BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tujuan Instruksional
Seorang guru yang mengajar tanpa menetapkan tujuan
instruksional terlebih dahulu dan mengajar tanpa berpedoman pada tujuan instruksional
ibaratkan nahkoda berlayar tanpa mempergunakan kompas yang mengakibatkan
meraba-raba menentukan tujuan yang hendak dicapai.
Robert F. Mager (1962)
mendefinisikan tujuan instruksional sebagai tujuan perilaku yang hendak dicapai
atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi tingkat kompetensi tertentu.
Eduard L. Dejnozka dan David
E. Kapel (1981) mendefinisikan tujuan instruksional adalah suatu pernyataan
yang spesifik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku atau penampilan yang
diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang
diharapkan. Perilaku ini dapat berupa fakta yang tersamar (covert).
Gagne (dalam Atwi Suparman, 1991;8) mengatakan bahwa sistem
instruksional adalah suatu set peristiwa yang mempengaruhi siswa sehingga
terjadi proses belajar mengajar. Suatu set peristiwa itu mungkin digerakkan
oleh pengajar sehingga disebut pengajaran, mungkin pula digerakkan oleh siswa
sendiri dengan menggunakan buku, gambar, program televisi, atau kombinasi
berbagai media. Baik digerakkan oleh guru maupun digerakkan oleh siswa sendiri,
kegiatan itu haruslah terencana secara sistematik untuk dapat disebut kegiatan
instruksional. Jadi, pengajaran adalah salah satu bentuk kegiatan
instruksional.
Dari
semua definisi yang telah disebutkan di atas pada prinsipnya memiliki maksud
yang sama, karena unsur-unsur yang dipakai untuk merumuskan definisi dan cara
perumusannya sama. Tujuan instruksional sangat erat hubungannya dengan pre-assessment,
desain program, srategi mengajar, spesifikasi dari pemilihan media proses
mengajar dan penilaian.
B. Fungsi
Tujuan Instruksional
Bila
kita simak sejarah lahirnya tujuan instruksional yang diawali oleh usaha B.F.
Skinner pada tahun 1950. Ia mencoba menerapkan ilmu perilaku untuk
meningkatkan kualitas proses pembelajaran, kemudian atas teori-teorinya, Robert
Marger menyusun buku dengan judul: Preparing Instruksional Objective, (1962)
yang pada tahun 1970an telah diterapkan secara meluas di seluruh dunia termasuk
Indonesia. Teori tersebut sebaiknya mulai diterapkan pada saat pengajar
merumuskan atau merancangkan satuan pelajaran dan bahan pelajaran. Dengan
menggunakan tujuan yang jelas dan benar maka ada beberapa keuntungan yang dapat
diperoleh antara lain adalah:
a)
Waktu
mengajar dapat dialokasikan dan dimanfaatkan secara tepat.
b)
Pokok
bahasan dapat dibuat seimbang, sehingga tidak ada materi pelajaran yang dibahas
terlalu mendalam atau terlalu sedikit.
c)
Guru
dapat menetapkan berapa banyak materi pelajaran yang dapat atau sebaliknya
disajikan dalam jam pelajaran.
d)
Guru
dapat menetapkan aturan dan rangkaian materi pelajaran secara tepat. Artinya
peletakan masing-masing materi pelajaran akan memudahkan siswa dalam
mempelajari isi pelajaran.
e)
Guru
dapat dengan mudah, tepat dan cukup waktu untuk mempersiapkan berbagai keperluan
peralatan maupun bahan yang diperlukan dalam belajar.
f) Guru
dapat dengan mudah mengukur keberhasilan siswa dalam belajar.
g) Guru
dapat menjamin bahwa hasil belajarnya akan lebih baik dibandingkan dengan hasil
belajar tanpa tujuan instruksional.
