A. PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala
puja dan puji syukur milik Allah Subhanahu Wata’ala, Semoga Allah selalu
menunjukkan kita pada jalan kebaikan dan kebenaran. Sholawat serta salam semoga
dapat senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shollallohu’alaihi Wasallam,
beserta keluarga dan sahabatnya, Allahuma Amin. Kami yakin tanpa adanya bantuan
dari berbagai pihak, makalah ini belum dapat terselesaikan. Oleh karena itu,
kami dari kelompok 9
mengucapkan banyak terima kasih kepada BapakDr. H.Zulfi Mubaroq M.Agselaku
pembimbing mata kuliah Sosiologi Agama,
teman-teman dan semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada kami.
Makalah Sosiologi Agama yang berjudul Hubungan Agama dan Ekonomi ini berisi
tentang kajian agama dan
ekonomi serta sistem – sistem ekonomi.Makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas Sosiologi Agama dan perlu kita pahami seluk
beluknya oleh para mahasiswa. Setelah membaca makalah ini di harapkan kita
semua bisa mengetahui dan mendalami lebih lanjut untuk menganalisis seluruh kegiatan Ekonomi perspektif Islam.
Isiglobal makalah ini adalah
pengertian secara pokok dari sosiologi agama, perhatian masyarakat terhadap
hubungan sosiologi agama dan ekonomi, serta macam-macam sistem dalam ekonomi.
2.
Tujuan
1.
Unsur
unsure agama adalah ?
2.
Apa
pengertian Ekonomi secara Etimologi
dan Terminologi ?
3.
Unsur
unsure ekonomi adalah ?
4.
Bagainama
hubungan agama dengan ekonomi ?
3.
Rumusan masalah
1.
Memahami
unsure-unsure Agama.
2.
Mengetahui
pengertian Ekonomi secara Etimologi dan Terminologi.
3.
Memahami
unsure-unsure Ekonomi.
4.
Mengetahui
hubungan Agama dan Ekonomi.
B.
PEMBAHASAN
1
Unsur
Unsur Agama
a)
Kepercayaan agama, yakni suatu
prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
b)
Simbol agama, yakni identitas
agama yang dianut umatnya.
c)
Praktik keagamaan, yakni
hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau
hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama
d)
Pengalaman keagamaan, yakni
berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara
pribadi.
e)
Umat beragama, yakni penganut
masing-masing agama
2 Pengertian konomi
a) Pengertian Ekonomi Secara Etimologi
Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan
persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perorangan atau pribadi,
atau kelompok, keluarga, suku bangsa, organisasi, negara dalam memenuhi
kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya pemuas yang
terbatas. Secara etomologi istilah ekonomi dari bahasa Yunani “oikonomia” yang terdiri dari kata “oikos” berarti rumah tangga dan “nomos” berarti aturan. Kata “oikonomia” mengandung arti aturan yang
berlaku untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam suatu rumah tangga. Dalam bahasa
Arab ekonomi sepadan dengan kata “Istishad”
yang artinya umat yang pertengahan, atau bisa diartikan menggunakan rezeki atau
sumber daya yang ada di sekitar kita. Pengetahuan ekonomi merupakan usaha untuk
mendapatkan dan mengatur harta baik material maupun nonmaterial untuk memenuhu
kebutuhan hidup manusia baik secara individu maupun kolektif yang menyangkut
perolehan, pendistribusian maupun penggunaannya.[1]
Dalam tinjauan pengartian sacara bahasa
(etimologi),istilah “ekonomi” berasal dari bahasa yunani, yaitu oikosnamos atau
oikonamia yang berarti “manajemen urusan rumah tangga”, khususnya
penyediaan dan administrasi pendapatan.[2] Namun, sejak perolehan maupun penggunaan kekayaan sumber
daya secara fundamental perlu diadakan efisiensi, termasuk pekerja dan
produksinya maka dalam bahasa modern, istilah ekonomi tersebut menunjuk kepada
prinsip usaha maupun metode untuk mencapai tujuan dengan alat-alat sesedikit mungkin.[3]
b) Pengertian Ekonomi Secara Terminologi
Adapun
dari sisi pengertian secara istilah (terminologi), ilmu ekonomi akan dijelaskan
sebagai berikut: pertama, menurut Albert L. Meyers, ilmu ekonomi adalah
ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia.[4]Kata
kunci dari definisi ini adalah kebutuhan dan pemuasan kebutuhan.Kebutuhan
adalah suatu keperluan manusia terhadap barang dan jasa yang sifat dan jenisnya
sangat bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas.Pemuasan kebutuhan adalah
memiliki ciri- ciri terbatas. Aspek yang kedua ini menimbulkan masalah ekonomi,
yaitu adanya suatu kenyataan yang senjang (gap), karena kebutuhan
manusia terhadap barang dan jasa jumlahnya tidak terbatas, sedangkan di lain
pihak barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan, sifatnya langka atau
terbatas sehingga masalah yang timbul adalah kekecewaan atau ketidakpastian.[5]Kedua,
menurut J.L. Meij mengemukakan bahwa ilmu ekonomi ialah ilmu tentang usaha
manusia mencapai kemakmuran, karena manusia itu termasuk makhluk ekonomi (homo
economicus).[6]Ketiga,
Samuelson dan Nordhaus berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan studi tentang
prilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang
langka dan memiliki beberapa penggunaan alternatif penggunaan dalam rangka
memproduksi berbagai komoditi, kemudian menyalurkannya, baik saat ini maupun di
masa depan kepada individu dan kelompok yang ada dalam masyarakat.[7]
Pada hakikat ilmu ekonomi berkaitan dengan perilaku manusia untuk memenuhi
kebutuhan dalam mencapai kemakmuran dengan proses operasional, produksi dan
distribusi komoditi dalam masyarakat.
