A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Alhamdulillah
kami dari kelompok tiga belas kelas P.IPS B dengan anggota Kartinem, Sariatulisma,
Chania Dwi Analisah dan Nur masyrifatul maulidah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dapat meneyelesaikan
makalah ini dengan judul Hubungan Agama dengan Kekerasan dan Konflik. Makalah
ini disusun sebagai tugas matakuliah Sosiologi Agama dengan dosen pengampu Dr.
H. Zulfi Mubarok, M.Ag. Besar harapan kami, makalah ini dapat digunakan sebagai
bahan pembelajaran guna mengembangkan jati diri calon akademis dan prefesional
perguruan tinggi khususnya bidang pendidikan dan pengajaran, juga dimaksudkan
sebagai perekat agar mahasiswa tidak kehilangan arah.
Urgensi
topik kami kami yang pertama yaitu membahas tentang pengertian kekerasan. Kedua membahas tentang pengertian konflik. Ketiga membahas
tentang hubungan agama dengan kekerasan dan konflik. Isi
global makalah ini yaitu membahas pengertian kekerasan dan konflik. Kekerasan
yaitu sebagai tindakan aktor menekankan aspek makrodan berfokus pada bentuk
kekerasan personal yang sering terbatas ruang dan waktu.
Isi global
dari makalah ini adalah pembahas tentang pengertian Agama, kekerasan dan
konflik, dan yang terakhir membahas tentang
hubungan Agama dengan kekerasan dan konflik, yang mana semua kekerasan
di dunia ini memiliki landasan Agama atau disebabkan oleh Agama namun lebih
banyak kekerasan terjadi atas nama Agama. Dan Agama sendiri bukan berarti
penyebab dari masalah yang dihadapi manusia tetapi agama juga sebagai petunjuk,
pedoman hidup, untuk mencari perlindungan dan agama dapat digunakan untuk
mengatasai masalah Jadi tidak semua kekerasan atau konflik itu disebabkan oleh
Agama, sedangkan Agama dan kekerasan itu saling berkaitan karena dengan adanya
Agama kita bisa menyelesaikan konflik secara baik- baik dan didalam Agama
sendiri sudah dijelaskan bahwa kekerasan itu tidak boleh.
2.
Tujuan Pembahasan
a. Untuk memahami unsur-unsur agama.
b. Untuk memahami pengertian kekerasan dan
konflik.
c. Untuk memahami unsur kekerasan dan
konflik.
d. Untuk memahami hubungan agama dengan kekerasan dan konflik.
3.
Rumusan Masalah
a. Apa saja unsur-unsur agama?
b. Apakah yang dimaksud dengan kekerasan
dan konflik?
c. Apa saja unsur-unsur kekerasan dan konflik?
d. Bagaimana hubungan agama dengan kekerasan dan konflik?
B.
PEMBAHASAN
1.
Unsur-unsur Agama
Agama
adalah tanggapan manusia terhadap titik kritis di mana dia bersentuhan dengan
kekuatan tertinggi dan sakral.[1]
Agama
merupakan rasa takut yang selalu ada dan kerendahan hati yang secara paradoks
berubah menjadi dasar bagi rasa aman, sebab bila rasa takut yang dikhayalkan
ada dalam hati seseorang dan kerendahan hati selamanya tetap diakui, maka
terjaminlah keunggulan-keunggulan kesadaran manusia. Tidak akan ada rasa takut
atau tindakan yang merendahkan hakikat keagamaan yang terdalam, sebab mereka
secara intuisi mengalami kedua emosi tersebut mendahului rasa permusuhan yang
diungkapkan terhadap dunia yang begitu luas, sangat berarti bagi keinginan
manusia. Sadar atau tidak sadar, ia merupakan perburuan terhadap realitas
tertinggi yang mengikuti kekalahan total tetapi diperlukan, merupakan inti dari
agama. [2]
Agama,
religi dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo ‘tata
keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia.
Selain itu ia juga merupakan suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada
sesuatu yang dianggap yang Mutlak, juga
sebagai sistema norma ‘tata kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan
manusia serta antara manusia dan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadahan itu.[3]
Sebuah
agama atau aliran kepercayaan menjadi benar atau dibenarkan keberaadaannya jika
memiliki 3 unsur. Ketiga unsur tersebut adalah :[4]
a. Credo
Yakni suatu agama pastilah memiliki
sistem kepercayaan yang percaya akan adanya Tuhan. Dalam konteks ini, sebuah
agama tentu tidak akan dinamakan agama jika tidak memiliki Tuhan. Ini sesuai
dengan pengertian agama dalam pembahasan di awal tentang agama yang berarti
mengikat diri kembali kepada Tuhan.
b. Ritus
Sebuah agama pasti memiliki suatu
sistem ritual hubungan antara pemeluk agama dengan Tuhan yang diyakini oleh
masing-masing pemeluk agama. Ritus ini pasti ada dan berbeda tiap-tiap agama.
Dalam agama islam ritual ini bisa berupa sholat 5 waktu, berpuasa
di bulan Ramadhan, naik haji
bagi yang mampu serta ritual-ritual lainnya
yang begitu banyak.
c. Norma (Hukum)
Sistem norma ini mengatur
hubungan-hubungan sosial antara pemeluk agama dengan pemeluk agama lain. Sistem
norma inilah yang menciptakan kerukunan antar umat beragama. Tidak ada
satupun agama di
dunia ini yang mempunyai sistem norma yang mengajarkan untuk bermusuhan dengan
orang dari pemeluk agama lain. Sistem norma ini selalu mengajarkan kebaikan
kepada para pemeluk masing-masing agama.
Menurut
Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:[5]
a. Kepercayaan
agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
M. Natsir. Agama adalah
kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor, antara lain 1)
percaya dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari segala sumber hukum dan nilai
hidup; 2) percaya dengan wahyu Tuhan kepada Rasul-Nya; 3) percaya dengan adanya
hubungan antara Tuhan dan manusia atau perseorangan; 4) percaya d3engan
hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari; 5) percaya bahwa dengan
matinya seorang, kehidupan rohnya tidak berakhir; 6) percaya dengan ibadah
sebagai cara mengadakan hubungan Tuhan; 7) percaya dengan keridhaan Tuhan
sebagai tujuan hidup di dunia. Sungguh pun beberapa faktor lagi yang dapat kita
sebut, tetapi sudah cukup untuk melukiskan dengan jelas definisi agama,
sehingga kita dapat melihat bedanya dengan yang lain (“Islam dan Sekularisme”,
pidato dalam sidang pleno kontituante, 12 November 1957). [6]
Ahmad
Mukti Ali menyatakan agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa
dan hukumyang diwahyukan kepada utusan-utusan untuk kebahagiaan hidup manusia
di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ciri-ciri agama adalah 1) mengakui
adanya Tuhan Yang Maha Esa; 2) memiliki kitab suci dari Tuhan Yang Maha Esa; 3)
Memiliki Rasul ‘utusan ‘dari Tuhan Yang Maha Esa; 4) memiliki hukum sendiri
bagi kehidupan para penganutnya berupa perintah-perintah larangaan-larangan dan
petunjuk-petunjuk[7] K.H.E.
