BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kata
khalaf biasanya digunakan untuk
merujuk para ulama’yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang
bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya tentang
penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada
pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya[1].
Adapun
ungkapan Ahlusunnah
(sering juga
disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan
khusus. Sunni dalam pengertian umum
adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam
pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariah masuk dalam barisan
Sunni. Sunni dalam artian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan
Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang dipakai
dalam pembahasan ini.
Selanjutnya,
term Ahlusunnah banyak yang dipakai
setelah munculnya aliran Asy’ariah dan
Maturidiyah, dua aliran yang
menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan
Tasy Kubrah Zadah menjelaskan bahwa aliran Ahlusunnah muncul atas keberanian
dan usaha Abu Al-Hasan Al’Asy’ari sekitar tahun 300 H. Sedangkan Term Ahlu
Sunnah dan Jamaah menurut Harun Nasution, kelihatannya timbul sebagai reaksi
terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah.
BAB II : POKOK
PEMBAHASAN
1. Sejarah
Munculnya Aliran Al-Asy’ari
Asy’ariah adalah suatu paham teologi
yang dinisbahkan kepada Abu al- Hasan ‘Ali Ibn Ismail Al-Asy’ari lahir di
Bashar 873 M, dan wafat di Baghdad pada 935 M. Pada mulanya ia adalah murid
al-Jubba’i, dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah, sehingga
menurut al-Husain Ibn Muhammad al’asykari, al-jubba’i berani memercayakan
perdebatan dengan lawan kepadanya. Namun oleh karena sebab-sebab yang tidak
begitu jelas, al-asy’ari, sungguhpun telah puluhan tahun menganut faham Mu’tazilah,
akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sumber yang berasal dari al-Subki dan
Ibn Asakir biasanya menjelaskan, bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi
bertemu Nabi Muhammad SAW yang mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahl
al-Hadistlah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah. Sumber lain mengatakan,
bahwa al-Asy’ari berdebat dengan gurunya al-Jubba’i dan dalam perdebatan ini
guru tak dapat menjawab tantangan murid[2].
Dalam perdebatan antara Al-Asy’ari dan
gurunya dijelaskan dalam keadaan ini jelas terlihat bahwa Al-Asy’ari sedang
dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa
puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini
diperkuat oleh riwayat yang mengatakan
bahwa Al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah selam lima belas hari untuk
memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Al- Asy’ari meninggalkan paham
Mu’tazilah seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan
kelemahan. Setelah al-Mutawakkil membatalkan putusan al-Ma’mun tentang
penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum Mu’tazilah
mulai menurun, apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan
penghormatan terhadap diri Ibn Hambal, lawan Mu’tazilah terbesar di waktu itu.
Sekarang keadaan menjadi terbalik, Ibn Hambal dan pengikut-pengikutnya menjadi
golongan yang dekat pada pemerintah, sedangkan kaum Mu’tazilah menjadi golongan
yang jauh dari Dinasti Bani ‘Abbas. Umat islam yang tak setuju dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah selama ini
mulai merasa bebas untuk menyerang mereka[3].
Al-Asy’ari
menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berumur 40 tahun. Setelah itu, secara
tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah
meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukannya-keburukannya.
Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi al-Asy’ari meninggalkan faham
Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah
SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam
ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu,
Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela
faham yang telah diriwayatkan oleh beliau[4].
2.
Doktirn-doktrin
teologi Al-Asy’ari
Formulasi
pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara
formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi
etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas
formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah,
sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini,
menurut Watt, barangkali dipengaruhi oleh teologi Kullabiah (teologi Sunni yang
dipelopori Ibn Kullab (w. 854 M).
Beberapa
paham teologi yang dikemukakan al-Asy’ari antara lain :
1. Paham
tentang sifat.
Perbedaan
pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat
dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa meng-Esakan Allah adalah wajib.
Al’Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan
dengan kelompok mujassimah (antropomorsif) dan kelompok musyabbihah yang
berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Di lain
pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki,telinga
Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan
harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi
dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki
sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak
bolehdiartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan
kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut
realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak
berbeda dengan-Nya[5].