Al-Assal dan Ahmad Abdul Karim (1999:10-11) mengemukakan
definisi sebagai berikut:[8]
a)
Adan Smith mengemukakan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu
kekayaan atau ilmu yang khusus mempelajari sarana-sarana kekayaan suatu bangsa
dengan memusatkan perhatian secara khusus terhadap sebab-sebab matrial dan
kemakmuran, seperti hasil industri, pertanian, jasa dan sebagainya.
b)
Marshall; ia berpendapat bahwa ekonomi adalah ilmu yang
mempelajari usaha individu dalam kaitannya dengan berbagai pekerjaan yang
dilakukan sehari-hari, ilmu ekonomi membahas bagian kehidupan manusia yang
berhubungan dengan bagaimana ia memperoleh pendapatan dan bagaimana pula
manusia mempergunakan pendapatan itu.
c)
Ruenez; berpendapat bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia dalam menghadapi kehidupannya dengan
sarana-sarana yang terbatas yang mempunyai berbagai macam fungsi.
c)
Pengertian Ekonomi Islam
Ada banyak pendapat di seputar pengertian Ekonomi Islam. Dawam
Rahardjo memilih istilah ekonomi Islam dalam tiga kemungkinan pemaknaan. Pertama, yang dimaksud ekonomi Islam
adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud ekonomi Islam
adalah sistem. Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan ekonomi
dalam suatu kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan
suatu cara atau metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga adalah ekonomi Islam dalam pengertian perekonomian umat
Islam. Berkaitan dengan tulisan ini istilah ekonomi mencakup ketiganya dengan
penekanan pada ekonomi Islam sebagai konsep dan sistem ekonomi. Ketiga wilayah
tersebut, yaitu teori, sistem, dan kegiatan ekonomi umat Islam merupakan tiga
pilar yang harus membentuk sebuah sinergi.[9]
3
Unsur
unsure Ekonomi
a.
Sistem-sistem Ekonomi
sistem ekonomi adalah perangkat atau alat-alat yang
digunakan untuk menjawab secara tuntas masalah apa, bagaimana, dan untuk siapa
barang diproduksi. Efektif atau tidaknya jawaban yang diberikan sangat
tergantung kepada sistem ekonomi yang dipilih. Secar umum, terdapat empat
sistem ekonomi.[10]
1)
Sistem ekonomi tradisional
Sistem
ekonomi tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
(a) Tidak adanya
pemisah yang tegas antara rumah tangga produksi dan rumah tangga konsumsi
sehingga bisa dianggap masih dalam satu kesatuan.
(b) Teknologi yang
digunakan masih sangat sederhana.
(c) Tidak terdapat
pembagian kerja, jikapun ada masih sangat sederhana.
(d)Tidak ada hubungan dengan dunia luar sehingga
masyarakatnya sangat statis.
2)
Sistem ekonomi komando atau terpusat
Sistem
ekonomi terpusat memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Kegiatan
ekonomi (produksi, konsumsi, dan distribusi) diatur oleh pemerintah.
(a) Kebebasan individu
dalam berusaha tidak ada.
(b) Kebebasan
individu-individu dalam memiliki kekayaan pribadi tidak ada.
(c) Kepemilikan alat
produksi sepenuhnya pada pemerintah.
(d)Kegiatan ekonomi tidak melibatkan masyarakat atau swasta.
3)
Sistem ekonomi pasar
Sistem
ekonomi pasar memiliki beberapa ciri utama sebagai berikut :
(a) Kegiatan ekonomi
sepenuhnya diserahkan dan dilaksanakan oleh swasta atau masyarakat.
(b) Kebebasan msyarakat
untuk memiliki alat-alat produksi dan berusaha diakui.
(c) Hak milik
perorangan diakui.
(d)Keikutsertaan pemerintah dalam bidang ekonomi dilakukan
tidak secara langsung dan hanya terbatas pada pembuatan peraturan dan kebijakan
ekonomi.
(e) Kebebasan
masyarakat untuk berenovasi dan berimprovisasi diakui dan dihormati.
(f) Kegiatan yang
dilaksanakanbersifat profit oriented.
4)
Sistem ekonomi campuran
Dalam sistem perekonomian haruslah kita sadari bahwa pada
saat ini tidak ada satupun negara yang secara tegas menganut satu diantara tiga
sistem ekonomi tersebut. China yang berfaham komunis dan sangat besar
kemungkinannya menerapkan sistem ekonomi komando, maupun Amerika Serikat yang
menjadi kiblat dari ekonomi pasar, tidak secara tegas menyatakan bahwa sistem
ekonomi yang mereka pakai adalah sistem ekonomi komando atau sistem ekonomi
pasar. Kecenderungannya saat ini adalah adanya sistem ekonomi campuran (mixed ekonomy), yaitu mengambil sebagian
unsur-unsur pasar yang tradisional, dan komando. Hal ini disadari kesadaran
saling ketergantungan antar Negara dan adanya pengaruh ekonomi global.