Abdurrahman. Agama adalah ketetapan ketuhanan karena kebaikan Allah kepada
manusia dengan melalui lidah (dengan menyambung) dari antara mereka. Untuk
mencapai kerasulan itu tidak dapat
dengan usaha dan tidak pula di buat-buat, dan tidak akan mendapatkan wahyu
dengan cara belajar. In Huwwa ila wahuun
yuha, yang demikian tidak lain hanya semata-mata wahyu yang diwahyukan
kepadanya.
b. Simbol
agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c. Praktik
keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan
hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran
agama.
d. Pengalaman
keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh
penganut-penganut secara pribadi.
e. Umat
beragama, yakni penganut masing-masing agama.
Secara umum ruang lingkup suatu
agama meliputi unsur-unsurnya sebagai berikut:[8]
a.Substansi yang disembah
Dalam setiap agama, esensi dari
keagamaan adalah penyembahan pada sesuatu yang dianggap berkuasa. Substansi yang
disembah menjadi pembeda dalam kategorisasi agamanya, ada yang memusyrikan
Allah dan ada yang mentauhidkan Allah.
b. Kitab Suci
Kitab suci merupakan salah satu
ciri khas dari agama. Bila suatu agama tidak memiliki kitab suci, maka sulit
dikatakan sebagai suatu agama.
c. Pembawa Ajaran
Pembawa ajaran suatu Agama Samawi
disebut Nabi (Rasul) yang menerima wahyu dari Allah SWT. untuk disampaikan
kepada masyarakat berdasarkan wahyu yang diterimanya. Dalam Agama Tabi’i,
proses kenabian kadang-kadang melalui proses evaluasi yang dihasilkan
berdasarkan sebuah julukan yang sengaja dikatakan untuk (sebagai) penghormatan
tanpa adanya pengakuan berdasarkan wahyu dari Allah SWT.
d. Pokok-pokok Ajaran
Setiap Agama baik Samawi maupun
Tabi’i mempunyai pokok-pokok ajaran atau prinsip ajaran yang wajib diyakini
bagi pemeluknya. Pokok ajaran ini sering disebut dengan Dogma, yaitu setiap
ajaran baik percaya atau tidak, bagi pemeluknya wajib untuk mempercayainya.
e. Aliran-aliran
Setiap agama yang ada di dunia
ini baik Samawi maupun Tabi’i memiliki aliran-aliran yang berkembang pada agama
masing-masing yang diakibatkan karena adanya perbedaan pendapat/pandangan baik
perorangan maupun kelompok yang mengakibatkan timbulnya suatu aliran yang
masing-masing kelompok memperkuat paham kelompoknya. Dalam Islam perbedaan
merupakan rahmat, sedangkan dalam agama selain Islam dapat berubah pada
masalah-masalah pokok, seperti berubahnya paham ketuhanan dalam agama tauhid
menjadi agama musyrik ( syirik kepada Allah SWT).
2.
Pengertian Kekerasan Dan Konflik
Kekerasan secara etimologi
yaitu perihal (yang bersifat perinci) keras, perbuatan seseorang atau kelompok
orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain, paksaan[9]
Istilah kekerasan
(violence) secara etimologis berasal dari bahasa latin “vis” yang artinya
kekuatan, kedahsyatan, dan kekerasandan “latus” yang artinya membawa. Dari
istilah tersebut berarti “vislotus” berarati membawa kekuatan, kehebatan,
kedahsyatan dan kekerasan. Adapun dilihat dari arti secara terminologis berarti
perbuatan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menyebabakan cedera atau
matinya orang atau kelompok lain atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang.
Dalam
kajian tentang kekerasan atas nama agama, tidak dapat dipisahkan dengan kajian
tentang agama itu sendiri dan bagaimana manusia memberikan makna terhadapnya.
Menurut perspektif sosiologi, kajian tentang agama merupakan objek yang menarik
dan tidak kunjung usai untuk diperbincangkan. Oleh karena itu, kajian-kajian
menyangkut objek tersebut telah memancing munculnya berbagai perspektif dari
beragam disiplin ilmu. Walaupun demikian, ternyata wacana tentang agama itu
masih merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas untuk dibahas.[10]
Secara
mendasar dan umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya dengan
Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan
lingkungannya. Dalam definisi tersebut, sebenarnya agama dilihat sebagai teks
atau doktrin.[11]
Muhammad
Iqbal memberi pertanyaan tentang agama yang dikutip oleh Damani, bahwa “religion
is an expression of the whole man”, yaitu agama merupakan ekspresi manusia.
Oleh karena itu, wajar saja jika ada pemeluk agama yang terlihat begitu fanatik
terhadap keyakinan agamanya, bahkan sampai pada pengakuan kebenaran tunggal (truth
claim) bahwa hanya dalam keyakinan agamanya sajalah satu-satunya terdapat
kebenaran.[12]
Latar
belakang manusia bersedia memeluk dan menghayati agama adalah disebabkan oleh
enam faktor pendorong, yaitu:[13]
1. Untuk memperoleh rasa aman
2. Untuk mencari perlindungan
3. Untuk mencari penjelasan esensial
tentang dunia dan kehidupan di dalamnya
4. Untuk memperoleh pembenaran yang
memuaskan tentang praktik kehidupan yang semestinya
5. Untuk meneguhkan tata nilai yang telah
mengakar dalam masyarakat
6. Untuk memuaskan kerinduan pada
kehidupan.
Ada
empat motivasi yang mendorong orang berperilaku agama, yaitu:[14]
1. Agama dapat digunakan untuk mengatasi
frustasi karena alam, sosial, moral, dan kematian
2. Agama dapat digunakan untuk menjaga
kesusilaan dan tata tertib masyarakat
3. Agama dapat digunakan untuk memuaskan
intelek karena dorongan keingintahuan manusia
4. Agama dapat digunakan untuk mengatasi
rasa takut.
Sedangkan
Crapps menjelaskan adanya bukti bahwa manusia dalam memeluk agama disebabkan
beberapa faktor, yaitu: pemikiran, emosi religius, afeksi religius, kehendak,
dan pengambilan keputusan moral.[15]
Sedangka menurut Fowler bahwa beragama itu merupakan gejala universal yang
dialami oleh setiap manusia yang hidup di dunia.[16]
Dengan demikian agama itu merupakan sesuatu yang bermakna dan maknanyapun
sangat bervariasi antara satu pemeluk dengan yang lain.