C. Perbedaan Tujuan
Instruksional Umum (TIU) dengan Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Secara
umum tujuan instruksional dibedakan menjadi dua, yang sampai sekarang masih
dianut oleh sebagian besar pendidik, kata instruksional dapat juga diganti
dengan kata pembelajaran sebagai berikut:
v Tujuan
Instruksional Umum (TIU) atau kompetensi dasar yang sering disingkat menjadi
KD. Dalam bahasa asing biasa disebut dengan goal, terminal objective, dan
target objective. Tujun terminal melukiskan hasil belajar utama dalam istilah
perilaku yang semula disebut dalam tujuan umum. Lebih dari satu tujuan terminal
diperlukan untuk mencapai satu tujuan umum.
v Tujuan
Instruksional Khusus (TIK) atau indikator, yang dalam istilah asing dikenal
dengan; enabling objectives, subordinate objectives, dan supportive
objectives (tujuan memungkinkan, tujuan bawahan, tujuan penyangga). Tujuan
penyangga melukiskan perilaku khusus (kegiatan tunggal atau langkah tunggal)
yang harus dipelajari atau ditampilkan supaya tercapainya tujuan terminal.
Tujuan
instruksional juga dapat disebut dengan tujuan kurikulum atau tujuan
pembelajaran. Istilah-istilah ini sengaja disajikan agar pembaca tidak
terkecohkan oleh pemakaian istilah dalam penggunaan sehari-hari, yang sering
digunakan secara kurang tepat atau bervariasi sehingga membingungkan.
Arti
tujuan instruksional umum adalah perilaku akhir yang diharapkan dapat
memperoleh dari hasil proses belajar, latihan atau proses pendidikan lainnya
yang dinyatakan dalam kalimat aktif yang operasional, dan mempunyai kandungan
maksud yang relative luas dibanding tujuan instruksional khusus. Dengan
demikian berarti cakupan masalah atau materi bahasannya tergantung pada ruang
lingkup kegiatan yang sedang dilakukan, sebagai informasi biasanya dalam
masalah atau tulisan-tulisan sering digunakan kata-kata maksud dan tujuan, ini
berarti bahwa maksud menjelaskan tentang tujuan umum/ kompetensi dasar,
sedangkan tujuan adalah menjelaskan tentang tujuan khusus / indikator.
Arti
indikator (khusus) adalah perilaku yang ingin dicapai oleh anak didik pada
waktu proses belajar mengajar sedang dilakukan. Apabila dari kandungan dan
kedudukan antara kedua tujuan, tujuan instruksional khusus adalah penjabaran
dari tujuan umum. Berarti kompetensi dasar dan hasil
penjabarannya harus seluas cakupan kompetensi dasar.
D. Tujuan Instruksional
Khusus Berdasarkan Taksonomi Bloom (kognitif)
Dalam buku Bloom, kata “taksonomi” berarti
sistem klasifikasi tujuan pendidikan.
Taksonomi Bloom sangat dikenal di Indonesia dibanding taksonomi Gagne,
dan Merill. Taksonomi Bloom menyusun kategori enam level. Keenam
level tersebut diurut dari tingkat intelektual yang rendah (tingkat
pengetahuan) ke tingkat yang paling komplek (tingkat evaluasi).
Keenam level ini
bersifat hirarkis, tingkat level yang tertinggi dapat dicapai melalui level
sebelumnya, masing-masing level diurut secara prosedural, apabila level
terbawah terkuasai maka dilanjut pada level berikut.
Taksonomi disini diartikan sebagai
salah satu metode klasifikasi tujuan instruksional secara berjenjang dan
progresif ke tingkat yang lebih tinggi. Taksonomi ini disusun oleh satu tim
yang diketuai oleh Benjamin Samuel Bloom dan David R. Krathwohl (1964).
