This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 08 Mei 2014

ALIRAN AL-ASY’ARIAH



BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama’yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya tentang penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya[1].
Adapun ungkapan  Ahlusunnah  (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam artian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan ini. 
Selanjutnya, term Ahlusunnah banyak yang dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasy Kubrah Zadah menjelaskan bahwa aliran Ahlusunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al’Asy’ari sekitar tahun 300 H. Sedangkan Term Ahlu Sunnah dan Jamaah menurut Harun Nasution, kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah.

                                                       BAB II : POKOK PEMBAHASAN 
             1. Sejarah Munculnya Aliran Al-Asy’ari
Asy’ariah adalah suatu paham teologi yang dinisbahkan kepada Abu al- Hasan ‘Ali Ibn Ismail Al-Asy’ari lahir di Bashar 873 M, dan wafat di Baghdad pada 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Jubba’i, dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah, sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al’asykari, al-jubba’i berani memercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya. Namun oleh karena sebab-sebab yang tidak begitu jelas, al-asy’ari, sungguhpun telah puluhan tahun menganut faham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sumber yang berasal dari al-Subki dan Ibn Asakir biasanya menjelaskan, bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW yang mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahl al-Hadistlah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah. Sumber lain mengatakan, bahwa al-Asy’ari berdebat dengan gurunya al-Jubba’i dan dalam perdebatan ini guru tak dapat menjawab tantangan murid[2].
Dalam perdebatan antara Al-Asy’ari dan gurunya dijelaskan dalam keadaan ini jelas terlihat bahwa Al-Asy’ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak  merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat  oleh riwayat yang mengatakan bahwa Al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah selam lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Al- Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah al-Mutawakkil membatalkan putusan al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hambal, lawan Mu’tazilah terbesar di waktu itu. Sekarang keadaan menjadi terbalik, Ibn Hambal dan pengikut-pengikutnya menjadi golongan yang dekat pada pemerintah, sedangkan kaum Mu’tazilah menjadi golongan yang jauh dari Dinasti Bani ‘Abbas. Umat islam yang tak setuju dengan ajaran-ajaran  Mu’tazilah selama ini mulai merasa bebas untuk menyerang mereka[3].
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berumur 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukannya-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam  ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan oleh beliau[4].
2.      Doktirn-doktrin teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt, barangkali dipengaruhi oleh teologi Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w. 854 M).
Beberapa paham teologi yang dikemukakan al-Asy’ari antara lain :
1.      Paham tentang sifat.
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa meng-Esakan Allah adalah wajib. Al’Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorsif) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki,telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak bolehdiartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya[5].
Menurut paham Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat karena apabila sifat itu dikatakan zat seperti paham Mu’tazilah, maka akan terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti ilmu pengetahuan, apabila ilmu pengetahuan Tuhan bukan sifat tetapi zat, maka berarti bahwa Tuhan itu adalah ilmu pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah yang Mahatahu bukan ilmu.[6] Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.[7]
2.      Kedudukan Al-Qur’an[8]
Al-Qur’an  adalah kalamullah dan bukan makhluk dalam arti diciptakan. Karena Al-Qur’an adalah kalamullah, maka pasti bersifat qadim.
Menurut al-Asy’ari, Al-Qur’an bukanlah diciptakan, sebab kalau ia diciptakan maka ia akan berantai tanpa kesudahan. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan Qodimnya Al-Qur’an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qodim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, (yang qodim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur’an adlah qodim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qodim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi al-Asy’ari tidaklah diciptakan.  
3.      Paham tentang Tuhan yang dapat dilihat di akhirat.
Hal ini didasarkan pada alasan bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini, karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian, kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan[9].
Allah akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, sebab Allahmempunyai wujud.[10]
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah, yang menyatakan bawa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya[11].
4.      Paham tentang perbuatan manusia.
Menurut al-Asy’ari, bahwa perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan Tuhan. Perbuatan kufur adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufur ini sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tak dapat diwujudkannya. Dengan demikian, yang mewujudkan perbuatan kufur ini bukanlah orang kafir yang tak sanggup membuat kufur bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya, dan Tuhan memang berkehendak supaya kufur bersifat buruk. Demikian pula yang menciptakan pekerjaan iman bukanlah seorang mukmin yang tak sanggup membuat iman bersifat tidak berat dan sulit, tetapi Tuhanlah yang menciptakannya, dan Tuhan memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan sulit. Istilah yang diciptakan al-Asy’ariah untuk perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan ialah al-kasb. Dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada dalam diri manusia tak mempunyai efek[12].
Menurut Asy’ariyah, perbuatan-perbuatan manusia yang menciptakan adalah Allah SWT, walaupun mengakui adanya daya dalam diri manusia, akan tetapi daya ini tidak efektif, paham ini dikenal dengan istilah Al-Kasb.[13]