Adapun
dalam kaitannya dengan aksi kekerasan
atas nama agama, bahwa pada awalnya istilah kekerasan digunakan untuk
menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert),
yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive),
yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.[17]
Dalam hal ini, kekerasan digunakan sebagai sarana untuk memaksa atau menekan
orang lain, dengan cara pergerakan fisik dan sosial.
Menurut
Galtung, kekerasan didefinisikan sebagai akibat perbedaan antara yang potensial
dengan yang aktual. Di satu pihak, manusia mempunyai potensi yang masih berada
di “dalam”. Sedangkan di lain pihak, potensi menuntut diaktualisasikan yaitu
dengan merealisasikan dan mengembangkan diri dan dunianya dengan nilai-nilai
yang dipegang. Pengertian “actus” mencakup kegiatan, aktivitas yang
tampak (seperti berpikir, merenung dan kegiatan mental atau psikologis) dan
aktivitas yang tidak tampak. Hal ini menjadi titik tolak (starting point)
untuk memahami kekerasan sebagai akibat perbedaan antara yang potensial dan
aktual. Pengandaian dasarnya ialah apa yang mungkin atau dapat
diaktualisasikan, harus direalisasikan. Walaupun, pada realitanya tidak semua potensia
kemudian berkembang menjadi actus.[18]
Jadi kekerasan itu terjadi, jika manusia dipengaruhi nilai-nilai yang
dipegangnya sehingga realisasi mental dan jasmaninya berada di bawah realisasi
potensialnya.[19]
Galtung
juga membedakan kekerasan personal, struktural dan kultural. Sifat kekerasan
personal adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat
sehingga dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya
statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, dan tidak tampak. Dalam masyarakat
statis, kekerasan personal akan diperhatikan, sementara kekerasan struktural
dianggap wajar. Namun dalam masyarakat yang dinamis, kekerasan personal dapat
dilihat sebagai hal yang salah dan berbahaya, sementara kekerasan struktural
semakin nyata menampilkan dirinya.[20]
Kekerasan
personal menitikberatkan pada “realisasi jasmani aktual”. Ada tiga pendekatan
untuk melihat hal tersebut yaitu:
1.
Cara-cara
yang digunakan (menggunakan badan manusia atau senjata)
2.
Bentuk
organisasi (individu, massa atau pasukan)
3.
Sasaran
(manusia).
Kekerasan
personal dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara struktural) dan
fisiologis (secara fungsional). Anatomis sebagai usaha menghancurkan mesin
manusia sendiri (badan), sedangkan Fisiologis sebagai usaha untuk mencegah agar
mesin itu tidak berfungsi.[21]
Perbedaan
kekerasan personal dan kekerasan struktural tidak tajam. Keduanya dapat
memiliki hubungan kasual dan juga hubungan dialektik. Pembedaan antar keduanya
berarti dapat melalaikan unsur struktural dalam kekerasan personal dan unsur
personal dalam kekerasan struktural. Walaupun kekerasan sudah menjadi satu
dengan struktur, namun ada saja orang yang tampaknya menjadi beringas dalam
hampir semua kejadian.[22]
Adapun
kekerasan kultural bertalian dengan aspek-aspek budaya yang dapat digunakan
untuk menjustifikasi kekerasan personal atau kekerasan struktural, yaitu berupa
agama, ideologi, bahasa dan seni. Kekerasan kultural menjadikan kekerasan
personal dan kekerasan struktural tampak jelas terlihat, dirasakan, dan
dibenarkan atau tidak salah. Studi kekerasan berbicara tentang dua hal, yaitu
penggunaan kekerasan dan justifikasi penggunaan kekerasan tersebut. Secara
khusus, kekerasan kultural menyoroti bagaimana cara suatu perbuatan kekerasan
personal dan fakta kekerasan struktural dilegitimasi dan dapat diterima di
tengah-tengah masyarakat. Satu cara bagaimana kekerasan kultural dapat
berlangsung, yaitu dengan mengubah warna moral perbuatan dari merah (salah)
menjadi hijau (benar) atau kuning (dapat diterima). Atau dengan cara lain yaitu
membuat realitas menjadi tidak jelas atau samar sehingga kita tidak mampu
melihat fakta yang sesungguhnya adalah kekerasan.[23]
Menurut Bourdieu, kekerasan kultural yaitu bentuk kekerasan yang halus dan
tidak tampak atau tersembunyi di balik pemaksaan dominasi kekuasaan simbolik
dan kekerasan semiotik. Sedangkan kekerasan semiotik merupakan bentuk kekerasan
yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan.[24]
Dari
deskripsi tentang kekerasan, maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
besar. Pertama, kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor. Kedua,
kekerasan sebagai produk dari suatu struktur (violence as a product of the
structure). Ketiga, kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur
(violence as a interrelationship between actor and structure).
Menurut
beberapa biolog, fisiolog dan psikolog bahwa kelompok pertama itu ialah manusia
melakukan kekerasan karena kecenderungan bawaan (innate) atau sebagai
konsekuensi dari kelainan genetik atau fisiologis. Mereka memang meneliti
hubungan kekerasan dengan keadaan biologis manusia, namun mereka gagal
memperlihatkan faktor-faktor biologis sebagai faktor penyebab kekerasan.[25]
Dan juga belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia dari pembawaannya menyukai kekerasan.
Hal-hal
yang juga penting untuk dikaji ialah bagaimana mobilisasi kekerasan agama dapat
terjadi, seperti dinyatakan Gurr bahwa kekerasan dimulai dari diri aktor.
Individu yang sebelumnya memberontak harus memiliki latar belakang situasi
seperti terjadinya ketidakadilan, munculnya kemarahan moral, dan kemudian
memberi respon berupa kemarahan terhadap sumber penyebab. Selain itu, massa
harus merasakan situasi konkrit dan langsung yang menjadi pendorong ungkapan
kemarahan mereka, sehingga mereka bersedia menerima resiko yang berbahaya.
Kekerasan didefinisikan secara sederhana sebagai
bentuk tindakan yang melukai, membunuh, dan menghancurkan lingkungan. Mengapa
kekersan sering kali muncul dalam relasi
konflik?. Pertanyaan di atas mengajak pada pembahasan sifat alamiah manusia (
the nature individual ). Beberapa filsuf dan ilmuwan social klasik
bersepakat bahwa ada naluri pirba manusia seperti yang dimiliki oleh hewan.
Ibnu khaldun menyebut manusia memiliki sifat animal power. Ada kecenderungan
manusia untuk menggunakan cara-cara hewan dalam memperjuangkan tujuan-tujuan
mereka. Charles Darwin menjadi filsuf yang secara ekstrem menyebutkan survival
of the futtest atau siapa yang terkuatlah yang yang bias hidup. Filsafat
darwinan ini kemudian memberi pengaruh terhadap dialektika material Karl Max
mengenai pejuangan kelas.
