This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 27 April 2014

Mengembangkan Tujuan Instruksional

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Tujuan Instruksional
            Seorang guru yang mengajar tanpa menetapkan tujuan instruksional terlebih dahulu dan mengajar tanpa berpedoman pada tujuan instruksional ibaratkan nahkoda berlayar tanpa mempergunakan kompas yang mengakibatkan meraba-raba menentukan tujuan yang hendak dicapai.
            Robert F. Mager (1962) mendefinisikan tujuan instruksional sebagai tujuan perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi tingkat kompetensi tertentu.
            Eduard L. Dejnozka dan David E. Kapel (1981) mendefinisikan tujuan instruksional adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Perilaku ini dapat berupa fakta yang tersamar (covert).   
Gagne (dalam Atwi Suparman, 1991;8) mengatakan bahwa sistem instruksional adalah suatu set peristiwa yang mempengaruhi siswa sehingga terjadi proses belajar mengajar. Suatu set peristiwa itu mungkin digerakkan oleh pengajar sehingga disebut pengajaran, mungkin pula digerakkan oleh siswa sendiri dengan menggunakan buku, gambar, program televisi, atau kombinasi berbagai media. Baik digerakkan oleh guru maupun digerakkan oleh siswa sendiri, kegiatan itu haruslah terencana secara sistematik untuk dapat disebut kegiatan instruksional. Jadi, pengajaran adalah salah satu bentuk kegiatan instruksional.
Dari semua definisi yang telah disebutkan di atas pada prinsipnya memiliki maksud yang sama, karena unsur-unsur yang dipakai untuk merumuskan definisi dan cara perumusannya sama. Tujuan instruksional sangat erat hubungannya dengan pre-assessment, desain program, srategi mengajar, spesifikasi dari pemilihan media proses mengajar dan penilaian.

B.   Fungsi Tujuan Instruksional
Bila kita simak sejarah lahirnya tujuan instruksional yang diawali oleh usaha B.F. Skinner pada tahun 1950. Ia mencoba menerapkan ilmu perilaku untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, kemudian atas teori-teorinya, Robert Marger menyusun buku dengan judul: Preparing Instruksional Objective, (1962) yang pada tahun 1970an telah diterapkan secara meluas di seluruh dunia termasuk Indonesia. Teori tersebut sebaiknya mulai diterapkan pada saat pengajar merumuskan atau merancangkan satuan pelajaran dan bahan pelajaran. Dengan menggunakan tujuan yang jelas dan benar maka ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh antara lain adalah:
a)      Waktu mengajar dapat dialokasikan dan dimanfaatkan secara tepat.
b)      Pokok bahasan dapat dibuat seimbang, sehingga tidak ada materi pelajaran yang dibahas terlalu mendalam atau terlalu sedikit.
c)      Guru dapat menetapkan berapa banyak materi pelajaran yang dapat atau sebaliknya disajikan dalam jam pelajaran.
d)     Guru dapat menetapkan aturan dan rangkaian materi pelajaran secara tepat. Artinya peletakan masing-masing materi pelajaran akan memudahkan siswa dalam mempelajari isi pelajaran.
e)      Guru dapat dengan mudah, tepat dan cukup waktu untuk mempersiapkan berbagai keperluan peralatan maupun bahan yang diperlukan dalam belajar.
f)       Guru dapat dengan mudah mengukur keberhasilan siswa dalam belajar.
g)      Guru dapat menjamin bahwa hasil belajarnya akan lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar tanpa tujuan instruksional.

