This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 12 Mei 2013

Masyarakat Madani (Civil Society)



Masyarakat Madani
2.1 Pengertian Masyarakat Madani
Civil society diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan masyarakat sipil atau masyarakat madani. Kata madani berasal dari kata Madinah, yaitu sebuah kota tempat hijrah Nabi Muhammad SAW. Madinah berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Oleh karena itu masyarakat madani berarti masyarakat yang beradab. Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang mandiri dan demokratis, masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air.
           
Adanya beberapa kasus yang berkenaan dengan penindasan rakyat yang dilakukan oleh penguasa merupakan realitas yang sering kita lihat dan kita dengar dalam setiap pemberitaan pers, baik melalui media elektronika maupun media cetak. Sebut saja kasus penindasan yang terjadi di Indonesia ketika Orde Baru masih berkuasa, yakni penindasan terhadap keberadaan hak tanah rakyat yang diambil oleh penguasa dengan alasan pembangunan. Atau juga realitas pengekangan dan pembungkaman kebebasan pers dengan adanya pembredelan[1] beberapa media massa oleh penguasa, serta pembantaian para ulama dengan dalih dukun santet sekitar tahun 1999 yang dilakukan oleh sekelompok oknum yang tidak bertanggung jawab.

Melihat bagian kecil dari realitas tersebut, apa yang Saudara pikirkan ketika saudara mendengar atau melihat juga fenomena pembantaian massal? Dan apa yang saudara pikirkan ketika mendengar dan mengetahui penculikan para aktivis demokrasi di berbagai Negara, termasuk di Indonesia? Serta apa yang Saudara lakukan ketika menyaksikan pembatasan ruang public (public sphere) untuk mengemukakan pendapat di muka umum?
Kemungkinan akan adannya kekuatan civil sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni Masyarakat Madani. Wacana Masyarakat Madani ini merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat Barat Modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society, dalam tradisi Eropa pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian Negara (state) yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh abad XVIII, terminology ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan social (social formation) dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa sebagai pencerahan dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi.

Dalam mendefinisikan Masyarakat Madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah pergaulatan bangsa Eropa Barat.

Sebagai titik tolak, disini akan dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani dari berbagai pakar di berbagai Negara yang menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini.

Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap Negara.  Oleh karenanya, maka yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara dalam masyarakat madani ini diekspresikan dalam gambaran cirri-cirinya, yakni individualisme, pasar (market) dan pluralism. Batasan yang dikemukakan oleh Rau ini menekankan pada adanya ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas system nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar (market) dan pluralisme.

Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung–joo dengan latar belakang kasus Korea Selatan, Ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari Negara, suatu runag public yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.

Konsep yang dikemukakan oleh Han ini, menekankan pada adanya ruang public (public sphere) serta mengandung 4 (empat) cirri dan prasyarat bagi terbentuknya masyarakat madani, yakni pertama, diakui dan dilindunginnya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat serta mandiri dari negara. Kedua, adanya ruang public yang memberikan kebebasan dari siapapun dalam mengartikulasikan isu-isu politik. Ketiga, terdapatnya gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasar pada nilai-nilai budaya tertentu. Keempat, terdapat kelompok inti diantara antara kelompok pertengahan yang mengakar dalam masyarakat yang meggerakkan masyarakat dan melakukan modernisasi social ekonomi.

Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga dalam konteks Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari (re) produksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.

Dari ketiga batasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, memiliki ruang public (public sphere) dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan public.

Di Indonesia, masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda pula, seperti masyarakat madani sendiri, masyarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat warga dan civil society.

Masyarakat Madani merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju.

Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah system social yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan serta ketulusan.

Paradigma dengan pemilihan tema masyarakat madani ini dilatarbelakangi konsep kota ilahi, kota peradaban atau masyarakat kota. Disisi lain, pemaknaan Masyarakat Madani ini juga dilandasi oleh konsep tentang Al-Mujtama’ Al-Madani yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia dan salah seorang pendiri Institute for Islamic Thought and Civilization, yang secara definitive masyarakat madani merupakan konsep masyarakat ideal yang mengandung dua komponen besar yakni masyarakat kota dan masyarakat yang beradab. Terjemahan makna masyarakat madani ini banyak diikuti oleh para cendekiawan dan ilmuan di Indonesia, dan pada prinsipnya konsep masyarakat madani adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan toleransi, demokrasi, dan berkeadaban serta menghargai akan adanya pluralism.

