksi, implikasi perubahan sosial. Jika sosiologi mempunyai
arti dan relevan untuk sekarang, maka sosiologi juga harus mampu untuk membantu
memahami isu-isu tersebut.[15]
Teori
tersebut juga tidak memberikan formula dengan kekuatan magis untuk
menginterpretasi kenyataan sosial atau meramalkan masa depan ataupun memberikan
jalan keluar terhadap isu-isu intelektual atau masalah-masalah yang dihadaapi
itu. Namun, kerangka konseptual dan intelektual dari perspektif sosiologi,
serta gaya analisa yang diberikan oleh teori-teori tertentu dapat memahami kita
dalam dunia sosial. Dan pada gilirannya dapat menunjang objektivitas, kepekaan
dan dapat meningkatkan efektifitas dalam berhubungan dengan orang lain.
Sementara itu, kita juga memperoleh kepuasan intelektual dari belajar mengenai
strategi-strategi baru dalam menganalisis dan memahami kenyataan sosial.[16]
Dalam
menelaah sesuatu, kita harus mulai membuat beberapa asumsi tentang sifat-sifat
yang harus dipelajari.Seperangkat asumsi kerja disebut “perspektif”, suatu
“pendekatan” atau kadang-kadang disebut juga “paradigma”.perspektif-perspektif
yang digunakan dalam sosiologi agama, sebagaimana yang digunakan dalam
sosiologi umumadalah sebagai berikut:
1.
Perspektif
Interaksionis[17]
Perspektif
ini tidak menyarankan teori –teori besar tentang masyarakat karena istilah
“masyarakat”, “negara” dan “lembaga masyarakat” aalah abstraksi konseptual
saja, sedangkan yang dapat ditelaah secara langsung hanyalah orang –orang dan
interaksiny saja.
Para
ahli interaksi simboli, seperti G.H. Mead (1863 – 1931)[18]
dan C.H. Cooley (1846 – 1929)[19] ,
memusatkan perhatian nyaterhadap interaksi antara individu dan kelompok. Mereka
menemukan bahwa orang –orang berinteraksi terutama dengan menggunakan simbol –simbol
yang mencakup tanda , isyarat, dan yang paling penting, melalui kata- kata
tertulis dan lisan. Suatu kata tidak memiliki makna yang melekat dalam kata itu
sendiri, melainkan hanyalah suatu bunyi, dan baru akan memiliki makna bila
orang sependapat bahwa bunyi tersebut mengandung suatu arti khusus. Dengan
demikian kata –kata “ya” , “tidak” , “pergi”, “datang” dan ribuan bunyi lainnya
adalah simbol –simbol karena melekatnya suatu arti pada setiap kata tersebut.
Meskipun beberapa arti dapat dikomunikasi tanpa kata –kata sebagaimana
diketahui oleh semua yang sedang bercinta, sebagian terbesar dapat
dikomunikasikan secara lisan.[20]
Manusia
tidak bereaksi terhadap dunia sekitar secara langsung mereka bereaksi terhadap
makna yang mereka hubungkan dengan benda – benda dan kejadian –kejadian
disekitar mereka:lampu lalu lintas, antrian pada loket karcis, pluit seorang
polisi dan isyarat tangan. Seorang sosiolog dini, W.I. Thomas (1863 -1947)[21],
mengungkapkan tentang definisi suatu situasi, yang mengutarakan bahwa kita
hanya dapat bertindak tepat bila kita mengulurkan tangan kanannya, kita
mengartikan sebagai suatu salam persahabatan: bila mendekat dengan tangan
mengepal, maka situainya akan berlainan. Seseorang yang keliru mengartikan
sesuat, umpanya berusaha lari padahal seharusnya bercumbu atau sebaliknya, akan
tanpak seperti orang aneh. Namun dalam kehidupan nyata, kegaglan merumuskan
situasi perilaku yang secara benar dan bereaksi dengan tepat dapat menimbulkan
akibat- akibat yang kurang menyenangkan.[22]
Sebagaimana
diungkapkan Berger dan Luckmann[23]
dalam buku mereka the social construction
of reality, masyarakat adalahsuatu kenyataan objektif, dalam arti orang,
kelompok, dan lembaga –lembaga adalah nyata, adalah juga suatu kenyataan
subjektif dalam arti bagi setiap orang dan lembaga- lembaga lain tergantung