C.  Perbedaan Tujuan Instruksional Umum (TIU) dengan Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Secara umum tujuan instruksional dibedakan menjadi dua, yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar pendidik, kata instruksional dapat juga diganti dengan kata pembelajaran sebagai berikut:
v  Tujuan Instruksional Umum (TIU) atau kompetensi dasar yang sering disingkat menjadi KD. Dalam bahasa asing biasa disebut dengan goal, terminal objective, dan target objective. Tujun terminal melukiskan hasil belajar utama dalam istilah perilaku yang semula disebut dalam tujuan umum. Lebih dari satu tujuan terminal diperlukan untuk mencapai satu tujuan umum.
v  Tujuan Instruksional Khusus (TIK) atau indikator, yang dalam istilah asing dikenal dengan; enabling objectives, subordinate objectives, dan supportive objectives (tujuan memungkinkan, tujuan bawahan, tujuan penyangga). Tujuan penyangga melukiskan perilaku khusus (kegiatan tunggal atau langkah tunggal) yang harus dipelajari atau ditampilkan supaya tercapainya tujuan terminal.
Tujuan instruksional juga dapat disebut dengan tujuan kurikulum atau tujuan pembelajaran. Istilah-istilah ini sengaja disajikan agar pembaca tidak terkecohkan oleh pemakaian istilah dalam penggunaan sehari-hari, yang sering digunakan secara kurang tepat atau bervariasi sehingga membingungkan.
Arti tujuan instruksional umum adalah perilaku akhir yang diharapkan dapat memperoleh dari hasil proses belajar, latihan atau proses pendidikan lainnya yang dinyatakan dalam kalimat aktif yang operasional, dan mempunyai kandungan maksud yang relative luas dibanding tujuan instruksional khusus. Dengan demikian berarti cakupan masalah atau materi bahasannya tergantung pada ruang lingkup kegiatan yang sedang dilakukan, sebagai informasi biasanya dalam masalah atau tulisan-tulisan sering digunakan kata-kata maksud dan tujuan, ini berarti bahwa maksud menjelaskan tentang tujuan umum/ kompetensi dasar, sedangkan tujuan adalah menjelaskan tentang tujuan khusus / indikator.
Arti indikator (khusus) adalah perilaku yang ingin dicapai oleh anak didik pada waktu proses belajar mengajar sedang dilakukan. Apabila dari kandungan dan kedudukan antara kedua tujuan, tujuan instruksional khusus adalah penjabaran dari tujuan umum. Berarti kompetensi dasar dan hasil penjabarannya harus seluas cakupan kompetensi dasar.

D.  Tujuan Instruksional Khusus Berdasarkan Taksonomi Bloom (kognitif)
 Dalam buku Bloom, kata “taksonomi” berarti sistem klasifikasi tujuan pendidikan.  Taksonomi Bloom sangat dikenal di Indonesia dibanding taksonomi Gagne, dan Merill. Taksonomi Bloom menyusun kategori enam level. Keenam level tersebut diurut dari tingkat intelektual yang rendah (tingkat pengetahuan) ke tingkat yang paling komplek (tingkat evaluasi).
Keenam level ini bersifat hirarkis, tingkat level yang tertinggi dapat dicapai melalui level sebelumnya, masing-masing level diurut secara prosedural, apabila level terbawah terkuasai maka dilanjut pada level berikut.   
Taksonomi disini diartikan sebagai salah satu metode klasifikasi tujuan instruksional secara berjenjang dan progresif ke tingkat yang lebih tinggi. Taksonomi ini disusun oleh satu tim yang diketuai oleh Benjamin Samuel Bloom dan David R. Krathwohl (1964). Di sini tujuan instruksional diklasifikasi menjadi tiga kelompok atau kawasan dipecah lagi menjadi beberapa tingkat yang lebih khusus. Berdasarkan tingkat yang khusus itulah dikembang tujuan instruksional secara umum dan khusus atau kompetensi dasar menjadi indikator-indikator, sehingga memudahkan dalam mengukur tingkat keberhasilan atau prestasi belajar seseorang. Ini berarti setiap kawasan membahas berbagai pendidikan yang berbeda-beda. Sampai saat ini taksonomi tersebut banyak dipakai sebagai dasar pengembangan tujuan instruksional diberbagai kegiatan latihan dan pendidikan.
Ranah kognitif (cognitive domain) menurut Bloom dan kawan-kawan, yaitu tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan “berfikir”, mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntutkan siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan, metode atau prosedur yang sebelumnya dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kawasan kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat “pengetahuan” sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu “evaluasi”. Keenam tingkat tersebut;
1.      Pengetahuan (knowledge)
Mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition).
2.      Pemahaman (comprehension)
Mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam menguraikan isi pokok dari suatu bacaan; mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentuke bentuk lain, seperti rumus matematika ke dalam bentuk kata-kata; membuat perkiraan tentang kecenderungan yang Nampak dalam data tertentu, seperti grafik. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan (1).
3.      Penerapan (application)
Mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus / problem yang konkret dan baru. Adanya kemampuan dinyatakan dalam aplikasi suatu rumus pada persoalan yang belum dihadapi atau aplikasi suatu metode kerja pada pemecahan problem baru. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan (2).
4.      Analisis (analysis)
Mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam penganalisaan bagian-bagian pokok atau komponen-komponen dasar, bersama dengan hubungan/relasi antara semua bagian itu. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan (3).
5.      Sintesis (synthesis)
Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru. Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain, sehingga terciptakan suatu bentuk baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam membuat suatu rencana, seperti penyusunan satan pelajaran atau proposal penelitian ilmiah, dalam mengembangkan suatu skema dasar sebagai pedoman dalam memberikan ceramah dan lain sebagainya. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan (4).
6.      Evaluasi (evaluation)
Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu, yang berdasarkan kriteria tertentu. Kemampuan itu dinyatakan dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu, seperti dalam menilai tepat tidaknya perumusan suatu tujuan instruksioanl khusus (TIK), berdasarkan kriteria yang berlaku dalam perumusan TIK, yang baik. Kemampuam ini adalah tingktan tertinggi, karena mencakup semua kemampuan dalam (1) sampai (5).