Secara implisit para pendahulu ilmu social seperti
Hobbes, Marx Weber , dan Durkheim memperlihatkan kekerasan muncul pada skala
individual dan Negara. Kekersan sebagai hasil kalkulasi rasional terutama
sekali mempengaruhi konsep kekerasan teroganisasi, yaitu kekerasan dalam
gerakan social.
Agama
dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai
yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi
kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan
agama yang dianutnya. Agama juga mempunyai pengaruh sebagai motivasi dalam mendorong
individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan
dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian serta
ketaatan.[26]
Konflik secara etimologi
berarti pertentangan paham; pertikaian; persengketaan; perselisihan.[27]
Konflik
secara etimologi berarti percekcokan; perselisihan; pertentangan;
ketegangan atau pertentangan di dl cerita rekaan atau drama
(pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan diri satu tokoh, pertentangan
antara dua tokoh, dan sebagainya).[28]
Konflik adalah berasal dari kata confliction (onis) yang
berarti tabrakan, cekcok, pertengkaran,
bentrokan. Istilah lainnya adalah conflicto (lat) yang berarti melanda,menimpa,
menghancurkan, memecahkan, menganggu, bertempur, berperang, bergerak. Demikian
juga dengan istilah conflectus (berarti menabrakan atau membenturkan satu sama
lain), Con-fligere dan conflictum (bererti saling berbenturan, semua bentuk
benturan, ketidak serasian, pertengkaran, perkelahian, oposisi dan interaksi
antagonistis).
Biasanya konflik berkait erat dengan ketegangan, sedangkan
ketegangan adalah suatu keadaan yang tercipta yang berasal dari sikap
persaingan dari beberapa pihak yang saling bertentangan dan tak tersatukan.
Konflik sendiri merupakan akibat dari keanekaragaman individu yang dipengaruhi
relasi psikologis.Ketegangan dapat memuncak menjadi konflik yang menyangkut
tingkah laku yang nampak atau tersembunyi dan tidak langsung atau kasar.[29]
Dalam
pembicaraan konflik akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan agamanya,
untuk mengidentifikasi timbulnya konflik. Penganut suatu agama tentu saja
manusia, dan manusia adalah bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, betul
bahwa “masyarakat” akan menjadi lahan adanya konflik sebagaimana disyaratkan
dalam pertanyaan tentang teori konflik. Pembicaraan ini dimulai dari tataran
penganut agamanya, penganutb agama adalah orang yang meyakini dan mempercayai
suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik
atau buruk, yang dalam term islam
disebut “amal perbuatan”. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu
baik dan buruk. Keyakinan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami ajaran
agamanya, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
3. Unsur-Unsur
Kekerasan dan Konflik
- Perbuatan tidak menyenangkan
- Menimbulkan kerusankan
- Perpecahan (disentegrasi)
- Kekuatan
- Kesenjangan
- Perselisihan
- perbedaan
4.
Hubungan Agama dengan Kekerasan dan Konflik
Sejarah
menunjukkan bahwa tidak semua kekerasan di dunia ini memiliki landasan agama,
namun lebih banyak kekerasan terjadi atas nama agama.[30]
Secara apologetik adalah terlalu sederhana untuk mengklaim bahwa ajaran agama
pada dasarnya tidak memiliki unsur kekerasan dan hanya manusialah yang
membelokkan dari makna sesungguhnya. Dalam realitanya, akar kekerasan dapat
ditemukan langsung dalam agama dan oleh karena itu agama dapat dengan mudah
dijadikan kendaraan bagi tendensi kekerasan.[31]
Kenyataan
menunjukkan bahwa sejarah kehidupan manusia, seperti yang tercantum dalam
narasi kitab suci, adalah sejarah tentang kekerasan. Agama secara moralitas
memang tidak mengajarkan atau melakukan kekerasan. Namun pemeluk agama akan
melakukan tindakan kekerasan, ketika identitas mereka merasa terancam. Penganut
agama ini merasa bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan dibenarkan oleh
Tuhan mereka.
Bila
di sentuh sistem- sistem agama besar lainnya maka akan di temukan jejak yang
sama. Naskah- naskah agama tersebut mencerminkan ritualisasi kekerasan
pengorbanan, penggunaan kekerasan untuk mencapai kebaikan tertinggi dan
kebutuhan kekerasan dalam mempertahankan iman, bersamaan dengan regulasi etis
kekerasan tidak sah, semuanya bertujuan mencapai perdamaian tertinggi.[32]
Hampir
tidak didapatkan suatu asumsi yang membenarkan adanya kekerasan yang bersifat
keagamaan. Bahkan contoh yang bisa diutarakan untuk mendeskripsikan kekerasan
agama semisal perang salip, ditampik sebagai kekerasan yang bertolak dari
persoalan agama. Agama dan kekerasan adalah dua persoalan yang saling
menegasikan dan tidak mungkin dikonvergasikan dalam suatu bentuk pemahaman yang
utuh. Agama mengakui kekerasan sebagai perumpamaan dari realitas dunia yang
tidak ideal. Karena itu kekerasan yang secara konstitutif inheren dalam agama
justru diarahkan untuk menegasikan realisasi praktik-praktik kekerasan itu
sendiri. Kekerasan dalam agama adalah hukuman yang dikenakan untuk anggota
komunitas umat yang terbukti tidak mematuhi perintah tuhan sebagaimana terdapat
dalam ajaran agama.
Agama
menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Kekerasan
lebih bersifat represif yang didalamnya mengandung unsur amoral karena selalu
mengandaikan pemaksaan kehendak terdahap orang lain, yang berarti hal ini juga
sebagai pelanggaran atas asas kebebasan dalam interaksi sosial. Dengan demikian
kekerasan merupakan tindakan yang tidak manusiawi, karena manusia pada dasarnya
adalah makhluk yang bebas secara moral. Moralitas agama adalah kesadaran,
kebenaran, dan kesalehan yang selalu mendorong pemeluknya untuk saling akrab
satu sama lain. Agama selalu mempertimbangkan makna hidup, kebenaran, dan tujuan
yang luhur.[33] Dalam pada itu, analisis-analisis
sosiologi menyatakan bahwa agama dapat fungsi mempersatukan masyarakat (integrasi) atau memecah belah
masyarakat (disintegrasi). Ajaran agama yang menekankan cinta, kasih, perdamaian
,keadilan, kejujuran dan berbagai perbuatan baik lainnya tentulah di harapkan
dapat berfungsi integratif. Namun disisi lain kecenderungan setiap agama yang
menganggap agamanya paling benar, sifat ekspansi agama dari daerah kelahiran ke
daerah- daerah lain, serta penetrasi agama kedalam budaya lokal, acapkali
mengarah pada tindakan kekerasan yang mengarah pada fungsi agama yang
disintegratif. Konflik juga semakin bertambah ketika agama menjadi sumber
langsung kekerasan.
