Sabtu, 04 Januari 2014

Pengertian, Ruang Lingkup dan Fungsi Studi Fiqh



Pengertian, Ruang Lingkup dan Fungsi Studi Fiqh
A.      Pendahuluan
Pentingnya pembahasan tema ini yaitu agar kita bisa mengetahui lebih dalam mengenai pengertian, ruang lingkup, fungsi studi fiqh serta hukum Islam yang bersumber dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Fikih membahas tentang bagaimana cara beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Bidang studi fiqh juga  memberikan sumbangan dalam melatih kedisiplinan dan ketaatan melaksanakan peraturan. Kebiasaan disiplin dan taat melaksanakan hukum-hukum Islam yang diperoleh dalam bidang studi fiqh sangat membantu dalam membentuk pribadi sebagai warga Negara yang baik. Seperti yang kita ketahui bahwa setiap individu diharapkan menjadi muslim yang baik  memiliki pengetahuan, pemahaman, penghayatan, serta keterampilan melaksanakan hukum-hukum Islam.
B.   Substansi Kajian
1.    Pengertian Fiqh
a.    Secara Etimologi
Secara etimologi, fiqh berasal dari kalimat :
1)    Faqaha (فقَه), yang bermakna: paham secara mutlak, tanpa memandang kadar pemahaman yang dihasilkan. Kata fiqh ( فقه) secara arti kata berarti : “paham yang mendalam”. Semua kata “fa qa ha” yang terdapat dalam al qur’an mengandung arti ini. Umpamanya firman Allah dalam surat al – Taubah :122
فلو لا نفر كل فرقة منهم طا ئفة لىتفهوا فى الدي
“Mengapa tidak pergi dari tiap – tiap golongan dianatara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama …”.[1]
Bila “paham” dapat digunakan untuk hal –hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu  batin. Karena itulah al – tirmizi menyebutkan “fiqh tentang sesuatu” berati mengetahui batinnya sampai kepada kedalamnya.
Ada pendapat yang mengatakan “fiqhu” atau paham tidak sama dengan “ilmu” walupun mazan (timbangan) lafaznya adalah sama. Meskipun belum menjadi ilmu, paham adalah pikiran yang baik dari kesiapannya menangkap apa yang dituntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zanni seperti paham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang hukum yang zanni dalam dirinya.[2]
2)    Faqiha (فقِه), yang bermakna memahami maksud dari perkataan pembicara ketika terjadi komunikasi. Pengertian ini lebih khusus dibandingkan pengertian sebelumnya.
3)    Faquha (فقُه), yang bermakna bahwa fiqh sudah menjadi karakter ilmiah dan kepakaran. Pengertian ini lebih khusus lagi dibandingkan pengertian sebelumnya.
Fiqh, menurut bahasa bermakna : tahu dan paham.[3]
Orang yang mengetahui ilmu fiqh dinamai Faqih.[4]
Al-fiqh secara etimologis berarti al-fahm yaitu pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut dapat ditemukan di dalam Q.S At-thaha [20]: 27-28 dan surat Hud [11]:91.
Qs. At-thaha :27-28
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”.
Qs. Hud: 91
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا وَلَوْلا رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيز
“Mereka berkata: "Hai Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami”.
Fiqih menurut bahasa artinya pengetahuan, pemahaman dan kecakapan tentang sesuatu biasanya tentang ilmu agama (Islam)  karena kemuliaannya.[5]
Istilah fiqh pada mulanya meliputi seluruh pemahaman agama sebagai yang di ungkapkan dalam al-quran  Innatafaqqahu fi ad-din (agar mereka melakukan pemahaman dalam agama ). Objek bahasa ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf (orang dewasa yang wajib melakukan hokum agama ), yang terhadap perbuatannya itu ditentukan hokum apa yang harus dikenakan.  Mulai dari tindakan hukum seorang mukallaf tersebut bisa bersifat wajib, sunnah,boleh atau mubah,makruh dan haram,yang semuanya ini dinamakan hokum taklifi dan juga bisa dengan sah,batal, dan  fasid atau rusak dikenal dengan hokum wadh’i. [6]

b.    Secara Terminologi
Secara Terminologi menurut Ibnu Subki dalam kitabnya Jam’u al- Jawami’ fiqh berarti :
العم بالآ حكا م الشر عىة العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Ilmu tentang hukum – hukum syar’I yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil – dalil yang tafsili.”
Secara teriminologi Qadhi Baidhawi mendefinisikan fiqh :
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسبة من الادلة التفصيلية
“Ilmu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat bersifat `amaly (yang berasal dari istinbath terhadap) dalil-dalil terperinci”.
Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi yaitu fiqih merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu fiqih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar’iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.
Para fuqaha (jumhur mutaakhirin) mentakrifkan fiqh dengan : “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil”.
Hasan ahmad khatib berkata : “Yang dimaksud dengan fiqih Islami adalah sekumpulan hokum syara’yang sudah dibukukan dari berbagai-bagai madzab, baik dari madzab yang empat atau dari madzab lainnya dan yang dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabiín, baik dari fuqaha yang tujuh[7], di Madinah ataupun fuqaha Makkah, fuqaha Syam dan Fuqaha Mesir, Iraq, Bashrah dan sebagainya”.
Menurut Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-fiqh, fiqih adalah mengetahui hukum- hukum syara’ yang bersifat ‘amali (praktis) yang di kaji melalui dalil-dalil yang terperinci. Adapun para ulama fiqh mendefinisikan fiqh sebagai sekumpulan hukum praktis(yang sifatnya akan di amalkan) yang disyariatkan dalam Islam.
Dalam versi lain, fiqih juga disebut sebagai koleksi (majmu’) hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili. Dengan sendirinya, ilmu fiqih dapat dikatakan sebagai ilmu yang bicara tentang hukum-hukum sebagaimana disebutkan itu.[8]
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa fiqh bukanlah hukum syara’ itu sendiri, tetapi interpretasi terhadap hokum syara’ yang dilakukan melalui upaya ijtihad. Dengan istilah lain, fiqh adalah produk interpretasi ilmiyah dari teks al-quran dan as-sunnah.
Fiqh adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.[9]
Jikalau kita memandang kepada pengertian secara etimologi, maka istilah fiqh bersifat general terhadap ilmu aqidah, ilmu akhlaq dan ilmu fiqh. Namun fiqh ketika diartikan dengan definisi secara terminologi, maka fiqh sudah menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, berbeda dengan dua disiplin ilmu lainnya; akidah dan akhlaq.
Menurut istilah, fiqih mempunyai dua pengertian, pengertian pertama fiqih ialah “Pengetahuan (mengetahui) hukum-hukum syara tentang perbuatan beserta dalil-dalinya.”
Yang dimaksud dengan “al-ahkam” (hukum-hukum) dalam pengertian tersebut di atas adalah: “Segala yang diterbitkan pembuat syara’ (Allah) bagi manusia baik berupa perintah-perintah maupun aturan perbuatan yang mengatur kehidupan dalam masyarakat dan hubungan mereka antara pihak satu dengn lainnya serta membatasi perbuatan dan tindak-tanduk mereka.”
Dan yang dimaksud dengan “Asy-Syar’iyyah” (dalam pengertian itu pula), adalah bahwa hukum-hukum itu diperoleh dari Syara’ baik dengan cara mudah karena jelas tersebut dalam Al-Qur’an dan al-Hadis maupun melalui jalan ijtihad.
Kemudian dengan pembatasan: “amaliyah” dimaksudkan bahwa hukum-hukum itu mengenai perbuatan, bukan mengenai masalah-masalah kepercayaan (keimanan) yang dibahas ilmu lain.
Dari pengertian fiqih sebagaimana tersebut di atas dapat diketahui bahwa fiqih adalah sifat ilmiah.[10]
Pengertian kedua, fiqih adalah “Kumpulan (kondifikasi) hukum-hukum perbuatan yang disyari’atkan dalam Islam.
Disyari’atkan dalam nas (teks) yang jelas dari Al-Qur’an dan hadis maupun dari ijma’ serta ijtihad para mujtahid dari nas-nas dan kaidah-kaidah umum.
Pengertian fiqih sebagaimana tersebut di atas meliputi segala hukum syara’ baik yang mudah diketahui maupun yang tidak mudah diketahui yakni yang diketahui atau yang ditetapkan dengan ijtihad. Pengertian demikian dikemukakan pula antara lain oleh: S. Salam al-Qabbani dalam komentarnya terhadap kitab Ad Dararil Mudi-ah.
Pengertian itu sesuai dengan kenyataan kitab-kitab fiqih yang kesemuanya membahas hukum-hukum yang mudah diketahui dan tak mudah diketahui.
Sebenarnya abad pertama Hijriyah yaitu masa umat Islam belum mazab dan belum mengikatkan dirinya kepada seseorang mujtahid tertentu di mana urusan agama masih di tangan sahabat dan tabiin, fiqih mencakup semua hukum-hukum agama, baik yang berhubungan dengan hukum-hukum kepercayaan, hukum-hukum perbuatan maupun hukum-hukum akhlak. Soal-soal itu berkisar sekitar Al-Qur’an dan hadis serta didasarkan kepadanya. Oleh karena itu sebutan ini bagi orang-orang yang ahli dalam lapangan hukum tersebut pada masa itu disebut “Al-Qurra” karena harus dibaca dari keduanya.