Di sini tujuan instruksional diklasifikasi menjadi tiga kelompok atau kawasan
dipecah lagi menjadi beberapa tingkat yang lebih khusus. Berdasarkan tingkat
yang khusus itulah dikembang tujuan instruksional secara umum dan khusus atau
kompetensi dasar menjadi indikator-indikator, sehingga memudahkan dalam
mengukur tingkat keberhasilan atau prestasi belajar seseorang. Ini berarti
setiap kawasan membahas berbagai pendidikan yang berbeda-beda. Sampai saat ini
taksonomi tersebut banyak dipakai sebagai dasar pengembangan tujuan
instruksional diberbagai kegiatan latihan dan pendidikan.
Ranah kognitif (cognitive domain)
menurut Bloom dan kawan-kawan, yaitu tujuan kognitif berorientasi kepada
kemampuan “berfikir”, mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana,
yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntutkan
siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan, metode atau prosedur yang
sebelumnya dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kawasan kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan
tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat “pengetahuan” sampai
ke tingkat yang paling tinggi yaitu “evaluasi”. Keenam tingkat tersebut;
1. Pengetahuan
(knowledge)
Mencakup ingatan akan hal-hal yang
pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini dapat meliputi fakta,
kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan yang disimpan
dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan mengingat (recall)
atau mengenal kembali (recognition).
2. Pemahaman
(comprehension)
Mencakup
kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Adanya
kemampuan ini dinyatakan dalam menguraikan isi pokok dari suatu bacaan;
mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentuke bentuk lain, seperti rumus
matematika ke dalam bentuk kata-kata; membuat perkiraan tentang kecenderungan yang
Nampak dalam data tertentu, seperti grafik. Kemampuan ini setingkat
lebih tinggi daripada kemampuan (1).
3. Penerapan
(application)
Mencakup
kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus /
problem yang konkret dan baru. Adanya kemampuan dinyatakan dalam aplikasi suatu
rumus pada persoalan yang belum dihadapi atau aplikasi suatu metode kerja pada
pemecahan problem baru. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi
daripada kemampuan (2).
4. Analisis
(analysis)
Mencakup
kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian, sehingga
struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. Adanya
kemampuan ini dinyatakan dalam penganalisaan bagian-bagian pokok atau
komponen-komponen dasar, bersama dengan hubungan/relasi antara semua bagian
itu. Kemampuan
ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan (3).
5. Sintesis
(synthesis)
Mencakup kemampuan untuk membentuk
suatu kesatuan atau pola baru. Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain,
sehingga terciptakan suatu bentuk baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam
membuat suatu rencana, seperti penyusunan satan pelajaran atau proposal
penelitian ilmiah, dalam mengembangkan suatu skema dasar sebagai pedoman dalam
memberikan ceramah dan lain sebagainya. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi
daripada kemampuan (4).
6. Evaluasi
(evaluation)
Mencakup
kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal,
bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu, yang berdasarkan kriteria
tertentu. Kemampuan itu dinyatakan dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu,
seperti dalam menilai tepat tidaknya perumusan suatu tujuan instruksioanl
khusus (TIK), berdasarkan kriteria yang berlaku dalam perumusan TIK, yang baik.
Kemampuam
ini adalah tingktan tertinggi, karena mencakup semua kemampuan dalam (1) sampai
(5).
E. Tujuan Instruksional
Khusus Berdasarkan Taksonomi Krathwohl (afektif)
Taksonomi afektif yang paling terkenal dikembangkan oleh
Krathwohl, dkk. Pada dasarnya Krathwohl berusaha mengembangkan taksonomi ini ke
dalam lima tingkat perilaku. Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964) mengembangkan
taksonomi tujuan yang berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi
ini menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi suatu
nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku.
Krathwohl mengelompokkan ranah afektif (affective
domain) ke
dalam lima kelompok, yaitu:
1. Penerimaan
(receiving)
Mencakup
kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan
rangsangan itu, seperti buku pelajaran atau penjelasan yang diberikan oleh
guru. Kesediaan itu dinyatakan dalam memperhatikan sesuatu, seperti memandangi
gambar yang dibuat di papan tulis atau mendengarkan jawaban teman sekelas atas
pertanyaan guru. Namun, perhatian itu masih pasif.