Dalam sistem ekonomi campuran, mekanisme harga dan pasar
bebas yang dianut oleh sistem ekonomi bebas dapat berdampingan dengan adanya
perencanaan dari pusat seperti yang dianut oleh sistem ekonomi komando. Satu
hal yang harus dipahami, bahwa pada sistem ekonomi campuran terdapat peranan
pemerintah untuk mengendalikan pasar yang bertujuan agar ekonomi tak lepas sama
sekali dan menguntungkan para pemilik modal yang besar sehingga membentuk
monopoli.
a)
Ekonomi dan Agama Pada Zaman Keemasan Islam
Pada zaman keemasan Islam (the Golden Age of Islam),
yaitu pada abad ke-7 sampai ke 14, ekonomi dan agama itu bersatu. Sampai akhir
tahun 1700-an di Barat pun demikian, ekonomi berkait dengan agama. Ahli ekonomi
Eropa adalah pendeta.Pada zaman pertengahan, ekonomi skolastik dikembangkan
oleh ahli gereja, seperti Thomas Aquinas, Augustin, dan lain-lain.Namun karena
adanya revolusi industri dan produksi massal, ahli ekonomi Barat mulai
memisahkan kajian ekonomi dari agama.Keadaan ini merupakan gejala awal revolusi
menentang kekuasaan gereja dan merupakan awal kajian ekonomi yang menjauhkan dari
pemikiran ekonomi skolastik.
Sejak itu, sejarah berjalan terus sampai pada keadaan
di mana pemikiran dan kajian ekonomi yang menentang agama mulai mendingin.
Para ekonom kontemporer mulai mencari lagi sampai mereka menyadari kembali betapa pentingnya kajian ekonomi yang berkarakter religius, bermoral, dan human.Ekonom Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, menyusun kembali ilmu ekonomi yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan, baik perorangan, masyarakat, maupun bangsa. Kemudian muncul juga kajian ekonomi baru dengan pendekatan humanistis dari Eugene Lovell dalam bukunya yang terkenal Humanomics dan dari E.F Schumacher yaitu Small is Beautifull, Economics as if People Material.
Para ekonom kontemporer mulai mencari lagi sampai mereka menyadari kembali betapa pentingnya kajian ekonomi yang berkarakter religius, bermoral, dan human.Ekonom Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, menyusun kembali ilmu ekonomi yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan, baik perorangan, masyarakat, maupun bangsa. Kemudian muncul juga kajian ekonomi baru dengan pendekatan humanistis dari Eugene Lovell dalam bukunya yang terkenal Humanomics dan dari E.F Schumacher yaitu Small is Beautifull, Economics as if People Material.
Keduanya menyadari bahwa menghilangkan hubungan kajian
ekonomi dengan nilai-nilai moral humanis merupakan suatu kekeliruan dan tidak
bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan manusia dan alam semesta. Kesadaran
ini tumbuh setelah semua menyaksikan hasil model pembangunan sosial-ekonomi
yang berasaskan model liberal-kapitalistis dan teori pertumbuhan neoklasikal
serta model marxist dan neomarxist yang mengutamakan materialistis hedonisme
berupa kemiskinan ditengah kemakmuran, konsumerisme, budaya permissive, dan
rupa-rupa bentuk pop-hedonisme, gaya hidup yang sekuler dan sinkretis, serta
keadaan lainnya yang bertentangan dengan nilai kemanusian dan nilai agama.
Kajian ekonomi pada abad ini (the age of reason) tidak
hanya bertolak dari asas kapitalisme dan asas marxisme, melainkan bertolak juga
pada pemikiran ilmu ekonomi yang lebih terandalkan dalam menjaga keselamatan
seluruh manusia dan alam semesta.Ekonomi yang memiliki nilai-nilai kebenaran
(logis), kebaikan (etis), dan keindahan (estetis).Ekonomi yang dapat
membebaskan manusia dari aksi penindasan, penekanan, kemiskinan, kemelaratan,
dan segala bentuk keterbelakangan, serta dapat meluruskan aksi ekonomi dari
karakter yang tidak manusiawi, yaitu ketidakadilan, kerakusan, dan
ketimpangan.Ekonomi yang secara historis-empiris telah terbuktikan
keunggulannya di bumi ini tidak bebas atau tidak dapat membebaskan diri dari
pengadilan nilai, yaitu nilai yang bersumber dari agama (volue committed),
dialah ekonomi Syariah.
Islam adalah agama wahyu yang merupakan sumber dan
pedoman tingkah laku bagi manusia yang dirisalahkan sejak manusia pertama,
yaitu Nabi Adam a.s dan disempurnakan melalui nabi-nabi Allah sampai kepada
nabi terakhir Muhammad saw. Tingkah laku ekonomi merupakan bagian dari tingkah
laku manusia.Oleh karena itu, ilmu dan aktivitas ekonomi haruslah berada dalam
Islam.Keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang mewarnai
tingkah laku ekonomi.Ilmu ekonomi merupakan bagian dari ilmu agama Islam. Karena itu, ekonomi tidak mungkin dapat dipisahkan
dari suprasistemnya yang digali dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian, ilmu ekonomi harus berasaskan iman, sebagaimana firman Allah
SWT yang artinya:
”Celakalah
(siksalah) untuk orang-orang yang menipu.Bila mereka menimbang dari manusia
untuk dirinya, mereka sempurnakan (penuhkan).Dan, bila mereka menimbang untuk