E.     Tujuan Instruksional Khusus Berdasarkan Taksonomi Krathwohl (afektif)
Taksonomi afektif yang paling terkenal dikembangkan oleh Krathwohl, dkk. Pada dasarnya Krathwohl berusaha mengembangkan taksonomi ini ke dalam lima tingkat perilaku. Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964) mengembangkan taksonomi tujuan yang berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan ranah afektif (affective domain) ke dalam lima kelompok, yaitu:
1.      Penerimaan (receiving)
Mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangan itu, seperti buku pelajaran atau penjelasan yang diberikan oleh guru. Kesediaan itu dinyatakan dalam memperhatikan sesuatu, seperti memandangi gambar yang dibuat di papan tulis atau mendengarkan jawaban teman sekelas atas pertanyaan guru. Namun, perhatian itu masih pasif.
2.      Partisipasi (responding)
Mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Kesediaan itu dinyatakan dalam memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan yang disajikan, seperti membacakan dengan suara nyaring bacaan yang ditunjuk atau menunjukkan minat dengan membawa pulang buku bacaan yang ditawarkan,
3.      Penilaian/penentuan sikap (valuing)
Mencakup kemampuanuntuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu. Mulai dibentuk suatu sikap: menerima, menolak atau mengabaikan; sikap itu dinyatakan dalam tingkah laku yang sesuai dan konsisten dengan sikap batin. Kemampuan ini dinyatakan dalam suatu perkataan atau tindakan, seperti mengungkapkan pendapat positif tentang pameran lukisan modern (apresiasi seni). Perkataan atau tindakan itu tidak hanya sekali saja, tetapi diulang kembali bila kesempatannya timbul; dengan demikian, nampaklah adanya suatu sikap tertentu.
4.      Organisasi (organization)
Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan. Nilai-nilai yang diakui dan diterima ditempatkan pada suatu skala nilai: mana yang pokok dan selalu harus diperjuangkan, mana yang tidak begitu penting. Kemampuan ini dinyatakan dalam mengembangkan suatu perangkat nilai, seperti menguraikan bentuk keseimbangan yang wajar antara kebebasan dan tanggung jawab dalam suatu negara demokrasi atau menyusun rencana masa depan atas dasar kemampuan belajar, minat dan cita-cita hidup.
5.      Pembentukan pola hidup (characterization by a value or value complex)
Mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri. Orang telah memiliki suatu perangkat nilai yang jelas hubungannya satu sama lain, yang menjadi pedoman dalam bertindak dan konsisten selama kurun waktu cukup lama. Kemampuan itu dinyatakan dalam pengaturan hidup di berbagai bidang, seperti mencurahkan waktu secukupnya pada tugas belajar/bekerja, tugas membina kerukunan keluarga, tugas beribadat, dan sebagainya. Kemampuan yang demikian ini, kiranya sulit untuk dituangkan dalam suatu TIK, karena mengandung unsur kebiasaan yang baru dibentuk setelah waktu yang cukup lama, misalnya kemampuan untuk menunjukkan kerajinan, ketelitian, dan disiplin dalam kehidupan pribadi.   
Pengelompokkan ini juga bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah (sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat paling tinggi. Makin tinggi tingkat tujuan dalam hierarkhi semakin besar pula keterlibatan dan komitmen seseorang terhadap tujuan tersebut.

F.    Tujuan Instruksional Khusus Berdasarkan Taksonomi Dave (psikomotor)
Kawasan psikomotor pada tahun 1956 kurang mendapat perhatian dari Bloom dan kawan-kawannya karena mereka tidak percaya bahwa pengembangan tujuan dalam kawasan tersebut sangat berguna. Tetapi mereka menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam kawasan ini berkenaan dengan otot, keterampilan motorik, atau gerak yang membutuhkan koordinasi otot.
Namun beberapa pakar lain berhasil mengembangkan taksonomi kawasan psikomotor, salah satunya dikembangkan oleh Dave (1970). Dave juga menyusun tujuan psikomotor secara hierarkhis dalam lima tingkat, mencakup tingkat meniru sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi sebagai yang paling kompleks. Klasifikasi tujuan instruksional khusus ranah psikomotor oleh Dave (1970), terbagi dalam lima kategori sebagai berikut:
1.       Peniruan
Terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot syaraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.
2.      Manipulasi
Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan. Penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu membuat petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.