Dalam
beberapa kasus agama menghasilkan perbedaan pemahaman. Beberapa perbedaan
tersebut muncul secara mudah sebagai dasar moralitas yang di gunakan sebagai
alasan aksi- aksi kekerasan, dan intensitas ritual yang di gunakan sebagai alat
untuk melakukan aksi itu. Perbedaan - perbedaan lainnya merupakan perbedaan yang
lebih mendalam dan merupakan inti dari agama itu. Citra agama tentang
perjuangan yang gampang di kenali, dan konsep- konsep tentang perang yang
dahsyat telah di lakukan dalam perjuangan- perjuangan sosial. Ketika peperangan
diimpi-impikan sebagai manayang muncul dalam rencana manusia, akhirnya hal itu
mereka tuangkan menjadi kenyataan melalui aksi- aksi kekerasan.[34]
Permasalahan
itu semakin kompleks dengan adanya pemahaman baru yang menyatakan bahwa agama
berperan dalam bagian dunia yang lain sebagaimana idiologi masyarakat,
khususnya dalam gerakan nasionalisme agama, dimana agama dan idiologi politik
di gabungkan. Ketika kasus- kasus ini di ungkap, agama menjadi tidak bersalah,
dengan catatan tidak membawa kearah kekerasan. Namun kenyataannya dengan adanya gabungan dari tatanan kehidupan
politik, sosial, idiologi, maka agama lebur dengan ekspresi kekerasan sebagai
perwujudan dari aspirasi sosial, harga diri, dan gerakan dami perubahan
politik.[35]
Dalam
situasi politik yang belum stabil, konflik, dan kekerasan akan mudah
berkembang. Konflik horizontal yang terjadi di berbagai daerah dipicu oleh
beragam instrumen, tidak hanya sebatas pada sentimen etnis, suku, ras, dan
agama, tetapi juga dipicu oleh motivasi ideologi ekspansi yang bersifat
transnasional, kapitalisme semakin kuat, sentimen sosial seperti ketidak adilan
dan dendam sosial yang dibentuk oleh situasi yang ada semakin menegaskan perta
konflik.
Dalam
kehidupan umat manusia, konflik telah menjadi sesuatu yang selalu ada, baik itu
konflik yang bersifat laten maupun manifes. Konflik laten sering muncul dalam
kondisi masyarakat yang diperintah secara otoriter oleh penguasa, juga konflik
jenis ini dapat berkembang dalam masyarakat yang bersifat tertutup, model
konflik ini banyak dijumpai di berbagai daerah dan rasa tidak puas masyarakat
atas kebijakan rezim, sering kali dilawan dengan cara-cara yang tidak radikal.
Di
kalangan umat beragama berkembang suatu keyakinan mengenai kebenaran yang
diproduksi dari dialektika sosial politik yang berkembang. Sejak jatuhnya Orde
baru tahun 1998, dikalangan umat islam muncul dan merebak berbagai pemahaman
keagamaan yang bervariasi, mulai dari yang mengambil haluan politik, hingga
kepada “penciptaan” model agama baru yang diyakini oleh mereka yang
mengikutinya sebagai suatu pemahaman akan kebenaran yang otentik.
Untuk
beberapa konflik dan kekerasan yang sering muncul kelompok umat yang sama-sama
memilki kekuatan yang seimbang artinya perimbangan kekuatan sosial seperti
suku, agama, ras dan antar golongan yang
hampir sama, potensial sebagai akar utama penyebab terjadinya konflik. Konfil
dan kerusuhan sosial tidak akan terjadi apabila tidak didahului oleh
faktor-faktor akselerator, maupun pemicu, meskipun di suatu daerah sudah ada
sumber-sumber masalah. Sebagai gejala sosial, konflik akan selalu ada pada
setiap masyarkat, karena antagonisme atau perbedaan menjadi ciri dan penunjang
terbentuknya masyarakat. Para sosiolog menyebutkan bahwa perbedaan sosial tidak
mungkin bisa dihindari.[36]
Ketika
komponen agama diyakini menjadi bagian dalam membangun realitas sosial maka
agama kemudian menjadi sistem nilai yang realisasinya sangat ditentukan oleh
dinamika masyarakat itu sendiri. Dalam arasy ini ekspresi keagamaan sudah
menjadi bagian dari ekspresi kebudayaan. Dengan demikian agama mulai beralih
dari kenyataan-kenyataan metafisika menjadi persoalan-persoalan yang socially
contruted. Dalam dimensi sosialnya agama tidak bisa lagi berapologi
membangun sinyalemen-sinyalemen pembelaan kaitannya dengan fenomena kekerasan
yang sering dihubung-hubungkan dengan agama. Karena kenyataannya tidak bisa
dihindari bahwa kekerasan adalah bagian dari realitas sosial itu sendiri
sehingga memunculkan apa yang disebut dengan budaya kekerasan.
Jika
agama telah melegitimasi aksi kekerasan tertentu, maka pemeluk agama tersebut
juga berusaha untuk membatasi frekuensi
dan ruang aksinya. Sikap yang membingungkan ini mencerminkan penggunaan
kekerasan sebagai suatu alat untuk mempertahankan diri dan mematuhi norma-norma
agama pada salah satu sisi, namun juga mengetahui potensinya atas sifat merusak
yang dapat dikontrol terhadap pihak lain. Pada hampir sebagian besar agama
seseorang menjumpai penekanan yang mendalam antara penggunaan dan sublimasi
kekerasan dan suatu kebenaran untuk menjadi" martir yang suci" yang mengorbankan
hidup mereka untuk kehidupan orang lain.[37]
Untuk
meletuskan kekerasan, identitas agama harus memusnahkan identitas dengan
identifikasi awal bersama anggota-anggota kelompok yang dimiliki perorangan
pada sejumlah orang besar, membangkitkan kembali perasaan cinta yang dikaitkan
seseorang, dan kebencian terhadap kelompok lain yang anggotanya
dihomogenisasikan, dan dilecehkan martabatnya. Untuk terjadinya kekerasan,
ancaman terhadap identitas agama harus melawan penghalang tertentu, dimana
potensi tindakan menghakimi menjadi tindakan kemarahan yang diaktifkan
sepenuhnya yang secara jelas melalui dan antara anggota suatu kelompok agama.