2.2 Konsep Civil Society
Masyarakat sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris ’civil society’ yang mengambil dari bahasa Latin ’civilas societas’. Secara historis karya Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767) merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society). Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar konsep masyarakat model Marxisme. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai wilayah yang mengedepankan kepentingan individual, pemenuhan hak-hak individu secara bebas. Masyarakat sipil merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial yang monarkis, feodal ataupun borjuis) serta membatasi diri dari lingkaran negara.

Civil Society merupakan konsep yang digulirkan oleh Muhammad AS. Hikam. Menurutnya konsep civil society yang merupakan warisan warisan wacana yang berasal dari Eropa Barat, akan lebih mendekati substansinya jika tetap disebutkan dengan istilah aslinya. Menurutnya pengertian civil society  (dengan memegang prinsip konsep de ‘Tocquiville) adalah wilayah-wilayah kehidupan social yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Dan sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material , dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang public yang bebas (the free public sphere). Tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.

Konsep civil society lebih lanjut dikembangkan oleh kalangan pemikir berikutnya seperti Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville. Dari berbagai versi tentang konsep civil society tersebut, Asrori S. Karni dalam Ahmad Baso (1999) menyimpulkan ada 5 (lima) teori civil society yang ada di Barat :
1. Teori Hobbes dan Locke, yang menempatkan civil society sebagai penyelesai dan peredam konflik dalam masyarakat. Jadi, civil society disamakan dengan negara. 
2. Teori Adam Ferguson, yang melihat civil society sebagai gagasan alternatif untuk memelihara tanggung jawab dan kohesi sosial serta menghindari ancaman negatif individualisme, berupa benturan ambisi dan kepentingan pribadi. Civil society dipahami sebagai entitas yang sarat dengan visi etis berupa rasa solider dan kasih sayang antar sesama.  
3. Teori Thomas Paine, yang menempatkan civil society sebagai antitesis negara. Negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan buruk belaka (necessary evil).
4. Teori Hegel dan Marx, yang tidak menaruhآ harapan berarti terhadap entitas civil society. Konseptualisasi mereka tentang civil society bukan untuk memberdayakannya atau menobatkannya, tetapi lebih untuk mengabaikan dan bahkan melenyapkannya.
5. Teori Tocquiville, yang menempatkan civil society sebagai entitas untuk mengimbangi (balancing force) kekuatan negara, meng-counterآ hegemoni negara dan menahan intervensi berlebihan negara.

Adapun Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Yaitu, civil society dalam tatanan  kelembagaan/organisasi sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan.
Ciri-ciri utama civil society, munurut AS Hikam ada tiga, yaitu:
1. Adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu- individu dan kelompok-kelompok dalam masarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara.
2. Adanya ruangan publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wancana dan Praksis yang berkaitan dengan kepentingan public 
3. Adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.

Dalam arti politik, Civil Society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, sivil society berusaha melindungi Masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk Koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip sivil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip Demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa.

2.3 Konsep Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada nila-nilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi penciptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Membangun “masyarakat madani modern”, dapat dilakukan dengan meneladani Nabi dalam penampilan fisik dan non fisik seperti saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain.
Menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, tidak melakukan pemaksaan agama, tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat dan sifat-sifat luhur lainnya.Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Karakteristik Masyarakat Madani:
1.Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6.Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7.Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8.Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9.Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10.Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11.Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12.Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14.Berakhlak mulia.