3.      Ketetapan
Memerlukan kecermatan, proporsi, dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respons-respons lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
4.      Artikulasi
Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal diantara gerakan-gerakan yang berbeda.
5.      Pengalamiahan
Menuntut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.

BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Eduard L. Dejnozka dan David E. Kapel (1981) mendefinisikan tujuan instruksional adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Tujuan instruksional sangat erat hubungannya dengan pre-assessment, desain program, srategi mengajar, spesifikasi dari pemilihan media proses mengajar dan penilaian.
Secara umum tujuan instruksional dibedakan menjadi dua, yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar pendidik, kata instruksional dapat juga diganti dengan kata pembelajaran sebagai berikut:
1.      Tujuan Instruksional Umum (TIU) atau kompetensi dasar yang sering disingkat menjadi KD.
2.      Tujuan Instruksional Khusus (TIK) atau indikator.
Arti indikator adalah perilaku yang ingin dicapai oleh anak didik pada waktu proses belajar mengajar sedang dilakukan. Apabila dari kandungan dan kedudukan antara kedua tujuan, tujuan instruksional khusus adalah penjabaran dari tujuan umum. Berarti kompetensi dasar dan hasil penjabarannya harus seluas cakupan kompetensi dasar.
Dalam buku Bloom, kata “taksonomi” berarti sistem klasifikasi tujuan pendidikan. Adapun suatu taksonomi merupakan suatu tipe sistem klasifikasi dari pengembangan tujuan instruksional khusus, yang berdasarkan data penelitian ilmiah mengenai hal-hal yang digolong-golongkan dalam sistematika itu. Ada tiga ranah dalam taksonomi pendidikan yaitu ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotor.
Ranah kognitif (cognitive domain) menurut Bloom dan kawan-kawan, yaitu tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan “berfikir” . Taksonomi tujuan instruksional khusus ranah kognitif oleh Benjamin S. Bloom terbagi dalam enam tingkat sebagai berikut:
1.      Pengetahuan (knowledge)
2.      Pemahaman (comprehension)
3.      Penerapan (application)
4.      Analisis (analysis)
5.      Sintesis (synthesis)
6.      Evaluasi (evaluation)
D.R. Krathwohl mengelompokkan ranah afektif (affective domain) ke dalam lima kelompok, yaitu:
1.      Penerimaan (receiving)
2.      Partisipasi (responding)
3.      Penilaian/penentuan sikap (valuing)
4.      Organisasi (organization)
5.      Pembentukan pola hidup (characterization by a value or value complex)
Taksonomi tujuan instruksional khusus ranah psikomotor oleh Dave (1970), terbagi dalam lima kategori sebagai berikut:
1) Peniruan
2) Manipulasi
3) Ketetapan
4) Artikulasi

5) Pengalamiahan.

DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Martinis Yamin, M.Pd., Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan, GAUNG PERSADA PRESS, Jakarta, 2007.
W. S. Winkel S.J.,M.Sc., Psikologi Pengajaran, MEDIA ABADI, Yogyakarta, 2009.
Benjamin S. Bloom (Ed.), Max D. Englehart, Edward J. Furst, Walker H. Hill, David R. Krathwohl,  Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, PUSTAKA BELAJAR, Yogyakarta, 2010.

