Masyarakat
Madani
2.1 Pengertian Masyarakat Madani
Civil society diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan sebutan masyarakat sipil atau masyarakat madani. Kata madani
berasal dari kata Madinah, yaitu sebuah kota tempat hijrah Nabi Muhammad SAW.
Madinah berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Oleh karena itu
masyarakat madani berarti masyarakat yang beradab. Masyarakat madani adalah
sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang mandiri dan demokratis,
masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokrasi, hubungan keduanya
ibarat ikan dengan air.
Adanya
beberapa kasus yang berkenaan dengan penindasan rakyat yang dilakukan oleh
penguasa merupakan realitas yang sering kita lihat dan kita dengar dalam setiap
pemberitaan pers, baik melalui media elektronika maupun media cetak. Sebut saja
kasus penindasan yang terjadi di Indonesia ketika Orde Baru masih berkuasa,
yakni penindasan terhadap keberadaan hak tanah rakyat yang diambil oleh
penguasa dengan alasan pembangunan. Atau juga realitas pengekangan dan
pembungkaman kebebasan pers dengan adanya pembredelan[1]
beberapa media massa oleh penguasa, serta pembantaian para ulama dengan dalih
dukun santet sekitar tahun 1999 yang dilakukan oleh sekelompok
oknum yang tidak bertanggung jawab.
Melihat bagian kecil dari realitas
tersebut, apa yang Saudara pikirkan ketika saudara mendengar atau melihat juga
fenomena pembantaian massal? Dan apa
yang saudara pikirkan ketika mendengar dan mengetahui penculikan para aktivis
demokrasi di berbagai Negara, termasuk di Indonesia? Serta apa yang Saudara
lakukan ketika menyaksikan pembatasan ruang public (public sphere) untuk
mengemukakan pendapat di muka umum?
Kemungkinan akan adannya kekuatan
civil sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah
wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni Masyarakat Madani. Wacana
Masyarakat Madani ini merupakan wacana yang telah mengalami proses yang
panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat
terjadi transformasi dari masyarakat feodal
menuju masyarakat Barat Modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah
civil society, dalam tradisi Eropa pengertian civil society dianggap sama
dengan pengertian Negara (state) yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi
seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh abad XVIII,
terminology ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami
sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan social (social formation) dan
perubahan-perubahan struktur politik di Eropa sebagai pencerahan dan
modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi.
Dalam mendefinisikan
Masyarakat Madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu
bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma
yang lahir dari sejarah pergaulatan bangsa Eropa Barat.
Sebagai titik tolak, disini akan dikemukakan
beberapa definisi masyarakat madani dari berbagai pakar di berbagai Negara yang
menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini.
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang
kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang
dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat
mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka
yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil
komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka
terhadap Negara. Oleh karenanya, maka
yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh
keluarga dan kekuasaan Negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara
dalam masyarakat madani ini diekspresikan dalam gambaran cirri-cirinya, yakni
individualisme, pasar (market) dan pluralism. Batasan yang dikemukakan oleh Rau
ini menekankan pada adanya ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta
memberikan integritas system nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni
individualisme, pasar (market) dan pluralisme.
Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung–joo dengan latar belakang kasus
Korea Selatan, Ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka
hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela
yang terbebas dari Negara, suatu runag public yang mampu mengartikulasikan
isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan
independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang
menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan
terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Konsep yang dikemukakan oleh Han
ini, menekankan pada adanya ruang public (public sphere) serta mengandung 4
(empat) cirri dan prasyarat bagi terbentuknya masyarakat madani, yakni pertama,
diakui dan dilindunginnya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat serta
mandiri dari negara. Kedua, adanya ruang public yang memberikan kebebasan dari
siapapun dalam mengartikulasikan isu-isu politik. Ketiga, terdapatnya
gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasar pada nilai-nilai budaya tertentu.
Keempat, terdapat kelompok inti diantara antara kelompok pertengahan yang
mengakar dalam masyarakat yang meggerakkan masyarakat dan melakukan modernisasi
social ekonomi.