2.4 Islam dan Masyarakat Madani
Islam dan Masyarakat Madani, keduanya tidak dapat dipisahkan.sudah banyak ahli membahas kesesuaian antara ajaran islam dengan Masyarakat madani (civil society). Intinya Islam mendorong terciptanya Masyarakat madani.
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Nabi Muhammad sendiri telah mencontohkan secara nyata bagaimana masyarakat madani itu, yaitu ketika beliau mendirikan dan memimpin negara kota Madinah. Hal itu terlihat tidak hanya dalam piagam atau konstitusi Madinah yang ditanda tangani dan dipatuhi oleh semua golongan dan pengikut agama-agama yang ada di Madinah saat itu. tetapi juga bisa dilihat dari penggantian nama kota Yatsrib menjadi Madinah merupakan salah satu asal mula (cognate) istilah “madani” itu sendiri.
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
·         Kualitas SDM Umat Islam
Dalam Q.S. Ali Imran ayat: 110
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
·         Posisi Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
·         Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat.
Allah melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Syu’ara ayat: 183.
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.
Dalam Q.S. An-Nahl ayat: 71.
Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.

2.5 Pra-syarat Budaya Masyarakat Madani
Masyarakat madani merupakan konsep yang memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat  melalui kontrak sosial dan aliansi sosial
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu  mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb:  
1.   Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.   Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3.   Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain  terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4.   Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga  swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan  kebijakan publik dapat dikembangkan.
5.   Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling  menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.   Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi,  hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7.   Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan  yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak asasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1.                Sentralisme versus lokalisme.
Masyarakat pada mulanya ingin mengganti bentuk pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial. 
2.                Pluralisme versus rasisme.
Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”.
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3.                Elitisme dan komunalisme.
Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan.

2.6 Perbedaan Masyarakat Madani dengan Civil Society
Istilah masyarakat madani sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain yang seringkali digunakan orang  dalam penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, padanan kata civil society. Disamping masyarakat madani, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab,atau masyrakat berbudaya.
Istilah civil society yang identik dengan masyarakat berbudaya (civilized society).
Lawannya, adalah “masyarakat liar” (savage society). Pemahaman yang melatari ini sekedar mudahnya, agar orang menarik perbandingan di mana kata yang pertama merujuk pada masyarakat yang saling menghargai nilai-nilai sosial-kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan politik), sedangkan kata yang kedua jika dapat diberikan penjelasan menurut pemikiran Thomas Hobbes, bermakna identik dengan gambaran masyarakat tahap” keadaan alami” (state of nature) yang tanpa hukum sebelum lahirnya negara di mana setiap manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi sosial diperhadapkan secara kontradiktif dengan masyarakat alami ( natural society).
Banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada  tradisi Arab-Islam sedang  civil society tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul. Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, ehingga masyarakat madani biasa berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham  bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti  peradaban atau kebudayaan tinggi. Penggunaan istilah masyarakat madani  dan civil society di Indonesia sering disamakan  atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.
Penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.
Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Allatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan ad-Din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata d-y-n. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Madinah bermakna di sanalah ad-Din (Syari’ah Islam) berlaku dan ditegakkan untuk semua kelompok (kaum) di Madinah.
Memilih pengalaman sosio-historis Islam, masyarakat madani merupakan refresentasi dari masyarakat Madinah yang diwariskan Nabi Muhammad SAW, yang oleh Robert N. Bellah, sosiolog agama terkemuka, disebut sebagai ”masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga sewafatnya Nabi, Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang pernah dirintis Nabi SAW”.
Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap urusan masyarakat. Negara dalam perspektif Islam bukanlah sekedar alat untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan individu saja sebagaimana halnya liberalisme-kapitalisme akan tetapi merupakan suatu institusi yang mengurusi kebutuhan individu, organisasi (jamaah), dan masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar negerinya, sesuai dengan peraturan tertentu yang membatasi hak dan kewajiban masing-masing. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bernard Lewis, “bahwa sejak zaman Nabi Muhammad, umat Islam merupakan entitas politik dan agama sekaligus, dengan Muhammad sebagai kepala Negara”.
Jadi, secara historis pun antara konsep civil society dengan masyarakat madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau (sang Nabi) memperjuangkan kedaulatan, agar seluruh kelompok di kota Madinah terbebaskan (terjamin hak-haknya) serta ummatnya (Muslim) leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum yang disepakati bersama.
Dari pembahasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa masyarakat madani dan civil society memiliki beberapa perbedaan. Meskipun demikian, keduanya juga memiliki persamaan yang sangat banyak.