SISTEM INSTRUKSIONAL DALAM PERENCANAAN PEMBELAJARAN

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sistem Instruksional
Sistem intruksional sekuarang- kurangnya memiliki dua dimensi yaitu dimensi rencana (a plan) dan dimensi nyata (a reality). Dalam dimensi rencana sistem intruksional merujuk pada prosedur atau langkah- langkah yang seyogiyanya dilalui dalam mempersiapkan terjadinya proses belajar mengajar. Dalam dimensi realita sistem intruksional merujuk pada interaksi kelas atau the classroom system. Menurut konsep Wong dan Raulerson (1973) kedua dimensi ini secra konseptual merupakan suatu sistem kurikulum yang dengan sendirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan.[1]
Walaupun sistem Instruksional ini hanya merupakan bagian dari sistem kurikulum yang juga merupakan bagian dari sistem pendidikan yang kedudukan dan fungsinya sangat menentukan.hal tersebut dimungkinkan, karena inti dari tujuan dan proses pendidikan adalah perubahan perilaku individu dari belum dewasa menjadi dewasa, dari belum matang menjadi matang. Karena sistem intruksional merupakan sarana konseptual terdepan dalam sistem pendidikan formal dimanapun.[2]
Sistem instruksional adalah suatu kombinasi dari komponen-kompnen system instruksional dan pola pengelolaan yang tertentu, yang telah disusun dalam suatu disain atau seleksi, dan dalam pemakaian untuk menghasilkan belajar yang direncanakan dan terkontrol.[3]
Sistem instruksional adalah pengaturan seluruh sumber daya dan prosedur untuk mempromosikan belajar.[4] Desain instruksional adalah proses sistematis untuk mengembangkan system pembelajaran dan pengembangan instruksional adalah proses penerapan system atau rencana instruksional.[5] Pengembangan instruksional adalah implementasi dari perancangan/perencanaan instruksional. Proses pengembangan sebuah instruksional media, harus dipertimbangkan beberapa faktor yang disebut dengan strategi instruksional media, harus dipertimbangkan beberapa faktor yang disebut dengan strategi instruksional, karena faktor ini akan menentukan bentuk dan wujud dari media yang digunakan.[6]
Instruksional strategi dapat diwujudkan dalam dua bentuk dasar, baik pada level mikro maupun level makro (Baron, 1995). Jolie et. Al (2000), menjelaskan bahwa pada level mikro , maka pengembangan strategi pengajaran untuk sebuah pokok topic pengajaran. Pada level makro, mencakup semua strategi pengajaran untuk semua even pembelajaran (learning event). Untuk merealisasikan model media terhadap dua level tersebut, maka lebih jauh Jolie menguraikan tahapan pengembangan pada kedua level tersebut, yaitu:[7]
a.       Mikro level, pada level ini dilakukan lima langkah pendekatan, antara lain :
1)      Pre-instruksional activities (kegiatan pra instruksional)
2)      Information presentation (presentasi informasi)
3)      Activation of learning (kegiatan pembelajaran)
4)      Follow-up (tindak lanjut)
5)      Remediation (remedial)