pada pandangan subjektif orang tersebut. Apakah sebagian besar orang sangat
baik atau sangat keji, apakah polisi perlindungan atau penindas apakah
perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau kepentingan pribadi, ini
adalalah persepsi yang mereka bentuk dari pengalaman –pengalaman mereka sendiri
dan persepsi ini merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberika penilaian
tersebut.[24]
Para
ahli dalam bidang perspektif interaksi modern, seperti Ervin Goffman[25]
dan Herbert Blumer[26],
menekan kan bahwa orang tidak menanggapi orang lain secara lansung, sebaliknya
mereka menanggapi orang lain sesuai dengan “bagaimana mereka membayangkan orang
itu”. Dalam perilaku manusia, kenyataan bukanlah suatu yang tanpak saja seperti
gili –gili atau trotoar sepanjang jalan, kenyataan dibangun dalam alam pikiran
orang-orang pada waktu mereka saling menilai dan menerka perasaan serta gerak
hati satu sama lainnya.apakah seseorang aalah teman atau musuh, atau seorang
yang asing, bukanlah karakteristik dari orang tersebut. Baik buruk nya, diukur
oleh pandangan tentang dia. Dengan demikian saya menciptakan kenyataan dengan
dia dalam pikiran saya sendiri dan kemudian saya ereaksi terhadap kenyataan
yang telah saya bangun tersebut. Pembentukan kenyataan sosial ini berlangsung
berkesinambungan sepanjang orang menetapkan perasaan- perasaan dan keinginan
atas orang lain. Dengan demikian, orang –orang dengan siapa kita saling
berhubungan dan batas- batas tertentu, adalah makhluk- mkhluk bayangan kita.
Suatu “pembentukan kenyataan sosial” terjadi bilamana dua kelompok, misalnya
manajer dan buruh, sampai pada seperangkat penilaian yang dipegang kuat
terhadap masing-masing pihak. Dengan cara yang sama, kita mendefinisikan
situasi dan menjadi bagian dari kenyataan yang kita tanggapi. Apakah suatu
peraturan baru merupakan perlindungan atau suatu tekanan, diukur oleh definisi
kita.
Ini
tidak berarti bahwa semua kenyataan adalah subjektif, yakni hanya ada dalam
pikiran. Ada juga fakta objektif dalam alam semesta, matahari, bulan dan
bintang adalah nyata dan tetap akan berada disana, sekalipun tak ada manusia
yang meihatnya. Manusia adalah nyata, mereka lahir dan mati, mereka melakukan
tindakan – tindkan
yang mengandung akibat. Namun, suatu fakta tidak dengan sendirinya mempunyai
suatu makna. makna diberikan pada suatu fakta dan tindakan manusia oleh manusia. Perspektif
Interaksionis Simbolik memusatkan perhatian nya pada arti- arti apa yang
ditemukan orang pada perilaku orang lain, bagaimana arti ini diturunkan dan
bagaimana orang menanggapinya. Para ahli
perspektif interaksi telah banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan
kepribadian da perilaku manusia. Akan tetapi, kurang membantu dalm studi
terhadap kelompok –kelompok besar dan lembaga –lembaga sosial.
2.
Perspektif
Fungsionalis[27]
Dalam
perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang
bekerja sama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak
teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang di anut oleh sebagian
besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang labil
dengan suau kecendrungan kearah keseimbangan, yaitu suatu kecendrungan untuk
mempertahankan suatu sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Dalam
perspektif
fungsionalais, dengan
Tallcott Tarsons,[28]
Robert Merton[29]dan
Kingsley sebagai juru bicara yang terkemuka, setiap kelompok atau lembaga
melaksanakan tugas tertentu dan terus menerus, karena hal itu fungsional. Jadi
sekolah mendidik anak-anak, mempersiapkan para pegawai, mengambil tanggung
jawab orang rua murid dalam sebagian waktu siang hari, dan sebaliknya.