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga dalam konteks
Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani
adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri
menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif
otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari (re) produksi dan
masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang
publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan
mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme
dan pengelolaan yang mandiri.
Dari
ketiga batasan di atas dapat ditarik kesimpulan,
bahwa yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan
masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, memiliki
ruang public (public sphere) dalam mengemukakan pendapat, adanya
lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan
public.
Di Indonesia, masyarakat madani
mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda
pula, seperti masyarakat madani sendiri, masyarakat sipil, masyarakat
kewargaan, masyarakat warga dan civil society.
Masyarakat Madani merupakan
penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan
oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam
rangka Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta.
Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat
yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju.
Lebih jelas Anwar Ibrahim
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah system social
yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya
usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan
pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu
menjadikan keterdugaan serta ketulusan.
Paradigma dengan pemilihan tema
masyarakat madani ini dilatarbelakangi konsep kota ilahi, kota peradaban atau
masyarakat kota. Disisi lain, pemaknaan Masyarakat Madani ini juga dilandasi
oleh konsep tentang Al-Mujtama’ Al-Madani yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib
al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia dan salah
seorang pendiri Institute for Islamic Thought and Civilization, yang secara
definitive masyarakat madani merupakan konsep masyarakat ideal yang mengandung
dua komponen besar yakni masyarakat kota dan masyarakat yang beradab.
Terjemahan makna masyarakat madani ini banyak diikuti oleh para cendekiawan dan
ilmuan di Indonesia, dan pada prinsipnya konsep masyarakat madani adalah sebuah
tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan toleransi, demokrasi, dan
berkeadaban serta menghargai akan adanya pluralism.
2.2 Konsep Civil Society
Masyarakat sipil adalah terjemahan
dari istilah Inggris ’civil society’ yang mengambil dari bahasa Latin ’civilas
societas’. Secara historis karya Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya
klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767) merupakan salah satu
titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society). Gagasan
masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar konsep masyarakat
model Marxisme.
Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai wilayah yang mengedepankan
kepentingan individual, pemenuhan hak-hak individu secara bebas. Masyarakat
sipil merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam
konteks tatanan sosial yang monarkis, feodal ataupun borjuis) serta membatasi
diri dari lingkaran negara.
Civil Society merupakan konsep yang
digulirkan oleh Muhammad AS. Hikam. Menurutnya konsep civil society yang
merupakan warisan warisan wacana yang berasal dari Eropa Barat, akan lebih
mendekati substansinya jika tetap disebutkan dengan istilah aslinya. Menurutnya
pengertian civil society (dengan
memegang prinsip konsep de ‘Tocquiville) adalah wilayah-wilayah kehidupan
social yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan
(voluntary), keswasembadaan (self-supporting), kemandirian tinggi
berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai
hukum yang diikuti oleh warganya. Dan sebagai ruang politik, civil society
merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan
refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material , dan tidak
terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya
tersirat pentingnya suatu ruang public yang bebas (the free public sphere).
Tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga
masyarakat.
Konsep civil society lebih lanjut
dikembangkan oleh kalangan pemikir berikutnya seperti Rousseau, Hegel, Marx dan
Tocqueville. Dari berbagai versi tentang konsep civil society tersebut, Asrori
S. Karni dalam Ahmad Baso (1999) menyimpulkan ada 5 (lima) teori civil society
yang ada di Barat :
1. Teori Hobbes dan Locke, yang
menempatkan civil society sebagai penyelesai dan peredam konflik dalam
masyarakat. Jadi, civil society disamakan dengan negara.
2. Teori Adam Ferguson, yang melihat
civil society sebagai gagasan alternatif untuk memelihara tanggung jawab dan
kohesi sosial serta menghindari ancaman negatif individualisme, berupa benturan
ambisi dan kepentingan pribadi. Civil society dipahami sebagai entitas yang
sarat dengan visi etis berupa rasa solider dan kasih sayang antar sesama.
3. Teori Thomas Paine, yang
menempatkan civil society sebagai antitesis negara. Negara harus dibatasi
sampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan buruk belaka
(necessary evil).