b.      Makro level, pada level ini berbagai tipe pembelajaran yang berbeda yang disesuaikan makro material ajar yang akan dikembangkan.[8]
Suatu media interaktif yang dikembangkan, agar menjadi sebuah IMMI, harus memenuhi beberapa kriteria. Thorn (2006) mengajukan enam kriteria untuk menilai multimedia interaktif, yaitu:[9]
a.       Kriteria penilaan pertama adalah kemudahan navigasi. Sebuah CD interaktif harus dirancang sesederhana mungkin sehingga siswa/mahasiswa dapat mempelajarinya tanpa harus memiliki pengetahuan yang kompleks tentang media
b.      Kriteria ke dua adalah kandungan kognisi. Dalam arti adanya kandungan pengetahuan yang jelas
c.       Kriteria ketiga adalah presentasi informasi, yang digunakan untuk menilai isi dan program CD interaktif itu sendiri
d.      Keriteria keempat adalah integrasi media, dimana media harus mengintregasikan aspek pengetahuan dan ketrampilan.
e.       Kriteria kelima adalah artistic dan estetika. Untuk menarik minat belajar, maka program harus mempunyai tampilan yang menarik dan estetika yang baik.
f.       Kriteria penilaian yang terakhir adalah fungsi secara keseluruhan, dengan kata lain program yang dikembangkan harus memberikan pembelajaran yang diinginkan oleh peserta belajar.[10]
Di dalam kelas sering terjadi serangkaian tingkah laku yang merupakan interaksi antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa dalam mencapai tujuan pelajaran. Dalam interaksi itu perubahan tingkah laku siswa diharapkan dapat tercapai. Tujuan pelajaran. Dalam interaksi itu perubahan tingkah laku siswa yang diharapkan dapat terjadi, maka perlu menyelenggarakan proses intruksional yang efisien.[11]
Proses intruksional bukan merupakan suatu keadaan yang terjadi secara kebetulan, tetapi keadaan yang telah didesain (dipersiapkan, direncanakan), diatur, diawasi, serta diarahkan dengan mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang mempengaruhi tingkah laku siswa, karenanya guru memegang peranan penting. Untuk dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, guru memerlukan pedoman dasar dalam menyelenggarakan proses intruksional, antara lain:
1.      Komponen-komponen pokok yang membentuk dan memberi ciri yang khas suatu proses interaksional.
2.      Faktor-faktor utama yang paling banyak mempengaruhi penyelenggarakan proses tersebut.
3.      Contoh-contoh suatu model pelaksanaan proses intruksional-intruksional, sehingga guru dapat menciptakan suatu proses yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan, serta tujuan-tujuan tertentu.[12]
Proses intruksional merupakan suatu proses yang kompleks. Artinya untuk mendapat menyelenggarakan proses tersebut diperlukan suatu pengaturan, pengawasan, pengarahan dari komponen-komponen dasar sampai faktor penunjang yang mempengaruhinya. Selama proses intruksional berlangsung, interaksi yang tyerjadi tidah hanya dipengaruhi oleh persiapan yang dib, saling ketergantungan antar komponen, tetapi juga oleh keterlibatan guru sebagai pribadi yang mengatur, mengawasi dan mengarahkab proses tersebut.[13]
Disain sistem intruksional model dari Bela. Ha. Banathy, disain sistem pengajaran dari Banathy ini mengandung  6 unsur yaitu:
1.      Perumusan tujuan
2.      Mengembangkan tes
3.      Menganalisa kegiatan belajar
4.      Menyusun pola sistem
5.      Melaksanakan dan tes output
6.      Mengubah untuk memperbaiki
Langkah permulaan ialah merumuskan tujuan-tujuan pengajaran yang ingin dicapai. Yaitu perumusan tentang tingkah laku atau kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh siswa sebagai pengalaman hasil belajar.[14]
Setelah tujuan-tujuan yang ingin dicapai dirumuskan, maka langkah selanjutnya ialah mengembangkan alat evaluasi, yang didasarkan pada tujuan pengajaran. fungsinya untuk menilai sampai dimana siswa telah menguasai kemampuan yang telah dirumuskan dalam tujuan pengajaran.[15]
Langkah ketiga setelah mengembangkan evaluasi ialah: menetapkan kegiatan-kegiatan belajar mengajar yang harus ditempuh, sehingga siswa dapat melaksanakan sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam tujuan pengajaran. Pada langkah ini kita perlu mengadakan assesmen terhadap kemampuan yang dimiliki olelh siswa, sehingga siswa tak perlu lagi mempelajari apa-apa yang telah diketahuinya.[16]
Langkah keempat, setelah menetapkan kegiatan-kegiatan hyang harus ditempuh, kita meningkatka pada perencanaan program kegiatan, yaitu menentukan materi pelajaran yang akan diberikan, strategi dan alat yang akan dipergunakaan untuk melancarkan jalannya pelajaran, serta jadwal.[17]
Langkah kelima, sampai pada pelaksanaan program. Pada tahap ini program kegiatan yang direncanakan tiba saatnya untuk dilaksanakan. Kemampuan ditampilkan oleh siswa sebagai hasil dari sistem evaluasi, yang bertujuan untukmengetahui tingkat kemampuan setelah mengalami situasi belajar seperti yang telah dirumuskan dalam tujuan pengajaran.[18]
Langkah keenam, ialah tahap perubahan dan perbaikan hasil evaluasi dipakai sebagai bahan umpan balik (feed back) terhadap sistem, untuk mengetahui apa-apa yang perlu diubah, untuk melakukan perbaikan. Selain itu tepat tidaknya materi dan strategi serta media yang telah digunakan.Sistem pengajaran ini mengandung 10 elemen ialah:
1.      Pengkhususan tujuan pengajaran
2.      Menyeleksi isi pelajaran
3.      Mengases kemampuan dasar murid
4.      Strategi yang akan dilaksanakan
5.      Pengorganisasikan murid ke dalam kelompok-kelompok
6.      Alokasi waktu
7.      Alokasi unit tempat-tempat belajar
8.      Menyeleksi sumber-sumber belajar yang tepat
9.      Mengevaluasi penampilan guru dan siswa
10.  Suatu analisa bahan umpan balik oleh guru dan murid.[19]
J. Lloyd Trump mengajukan pendapat menegnai pengelompokan sebagai berikut:
1. 40% untuk kelompokm pengajaran yang besar
2. 20% untuk kelompok diskusi kecil
3. 40% untuk belajar sendiri
Bila pengelompokan sudah ditentukan, maka langkah berikutnya ialah alokasi waktu. Penentuan strategi dan teknik yang dipergunakan berhubungan dengan penentuan penggunaan waktu. Perencanaan penggunaan waktu disesuaikan dengan subjek pengajaran, tujuan pengajaran, ruang yang tersedia, pola administrasi dan kemampuan serta minat siswa.[20]