Corak
perilaku timbul secara fungsionl bermanfaat. Didaerah perbatasan Amerika dimana
terdapat beberapa penginapan dan hanya sedikit orang mampu menyewannya,
tumbuhlah suatu pola sikap yang penuh keramahtamahan. Keluarga-keluarga yang
tengah berpergian pada waktu malam, merupakan tamu-tamu yang disambut hangat
oleh setiap penduduk. Mereka yang berpergian itu membawa berita-berita pelipur
kebosanan, tuan rumah menyediakan makanan dan penginapan. Dengan bertambah
mantapnya daerah perbatasan, pola keramahtamahan tidak lagi penting dan
menurun. Jadi pola-pola perilaku timbul untuk memenuhi kebutuhan dan hilang
bila kebutuhan berubah.[30]
Perubahan
sosial mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun tidak lama
kemudian terjadi keseimbangan baru. Sebagai contoh, dalam sebagian besar
sejarah, keluarga-keluarga besar sangat didambakan. Tingkat kematian tinggi dan
keluarga besar membantu untuk meyakinkan adanya beberapa yang selamat.
Khususnya di Amerika suatu benua yang sangat luas yang belum memiliki cukup
tenaga kerja untuk melaksanakan pekerjaan, secara fungsional keluarga besar
bermanfaat. Keluarga-keluarga itu menyediakan tenaga kerja. Persaudaraan dan
jaminan masa tua itu merupakan hal yang baik, baik bagi perorangan maupun untuk
masyarakat. Kini dengan padatnya penduduk dunia, dengan tingkat kematian yang
rendah, keluarga tidak lagi merupakan kebanggaan. Dengan kata lain, keluarga
besar menjadi gangguan fungsional dan mengancam kesejahteraan masyarakat maka
keseimbangan baru sedang dalam proses dimana, ganti tingkat kematian dan
tingkat kelahiran tinggi, mudah-mudahan kita mengalami tingkat kelahiran dan
kematian yang rendah. Jadi suatu nilai atau kejadian pada suatu waktu atau
tempat dapat menjadi fungsional dan disfungsional pada saat dan tempat yang
berbeda.[31]
Bila
suatu perubahaan sosial tertentu, mempromosikan suatu keseimbangan serasi, hal
tersebut dianggap fungsional, bila perubahan sosial tersebut tidak membawa pengaruh,
maka hal tersebut tidak fungsional. Dalam suatu negara demokratis,
partai-partai politik adalah fungsional, sedangkan pemboman, pembunuhan, dan
terorisme politik adalah gangguan fungsional; perubahan-perubahan dalam kamus
politik atau perubahan dalam lambang partai adalh tidak fungsional. [32]
3.
Perspektif
evolusionis [33]
Perspektif
evolusioner adalah perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi.
Berdasarkan pada karya Auguste Comte[34](1798-1857)
dan Harbert Spancer[35](1820-1903)
perspektif ini memberikan keterangan yang memuaskan tentang bagaimana
masyarakat menusia berkembang dan tumbuh. Setelah beberapa dasawarsa kurang
mendapat perhatian, kini perspektif ini kembali berperan.
Para
sosiolog memekai perspektif evolusioner, mencari pola perubahan dan
perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mengetahui apakah
ada urutan umum yang dapat ditemukan. Mungkin karna mereka bertanya-tanya
apakah paham komunisme china akan berkembang sama seperti paham komunisme rusia
yang memperoleh kekuasaan 3 dasawarsa lebih dahulu ataukah proses
indusrtialisasi terhadap keluarga di negara berkembang akan sama dengan yang
ditemui di negara berat. Perspektif evolusioner adalah perspektif yang aktif,
sekalipun bukan merupakan perspektif utama dalam sosiologi.
4.