4. Teori Hegel dan Marx, yang tidak
menaruhآ harapan berarti terhadap entitas civil society. Konseptualisasi
mereka tentang civil society bukan untuk memberdayakannya atau menobatkannya,
tetapi lebih untuk mengabaikan dan bahkan melenyapkannya.
5. Teori Tocquiville, yang
menempatkan civil society sebagai entitas untuk mengimbangi (balancing force)
kekuatan negara, meng-counterآ hegemoni negara dan menahan intervensi berlebihan negara.
Adapun Adam Seligman mengemukakan
dua penggunaan istilah Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Yaitu, civil
society dalam tatanan kelembagaan/organisasi sebagai tipe sosiologi
politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan
kepercayaan.
Ciri-ciri utama civil society,
munurut AS Hikam ada tiga, yaitu:
1. Adanya kemandirian yang cukup
tinggi dari individu- individu dan kelompok-kelompok dalam masarakat, utamanya
ketika berhadapan dengan negara.
2. Adanya ruangan publik bebas
sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui
wancana dan Praksis yang berkaitan dengan kepentingan public
3. Adanya kemampuan membatasi kuasa
negara agar ia tidak intervensionis.
Dalam arti politik, Civil Society bertujuan melindungi individu
terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang
mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik
lainnya. Dalam arti ekonomi, sivil society berusaha melindungi Masyarakat dan
individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi
dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk
Koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip sivil society bukan pencapaian
kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip Demokrasi dan harus selalu
menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa.
2.3 Konsep Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan
yang menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada nila-nilai kebajikan
dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif
bagi penciptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Masyarakat madani adalah sistem
sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Membangun “masyarakat madani modern”, dapat dilakukan dengan meneladani Nabi
dalam penampilan fisik dan non fisik seperti saat berhubungan dengan sesama
umat Islam ataupun dengan umat lain.
Menjaga persatuan umat Islam,
menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, tidak melakukan pemaksaan
agama, tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat dan sifat-sifat
luhur lainnya.Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak
meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam
mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat
Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya
menunggu waktu saja.
Karakteristik Masyarakat Madani:
1.Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif
kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang
mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh
negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara
karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan
terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh
rejim-rejim totaliter.
6.Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga
individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
7.Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga
sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8.Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat
yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai
landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9.Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara
individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10.Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain
yang dapat mengurangi kebebasannya.
11.Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang
telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu
oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12.Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki
kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
untuk umat manusia.
14.Berakhlak mulia.
2.4 Islam dan Masyarakat Madani
Islam
dan Masyarakat Madani, keduanya tidak dapat dipisahkan.sudah banyak ahli
membahas kesesuaian antara ajaran islam dengan Masyarakat madani (civil
society). Intinya Islam mendorong terciptanya Masyarakat madani.
Dalam
sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi
pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang
kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan
kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan
terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu
Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Nabi
Muhammad sendiri telah mencontohkan secara nyata bagaimana masyarakat madani
itu, yaitu ketika beliau mendirikan dan memimpin negara kota Madinah. Hal itu
terlihat tidak hanya dalam piagam atau konstitusi Madinah yang ditanda tangani
dan dipatuhi oleh semua golongan dan pengikut agama-agama yang ada di Madinah
saat itu. tetapi juga bisa dilihat dari penggantian nama kota Yatsrib menjadi
Madinah merupakan salah satu asal mula (cognate) istilah “madani” itu sendiri.
Konsep Masyarakat
Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran
agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk
dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus
yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak
individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada
sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat madani lebih
diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk
lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat
Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas
tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
·
Kualitas
SDM Umat Islam
Dalam Q.S. Ali
Imran ayat: 110
Dari ayat tersebut
sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik
dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat
Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM nya dibanding umat non Islam.
Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif,
potensial, bukan riil.
·
Posisi
Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul.
Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi,
militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya
yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena
kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang
proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam.
Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam,
bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
·
Sistem
Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial
dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau
hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak
sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami.
Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima
dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak
milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada
manusia hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu
sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang
seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam
batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam.
Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan
kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan
hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak
seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan
kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain
dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja.
Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah
sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep
persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di
muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi
yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap
masyarakat.
Allah melarang hak
orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Syu’ara ayat: 183.
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan,
keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan
bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi
pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah
menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang
kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan
sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan,
dan pelayanannya dalam masyarakat.
Dalam Q.S. An-Nahl
ayat: 71.
Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai
dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan
sebagai sedekah karena Alah.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus
dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan
manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak.
Dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
2.5 Pra-syarat Budaya Masyarakat Madani
Masyarakat
madani merupakan konsep yang memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan
makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata
civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat
militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering
digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place
outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada
beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan
kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan
aliansi sosial
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga
kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh
kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan
yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis
masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan
individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu
memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada
mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan
kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya
dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui
kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat
madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari
akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya
bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di
wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat
madani adalah konsep yang cair
yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus
menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat
dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance
(pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan
democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil
security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai,
dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu,
keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital)
dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan
melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial
antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai
bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai
pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi
masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum
dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat
dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat
serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan
kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang
memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara
produktif dan berkeadilan sosial.
7.
Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi
antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat
tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani
akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya
dengan faham militerisme
yang anti demokrasi dan sering melanggar hak asasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa
rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani
(lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan
yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan
semangat negara-bangsa:
1.
Sentralisme
versus lokalisme.
Masyarakat pada
mulanya ingin mengganti bentuk pemerintahan
yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah
terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan
tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan
sosial.
2.
Pluralisme
versus rasisme.
Pluralisme
menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan
penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang
memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan
permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme
budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari
penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan
terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”.
Sebaliknya,
rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras
tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi
oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih
inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan:
individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi
ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi,
diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan
hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras
dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3.
Elitisme dan komunalisme.
Elitisme
merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial
berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang
yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan
potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai
kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Sementara itu
komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain
sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan.
2.6 Perbedaan
Masyarakat Madani dengan Civil Society
Istilah
masyarakat madani sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain
yang seringkali digunakan orang dalam penerjemahan ke dalam bahasa
Indonesia, padanan kata civil society. Disamping masyarakat madani, padanan
kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat warga atau masyarakat
kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab,atau masyrakat berbudaya.
Istilah
civil society yang identik dengan masyarakat berbudaya (civilized society).
Lawannya, adalah “masyarakat liar” (savage society). Pemahaman yang melatari ini sekedar mudahnya, agar orang menarik perbandingan di mana kata yang pertama merujuk pada masyarakat yang saling menghargai nilai-nilai sosial-kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan politik), sedangkan kata yang kedua jika dapat diberikan penjelasan menurut pemikiran Thomas Hobbes, bermakna identik dengan gambaran masyarakat tahap” keadaan alami” (state of nature) yang tanpa hukum sebelum lahirnya negara di mana setiap manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi sosial diperhadapkan secara kontradiktif dengan masyarakat alami ( natural society).
Lawannya, adalah “masyarakat liar” (savage society). Pemahaman yang melatari ini sekedar mudahnya, agar orang menarik perbandingan di mana kata yang pertama merujuk pada masyarakat yang saling menghargai nilai-nilai sosial-kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan politik), sedangkan kata yang kedua jika dapat diberikan penjelasan menurut pemikiran Thomas Hobbes, bermakna identik dengan gambaran masyarakat tahap” keadaan alami” (state of nature) yang tanpa hukum sebelum lahirnya negara di mana setiap manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi sosial diperhadapkan secara kontradiktif dengan masyarakat alami ( natural society).
Banyak
orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis
(Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “
dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat
madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi
Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila
dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul. Dalam bahasa Arab, kata “madani”
tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, ehingga masyarakat
madani biasa berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah
kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru
kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah
kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat
yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat
yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa
Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban
(civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga
berarti peradaban atau kebudayaan tinggi. Penggunaan istilah masyarakat
madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau
digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya
banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang
system budaya negara yang berbeda.