Pengertian Fiqih yang mencakup seluruh pengetahuan agama demikian nampak jelas dari firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 122, yang artinya: “Tiada sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semua (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dalam Al-Qur’an terdapat 20 ayat yang menyebut kata-kata “fiqih”. Juga dapat dipahami dari sabda Nabi Muhammad saw: “Barang siapa dikehendaki Allah akan diberikan kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya paham yang mendalam dalam agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
Jadi pengertian fiqih pada masa itu yaitu pengertian yang populer di kalangan umat Islam pada masa sahabat dab tabiin ialah segala macam pengetahuan agama yang tidak mudah mendapatkannya, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dengan cara melakukan penelitian, pengkajian dan sebagainya, fiqih mempunyai arti yang sama dengan ilmu.
Kemudian pada abad kedua Hijriyah sesudah meluasnya Islam dan bertambah banyaknya macam dan lapangan hukum yang menyangkut tindak-tanduk seseorang, dan hubungan antara seseorang dengan lainnya, lahirlah mujtahid-mujtahid yang membangun mazab. Pengertian fiqih dipersempit menjadi sebagai suatu disiplin ilmu (pengetahuan) hukum yang menyangkut perbuatan. Hukum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Hadis melalui usaha pemahaman dan ijtihad.[11]
c.    Sumber-sumber Fiqh
Sumber hukum Islam (Syariah Islam) terdiri atas:
1.        Al-Qur’an[12]
Sumber utama hukum Islam ialah Al-Qur’an. Al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan. Menurut istilah, Al-Qur’an adalah himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Al-Qur’an diturunkan sejak kenabian Muhammad saw secara berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 21 tahun (perhitungan tahun Syamsiyah) atau kurang lebih 22,5 tahun (perhitungan tahun Qamariyah), yakni sejak beliau berusia 40 tahun hingga beberapa waktu menjelang beliau wafat.
Al-qur’an diturunkan secara bertahap hingga terhimpun dengan baik dan sempurna. Di antara hikmah diturunkan Al-qur’an secara bertahap adalah untuk memudahkan penerimaan, pencatatan, penghafalan, pemahaman maksud dan kandungan isinya serta memudahkan untuk dihayati diamalkan oleh kaum muslimin. Sebab apabila diturunkan secara sekaligus, akan menyulitkan dalam penghafalan, penulisan, penghayatan, dan pengamalannya.
Proses turunnya wahyu melalui beberapa cara, antara lain: malaikat Jibril dating menampakkan dirinya seperti seorang laki-laki, kemudian membacakan firman Allah SWT dan Nabi Muhammad saw langsung menangkap dan memahami bacaan itu dengan baik, kemudian beliau hafal dengan sempurna. Kadang-kadang pula wahyu diterima Nabi saw dalam bentuk bunyi seperti suara genta, namun dapat ditangkap dengan baik oleh Rasulullah saw. Selain itu, Jibril pernah menampakkan dirinya dalam rupa yang asli, sebagaimana diungkapkan dala Al-Qur’an Surah An-Najm (53) ayat 13-14.
Demikian juga Nabi saw menerima wahyu dengan tanpa melihat sesuatu pun, namun beliau merasakan bahwa wahyu sudah berada dalam kalbunya, sebagaimana diungkapkan dalam Al-qur’an Surah Asy-syuura (42) ayat 51.
Untuk manuliskan wahyu yang diterima dari Allah SWT, Nabi saw telah menunjuk sejumlah sahabat yang pandai baca tulis, yang menurut suatu riwayat jumlahnya sekitar 40 orang. Di antaranya Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan Abdullah bin Arqam.
Wahyu yang turun dituliskan oleh para sahabat pada: kulit, pelepah kurma, dedaunan, batu, tulang, dan sebagainya. Tulisan-tulisan tersebut pada asalnya tersebut pada para sahabat penulis Al-Qur’an. Pada masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq seluruhnya dihimpun pada satu tempat atas saran Umar bin Khatthab ra. Sepeninggal Abu Bakar ra, kumpulan naskah Al-Qur’an disimpan oleh khalifah Umar bin Khatthab ra dan putri beliau Hafsah. Pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan ra, Al-Qur’an disalin ke dalam beberapa naskah, kemudian dikirimkan kepada beberapa penjuru yang seterusnya disalin lagi dan diperbanyak.