Perspektif
konflik[36]
Meskipun
berasal dari karya para sarjana, namun perspektif konflik secara luas terutama
didasarkan pada karya Kalr Marx[37]
(1818-1883), yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak
utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Setelah untuk waktu yang lama perspektif
konflik diabaikan oleh para sosiolog. Baru-baru ini perspektif tersebut telah
dibangkitkan kembali oleh C. Wright Mills[38]
(1956-1959), Lewis A.Coser,[39]
Raimond Aron,[40]
Ralf Dahdendorf[41]
(1959-1964), Randall Collins[42],
dan Rollin Chanbliss.[43]
Bilamana para fungsionalis melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu
keseimbangan yang mantap, maka para teoritis konflik melihat masyarakat sebagai
benda dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok dan kelas. Sekalipu
Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas untuk memiliki
kekayaan yang produktif, para teoritis konflik modern berpandangan sedikit
lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan
sebagai penentang kleas bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.
Para
teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama karaeana kekuatan
dari kelompok atau kelas dominan. Maka mereka mengklaim bahwa “nilai- nilai
kebersamaan” yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu
tidaklah benar-benar suatu konsensus yang benar, sebaliknya konsensus tersebut
adalah ciptakan kelompok atau kelas yang dominan untuk melaksanakan nila- nilai
serta peraturan mereka terhadap semua orang. Menurut para teoritisi konflik
para fungsionalis gagl mengajukan pertanyaan “secara fungsional bermanfaat
untuk siapa?” para teoritisi konflik menuduh para fungsionalis berkecendrungan
konservatif, dalam arti para teoritisi konflik berasumsi bahwa keseimbangan
yang serasi bermanfaat bagi setiap orang, sedangkan hal itu menguntungkan
beberapa orang dan merugikan sebagian yang lainnya. Para teoritisi konflik
memandang keseimbangan suatu masyarakat yang serasi sebagai suatu hayalan dari
mereka yang tidak berhasil mengetahui bagaiman akelompok yang dominan telah
membungkam mereka yang di eksploitasi. [44]
Manfaat
(contibution) penelitian sosiologi dapat di tinjau dari
berbagai segi. Pertama, segi internal ada tiga penelitian yaitu murni, masalah
dan terpan. Penelitian murni bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
secara teoritis, penelitian masalah bertujuan untuk memecahkan masalah dalam
perkembangan teori, dan penelitian terapan bertujuan menerapkan konsep untuk
mencari solusi dari problem yang dihadapi masyarakat dan pemerintah. Kedua,
segi eksternal yaitu hasil –hasil penelitian sosiologi dapat dimanfaatkan oleh
ilmu –ilmu lain dan memberi masukan yang berguna bagi pembangunan, baik sebagai
bahan perencanaan, proses pelaksanaan maupun tahap evaluasi.[45]
C. ANALISIS DAN DISKUSI
1. Analisis
a.
Fungsi adalah manfaat atau
kegunaan dari sesuatu.
Fungsia dalah
sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat atau
pelaksanaannya.
b.
Kontribusi berasal
dari bahasa inggris
yaitu contribute, contribution, maknanya adalah keikutsertaan,
keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan. kontribusi
adalah sumbangan yang telah dirasakan manfaatnya.
c.
Fungsi sosiologi agama adalah menyelesaikan konflik-
konflik yang terdapat dalam masyarakan beragama serta mengatur bagaimana umat
beragama itu hidup bermasyarakat yang berbeda agama dengannya.
d.
kontribusi sosiologi agama memberikan masukan yang
berguna bagi pembangunan, baik sebagai bahan perencanaan, proses pelaksanaan
maupun tahap evaluasi serta memberikan sumbangan terhadap kehidupan
bermasyarakat sehingga masyarakat dapat hidup dengan sejahtera.
2. Diskusi
D. KESIMPULAN
1.
Pengertian
fungsi secara etimologi
berarti kegunaan, manfaat, peran, tugas. Sedangkan kontribusi berasal
dari bahasa inggris
yaitu contribute, contribution, maknanya adalah keikutsertaan,
keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan.
2. Fungsi adalah sesuatu yang masih bersifat umum, sebagai manfaat dari
sebuah kegiatan yang kita lakukan. Kontribusi adalah segala bentuk tindakan dan
pemikiran yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bersama.