Langkah berikutnya mengalokasi ruang belajar. Ruang kelas yang biasa dijumpai adalah cara tradisional dimana srtrategi expository saja yang daptat dilaksanakan. Alokasi ruang didasarkan pada pengelompokan siswa sesuai tujuan masing-masing pengajaran, sehingga ada ruang untuk kelompok besar, ruang untuk kelompok kecil dan untuk belajar sendiri.[21]
Pemilihan materi yang sesuai dengan pengajaran merupakan langkah yang berikut. Guru sebagai koordinator dari sumber-sumber belajar, mempunyai pilihan materi yang beraneka ragam. Sumber belajar mengajar dapat diklasifikasikan dalam 5 kategori:
1.      Materi sebenarnya dan manusia.
2.      Materi visual untuk diproyeksikan
3.      Materi audio
4.      Materi cetak
5.      Materi yang dipamerkan.[22]
Evaluasi kemampuan yang ditampilkan merupakan akhir langkah dari sistem. Penampilan-penampilan dari kemampuan adalah titik pusat dari kegiatan belajar. Segala usaha mulai dari merumuskan tujuan, memilih isi bahan pengajaran assesment siswa perlu dievaluasi. Penampilan kemampuan yang lebih banyak diperhatikan ialah setelah diadakan pengorganisasian kelompok, menentukan strategi, alokasi waktu, dan tempat serta pemilihan sumber belajar juga dievaluasi. Hasil dari evaluasi dipergunakan sebagai bahan umpan balik. Umpan balik dalam hal ini berguna untuk memperbaiki sistem pengajaran.[23]
Menurut Jerrald. E. Kempt secara garis besar, disain sistem instruksional mengandung tiga pokok persoalan yang merupakan elemen dasar dari suatu proses instruksional ialah:
1.      Tujuan pelajaran
2.      Prosedur kegiatan.
3.      Evaluasi.[24]
B. Komponen-komponen Perencanaan Pembelajaran
Penyusunan program pembelajaran akan bermuara pada persiapan mengajar, sebagai produk program pembelajaran jangka pendek yang mencakup komponen kegiatan belajar dan proses pelaksanaan program.[25]
Chyntia dalam Mulyasa (2004:82) mengemukakan bahwa proses pembelajaran yang dimulai dengan frase persiapan mengajar ketika kompetensi dan metodologi telah diidentifikasi, akan membantu guru dalam mengorganisasikan materi standar serta mengantisipasi peserta didik dan masalah-masalah yang mungkin timbul dalam pembelajaran. Sebaliknya, tanpa persiapan mengajar, seorang guru akan mengalami hambatan dalam proses pembelajaran yang dilakukannya. Hal senada juga dikemukakan oleh Joseph dan Leonard (1982 : 20) bahwa : Theaching without adequate written planning is sloppy and almost always ineffective, because the teacher has not thought out exactly what to do and how to do it.[26]
Rencana pembelajaran yang baik menurut Gagne dan Briggs (1974) hendaknya mengandung tiga komponen yang disebut anchor point, yaitu: 1) tujuan pengajaran; 2) materi pelajaran/bahan ajar, pendekatan, dan metode mengajar, media pengajaran dan pengalaman belajar; dan 3) evaluasi keberhasilan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kenneth D. More (2001:126) bahwa komposisi format rencana pembelajaran meliputi komponen :[27]
a.       Topik bahasan
b.      Tujuan pembelajaran (kompetisi dan indicator kompetensi)
c.       Materi pelajaran
d.      Kegiatan pembelajaran
e.       Alat/media yang dibutuhkan, dan
f.       Evaluasi hasil belajar.[28]
Menurut Masitoh dalam bukunya yang berjudul Perencanaan Pembelajaran (2005), bahwa komponen-komponen perencanaan pembelajaran diantaranya terdiri dari:[29]
a.       Tujuan Pembelajaran
Komponen tujuan pembelajaran, dibahas tentang : Khirarki tujuan pembelajaran, yang  meliputi : tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikurer, tujuan instruksional umum dan khusus [30]
b.      Isi ( materi pembelajaran)
Komponen materi pembelajaran dibahas tentang pengertian materi pembelajaran sebagai isi kurikulum, kategori bahan pembeajaran dan teknik pemilihan bahan ajar[31]
c.       Kegiatan pembelajaran (kegiatan belajar mengajar)
Komponens strategi dibahas: konsep strategi pembelajaran, cara memilih strategi pembelajaran, factor-faktor yang  mempengaruhi pemilihan strategi pembelajaran, dan beberapa contoh strategi pembelajaran[32]
d.      Media dan sumber belajar
Komponen media pembelajaran, membahas tentang : konsep media pembelajaran, kedudukan  media dalam pembelajaran, fungsi media pembelajaran dan klasifikasi media pembelajaran.[33]
e.       Evaluasi
Komponen evaluasi pembelajaran, membahas tentang : konsep dasar evaluasi, syarat-syarat perumusan evaluasi pembelajaran, tujuan  evaluasi  dan prinsip-prinsip umum evaluasi pembelajaran[34]
Di dalam teori instruksional ini, kita dapat melihat dengan jelas apakah komponen-komponen dari pengajaran itu. Masing-masing komponen harus saling berinteraksi dan berintegrasi di dalam system, agar proses pengajaran itu dapat mencapai tujuannya seperti yang telah dirumuskan. Begitu juga masing-masing komponen harus saling bergantung, bila salah satu komponen tidak ada atau kurang berinteraksi, maka dapat ditentukan bahwa proses pengajaran itu akan berjalan tidak lancar, seperti yang diharapkan oleh tujuan sistem itu sendiri.[35]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sistem instruksional adalah suatu kombinasi dari komponen-kompnen system instruksional dan pola pengelolaan yang tertentu, yang telah disusun dalam suatu disain atau seleksi, dan dalam pemakaian untuk menghasilkan belajar yang direncanakan dan terkontrol.
Sistem instruksional adalah pengaturan seluruh sumber daya dan prosedur untuk mempromosikan belajar. Desain instruksional adalah proses sistematis untuk mengembangkan system pembelajaran dan pengembangan instruksional adalah proses penerapan system atau rencana instruksional. Pengembangan instruksional adalah implementasi dari perancangan/perencanaan instruksional.
Proses pengembangan sebuah instruksional media, harus dipertimbangkan beberapa factor yang disebut dengan strategi instruksional media, harus dipertimbangkan beberapa factor yang disebut dengan strategi instruksional, karena factor ini akan menentukan bentuk dan wujud dari media yang digunakan.
Menurut Masitoh dalam bukunya yang berjudul Perencanaan Pembelajaran (2005), bahwa komponen-komponen perencanaan pembelajaran diantaranya terdiri dari: tujuan pembelajaran, isi ( materi pembelajaran), kegiatan pembelajaran (kegiatan belajar mengajar), media dan sumber belajar, evaluasi.