2. Partisipasi
(responding)
Mencakup
kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu
kegiatan. Kesediaan itu dinyatakan dalam memberikan suatu reaksi terhadap
rangsangan yang disajikan, seperti membacakan dengan suara nyaring bacaan yang
ditunjuk atau menunjukkan minat dengan membawa pulang buku bacaan yang
ditawarkan,
3. Penilaian/penentuan
sikap (valuing)
Mencakup
kemampuanuntuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai
dengan penilaian itu. Mulai dibentuk suatu sikap: menerima, menolak atau
mengabaikan; sikap itu dinyatakan dalam tingkah laku yang sesuai dan konsisten
dengan sikap batin. Kemampuan ini dinyatakan dalam suatu perkataan atau
tindakan, seperti mengungkapkan pendapat positif tentang pameran lukisan modern
(apresiasi seni). Perkataan atau tindakan itu tidak hanya sekali saja, tetapi
diulang kembali bila kesempatannya timbul; dengan demikian, nampaklah adanya
suatu sikap tertentu.
4. Organisasi
(organization)
Mencakup kemampuan untuk membentuk
suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan. Nilai-nilai
yang diakui dan diterima ditempatkan pada suatu skala nilai: mana yang pokok
dan selalu harus diperjuangkan, mana yang tidak begitu penting. Kemampuan ini
dinyatakan dalam mengembangkan suatu perangkat nilai, seperti menguraikan
bentuk keseimbangan yang wajar antara kebebasan dan tanggung jawab dalam suatu
negara demokrasi atau menyusun rencana masa depan atas dasar kemampuan belajar,
minat dan cita-cita hidup.
5. Pembentukan
pola hidup (characterization by a value or value complex)
Mencakup
kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga
menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan nyata dan jelas
dalam mengatur kehidupannya sendiri. Orang telah memiliki suatu perangkat nilai
yang jelas hubungannya satu sama lain, yang menjadi pedoman dalam bertindak dan
konsisten selama kurun waktu cukup lama. Kemampuan itu dinyatakan dalam
pengaturan hidup di berbagai bidang, seperti mencurahkan waktu secukupnya pada
tugas belajar/bekerja, tugas membina kerukunan keluarga, tugas beribadat, dan
sebagainya. Kemampuan yang demikian ini, kiranya sulit untuk dituangkan dalam
suatu TIK, karena mengandung unsur kebiasaan yang baru dibentuk setelah waktu
yang cukup lama, misalnya kemampuan untuk menunjukkan kerajinan, ketelitian,
dan disiplin dalam kehidupan pribadi.
Pengelompokkan ini juga
bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah
(sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat paling tinggi. Makin tinggi tingkat
tujuan dalam hierarkhi semakin besar pula keterlibatan dan komitmen seseorang
terhadap tujuan tersebut.
F. Tujuan Instruksional
Khusus Berdasarkan Taksonomi Dave (psikomotor)
Kawasan psikomotor pada
tahun 1956 kurang mendapat perhatian dari Bloom dan kawan-kawannya karena
mereka tidak percaya bahwa pengembangan tujuan dalam kawasan tersebut sangat
berguna. Tetapi mereka menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam kawasan ini
berkenaan dengan otot, keterampilan motorik, atau gerak yang membutuhkan koordinasi
otot.
Namun beberapa pakar lain berhasil
mengembangkan taksonomi kawasan psikomotor, salah satunya dikembangkan oleh
Dave (1970). Dave juga menyusun tujuan psikomotor secara hierarkhis dalam lima
tingkat, mencakup tingkat meniru sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi
sebagai yang paling kompleks. Klasifikasi
tujuan instruksional khusus ranah psikomotor oleh Dave (1970), terbagi dalam lima kategori sebagai berikut:
1. Peniruan
Terjadi
ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang
diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot syaraf. Peniruan ini pada
umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.