Berikut perbedaan dari keduanya:
• Masyarakat madani berasal dari kebudayaan Arab-Islam sedangkan civil society berasal dari masyarakat barat terutama Eropa-Non islam.
• Civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan dan sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.

2.7 Masyarakat Madani di Indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat madani tidak terlepas dari kondisi sosio-kultural, politik dan ekonomi yang berkembang pada saat itu. Sementara di Indonesia, “apakah sama dengan kondisi di Eropa Barat?” dan “apakah kemudian wacana itu dapat berkembang subur di Indonesia?” Serta apakah di Indonesia sudah cukup memiliki piranti bagi terwujudnya masyarakat madani?”. Persoalan tersebut merupakan gerbang dari usaha menganalisa kemungkinan masyarakat madani di Indonesia.
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini diberlakukan ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda kepemerintahannya. Disinilah kemudian, konsep masyarakat madani menjadi alternatif pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang pada akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Sosok masyarakat madani bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik yang amat mempesona. Kehadirannya yang mampu menyamarkan wacana politik kontemporer dan meniupkan arah baru pemikiran politik, bukan dikarenakan kondisi barangnya yang sama sekali baru, melainkan disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyarakat yang lebih baik.
Kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat, dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control. Sejak zaman Orde Lama dengan rezim Demokrasi Terpimpinnya Soekarno, sudah terjadi manipulasi peran serta masyarakat untuk kepentingan politis dan terhegemoni sebagai alat legitimasi politik. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat dicurigai sebagai kontra-revolusi. Fenomena tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa di Indonesia pada masa Soekarno pun mengalami kecenderungan untuk membatasi gerak dan kebebasan publik dalam mengeluarkan pendapat.
Sampai pada masa Orde Baru pun pengekangan demokrasi dan penindasan hak asasi manusia tersebut kian terbuka seakan menjadi tontonan gratis yang bisa dinikmati oleh siapapun bahkan untuk segala usia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh kasus yang pada masa orde baru berkembang. Misalnya kasus pemberedelan lembaga pers, seperti AJI, DETIK dan TEMPO. Fenomena ini merupakan sebuah fragmentasi kehidupan yang mengekang kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya di muka umum, apalagi ini dilakukan pada lembaga pers yang nota bene memiliki fungsi sebagai bagian dari social control dalam menganalisa dan mensosialisasikan berbagai kebijakan yang betul-betul merugikan masyarakat.
Selain itu, banyak terjadi pengambilan hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan hak asasi manusia, karena hak atas tanah yang secara sah memang dimiliki oleh rakyat, dipaksa dan diambil alih oleh penguasa hanya karena alasan pembangunan yang sebenarnya bersifat semu. Di sisi lain, pada era orde baru banyak terjadi tindakan-tindakan anarkhisme yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Hal ini salah satu indikasi bahwa di Indonesia pada saat itu tidak dan belum menyadari pentingnya toleransi dan semangat pluralisme.
Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaannya sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Menurut Dawam ada tiga (3) strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia.
1.      Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa system demokrasi tidak mungkin berlagsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini pelaksanaan demokrasi liberal hanya akan menimbulkan konflik, dan karena itu menjadi sumber instabilitas politik sebagai landasan pembangunan, karena pembangunan lebih-lebih yang terbuka terhadap perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari demokrasi.
2.      Strategi yang lebih mengutamakan reformasi system politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan secara bersama-sama diperlukan proses demokratisasi yang pada esensinya adalah memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan, makam akan dengan sendirinya timbul masyarakat madani yang mampu mengontrol terhadap negara.
3.      Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari stretegi pertama dan kedua. Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yang makin luas.
Ketiga model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hikam bahwa di era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target-target grup yang paling strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu, maka keterlibatan kaum cendekiawan, LSM, ormas sosial dan keagamaan dan mahasiswa adalah mutlak adanya, karena merekalah yang memiliki kemampuan dan sekaligus aktor pemberdayaan tersebut.