orang lain, mereka kurangkan. Tiadakah mereka menyangka bahwa mereka akan
dibangkitkan? Pada hari yang besar (kiamat)?Yaitu pada hari manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam.” (Al-Muthaffifin 1-6)
Dalam
tarikh Islam, Nabi Syu’aib a.s disebut sebagai Nabi Ilmu Ekonomi yang
mendasarkan ekonomi kepada iman (tauhid) terhadap adanya Allah dan Hari
Pengadilan sebagaimana firman Allah yang artinya:
”Telah kami utus ke negeri Madyan seorang saudaranya, Syu’aib, ia berkata, ”hai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagimu Tuhan selain daripada-Nya; dan janganlah kamu mengurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebaikan dan aku takut terhadap kamu akan siksaan hari yang meliputi kamu. Hai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan keadilan dan janganlah kamu kurangkan hak orang sedikit juga dan jangan pula berbuat bencana di muka bumi sebagai perusak.Rezeki Allah yang tinggal (selain dari yang haram) lebih baik bagimu, jika kamu orang yang beriman, dan aku bukanlah orang yang memeliharamu. Mereka berkata, ”Hai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh supaya kamu meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami, atau supaya kami jangan berbuat pada harta-harta kami apa yang kami sukai? Sesungguhnya engkau penyantun lagi cerdik.” (Hud: 84-87)
”Telah kami utus ke negeri Madyan seorang saudaranya, Syu’aib, ia berkata, ”hai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagimu Tuhan selain daripada-Nya; dan janganlah kamu mengurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebaikan dan aku takut terhadap kamu akan siksaan hari yang meliputi kamu. Hai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan keadilan dan janganlah kamu kurangkan hak orang sedikit juga dan jangan pula berbuat bencana di muka bumi sebagai perusak.Rezeki Allah yang tinggal (selain dari yang haram) lebih baik bagimu, jika kamu orang yang beriman, dan aku bukanlah orang yang memeliharamu. Mereka berkata, ”Hai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh supaya kamu meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami, atau supaya kami jangan berbuat pada harta-harta kami apa yang kami sukai? Sesungguhnya engkau penyantun lagi cerdik.” (Hud: 84-87)
Kajian
tingkah laku ekonomi manusia merupakan ibadah kepada Allah.Kekayaan ekonomi
adalah suatu alat untuk memenuhi hajat dan kepuasan hidup dalam rangka
meningkatkan kemampuannya agar dapat mengabdi lebih baik kepa Allah.Mencari dan
menimba kekayaan atau pendapatan yang lebih baik untuk dinikmatinya tidaklah
dikutuk Allah sepanjang diakui sebagai karunia dan amanat Allah.Adapun yang
terkutuk adalah apabila kekayaan itu dijadikan sesembahan yang utama dalam
hidupnya.Iman dan takwa kepada Allah memberi corak pada dunia ekonomi dengan
segala aspeknya.Corak ini menampilkan arah dan model pembangunan yang
menyatukan pembangunan ekonomi dengan pembangunan agama sebagai sumber nilai
(central/core value).Dengan demikian, kegiatan-kegiatan ekonomi seperti
produksi, distribusi, dan konsumsi harus menggunakan pertimbangan nilai agama
dan bukan oleh determinisme mekanistis ekonomi lainnya seperti pada kapitalisme
dan marxisme.
Islam
sejak risalah Muhammad saw sampai kepada suatu zaman yang disebut the Golden
Age of Islam, lalu ke zaman pembekuan dan kegelapan (the Dark Age) merupakan
pengalam empiris dan sebagai batu ujian bagi pemikir muslim era globalisasi
untuk membangkitkan kembali Islam yang akan mewarnai abad ekonomi modern dewasa
ini, baik di tingkat nasional, regional maupun global. Pertemuan para ahli
ekonomi muslim sedunia dalam International Conference for Islamic Aconomics
yang pertama di Mekah tahun 1976 telah mendorong gairah untuk menggali nilai
Islam bagi ekonomi bangsa sedunia di tengah-tengah krisis kehidupan akibat
sistem ekonomi kapitalis-individualistis dan marxis-sosialistis. Konsep ekonomi
Islam mampu mengentas kehidupan manusia dari ancaman pertarungan, perpecahan
akibat persaingan, kegelisahan dan kesirnaan akibat kerakusan, dan
ancaman-ancaman keselamatan, keamanan serta ketentraman hidup manusia, kepada
kehidupan yang damai dan sejahtera.[11]
4
Hubungan Agama dan Ekonomi
a) Kajian Sosial Agama dengan Ekonomi
Kajian
sosial tentang agama dan perkembangan ekonomi menggunakan dua pendekatan: pertama,
kepercayaan sekte atau golongan agama dan pada karakteristik moral, serta
motivasi yang ditimbulkannya. Kedua, perubahan-perubahan sosial dan
ekonomi yang mempengaruhi suatu kelompok dan gerakan keagamaan yang muncul
sebagai reaksi terhadap perubahan. Walaupun demikian, kedua pendapat tersebut
saling menyempurnakan antara satu sisi dengan sisi yang lain.[12]
Analisis
yang menarik tentang hubungan agama dengan pengembangan ekonomi oleh H.