2. Manipulasi
Menekankan
perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan. Penampilan, gerakan-gerakan
pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini
siswa menampilkan sesuatu membuat petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah
laku saja.
3. Ketetapan
Memerlukan kecermatan, proporsi,
dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respons-respons lebih
terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
4. Artikulasi
Menekankan
koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan
mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal diantara gerakan-gerakan
yang berbeda.
5. Pengalamiahan
Menuntut
tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik
maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin.
Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Eduard L. Dejnozka dan David E. Kapel (1981) mendefinisikan tujuan
instruksional adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam
bentuk perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk
menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Tujuan instruksional sangat erat
hubungannya dengan pre-assessment, desain program, srategi mengajar,
spesifikasi dari pemilihan media proses mengajar dan penilaian.
Secara
umum tujuan instruksional dibedakan menjadi dua, yang sampai sekarang masih
dianut oleh sebagian besar pendidik, kata instruksional dapat juga diganti
dengan kata pembelajaran sebagai berikut:
1. Tujuan
Instruksional Umum (TIU) atau kompetensi dasar yang sering disingkat menjadi
KD.
2. Tujuan
Instruksional Khusus (TIK) atau indikator.
Arti indikator adalah
perilaku yang ingin dicapai oleh anak didik pada waktu proses belajar mengajar
sedang dilakukan. Apabila dari kandungan dan kedudukan antara kedua tujuan,
tujuan instruksional khusus adalah penjabaran dari tujuan umum. Berarti
kompetensi dasar dan hasil penjabarannya harus seluas cakupan kompetensi dasar.
Dalam buku Bloom, kata
“taksonomi” berarti sistem klasifikasi tujuan pendidikan. Adapun suatu
taksonomi merupakan suatu tipe sistem klasifikasi dari pengembangan tujuan
instruksional khusus, yang berdasarkan data penelitian ilmiah mengenai hal-hal
yang digolong-golongkan dalam sistematika itu. Ada tiga ranah dalam taksonomi
pendidikan yaitu ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotor.
Ranah kognitif (cognitive domain)
menurut Bloom dan kawan-kawan, yaitu tujuan kognitif berorientasi kepada
kemampuan “berfikir” . Taksonomi tujuan instruksional khusus ranah kognitif
oleh Benjamin S. Bloom terbagi dalam enam tingkat sebagai berikut:
1. Pengetahuan
(knowledge)
2. Pemahaman
(comprehension)
3. Penerapan
(application)
4. Analisis
(analysis)
5. Sintesis
(synthesis)
6. Evaluasi
(evaluation)
D.R. Krathwohl mengelompokkan ranah afektif (affective
domain) ke
dalam lima kelompok, yaitu:
1. Penerimaan
(receiving)
2. Partisipasi
(responding)
3. Penilaian/penentuan
sikap (valuing)
4. Organisasi
(organization)
5. Pembentukan
pola hidup (characterization by a value or value complex)
Taksonomi
tujuan instruksional khusus ranah psikomotor oleh Dave (1970), terbagi dalam lima kategori sebagai berikut:
1) Peniruan
2) Manipulasi
3) Ketetapan
4) Artikulasi
5) Pengalamiahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. H. Martinis Yamin,
M.Pd., Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan, GAUNG
PERSADA PRESS, Jakarta, 2007.
W. S. Winkel S.J.,M.Sc.,
Psikologi Pengajaran, MEDIA ABADI, Yogyakarta, 2009.
Benjamin S. Bloom
(Ed.), Max D. Englehart, Edward J. Furst, Walker H. Hill, David R.
Krathwohl, Kerangka Landasan Untuk
Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, PUSTAKA
BELAJAR, Yogyakarta, 2010.