3.
Sosiologi agama berfungsi membantu memecahkan masalah
sosial-religius dikarenakan, ilmu ini bukan untuk membuktikan kebenaran ajaran
agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal
masyarakat agama. Sehingga ilmu ini disebut juga dengan ilmu praktis, empiris
dan positif.
4.
Sosiologi
agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah
sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non
keagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola interkasi social
keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau
mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan
bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami
nilai-nilai, norma, tradisi dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat
lain serta memahami perbedaan yang ada.
DAFTAR RUJUKAN
Abdulloh, Syamsudin. 1997. Agama dan Masyarakat Pendekatam Sosiologi
Agama. Ciputat: Logos
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia
Indonesia-UMM Press
Kahmad, Dadang. 2009.Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Mubaraq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. Malang: UIN Press.
Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Saebany, Beni Ahmad.2007. Sosiologi Agama. Bandung: Reflika
Aditama.
http://Sosiologi-Agama\SHOLIHUL HADY -Sosiologi-Agama.
http://SOSIOLOGI-AGAMA-DALAM-KONSEPSI MARK-di-danel.
[3]eko endarmoko, tesaurus
bahasa indonesia(jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007).532
[4]Anne Ahira:2012
[9]Ibid.,
26.
[10]Ibid.,
26.
[11]
Kahmad, Sosiologi Agama, 47.
[12]Ishomuddin,
Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 27.
[13]Ibid.,
27.
[14]Ibid.,
28.
[15]Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 19.
[16]Doyne
Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Moderen 1. Terjemahan
(Jakarta:Gramedia, 1994), 25.
[17]Ishomuddin,
Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 13-14.
[18]Lihat
George Herbet Mead, Mind, self and Socienty(Chicago:University of Cicago,
1934).
[19]Lihat
Charles Horton Cooley, Human Nature And The Social Order (New York:Schocken
Books, 1964).
[20]Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 21
[21]Lihat
William I. Thomas, The Unadjusted Girl (Boston: Little Brown, 1923)
[22]Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 21 - 22
[23]Lihat
Petter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Constrution of Reality (New
York: Doubleday, 1966).
[24]Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 22.
[25]Lihat
Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York
Doubleday, 1966).
[26]Lihat
Herbert Blumer, Symbolic Interationmisn: Perspective and Method (New Jersey:
Unwin,1969).
[27]Ishomuddin,
Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 15.
[28]Lihat
Tallcott Tarsons, The Structure of Social Action (New York:
McGraw-Hill,1937).
[29]Lihat
Robert Merton, Social Theory and Social Structure (New York: Free press,
1968).
[30]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang:
UIN Press 2010), 25.
[31]Ibid
25.
[32]Ibid
26
[33]Ishomuddin,
Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 16.
[34] Lihat Aguste Comte, The
Positive phylosophy of Auguste Comte (New York: Calvin Blachard, 1858).
[35]Lihat
Herbert
Spancer, Evolution of Society: selection from Harberd Spanser’s Principles of
Sociology (Chicago:University of Chicago, 1967).
[36]Ishomuddin,
Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbi Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), 17.
[37]Lihat
Karl Mark Ekonomi, Class and Social Revolution (London:Michael Joseph,
1971).
[38]Lihat
C. Wight Milss, The Power Elite (New York Oxford University Press,
1956).
[39]Lihat
Lewis Coser, The Functions Of Social Conflict (Glencoe: Free Press,
1956).
[40]Lihat
Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought (New York: Basic
Books, 1967).
[41]Lihat
Raff Dhadendorf, Class and Class Conflict industrial Socienty (Standford:
Stndford University Press 1959).
[42]Lihat
Randell Collin, Conflict in Sociology: Toward An Explanatioriy Science (New
York: Academic Press 1975).
[43]Lihat
Rollin Chambilss, Social Thought (New York: Dryden, 1954).
[44]Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN Press 2010), 28.
[45]Soerjono
Soekanto, Sosiologi (Suatu Pengantar Jakarta: Rajawali Pers, 1987), 380 -
383
0 komentar:
Posting Komentar