Dipicu oleh kabar angin, dinyalahkan oleh demogang agama, keinginan untuk
menghakimi memberikan sinyal pemusnahan idetintas kelompok dan harus dilawan oleh
pengukuhannya yang kuat.[38]
Keterlibatan
agama dibandingkan identitas sosial lainnya tidak akan padam secara perlahan,
melainkan sebaliknya, meningkatkan konflik kekerasan. Agama membawa konflik
antara kelompok intensitas emosi yang lebih besar dan motivasi pemaksaan yang
lebih mendalam dibandingkan bahasa, daerah atau olokan terhadap identitas etnis
lainnya.[39]
Skenario
kekerasan dan sasaran yang menjadi tujuannya secara bersamaan menunjukkan bahwa
kekerasan atas nama agama bukanlah sesuatu yang bersifat alami maupun sesuatu
yang tidak dapat dihindari. sebaliknya, dalam berbagai kasus yang
diinformasikan bahwa agama telah menjadi sumber kekerasan di berbagai belahan
dunia. Dan lebih dari itu dutunjukkan pula skenario kekerasan sedang ditangani
atas nama agama yang dipahami dan dipraktikkan dengan cara yang berbeda. ia
memainkan peranan yang penting baik yang positif maupun yang negatif disemua
agama-agama besar. Ritual-ritual yang menimbulkan kekerasan sangat inheren dalam
agama. Kekerasan tidak dapat begitu saja diabaikan dan naif dihindari. Ia
menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun pada saat yang sama, unsur-unsur deskruktif yang imanen
dalam kekerasan dapat ditransformasikan dan kemudian diatasi. Dalam hal ini, agama
pun dapat menjadi dasar yang kuat untuk mengatasi kekerasan.[40]
Kekerasan
agama secara kultural sering bermula dari kognisi para pemeluknya sebagai
capaian proses internalisasi yang dijalaninya sehingga memunculkan
tafsir-tafsir dan anggapan-anggapan yang dapat mempengaruhi realisasi jasmani
dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya.
Kenyakinan-kenyakinan yang bertolak dari truth claim tentunya berimplikasi pada
religiusitas soliptisisme yang akan terus bergerak pada pencapaian peniadaan
kelompok keyakinan agama yang lain.
Sementara
kekerasan struktural agama berupa terjadinya ketidaksamaan sehingga agama atau
kelompok keyakinan dalam jumlah yang lebih kecil tidak hanya terhalangi dimensi
potensialnya, tapi sudah berada dibawah batas minimum subsistensinya. Struktur
tidak memungkinkan kelompok minoritas membangun kekuatan, mengorganisir
kelompoknya dan mewujudkan kekuasaannya, tapi struktur tersebut justru membuat
mereka terpecah, disintegratif, tidak memiliki kekuasaan atas diri sendiri sehingga
tampak terlalu lemah untuk menghadapi kekuatan yang lebih besar.
Struktur
dirancang untuk mengubah sistem kepercayaan dan keberagaman dari menerima
partikularitas dan pluralitas kependasaran pada satu kelompok dan pemahaman
keagamaan. Struktur yang penuh kekerasan menurut Galtung, punya eksploitas
sebagai sebuah center-piece. Hal ini berarti bahwa kelompok mayoritas (topdogs)
memiliki akses dan interaksi ke dalam struktur jauh lebih banyak dibandingkan
kelompok yang lebih kecil (underdogs). Dalam posisi tersebut, underdogs tidak
diuntungkan sehingga mereka “mati” akibat pertukaran yang tidak adil tersebut.
Struktur agama yang penuh kekerasan tidak saja menimpa tubuh manusia, tapi juga
pikiran dan jiwanya. Karena itu sekalipun kekerasan struktural membahayakan
tubuh manusia, tapi ia lebih dilihat sebagai kekerasan psikologi.
Ada
empat elemen yang menjadi bagian dari eksploitasi atau komponen-komponen
penguatan kekerasan dalam struktur. Semua berfungsi penghambat pembentukan
mobilisasi kesadaran serta mengaburkan kondisi perjuangan yang efektif melawan
eksploitasi. Keempatnya adalah penetrasi yang memposisikan kelompok dominan
superior di dalam kelompok minoritas sehingga memungkinkan mereka leluasa
bertindak, selanjutnya digabung dengan segmentasi yang memberi underdogs
pandangan yang sangat parsial mengenai apa yang terjadi. Kemudian marjinalisasi
yang menjaga underdogs agar tetap diluar yang digabung dengan fregmentasi yang
menjaga jarak dan menyekat underdogs jauh dari yang lainnya, namun keempat unsur
ini harus dilihat sebagai kekerasan struktural.
Agama
bisa terperangkap dalam spiral kekerasan ketika agama berada dalam kondisi yang
tidak berjarak dengan kekuasaan. Agama akan dengan mudah menjadi justifikasi
untuk membenarkan kekerasan yang dilakukan oleh suatu kekuasaan. Kerekatan
agama dan institusi agama dengan pusat kekuasaan akan menggiringnya ke dalam
titik subordinat yang pada gilirannya agama bisa dipakai sebagai alat untuk
melakukan kekerasan. Kekerasan agama dalam konteks ini, akan berimplikasi luas
dalam kehidupan sehari-hari yang diindikasikan dengan tumbuh suburnya
mentalitas kepasrahan dan penyerahan diri merupakan keutamaan manusia yang
lemah di hadapan tuhan.
St.Sunardi
menggolongkan kekerasan agama kedalam tiga tipe. Pertama, kekerasan intern
agama. kekersan ini biasanya terjadi dalam agama tertentu. Para tokoh agama
yang mencoba melakukan kritik internal (sebagai usaha pembaharuan atau
purifikasi) harus berhadapan dengan kelompok yang menghendaki status-quo. Dari
situ muncul kecenderungan radikalisme progresif dan radikalisme ortodoks yang
berjuang pada hubungan kekerasan akibat dari kebutuhan komunikasi. Kedua,
kekerasan muncul ketika agama memandang dirinya berada ditengah-tengah
masyarakat yang zalim. Karenanya agama merasa punya tuntutan moral untuk
melawannya. Ketiga, kekerasan muncul ketika agama merasa terancam oleh
agama-agama lain. Dalam sejarah ini merupakan kekerasan agama yang sangat
memilukan.[41]
Disisi
lain, unsur pengorbanan merupakan hal penting dalam kebanyakan agama. Sifat
mundamental kekerasan dan peran pengorbanan dianggap sebagai cara untuk
melarikan diri dari kekerasan. Di sini, pengorbanan menjadi sesuatu yang
semakin ritual, yang menghasilkan kekerasan simbolik, sakralisasi kekersan
membuat kekerasan tersebut dapat dibedakan dari kekerasan pada umumnya dan
akhirnya diterima sebagai sesuatu yang wajar oleh suatu masyarakat. Agama telah
dijadikan pembenaran kekerasan.
Dalam
hal itu, kekerasan agama politik
menempatkan politik dan agama sebagai faktor-faktor yang menjadi sumber
kekerasan. Namun tidak tertutup kemungkinan pula digunakannya agama sekaligus
sebagai alasan pembenar bagi para pelaku kekerasan. Misalnya,pertentang antara
yang baik dan yang jahat dalam kitab suci agama-agama (nabi) merupakan sumber
kekerasan yang terkait dengan agama. Pemihakan agama pada kebaikan telah
membenarkan banyak kekerasan dalam sejarah
semua agama.
Kekerasan
politik agama yang banyak terjadi dinegara yang baru merdeka, yang berjuang
untuk menentukan identitas nasionalnya yang adanya kelompok minoritas yang
menegaskan hak-haknya, mengakibatkan agama memainkan peran yang lebih besar.