5.      Paham anthromorphism
Al-Asy’ari berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya dengan ditentukan bagaimana (bila kaifa), yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (laa yukayyaf wa laa yuhad)[14].
Ayat-ayat mutasyabihat dibawa pada pengertian lafalnya, Allah SWT mempunyai mata, muka, tangan, dan sebagainya seperti yang tersebut dalam Al-Qur’an (Q.S. Ar Rahman:27 dan Q.S. Al Qamar:14) hanya tidak bisa diketahui bentuknya seperti apa.[15]
6.      Paham tentang keadilan Tuhan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilahyang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena itu ia adalah penguasa Mutlak. Dengan demikian jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemiliki mutlak.
Menurut pendapat al-Asy’ari, bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke daam neraka tidaklah Ia bersifat zalim. Dengan demikian, ia juga tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah tentang al-wad wa al-wa’id.
Allah adalah pencipta alam semesta. Ia memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan-Nya. Karena itu ia bebas berbuat sekehendak-Nya.[16] Sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia kedalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia kedalam neraka tidaklah Ia bersifat dzalim.[17]
7.      Paham tentang posisi menengah
Bagi al-Asy’ari bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasik. Sekiranya orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufur atau iman. Dengan demikian, bukanlah ia ateis dan bukanlah pula monoteis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh karena itu, tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula tidak kafir[18].
Orang mukmin yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia hanya digolongkan sebagai orang yang durhaka, tentang dosa besarnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah apakah akan diampuni atau tidak.[19]
Menurut Asy’ariyah, Kekuasaan akal dan wahyu dihubungkan dengan masalah berikut:[20]
1.      Mengetahui Tuhan (MT)
2.      Kewajiban Mengetahui Tuhan (KMT)
3.      Mengetahui Baik dan Jahat (MBJ)
4.      Kewajiban Mengetahui yang Baik dan Jahat (KMBJ)
5.       

Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah yang terkenal antara lain :
1. Al Baqilani (wafat 403 H)
2. Ibnu Faruak (wafat 406 H)
3. Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
4. Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
5. Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6. Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
7. Al Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tumart (wafat 524 H)
9. As Syihristani (wafat 548)
10. Ar Razi (1149-1209 M)
11. Al Iji (wafat 756 H)
12. Al Sanusi (wafat 895)[21]


BAB III : PENUTUP
Kesimpulan
Aliran Asy’ariyah istilah lain dari Ahlu Sunah Wal Al- Jama’ah merupakan salah satu dari beberapa aliran kalam. Aliran Asy’ariyah menjadi penengah antara aliran Jabbariyyah dan Mu’tazilah, Karena perbuatan manusia mempunyai kehendak dan daya. Asy ariyah menegaskan pula bahwa perbuatan dosa besar tidak mengkafirkan.dan tidak gugur ke islamannya. Apabila pelaku dosa meninggal dan belum sempat bertobat maka tergantung kebijakan dari Allah. Bila mendapat syafaat Nabi SAW bisa saja mengampuni dosanya.sehingga terbebas dari siksa Neraka atau kebalikannya mendapat siksa neraka.Tidak seperti pemahaman Mu’tazilah yaitu orang yang melakukan dosa besar akan berada di dua tempat (Manzilatun baina manzilatain).




DAFTAR PUSTAKA
Nasution,Harun. 2010. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Razaq, Abdul dan Rosihon Anwar. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Tim  Penyusun. 2010. Akidah Akhlak Kelas XI – Semester 1. Surakarta: Putra Nugraha
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komphrehensif. Jakarta: Kencana Prenada Group


[1]Abdul Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal 119
[2] Abuddin Nata, Studi  Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), hal 276
[3]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), hal 68-69
[4]Abdul Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal 120
[5] Ibid., Hal. 121.
[6]Akidah Akhlak Kelas XI – Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010),
[7] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), hal 69-70.
[8] Akidah Akhlak Kelas XI – Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 19.

[9]Abuddin Nata, Studi  Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), hal 277.
[10] Akidah Akhlak Kelas XI – Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 19.
[11]Abdul Razaq dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal 123
[12]Abuddin Nata, Studi  Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), hal 277-278.
[13] Akidah Akhlak Kelas XI – Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 19.
[14]Abuddin Nata, Studi  Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), hal 278.
[15] Akidah Akhlak Kelas XI – Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 19.
[16] Ibid., 20
[17] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), hal 71.
[18]Abuddin Nata, Studi  Islam Komphrehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), hal 278.
[19] Akidah Akhlak Kelas XI – Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 20.
[20] Akidah Akhlak Kelas XI – Semester 1, (Surakarta: Putra Nugraha, 2010), hal 20.