Penggunaan istilah masyarakat madani
dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara
bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai
persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya
negara yang berbeda.
Masyarakat Madani merujuk kepada
sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat
sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Allatas seorang sosiolog
sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog
umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham
masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan ad-Din (diterjemahkan
sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata d-y-n. Kenyataan bahwa nama
kota Yathrib berubah menjadi Madinah bermakna di sanalah ad-Din (Syari’ah
Islam) berlaku dan ditegakkan untuk semua kelompok (kaum) di Madinah.
Memilih pengalaman sosio-historis
Islam, masyarakat madani merupakan refresentasi dari masyarakat Madinah yang
diwariskan Nabi Muhammad SAW, yang oleh Robert N. Bellah, sosiolog agama
terkemuka, disebut sebagai ”masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat
modern, bahkan terlalu modern, sehingga sewafatnya Nabi, Timur tengah dan umat
manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk
menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang pernah dirintis Nabi
SAW”.
Dalam Islam negaralah yang
bertanggungjawab terhadap urusan masyarakat. Negara dalam perspektif Islam
bukanlah sekedar alat untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan individu saja
sebagaimana halnya liberalisme-kapitalisme akan tetapi merupakan suatu
institusi yang mengurusi kebutuhan individu, organisasi (jamaah), dan
masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar negerinya,
sesuai dengan peraturan tertentu yang membatasi hak dan kewajiban
masing-masing. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bernard Lewis, “bahwa sejak
zaman Nabi Muhammad, umat Islam merupakan entitas politik dan agama sekaligus,
dengan Muhammad sebagai kepala Negara”.
Jadi, secara historis pun antara
konsep civil society dengan masyarakat madani tidak memiliki hubungan sama
sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi
kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau (sang Nabi)
memperjuangkan kedaulatan, agar seluruh kelompok di kota Madinah terbebaskan
(terjamin hak-haknya) serta ummatnya (Muslim) leluasa menjalankan syari’at
agama di bawah suatu perlindungan hukum yang disepakati bersama.
Dari pembahasan di atas, kita dapat
menarik kesimpulan bahwa masyarakat madani dan civil society memiliki beberapa
perbedaan. Meskipun demikian, keduanya juga memiliki persamaan yang sangat
banyak.
Berikut perbedaan dari keduanya:
• Masyarakat madani berasal dari kebudayaan Arab-Islam sedangkan
civil society berasal dari masyarakat barat terutama Eropa-Non islam.
• Civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas
adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang
meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang
rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam
buaian dan asuhan petunjuk Tuhan dan sebagai sebuah masyarakat yang terbuka,
egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang
bersumber dari wahyu Allah.
2.7 Masyarakat Madani di Indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat madani tidak terlepas dari kondisi sosio-kultural, politik dan
ekonomi yang berkembang pada saat itu. Sementara di Indonesia, “apakah sama
dengan kondisi di Eropa Barat?” dan “apakah kemudian wacana itu dapat
berkembang subur di Indonesia?” Serta apakah di Indonesia sudah cukup memiliki
piranti bagi terwujudnya masyarakat madani?”. Persoalan tersebut merupakan
gerbang dari usaha menganalisa kemungkinan masyarakat madani di Indonesia.
Masyarakat madani jika dipahami
secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan
semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini
diberlakukan ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa
menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda
kepemerintahannya. Disinilah kemudian, konsep masyarakat madani menjadi
alternatif pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya kontrol masyarakat
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang pada akhirnya nanti terwujud
kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup
yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Sosok masyarakat madani bagaikan
barang antik yang memiliki daya tarik yang amat mempesona. Kehadirannya yang
mampu menyamarkan wacana politik kontemporer dan meniupkan arah baru pemikiran
politik, bukan dikarenakan kondisi barangnya yang sama sekali baru, melainkan
disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyarakat yang
lebih baik.