Palanca, dapat dijadikan kajian dalam upaya mencoba memahami peran yang
dijalankan agama di dalam masyarakat. Dengan cara pandang positivistik, tidak
ada cara untuk memaksakan etika agama agar tidak dipatuhi oleh pemeluknya. Di
samping itu di sebagian besar di dunia, dengan menurunnya peran agama dalam
masyarakat dewasa ini, kita tidak mungkin dapat berharap suatu etika agama
memainkan peranan, seperti pada masa pertengahan dan zaman reformasi.Agama
dapat disebut sebagai suatu faktor, bukan penyebab pertumbuhan ekonomi.Hubungan
agama dengan pembangunan ekonomi bukanlah hubungan kuasalitas, namun hubungan
timbal balik.Agama merupakan salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan
ekonomi, perubahan struktur ekonomi dan kemajuan masyarakat. Di pihak lain,
agama juga tidak statis melainkan berubah mengikuti pertukaran waktu dan
perubahan zaman, serta oleh perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi
sosial dan ekonomi ikut mempengaruhi keberadaan agama.[13]
Di
dalam masyarakat tradisional, agama berfungsi untuk mendorong manusia untuk
terlibat dalam peran-peran dan tingkah laku ekonomi, karena agama dapat
mengurangi rasa cemas dan takut.Studi yang dilakukan oleh Malinowski di
kalangan masyarakat Trobriand, ditemukan bahwa masyarakat tersebut selalumengadakan
upacara ritual sebelum melakukan kegiatan mencari ikan di laut.[14]
Agama
juga berfungsi menciptakan norma-norma sosial yang mempengaruhi ekonomi.Studi
yang dilakukan max Weber tentang “Etika Protestan” menemukan bahwa agama
Protestan ternyata memberikan sumbangan tidak kecil terhadap upaya menciptakan
jiwa kewirausahaan (spirit of enterprenuership).Ajaran agama tersebut
menganjurkan kepada pemeluknya agar selalu bekerja keras, tahan cobaan, dan
hidup hemat. Menurt Weber, menjadikan mereka tidak konsumtif, namun selalu
berusaha menginvestasikan sumber dana yang dimilikinya untuk berusaha tiada
henti dan putus asa.[15]
Sikap
rakus yang tidak terbatas karena belum memperoleh keuntungan, tidaklah identik
sedikitpun dengan kapitalisme dan malahan bukan semangatnya.Kapitalisme bahkan
mungkin identik dengan pengendalian dan pengekangan, atau setidak-tidaknya
identik dengan suatu watak rasional, dari suatu keinginan-keinginan
rasional.Akan tetapi kapitalisme secara pasti identi dengan pencarian
keuntungan (profit) dan keuntungan yang dapat diperbaharui untuk
selamanya dengan usaha-usaha kapitalis yang rasional dan dilakukan secara
terus-menerus. Karena memang demikian seharusnya dalam suatu tatanan masyarakat
kapitalis secara keseluruhan, suatu usaha kapitalis individual yang tidak
memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengambil keuntungan, pasti akan
mengalami malapetaka, yaitu kehancuran.[16]
Pandangan
Weber tentang hal ini, adlah bahwa penolakan terhadap tradisi, atau perubahan
yang cepat dalam metode dan evaluasi terhadap kegiatan ekonomi, tidak akan
mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama. Namun, dia juga mengajukan
bukti bahwa tetap terjadi perbedaan dalam cara yang ditempuh oleh berbagai
kelompok keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam kapitalisme yang mapan pada
masanya sendiri.[17]
Sedangkan
di dalam masyarakat modern, peran agama terhadap kegiatan ekonomi relative
berkurang.Ekonomi umumnya menekankan pentingnya rasionalitas dan sekularisme,
seringkali menyebabkan harus berbenturan kepentingan dengan agama yang
menekankan kepercayaan kepada hal-hal yang supranatural.Dengan demikian,
keberadaan (existence) agama relative terpisah dari ekonomi.[18]
Perbedaan yang tajam, tampak pada jika agama dihubungkan
dengan lembaga-lembaga yang melaksanakan aktivitas ekonomi.Dalam tindakan
ekonomi (produksi dan pertukaran komoditi), nilai-nilai yang kurang tinggi
dipraktikkan dan hubungan personal yang kurang dikembangkan.Apalagi nilai-nilai
yang dilibatkan bersifat boros (consumatory atau instrumental),
mereka hanya berhubungan dengan benda-benda yang dikonsumsi atau
dipergunakan.Dengan demikian aktivitas ekonomi lebih bersifat secular
atau profaneketimbang sacral. Pada akhirnya, nilai dan tata cara
kehidupan ekonomi tampaknya berdasarkan atas asumsi-asumsi yang lebih mudah
diuji dalam pengalaman empiris, lebih siap dijalani dan lebih mudah dipastikan
sekarang atau nanti. Dalam hal ini, ekonomi dapat juga diarahkan kearah
kebenaran karena jika dihubungkan dengan agama maka aktivitas ekonomi juga
dapat menjadi sesuatu hal yang bersifat saktal.[19]
Pengaruh
agama terhadap golongan masyarakatpun jika dilihat dari karakter masing-masing
golongan pekerjaan tidak akan berbeda jauh dengan pengaruh agama terhadap
ekonomi. Golongan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut: pertama,
golongan petani. Mereka adalah masyarakat yang terbelakang, di daerah
trisolasi, system masyarakatnya sederhana. Di samping itu, terdapat sumber
ketidakpastian, ketidakmampuan, mata pencaharian tergantung pada alam, serangan
hama yang di luar kemampuan petani. Oleh karena itu, mereka mencari kekuatan di
luar dirinya yang dianggap dapat mengatasinya persoalan itu.Misalnya,
diadakannya upacara tolak balak dengan menyediakan sesajen untuk Dewi Sri.Hal
ini menunjukkan pengaruh agama begitu kuat terhadap ekonomi golongan petani
sehingga menyebabkan jiwa keagamaan mereka lebih dekat dengan alam.Kedua,
golongan nelayan.Golongan ini tidak jauh karakternya dengan petani.Mata
pencahariannya tergantung pada alam, musim, adanya badai, dan juga hal-hal yang
di luar kemampuan mereka.Oleh karena itu, merekapun mengadakan upacara untuk
penguasa laut, Nyi Roro Kidul.Ketiga, pengrajin dan pedagang kecil.Mata
pencaharian mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan
rasional.Namun, dalam hal kelahiran, perkawinan dan kematian masih diliputi
perasaan keagamaan yang kental, sehingga merekapun tetap mengadakan upacara
keagamaan.Keempat, pedagang besar.Mata pencaharian mereka lebih
berorientasi pada kehidupan duniawi, semakin besar penghasilan dan kekayaan
yang diperoleh, maka semakin kecil kecenderungan mereka terhadap agama. Namun,
mereka tetap melakukan sumbangan dana untuk kepentingan agama untuk mewakili
perasaan keagamaannya. Kelima, karyawan.Golongan ini disebut juga
golongan demokrat atau kalangan industri, karena sistem sosialnya bersifat
modern.Mata pencahariannya berdasarkan penalaran dan efisiensi, sehingga
kecenderungan rasa keagamaan mereka bersifat serba mencari untung dan enak,
karena gaji telah diterima setiap bulan.