B.     Saran
Dengan dibuatnya makalah ini dapat dijadikan sumber bacaan sebagai acuan penerapan system instruksional beserta komponen-komponennya dalam kegiatan pembelajaran. Sehingga dalam proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Daftar Pustaka
Bakri, Hasrul, (2010), Langkah-Langkah Pengembangan Pembelajaran Multimedia Interaktif, Makassar, Jurnal MEDTEX.
Harjanto, (2000), Perencanaan Pengajaran, Jakarta, PT Asdi Mahasatya.
Majid, Abdul, (2008), Perencanaan Pembelajaran : Mengembangkan Standar Kompetisi Guru, Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
Riyana, Cepi, Modul 6 : Komponen-komponen Pembelajaran.
Roestiyah, (1986), Masalah Pengajaran : Sebagai Suatu Sistem, Jakarta, PT Bina Aksara.


[1] Harjanto, Perencanaan Pengajaran, PT Rineka Cipta, Jakarta,hal. 51.
[2] Ibid
[3] Roestiyah, Masalah Pengajaran : Sebagai Suatu Sistem, PT Bina Aksara, 1986, hal. 18.
[4] Hasru Bakri,  Jurnal Medtex, Langkah-langkah Pengembangan Pembelajaran Multimedia Interaktif
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11]  Roestiyah, Masalah Pengajaran : Sebagai Suatu Sistem, Jakarta, PT Bina Aksara,hal. 57.
[12] Ibid, 58.
[13] Ibid, 61-62.
[14] Ibid, 62.
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid, 62-63.
[20] Ibid, 65-66.
[21] Ibid, 66.
[22] Ibid
[23] Ibid., hal. 67
[24] Ibid
[25] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran : Mengembangkan Standar kompetensi Guru, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 95.
[26] Ibid, 95.
[27] Ibid, 96
[28] Ibid, 96.
[29] Cepi Riyana, Komponen-komponen Pembelajaran, lhal. 3
[30] Ibid, 3.
[31] Ibid, 3.
[32] Ibid, 4.
[33] Ibid
[34] Ibid
[35] Roestiyah, Masalah Pengajaran : Sebagai Suatu Sistem, PT Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 20.