Kemungkinan berkembangnya masyarakat
madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan
kebebasan berpendapat, berserikat, dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di
muka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non
pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control. Sejak zaman
Orde Lama dengan rezim Demokrasi Terpimpinnya Soekarno, sudah terjadi
manipulasi peran serta masyarakat untuk kepentingan politis dan terhegemoni
sebagai alat legitimasi politik. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kegiatan
dan usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat dicurigai sebagai kontra-revolusi.
Fenomena tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa di Indonesia pada masa
Soekarno pun mengalami kecenderungan untuk membatasi gerak dan kebebasan publik
dalam mengeluarkan pendapat.
Sampai pada masa Orde Baru pun
pengekangan demokrasi dan penindasan hak asasi manusia tersebut kian terbuka
seakan menjadi tontonan gratis yang bisa dinikmati oleh siapapun bahkan untuk
segala usia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh kasus yang pada masa
orde baru berkembang. Misalnya kasus pemberedelan lembaga pers, seperti AJI,
DETIK dan TEMPO. Fenomena ini merupakan sebuah fragmentasi kehidupan yang
mengekang kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya di muka umum,
apalagi ini dilakukan pada lembaga pers yang nota bene memiliki fungsi sebagai bagian
dari social control dalam menganalisa dan mensosialisasikan berbagai kebijakan
yang betul-betul merugikan masyarakat.
Selain itu, banyak terjadi
pengambilan hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga
merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan hak asasi manusia, karena
hak atas tanah yang secara sah memang dimiliki oleh rakyat, dipaksa dan diambil
alih oleh penguasa hanya karena alasan pembangunan yang sebenarnya bersifat
semu. Di sisi lain, pada era orde baru banyak terjadi tindakan-tindakan
anarkhisme yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Hal ini salah satu indikasi
bahwa di Indonesia pada saat itu tidak dan belum menyadari pentingnya toleransi
dan semangat pluralisme.
Secara esensial Indonesia memang
membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar
memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung
tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan
masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaannya sekaligus agar
proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Menurut Dawam ada tiga (3) strategi yang salah satunya dapat
digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia.
1.
Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
Strategi ini berpandangan bahwa system demokrasi tidak mungkin berlagsung dalam
masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
Bagi penganut paham ini pelaksanaan demokrasi liberal hanya akan menimbulkan
konflik, dan karena itu menjadi sumber instabilitas politik sebagai
landasan pembangunan, karena pembangunan lebih-lebih yang terbuka terhadap
perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian
persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari demokrasi.
2.
Strategi yang lebih mengutamakan reformasi system politik
demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah
menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan secara
bersama-sama diperlukan proses demokratisasi yang pada esensinya adalah
memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan, makam
akan dengan sendirinya timbul masyarakat madani yang mampu mengontrol terhadap
negara.
3.
Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis
yang kuat ke arah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap
realisasi dari stretegi pertama dan kedua. Dengan begitu strategi ini lebih
mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah
yang makin luas.
Ketiga model strategi pemberdayaan
masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hikam bahwa di era transisi ini
harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara memahami
target-target grup yang paling strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan
yang tepat di dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu, maka keterlibatan
kaum cendekiawan, LSM, ormas sosial dan keagamaan dan mahasiswa adalah mutlak
adanya, karena merekalah yang memiliki kemampuan dan sekaligus aktor
pemberdayaan tersebut.
STUDI KASUS
Tahun 2006 silam,
sebuah berita mengejutkan muncul dari daerah Cirebon. Beberapa
ormas Islam menolak penempatan Ajun Komisaris Besar Polisi Edison Sitorus
sebagai Kapolresta Cirebon. Alasannya semata-mata karena Sitorus beragama
Kristen. Padahal Cirebon, menurut mereka, adalah sebuah wilayah yang mayoritas
beragama Islam dan menjadi simbol awal kehadiran Islam di Indonesia.
Alasan para ormas Islam menolak Kapolresta Sitorus di kota Cirebon
ialah Pertama: Mereka Khawatir jika Polres Cirebon dipimpin oleh non muslim,
perbuatan maksiat akan marak di Kota Udang itu. Kedua: Jika Kapolres-nya
Nasrani, akan sulit berkomunikasi dengan warga yang biasa berembuk di Masjid.