Menurut
paham Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat karena apabila sifat itu dikatakan zat
seperti paham Mu’tazilah, maka akan terjadi kerancuan yang sangat besar.
Seperti ilmu pengetahuan, apabila ilmu pengetahuan Tuhan bukan sifat tetapi
zat, maka berarti bahwa Tuhan itu adalah ilmu pengetahuan. Padahal Tuhan adalah
Allah yang Mahatahu bukan ilmu.[6]
Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui
dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan
sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.[7]
2. Kedudukan
Al-Qur’an[8]
Al-Qur’an adalah kalamullah
dan bukan makhluk dalam arti diciptakan. Karena Al-Qur’an adalah kalamullah, maka pasti bersifat qadim.
Menurut
al-Asy’ari, Al-Qur’an bukanlah diciptakan, sebab kalau ia diciptakan maka ia
akan berantai tanpa kesudahan. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim
dalam persoalan Qodimnya Al-Qur’an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
diciptakan (makhluk) sehingga tidak qodim serta pandangan mazhab Hambali dan
Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, (yang qodim dan
tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan
bunyi Al-Qur’an adlah qodim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang
saling bertentangan itu, al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qodim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi al-Asy’ari
tidaklah diciptakan.
3. Paham
tentang Tuhan yang dapat dilihat di akhirat.
Hal
ini didasarkan pada alasan bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada
Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan.
Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini, karena apa yang
dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan.
Dengan demikian, kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa
Tuhan harus bersifat diciptakan[9].
Allah akan dapat
dilihat di akhirat dengan mata kepala, sebab Allahmempunyai wujud.[10]
Al-Asy’ari
tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah, yang
menyatakan bawa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat
dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah
(melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di
akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi
manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya[11].
4. Paham
tentang perbuatan manusia.
Menurut
al-Asy’ari, bahwa perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri,
sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan Tuhan. Perbuatan kufur
adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufur ini sebenarnya
bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tak dapat diwujudkannya.
Dengan demikian, yang mewujudkan perbuatan kufur ini bukanlah orang kafir yang
tak sanggup membuat kufur bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya,
dan Tuhan memang berkehendak supaya kufur bersifat buruk. Demikian pula yang
menciptakan pekerjaan iman bukanlah seorang mukmin yang tak sanggup membuat
iman bersifat tidak berat dan sulit, tetapi Tuhanlah yang menciptakannya, dan
Tuhan memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan sulit. Istilah yang
diciptakan al-Asy’ariah untuk perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan ialah al-kasb. Dalam mewujudkan perbuatan yang
diciptakan itu, daya yang ada dalam diri manusia tak mempunyai efek[12].
Menurut
Asy’ariyah, perbuatan-perbuatan manusia yang menciptakan adalah Allah SWT,
walaupun mengakui adanya daya dalam diri manusia, akan tetapi daya ini tidak
efektif, paham ini dikenal dengan istilah Al-Kasb.[13]
5. Paham
anthromorphism
Al-Asy’ari
berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya dengan
ditentukan bagaimana (bila kaifa), yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan
batasan (laa yukayyaf wa laa yuhad)[14].
Ayat-ayat
mutasyabihat dibawa pada pengertian lafalnya, Allah SWT mempunyai mata, muka,
tangan, dan sebagainya seperti yang tersebut dalam Al-Qur’an (Q.S. Ar Rahman:27
dan Q.S. Al Qamar:14) hanya tidak bisa diketahui bentuknya seperti apa.[15]
6. Paham
tentang keadilan Tuhan
Pada
dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan
Mu’tazilahyang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang
yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah
tidak memiliki keharusan apapun karena itu ia adalah penguasa Mutlak. Dengan
demikian jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang
memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemiliki
mutlak.
Menurut
pendapat al-Asy’ari, bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang
wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan
seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Ia
memasukkan seluruh manusia ke daam neraka tidaklah Ia bersifat zalim. Dengan
demikian, ia juga tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah tentang al-wad wa al-wa’id.