Lituania, Armenia dan Azeris adalah
beberapa contoh diantaranyan. Penguasa menganggap kekersaan, teror dan otoritas
mutlak sebagai hak prerogatif yang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Agam
telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya untuk membebaskan
dirinya dari kewajiban moral jika merasa eksistensinya terancam. Kekerasan
telah dibingkai "agama" sebagai ekspresi keinginan untuk menetralisir
dosa. Masa yang terbius oleh politik -agama diyakinkan lewat janji-janji
kembalihnya dunia yeng telah mereka hancurkan. Jika penentraman seperti itu
telah mendapat dukungan, munculah ekspresi kreativitas agama asli diantara
orang yang disubordinasikan.[42]
Berdasarkan
uraian dimuka, peneliti mendefinisasikan agama sebagai sistem kepercayaan
(belief system, yang muncul dan terwujud dalam kehidupan masyarakat melalui
interaksi-interksi peribadatan (ritual system),
dan tanggap terhadap situasi-situasi yang dihadapi oleh para penganutnya
(community system). Dalam pengertian tersebut,agama semestinya tidak
menimbulkan kekerasan karena ia diturunka justru sebagai pedoman untuk hidup
secara damai dan untuk menghargai. Namun, kenyataannya agama dapat menimbulkan
kekerasan apabila bersingguangan dengan faktor lain, misalnya kepentingan
kelompok/ nasional atau penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan
disalah arhkan baik dalam sisi eksternal maupun internal, pemeluk agama
tersebut cenderung melakukan kekerasan segera, setelah identitas mereka
terancam. Dari sisi internal, pemeluk agama tersebut cenderung melakukan
kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasarkan kehendak Tuhan . Secara
operasional, kekerasan agam terkait dengan ritual dan commun ity system. Oleh
karena itu, pemahaman agama atau bagaimana agama diinterpretasikan merupakan
salah satu alasan yang mendasari kekerasan agama.
Hubungan Agama dengan Kekerasan dan
Konflik
No.
|
Unsur-unsur
Agama
|
No.
|
Unsur-unsur
Kekerasan dan Konflik
|
Hub
|
Keterangan
|
1
|
Credo
(Kepercayaan)
|
1
|
Perbuatan
tidak menyenangkan
|
1.1
|
Perbedaan
kepercayaan menimbulkan ketegangan antara dua kelompok.
|
2
|
Ritus
(Ritual)
|
2
|
Kerusakan
|
2.2
|
Pengeboman
gereja
|
3
|
Norma
(Hukum)
|
3
|
Kekuatan
|
3.2
|
Banyak
yang mengabaikan hukum dengan merusak sarana agama.
|
4
|
Simbol
Agama
|
4
|
Perpecahan
|
3.3
|
Banyak
terjadi suap menyuap atau hukum bisa dibeli.
|
5
|
Praktik
Keagamaan
|
5
|
Perbedaan
|
5.5
|
Adanya
perbedaan aliran meskipun dalam satu agama contoh : Aliran Ahmadiyah,
Muhammadiyah, NU dan lain-lain.
|
6
|
Pengalaman
Keagamaan
|
|
|
|
|
7
|
Umat
Beragama
|
|
|
|
|
8
|
Substansi
yang disembah
|
|
|
|
|
9
|
Kitab
Suci
|
|
|
|
|
10
|
Pembawa
Ajaran
|
|
|
|
|
11
|
Pokok-pokok
Ajaran
|
|
|
|
|
12
|
Aliran-aliran
|
|
|
|
|
C. ANALISIS DAN DISKUSI
1. Analisis
Menurut
kami kekerasan adalah suatu bentuk tindakan fisik merugikan orang lain yang
muncul karena adanya rasa tidak suka dan benci terhadap apa yang dilakukan oleh
orang lain atau benci terhadap orang lain itu sendiri. Konflik menurut kami adalah suatu tindakan yang muncul
karena adanya pertentangan dan ketidakcocokan antara dua kelompok atau lebih.
Dan konflik itu identik atau berasal dari
adanya rasa ketegangan yang semakin memuncak sehingga akhirnya menimbulkan
konflik.
Unsur-unsur
kekerasan dan konflik menurut kami yaitu: perbedaan pendapat, kekuatan,
perbuatan tidak menyenangkan, perpecahan, dll.
Hubungan agama dengan kekerasan dan konflik menurut
kami yaitu agama sebagai petunjuk dan
pedoman dalam menyelesaikan berbagai bentuk kekerasan dan konflik. Banyak yang
berpendapat bahwa agama merupakan sumber kekerasan dan konflik, pada
kenyataannya banyak kalangan yang menimbulkan kekerasan dan konflik dengan
mengatasnamakan agama. Berbanding terbalik dengan pendapat tersebut, peran dan
kontribusi agama dalam menyelesaikan kekerasan dan konflik sangat efektif dan
efisien.
2. Diskusi
D.
KESIMPULAN
Dalam unsur-unsur agama dapat
dikatakan sebuah agama jika memiliki unsur-unsur: Credo, yaitu kepercayaan
agama yang mana suatu prinsip dianggap benar tanpa ada keraguan lagi. Ritus,
yaitu praktik keagamaan, Norma, Pokok-pokok ajaran, Kitab suci, Subtansi yang
disembah dan Umat beragama. Sekularisasi adalah terpisahkannya antara agama dan
kehidupan duniawi karena agama hanya berhak mengatur hubungan kita dengan Tuhan
sedangkan tidak pantas jika kita mencampuradukkan agama dengan kehidupan kita.
Agama disini hanyalah sebagai pedoman di luar itu semua maka dari itu harus
dipisahkan
Menurut Galtung, kekerasan
didefinisikan sebagai akibat perbedaan antara yang potensial dengan yang
aktual. Di satu pihak, manusia mempunyai potensi yang masih berada di “dalam”.
Sedangkan di lain pihak, potensi menuntut diaktualisasikan yaitu dengan
merealisasikan dan mengembangkan diri dan dunianya dengan nilai-nilai yang
dipegang. Pengertian “actus” mencakup kegiatan, aktivitas yang tampak
(seperti berpikir, merenung dan kegiatan mental atau psikologis) dan aktivitas
yang tidak tampak. Hal ini menjadi titik tolak (starting point) untuk
memahami kekerasan sebagai akibat perbedaan antara yang potensial dan aktual. Konflik adalah berasal dari kata confliction (onis)
yang berarti tabrakan, cekcok, pertengkaran, bentrokan. Istilah lainnya adalah
conflicto (lat) yang berarti melanda,menimpa, menghancurkan, memecahkan,
menganggu, bertempur, berperang, bergerak. Demikian juga dengan istilah
conflectus (berarti menabrakan atau membenturkan satu sama lain), Con-fligere
dan conflictum (bererti saling berbenturan, semua bentuk benturan, ketidak
serasian, pertengkaran, perkelahian, oposisi dan interaksi antagonistis.