STUDI KASUS

Tahun 2006 silam, sebuah berita mengejutkan muncul dari daerah Cirebon. Beberapa ormas Islam menolak penempatan Ajun Komisaris Besar Polisi Edison Sitorus sebagai Kapolresta Cirebon. Alasannya semata-mata karena Sitorus beragama Kristen. Padahal Cirebon, menurut mereka, adalah sebuah wilayah yang mayoritas beragama Islam dan menjadi simbol awal kehadiran Islam di Indonesia.
Alasan para ormas Islam menolak Kapolresta Sitorus di kota Cirebon ialah Pertama: Mereka Khawatir jika Polres Cirebon dipimpin oleh non muslim, perbuatan maksiat akan marak di Kota Udang itu. Kedua: Jika Kapolres-nya Nasrani, akan sulit berkomunikasi dengan warga yang biasa berembuk di Masjid. Ketiga: Mereka khawatir Kapolres baru akan mengganjal niat umat Islam untuk menerapkan syariat Islam di sana.
Di tahun 2012, menjelang Pilkada putaran kedua di Jakarta, isu-isu yang nyaris sama menghampiri Ahok. Padahal Ahok belum tentu menjadi Wakil gubernur, berbeda dengan Ajun Komisaris Besar Edison Sitorus. Alasannya, dikhawatirkan maraknya penerbitan izin pendirian gereja di Jakarta.


PENUTUP

4.1 ANALISA
Dari contoh studi kasus di atas kami dapat menganalisis bahwa respon ormas islam terlalu sempit sehingga tidak lagi menghargai keberadaan agama-agama lain. sebagai anak bangsa harus menyadari bahwa Indonesia bukanlah negara agama. Negara memang mengakui dan melindungi keberadaan agama-agama, tapi tidak mendasarkan diri pada salah satu dari agama-agama itu. Kesetaraan antaragama juga dilindungi UU. Karena itu, penolakan terhadap seseorang yang secara hukum sah kehadirannya, seperti Edison Sitorus atau Ahok jika menjadi Wakil gubernur, hanya karena agamanya minoritas jelas tidak mengindahkan prinsip-prinsip bernegara. kesadaran politik mereka tinggi tetapi,  hak asasi manusia tidak lagi dihargai.
Jadi, jika konstitusi negara telah menjamin hak-hak politik warga negara, meskipun minoritas sekalipun, mengapa kita harus bersikap sempit, sektarian dan jauh dari nilai-nilai Islami?. Islami di sini dalam pengertian menghormati dan berprasangka baik terhadap siapapun, sesuai dengan ajaran Islam.

1.2  SOLUSI
Dari analisis studi kasus diatas, sebagai umat Islam seharusnya berpikir universal, tidak berpikir sempit, sektarian dan penuh prasangka buruk. Kita tampaknya perlu belajar kembali soal bagaimana Nabi Muhammad Saw  membangun masyarakat Madinah yang plural dan multiagama di awal pemerintahan Beliau. Sampai hari ini, masyarakat madani yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw menjadi rujukan dalam membangun masyarakat modern yang plural. Dimana masyarakat madani tersebut adalah masyarakat yang beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi, sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat, saling menghargai dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya.
Sebuah masyarakat madani (civil society) haruslah mandiri, tidak begitu tergantung pada peran pemerintah atau negara. Barangkali, diantara organisasi sosial dan politik yang patut dicatat dan memiliki kemandirian cukup tinggi adalah organisasi yang termasuk dalam kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Non-Governmental Organization (NGO) yang di Indonesia jumlahnya mencapai ratusan.

4.3 KESIMPULAN
Masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil (civil society) oleh beberapa pakar Sosiologi. Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi, sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.
Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Civil society tidak mengaitkan prinsip tatanan pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy) jelas mengacu pada agama Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Suharto, Edi, 2002, Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan, Bandung: STKS Bandung
Sutianto, Anen, 2004, Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan, Pikiran Rakyat: Bandung
Azra, Azyumardi, 1999, Menuju Masyrakat Madani, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Gelner, Ernest, 1995, Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan, Bandung: Mizan
Tim musyawarah guru bina kewarganegaraan, 2004, kewarganegaraan, Surabaya: JP Press
Tim ICCE UIN Jakarta, 2003, Pendidikan Kewarganegaraan (civic educiation): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media
www.Ambros  Leonangung.blogspot.com