Ketiga: Mereka khawatir Kapolres baru akan mengganjal niat umat Islam untuk
menerapkan syariat Islam di sana.
Di tahun 2012, menjelang Pilkada putaran kedua di Jakarta, isu-isu
yang nyaris sama menghampiri Ahok. Padahal Ahok belum tentu menjadi Wakil gubernur,
berbeda dengan Ajun Komisaris Besar Edison Sitorus. Alasannya, dikhawatirkan
maraknya penerbitan izin pendirian gereja di Jakarta.
PENUTUP
4.1 ANALISA
Dari contoh studi kasus di atas kami dapat
menganalisis bahwa respon ormas islam terlalu sempit sehingga tidak lagi
menghargai keberadaan agama-agama lain. sebagai anak bangsa harus menyadari
bahwa Indonesia bukanlah negara agama. Negara memang mengakui dan melindungi keberadaan agama-agama, tapi
tidak mendasarkan diri pada salah satu dari agama-agama itu. Kesetaraan
antaragama juga dilindungi UU. Karena itu, penolakan terhadap seseorang yang
secara hukum sah kehadirannya, seperti Edison Sitorus atau Ahok jika menjadi Wakil
gubernur, hanya karena agamanya minoritas jelas tidak mengindahkan prinsip-prinsip
bernegara. kesadaran politik mereka tinggi
tetapi, hak asasi manusia tidak lagi dihargai.
Jadi, jika konstitusi negara telah menjamin hak-hak politik warga
negara, meskipun minoritas sekalipun, mengapa kita harus bersikap sempit,
sektarian dan jauh dari nilai-nilai Islami?. Islami di sini dalam pengertian
menghormati dan berprasangka baik terhadap siapapun, sesuai dengan ajaran
Islam.
1.2 SOLUSI
Dari analisis studi kasus diatas, sebagai umat Islam seharusnya berpikir universal, tidak berpikir sempit,
sektarian
dan penuh prasangka buruk. Kita tampaknya perlu belajar kembali soal bagaimana
Nabi Muhammad Saw membangun masyarakat
Madinah yang plural dan multiagama di awal pemerintahan Beliau. Sampai hari
ini, masyarakat madani yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw menjadi rujukan
dalam membangun masyarakat modern yang plural. Dimana
masyarakat madani tersebut adalah masyarakat yang beradab, yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan,
dan teknologi, sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari
akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat, saling menghargai dan
mewujudkan kepentingan-kepentingannya.
Sebuah
masyarakat madani (civil society) haruslah mandiri, tidak begitu tergantung pada peran pemerintah atau negara.
Barangkali, diantara organisasi sosial dan politik yang patut dicatat dan memiliki kemandirian cukup tinggi adalah
organisasi yang termasuk dalam kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Non-Governmental
Organization (NGO) yang di Indonesia jumlahnya
mencapai ratusan.
4.3 KESIMPULAN
Masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil (civil society) oleh beberapa pakar Sosiologi. Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari
istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas
societas. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri
individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan
bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan
sosial) atau berbeda dari negara.
Masyarakat
madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi, sebuah
masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang
seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya.
Ada beberapa prasyarat
yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic
governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara
demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung
nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Civil society tidak
mengaitkan prinsip tatanan pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy)
jelas mengacu pada agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Suharto, Edi, 2002, Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme
Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan, Bandung: STKS
Bandung
Sutianto, Anen, 2004, Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan,
Pikiran Rakyat: Bandung
Azra, Azyumardi, 1999, Menuju Masyrakat Madani, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Gelner,
Ernest, 1995, Membangun
Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan, Bandung: Mizan
Tim musyawarah guru bina kewarganegaraan, 2004, kewarganegaraan,
Surabaya: JP Press
Tim ICCE UIN Jakarta, 2003, Pendidikan Kewarganegaraan
(civic educiation): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta: Prenada Media
www.Ambros
Leonangung.blogspot.com