Dalam menghadapi masalah “kelangkaan” dalam arti kesejahteraan material (ekonomi)—berlawanan dengan penglihatan Karl Marx—Weber
melihat bahwa agama memberikan saham yang tidak kecil serta amat positif.
Sebagai contohnya ialah bahwa Protestantisme
memberikan pengaruh kausal yang kuat kepada lahir dan berkembangnya kapitalisme modern.Pendapatnya itu
dipaparkan dalam bukunya “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”.
Di mana ia lebih jauh mengutarakan peran positif yang dimainkan agama dalam
sejarah umat manusia. Dengan uraiannya itu ia jelas-jelas melawan pendapat yang
berlaku pada waktu itu, antara lain dari Marx yang melihat agama hanya sebagai
sulur yang tumbuh dari variable ekonomi dan yang tidak mempunyai makna kecuali
yang negatif saja[20]
Di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa pengembangan
ekonomi Islam dimulai melalui pola kedua sehingga tidak heran jika pengembangan
industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat dibandingkan pengkajian teoritis
dan konseptual dalam pembentukan sistem yang lebih komprehensif. Maka, wajar
masih adanya keterbatasan sumber daya insani yang memilih pemahaman secara baik
aspek ekonomi dan syariah. Hal ini menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam
rangka pengembangan ekonomi Islam.[21]
Keterangan-keterangan ilmiah yang dihasilkan sosiologi
agama tidak akan menyelesaikan segala kesulitan secara tuntas. Segi kesulitan
yang bukan sosiologis harus dimintakan resep dari ilmu yang bersangkutan.
Misalnya teknologi, ekonomi, demigrafi dlsb.
Jika yang dimaksud moralitas kehidupan itu merupakan
wilayah ekonomi, maka moral ekonomi inilah yang perlu kita pikirkan secara
kritis agar bisa menghasilkan moralitas yang bermakna bagi kehidupan. Kalau
kita kaitkan dengan konteks Indonesia dewasa ini yang tengah mengacu
pembangunan ekonomi tetapi justru masih banyak pelanggaran moral yang berakibat
merugikan keuangan negara. Anehnya pelanggaran itu terus berkelanjutan dengan
pelaku banyak dari kalangan intelektual dan borokrat yang seharusnya menjadi uswah bagi masyarakat.[22]
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana seharusnya
implikasi etika dalam ekonomi agar menjadi perilaku subjek pendukungnya, antara
lain bisa kita lihat bagaimana pengaruh etika protestan terhadap semangat
kapitalisme sebagaimana dijelaskan max Weber dalam karyanya the protestan Ethic and The Spirit of
Capiralism: untuk dapat memahami hubungan antara ide-ide keagamaan yang
bersifat fundamental dan Protestanisme asketis dengan maksimnya bagi perilaku
ekonomi sehari-hari, maka perlu untuk memeriksa dengan teliti seluruh
tulisan-tulisan semacam itu yang secara pasti berasal dari praktik-praktik ministerial
(kependekatan).[23]
Maz Weber berpendapat bahwasanya para pemimpin bisnis dan
pemilik modal maupun para karyawan perusahaan yang mempunyai kemampuan (skill) tinggi ataupun para staf terdidik
baik secara teknis maupun komersial ternyata kebanyakan adalah orang Protestan.[24]
Lain lagi dengan etika bisnis jepang yang filosofinya nampaknya banyak diwarnai
ajaran agama mereka (Shinto). Perilaku masyarakat Jepang, tanpa kecuali dalam
hubungannya dengan bisnis terbaca dari pemikiran:[25]
a)
Orang-orang jepang percaya bahwa keselarasan di permukaan
dipertahankan dengan segala upaya:
b)
Di dalam situasi konflik, orang-orang Jepang berusaha
untuk menghindari malu, bagi mereka sendiri dan seringkali juga bagi lawannya;
c)
Orang-orang Jepang enggan menghadapi orang lain dalam
konflik terbuka;
d)
Rasa memiliki kewajiban merupakan pendorong yang kuat
bagi tingkah laku orang-orang jepang;
e)
Kesamaan latar belakang dan kebiasaan yang saling dijaga,
memungkinkan mereka saling memahami, hanya dengan melalui sedikit atau tanpa
isyarat sekalipun;
Tidak diragukan lagi bahwa legalitas bisnis dibahas oleh
Al- Qur’an. Eksposisi sintetik ajaran Al- Qur’an diharapkan akan membantu kita
dalam menggambarkan prinsip-prinsip dasar dari etika bisnis Al- Qur’an.
Ketaatan pada prinsip-prinsip ini akan memberikan jaminan keadilan dan
keseimbangan yang dibutuhkan dalam bisnis dan akan menjaga aktivitas komersial
pada koridor yang benar.[26]
Menurut Qardhawi poros risalah nubuwah Nabi Muhammad SAW
adalah akhlak. Karena itu Islam telah mengimplikasikan antara mu’amalah dengan
akhlak, seperti jujur, amanah, adil, ihsan, berbuat kebaikan, silaturahmi, dan
sayang-menyayangi. Dikaitkan akhlak pada aspek hidup menyeluruh, sehingga tidak
ada pemisahan antara ilmu dengan akhlak, antara politik dengan akhlak, antara
ekonomi dengan akhlak, dan perang dengan akhlak, dan lain sebagainya. Dengan
demikian, akhlak menjadi daging dan urat nadi kehidupan Islam[27]
yang harus memandu segala aktivitas seorang Muslim.[28]
Jika kita berbicara tentang akhlak dalam ekonomi Islam,
maka tampak secara jelas di hadapan kita empat nilai utama, yaitu: rubbaniyyah (ketuhanan),akhlak, kemanusian, dan pertengahan. Nilai-nilai ini memancarkan
keunikan dalam ekonomi Islam yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi manapun di
dunia. Nilai-nilai tersebut merupakan karakteristik syariat Islam yang kaffah,
sempurna dalam segala dimensinya. Atas dasar karakteristik itu ekonomi Islam
jelas berbeda dengan sistem ekonomi konvensional karena ia adalah sebuah sistem
ekonomi alamiah, ekonomi humanistis, ekonomi moralistis, dan ekonomi moderat.
Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini mempunyai dampak terhadap seluruh
aspek ekonomi, baik dalam masalah produksi, konsumsi, sirkulasi maupun
distribusi. Semua itu terpola oleh nilai-nilai tersebut, karena jika tidak,
niscaya ke-islam-an itu hanya sekedar simbol tanpa makna.[29]
b) Bagan hubungan agama dan ekonomi
Skema
Hubungan Agama Dan Ekonomi
Unsur-
unsur agama
|
Unsur
unsur ekonomi
|
Contoh
|
|
1.Keyakinan kepeda
pencipta (keimanan/keyakinan)
|
1.Adanya
kegiatan ekonomi ((jual beli)
Kosumsi
Prduksi
distribusi
|
Kejujuran
dalam melaksanakan akad jual beli karena meyakini adanya sang pencipta(allah)
|
|
2.Symbol agama
|
2.Adanya
system ekonomi
Ekonomi tradisional
Ekonomi
komando/terpusat
Ekonomi
pasar
Ekonomi
campuran
|
Adanya
persatuan seperti stiap golongn/setiap agama dengan memegang teguh masing2
pedoman agama
|
|
3.Praktik
keagamaan
|
Tingkahlaku
ekonomi
Keadilan
|
Menjaga
nilai nilai agama seperti ahlakul karimah yang lebih condong dalam kejujuran,
membayar kan sodakoh yang ada pada ekonomi yang disebut zakat mal
|
|
4.pengalaman
keagaman
|
Nilai-nilai
ekonomi
Logis
(kebenaran)
Etis
(kebakan)
Estetis
(keindahan)
|
Memperaktekan
ilmu yang ada pada agama pada kebenaran yang nyata
|
|
5.Umat
beragama
|
Peran
ekonomi
|
Saling
menjaga antara agama dengan tidak membedakan agama lain sama2 menjalankan
peran masing2(Qs al kafirun ayat 6 ) bagimu agamamu bagiku agamaku (saling
toleransi)
|
5
ANALISIS dan DISKUSI
1.
Analisis
1. Menurut analisis kami jika hubungan
antara agama dan ekonomi secara terminologi dan epistimoogi itu sudah seperi
layaknya biasanya yaitu bisa diliat dikamus dan sumber-sumber lainnya, tetapi
yang perlu dianalisis dari pembahasan diatas yaitu pendapat dari Ellen H.
Palanca, tentang kajian dalam upaya mencoba memahami peran yang dijalankan
agama didalam masyarakat. Dari pernyataan Ellen kita bisa melihat bagaimana
fungsi Hubungan antara agama dan Ekonomi.Misalnya tentang penurunan peran agama
dalam masyarakat, yang memaksa kita menyatakan bahwa kita tidak mungkin dapat
berharap suatu etika agama memainkan peranan agama, seperti masa pertengahan
dan zaman reformasi.Yang menjadikan hubungan antara agama dengan pembangunan
ekonomi adalah hubungan timbal balik bukanlah hubungan kausalitas.Sehingga
menjadikan agama sebagai salah satu faktor mendorong pertumbuhan ekonomi,
perubahan struktur ekonomi dan kemajuan masyarakat sesuai dengan perkembangan
dan pertumbuhan ekonomi.Kondisi sosial dan ekonomi ikut mempengaruhi keberadaan
agama.
Kami sangat setuju sekali melihat
perkembangan pola kehidupan dari type masyarakat yang berbeda:
Pertama
Di dalam masyarakat traditional, agama berfungsi untuk mendorong manusia untuk
terlibat dalam peran-peran dan tingkah laku ekonomi, karena agama dapat
mengurangi rasa cemas dan takut.Agama juga berfungsi menciptakannorma-norma
social yang mempengaruhi ekonomi.Studi yang dilakukan Max Webar tentang “Etika Protestan”
menemukan bahwa agama protestan ternyata memberikan sumbngan tidak kecil
terhadap upaya menciptakan kewirausahaan.
Kedua
didalam masyarakat modern, peran agama terhadan kepercayaanap kegiatan ekonomi
relative berkurang.Ekonmi umumnya menekan pentingnya rasionalitas dan
sekularisme, seringkali menyebabkan harus berbenturan kepentingan dengan agama
yang menekan hal-hal yang supranatural. Dengan demikian, keberadaan
(existence)agama relative terpisah dari
ekonomi.
2. Menurut analisis kami memang ketika dihadapkan
dengan dua bentuk tipe masyarakat (tradisional dan modern) sangat relative
untuk menilai bagaiman kontribusi agam bisa diterapkan dengan baik dan
makismal, misalnya dari pernyataan diatas bahwa dalam masyarkat tradisional
agama menjadi pendorong dan membuat norma-norma dalam perekonomian, akan tetapi
ada pula masyarakat tradisional yang cenderung melanggar norma atau malah
menjadi pemicu untuk melenceng dari agama dalam berekonomi. Bahkan berbanding
terbalik ada masyarakat modern yang sangat menjaga nilai dan norma dalam
berekonomi, inilah yang menjadi analsis penguatan kami bahwa memang sangat
relative untuk menilai dan memutuskan pendapat.
3. Kami
sangat tertarik ketika membaca statement dari Emile Durkheim (1933) menyatakan
bahwa semakin sejahtera ekonomi suatu bangsa semakin berkurang peranan agama.