Unsur-unsur
kekerasan dan konflik yaitu perbedaan, pertentangan, kekuatan,perpecahan, dll.
Agama menolak kekerasan sebagai
prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Kekerasan lebih bersifat represif yang
didalamnya mengandung unsur amoral karena selalu mengandaikan pemaksaan
kehendak terdahap orang lain, yang berarti hal ini juga sebagai pelanggaran
atas asas kebebasan dalam interaksi sosial. Dengan demikian kekerasan merupakan
tindakan yang tidak manusiawi, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang
bebas secara moral. Moralitas agama adalah kesadaran, kebenaran, dan kesalehan
yang selalu mendorong pemeluknya untuk saling akrab satu sama lain. Agama
selalu mempertimbangkan makna hidup, kebenaran, dan tujuan yang luhur. Dalam pada itu,
analisis-analisis sosiologi menyatakan bahwa agama dapat fungsi
mempersatukan masyarakat (integrasi)
atau memecah belah masyarakat (disintegrasi).
DAFTAR
RUJUKAN
Mubaroq, Zulfi. 2010. Sosiologi
Agama. Malang: UIN Maliki Press.
Ishomuddin.
2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta Selatan: Ghalia Indonesia.
Jurdi, Syarifuddin. 2010. Sosiologi Islam dan
Masyarakat Modern. Jajarta: Kencana Predana.
Yakin, Haqqul. 2009. Agama dan Kekerasan. Yogyakarta:
Elsaq Press.
e-Kamus
Besar Bahasa Indonesia v1.1
A Partanto,
Pius dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer. Suarabaya: Arkola.
[1] Thomas F.
O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali,
1987), 50.
[2] Ibid., 48.
Lihat Edward Sapir, culture, language and personalit, (Berkeley:
University of California Press, 1960), hal. 122-123.
[3] Endang
Saifuddin Anshari, Wawasan Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), 30. Lihat: John R. Bennet, Religion dalam Encyclopedia Americana volume 29, New
York, hlm.324,”Religion...may broadly bedefined as acceptanceof obligation
toward powers higher than man himself’ (Religi....dalam arti luas dapat
didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang
lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri).
[4] Anonim,
Pengertian, Jenis dan Unsur Agama, http://kaazima.blogspot.com/2012/10/pengertian-jenis-dan-unsur-agama.html, (Diakses pada
tanggal 11 November 2013).
[5] Aang Dwidra,
Pendidikan Agama, http://aangkunefidwidra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/unsur-agama.html, (Diakses pada
tanggal 11 November 2013).
[6] Endang Saifuddin
Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 2004), 34.
[7] Ibid,
42.Lihat: “Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional”, Al-Jami’ah Majalah Ilmu Pengetahuan Agama
Islam No.1, Tahun 1, Januari 1962.
[8] Anonim, Dienul Islam,
http://tatangjm.wordpress.com/dienul-islam/, (Diakses pada
tanggal 25 Oktober 2013).
[10] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 111
[11] Ibid., 111
[12] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 112 Lihat Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat
Jawa (Yogyakarta: LESFI, 2002), 2-3, Lihat Muhammad Iqbal, The
Reconstructions of Religius Thought in Islam (London: Oxford
University-Humprey Milford, 1934), 2.
[13] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 112 Lihat A.M. Hardjana, Penghayatan Agama: yang Otentik
dan Tidak Otentik (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 14-22.
[14] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 112 Lihat Nico Syukur Dister O.F.M., Pengalaman dan
Motivasi Bergama (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 74-22.
[15] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 112 Lihat Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan
Keagamaan (Yogyakarta: Kanisius, 1994) .
[16] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 112 Lihat Agus Cremes, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan
Menurut James W. Fowler (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 46-47.
[17] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 113 Lihat Jack D.
Douglas dan frances Chaput Wasksler, “Kekerasan” dalam Teori-teori Kekerasan,
ed. Thomas Santoso (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002),11.
[18] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 113 Lihat Johan Galtung, The True Worlds: A
Transnational Prespective (New York: Free Press, 1980). Lihat I. Marshana
Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung (Yogyakarta:
Kanisius, 1992) 66; Thomas Santoso, “Kekerasan Politik Agama: Suatu Studi
Konstruksi Sosial tentang Perusakan Gereja di Situbondo, “Disertasi Doktor
(Universitas Airlangga, Surabaya, 2002), 24-26.
[19] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 114 Lihat Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan, 64.
[20] Ibid., 73.
[21] Ibid., 74.
[22] Ibid., 76.
[23] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 115 Lihat Manfred B. Steger & Nancy S. Lind, Violence
and Its Alternatives: An Interdiciplinary Reader (New York: St. Martin’s Press,
1999), 39-40.
[24] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 115 Lihat Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Oxford: Polity Press, 1991)
[25] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 116 Lihat Jennifer Turoin & Lester R. Kurtz, The Web
of Violence: From Interpersonal to Global (Ur-bana and Chicago, University of
Illionis Press, 1997), 3; James Gilligan, Violence: Reflections on a National
Epidemic (New York: Vintage Books, 1996).
[29] http://dika08146.blogspot.com/2011/10/makalah-agama.html
pada tanggal 11
november 2013,jam
14.30.
[30] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 118 Lihat Wim Beuken & Karl-Josef Kushel ed., Religion
as a Source of Violence (London : SCM Press, 1997), vii.
[31] Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 118 Lihat Santoso, Kekerasan Politik Agama, 43-44.
[32]Ibid,44
[33]Haqqul Yakin.Agama
dan Kekerasan, (Yogjakarta:elsaq press.2009), 42-43
[34]Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 119 Lihat:Mark Juergensmeyer,terror in the Mind of Good: The
Global Rise of Religius Violence
(Berkely-Laos Angeles-London:University of California Press,2000),8.
[35]Ibid,9
[36]Syarifuddin Jurdi.sosiologi
islam dan masyarakat modern (jakarta:Kencana Prenada Media Group.2010), 251-254.
[37]Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 120 Lihat:R.Scott Appleby,The Ambivalenceof The
Sacred:Religion,Violence and Reconcilation (Lanham-Bouldet-New
York-Oxford:Rowman & Littelefield Publisher,1999), 11.
[38]Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 121 Lihat:Sudhir Kakar,The Colors of Violence,Cultural
Identities,Religion and Conflic(Chicago & London:The University n of
Chicago Press,1996),192.
[39] Ibid., 192
[40]
Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 121 Lihat Beuken & Kushel ed., Religion as a source
of Violence, viii
[41]Haqqul yakin Agama
dan Kekerasan.(Yogjakarta:elsaq press.2009), 46-50.
[42]Zulfi Mubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki press,2010), 123 Lihat Santoso, Kekerasan Politik Agama, 48.