Allah
adalah pencipta alam semesta. Ia memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan-Nya.
Karena itu ia bebas berbuat sekehendak-Nya.[16]
Sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia kedalam surga bukanlah Ia bersifat
tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia kedalam neraka tidaklah Ia
bersifat dzalim.[17]
7.
Paham tentang posisi
menengah
Bagi
al-Asy’ari bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih
ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasik. Sekiranya
orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan
tidak didapati kufur atau iman. Dengan demikian, bukanlah ia ateis dan bukanlah
pula monoteis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidak mungkin.
Oleh karena itu, tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan
bukan pula tidak kafir[18].
Orang
mukmin yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia masih beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. Ia hanya digolongkan sebagai orang yang durhaka, tentang
dosa besarnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah apakah akan diampuni atau
tidak.[19]
Menurut
Asy’ariyah, Kekuasaan akal dan wahyu dihubungkan dengan masalah berikut:[20]
1. Mengetahui
Tuhan (MT)
2. Kewajiban
Mengetahui Tuhan (KMT)
3. Mengetahui
Baik dan Jahat (MBJ)
4. Kewajiban
Mengetahui yang Baik dan Jahat (KMBJ)
5.
Tokoh-tokoh
aliran Asy’ariyah yang terkenal antara lain :
1. Al
Baqilani (wafat 403 H)
2. Ibnu Faruak (wafat 406 H)
3. Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
4. Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
5. Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6. Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
7. Al Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9. As Syihristani (wafat 548)
10. Ar Razi (1149-1209 M)
2. Ibnu Faruak (wafat 406 H)
3. Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
4. Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
5. Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6. Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
7. Al Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9. As Syihristani (wafat 548)
10. Ar Razi (1149-1209 M)
11. Al Iji
(wafat 756 H)
12. Al Sanusi (wafat 895)[21]
12. Al Sanusi (wafat 895)[21]
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan
Aliran
Asy’ariyah istilah lain dari Ahlu Sunah Wal Al- Jama’ah merupakan salah satu
dari beberapa aliran kalam. Aliran Asy’ariyah menjadi penengah antara aliran
Jabbariyyah dan Mu’tazilah, Karena perbuatan manusia mempunyai kehendak dan
daya. Asy ariyah menegaskan pula bahwa perbuatan dosa besar tidak
mengkafirkan.dan tidak gugur ke islamannya. Apabila pelaku dosa meninggal dan
belum sempat bertobat maka tergantung kebijakan dari Allah. Bila mendapat
syafaat Nabi SAW bisa saja mengampuni dosanya.sehingga terbebas dari siksa
Neraka atau kebalikannya mendapat siksa neraka.Tidak seperti pemahaman
Mu’tazilah yaitu orang yang melakukan dosa besar akan berada di dua tempat
(Manzilatun baina manzilatain).
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,Harun. 2010. Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Razaq, Abdul dan Rosihon Anwar. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Tim Penyusun. 2010. Akidah
Akhlak Kelas XI – Semester 1. Surakarta:
Putra Nugraha
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komphrehensif. Jakarta:
Kencana Prenada Group
[1]Abdul
Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal 119
[2] Abuddin Nata, Studi Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana
Prenada Group, 2011), hal 276
[3]Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010),
hal 68-69
[4]Abdul
Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal 120
[5] Ibid., Hal. 121.
[6]Akidah Akhlak Kelas XI –
Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010),
[7] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010),
hal 69-70.
[8] Akidah Akhlak Kelas XI –
Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 19.
[9]Abuddin Nata, Studi
Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), hal
277.
[10] Akidah Akhlak Kelas XI –
Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 19.
[12]Abuddin Nata, Studi
Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), hal
277-278.
[13] Akidah Akhlak Kelas XI –
Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 19.
[14]Abuddin Nata, Studi
Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), hal
278.
[15] Akidah Akhlak Kelas XI –
Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 19.
[16] Ibid., 20
[17] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010),
hal 71.
[18]Abuddin Nata, Studi
Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), hal
278.
[19] Akidah Akhlak Kelas XI –
Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 20.
[20] Akidah Akhlak Kelas XI –
Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 20.