Saya tidak sependapat dengan hal
tersebut, Karena kalau kita hanya memandang sempit segalanya akan terasa
sulit, melihat perkembangan perekonomian yang sejahtera menurut pendapat saya
akan menjadikan agama sebagai tolak ukur atau landasan berfikir kita untuk
tetap berjuang dijalan yang benar dan tanpa mengurangi nilai keagamaan, malah
kalau perlu menjadi pendorong untuk selalu menekankan unsur dan nilai-nilai
agama dalam ekonomi.
4. Hubungan
agama dan ekonimi memang sangat erat sekali agama adalah landasan untuk
melakukan ekonomi dengan baik, agama tempat mengatasisipasi terjadinya
kecurangan di dalam ekonomi yang sangat banyak sekali saat ini terjadi didunia
yang nyata . agama harus menjadi landasan yang kuat bagi ekonomi.
2.
Diskusi
6
KESIMPULAN
Agama
adalah suatu tradisi atau kepercayaan
yang dianut oleh manusia itu sendiri berdasarkan kepercayaan nenek moyang
mereka. Di Indonesia ada bebrapa agama yang di anut oleh sebagian besar
penduduknya, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu
Keberagaman di Indonesia di tingkat individu memiliki ciri-ciri tersendiri
melalui sikap, watak, kelakuan, tempramen dan hasrat. Sedangkan di tingkat
sosial memiliki ciri-ciri keberagaman itu terjadi karena ada perbedaan suku
bangsa, agama, budaya dan ekonomi daerah.
DAFTAR RUJUKAN
Mubaraq, Zulfi. 2010. Sisiologi Agama. Malang: UIN Maliki
Press.
Nawawi,Ismail.
2010. Ekonomi Islam, Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya:
ITS Press.
Amalia, Euis.
2009. Keadilan Distributif dalam Ekonomi
Islam, Jakarta: Rajawali Pers.
http://hana-torizawa.blogspot.com/2012/01/agama-dan-ekonomi.html (di akses 11 november 2013).
Hendropuspito.
1984, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Djakfar,
Muhammad. 2007. Agama, Etika, dan
Ekonomi, Malang: UIN Press.2007
Yusuf
Qardhawi, 1995. Daurul Qiyam wal Akhlaq
fil Istiqhadil Islami, Kairo, Mesir: Maktabah Wahbah.
[1]Ismail
Nawawi, Ekonomi Islam, Perspektif Teori,
Sistem, dan Aspek Hukum, (Surabaya: ITS Press, 2007), 1.
[2] Zulfi Mubaraq, Sosologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 79. Lihat Komaruddin Sastradipoera,
Sejarah Pemikiran Ekonomi: Suatau Pengantar Teori dan Kebijakan Ekonomi (Bandung:
Kappa-Sigma, 2001), 4.
[3] Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 79. Lihat Dadang Supardan, Pengantar
Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural (Jakarta: Bumi Aksara,
2009), 366.
[4] Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Malang Press,2010), 79. Lihat Abdullah, Materi Pokok
Pendidikan IPS (Jakarta: Depdikbud, 1992), 5.
[5] Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 80. Lihat Richard G. lipsey
&Peter O. steiner, Economics (New
York: Harper & Row, 1981), 5.
[6] Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 80. Lihat Abdullah, Materi
Pokok, 6. Lihat Adam Smith, The Wealth Nation (New York: Random House, 1937).
[7] Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 80. Lihat Paul A. Samuelson dan
William D. Nordhau, Ekonomi.Terjemahan (Jakarta: Erlangga, 1990), 5.
[8]
Ismail Nawawi, Ekonomi Islam: Perspektif
Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, (Surabaya: ITS Press, 2008), 4-5.
[9]Euis
Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 111-112.
[10]Ismail
Nawawi, Ekonomi Islam, Perspektif Teori,
Sistem, dan Aspek Hukum, (Surabaya: ITS Press, 2007), 15-17.
[11]http://hana-torizawa.blogspot.com/2012/01/agama-dan-ekonomi.html (di
akses pada 11 november 2013)
[12]Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 81. Lihat Ishomuddin, Pengantar
Sosiologi Agama (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia-UMM Press, 2002), 80.
[13]Ibid., 82-83.
[14]Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 81. Lihat J. Dwi Narwoko dan Bagong
Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana, 2007),
299-300.
[15]Ibid., 299.
[16]Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 82. Lihat Max Weber, Etika
Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terjemahan (Surabaya: Pustaka
Promethea, 29-30).
[17]Zulfi mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 83. Lihat Betty R. Scharf, Sosiologi
Agama. Terjemahan (Jakarta: Kencana, 2004), 206.
[18]Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 83. Lihat Narwoko dan Suyanto, Sosiologi,
299-300.
[19]Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, (Malang: UIN Maliki Press,2010), 83. Lihat Thomas F. O’Dea, Sosiologi
Agama: Suatu Pengantar Awal (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 218.
[20]D.
Hendropuspito, Sosiologi Agama,
(Yogyakarta: Kanisius, 1984), 70. Lihat O’ Dea, Op. Cit., hlm. 11.
[21]Euis
Amalia, Keadilan Distributif dalam
Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 114.
[22]Muhammad
Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi,
(Malang: UIN Press, 2007), 17.
[23]
Ibid., 19-20.
[24]
Ibid., 21.
[25]
Ibid., 21-22.
[26]
Ibid., 25.
[27]
Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq
fil Istiqhadil Islami, (Kairo, Mesir: Maktabah Wahbah, 1995), 4.
[28]Muhammad
Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi,
(Malang: UIN Press, 2007), 26.
[29]Ibid.,
26-27.
thanks for this paper,, i waiting for next papers
BalasHapus