Kitab Allah, Al-Quran adalah sumber hukum pertama bagi hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.[13]
2.        Al-Hadis[14]
Al-Hadis menurut bahasa dalah khabar atau berita. Menurut istilah, Al-Hadis adalah segala berita yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, meliputi: sabda, perbuatan beliau, dan perbuatan para sahabat yang beliau diamkan dalam arti membenarkannya (taqrir).
Hadis lazim pula disebut Sunnah, atau Sunnah Rasulullah saw, sedangkan manurut bahasa Sunnah berarti kelakuan, perjalanan, pekerjaan, atau cara.
Hadis Nabi saw dapat diketahui dari riwayat yang berantai, yang dimulai dari sahabat Nabi  Muhammad saw yang berlangsung menyaksikan perbuatan Nabi saw atau mendengar sabdanya. Para sahabat yang meliputi berita itu menyampaikannya kepada orang lain, baik kepada sahabat lain maupun kepada para tabi’in (generasi setelah sahabat), dan proses itu terus berlangsung sampai kepada para penulis Hadis, seperti Bukhari Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Daruquthi, Ibnu Hibban, dan sebagainya.
Pada zaman Nabi saw, boleh dikatakan tidak ada sahabat yang secara terang-terangan menulis Hadis (tidak sebagaimana mereka menuliskan Al-Qur’an). Mereka hanya menghafalkan lafazhnya atau maknanya dari sabda Rasulullah saw. Pasa tahun 99 H barulah Al-Hadis mulai ditulis dan dikumpulkan oleh Abu Bakar bin Hazm atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pekerjaan mencatat Hadis terus berkembang diimbangi dengan berkembangnya penyeleksian, baik dari materinya sendiri maupun kualitas orang-orang yang menjadi mata rantai Hadis tersebut. Para ulama Hadis telah bekerja keras dalam memeriksa dan menyeleksi sesuatu berita yang dikatakan sebagai Hadis. Apakah betul-betul dari Nabi saw atau bukan, mereka memeriksanya dengan ketat, kemudian mengkategorinya dalam derajat, ada yang shahih (dapat dipergunakan sebagai dalil/hujjah), ada pula yang dha’if (tidak dapat dipergunakan sebagai dalil/hujjah).
Hadis Shahih, yakni Hadis yang telah diteliti dengan cermat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran beritanya dari Nabi saw karena pembawa beritanya (sanad) merupakan orang-orang yang jujur, dapat diandalkan hafalannya, kaitan sanad-nya satu sama lain saling bertemu, dan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hadis Dha’if, yakni Hadis yang setelah diteliti dengan cermat ternyata mengandung kelemahan, baik dari segi pembawaan beritanya (sanad) yang dipandang tidak jujur, buruk hafalannya, antara kaitan sanad-nya terputus, atau isinya bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hadis yang menjadi sumber hukun adalah hadis yang shahih, sedangkan Hadis dha’if tidak dapat dijadikan sumber hukum.
Terdapat Sunnah berarti kata-kata, tindakan dan diamnya (taqrir) Nabi dan para Imam. Jika Nabi telah menjelaskan secara lisan suatu hokum tertentu; jika sudah jelas bagaimana Nabi melaksanakan kewajiban agama tertentu; jika diketahui orang lain melaksanakan kewajiban agama tertentu semasa beliau denagn suatu cara yang memperoleh berkah dan izin beliau; artinya bahwa dengan diamnya, sebenarnya beliau memberikan persetujuan. Ini merupaka bukti (dalil) yang cukup bagi seorang Faqih untuk memandang tindakan yang dipersoalkan tersebut sebagai hokum actual Islam.[15]

3.        Ijma’
Ijma’ menurut bahasa, artinya kesepakatan. Adapun menurut istilah, ijmak berarti kebulatan pendapat para mujtahidin pada suatu masa dalam menetapkan suatu hukum yang tidak tidak ditemukan dalilnya secara tegas dalam A-Qur’an atau Hadis.
Sudam merupakan sunatullah dalam perkembangan zaman senantiasa ditemui masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia yang perlu diketahui kedudukan hukumnya. Apabila para ulama mujtahidin sepakat dalam menetapkan hukumnya, berarti lahirlah ijmak/kesepakatan (konsensus) para ulama.
Meskipun ijma’ mengenai masalah-masalah yang tidak ada dalil hukumnya secara tegas dan jelas dari Al-Qur’an dan Hadis, namun prosesnya tidak boleh lepas dari landasan Al-Qur’an dan Hadis, yaitu berpegang kepada kaidah dasar agama. Tidak boleh ada ijmak yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber kaidah dasar agama. Andaikata ada ijmak yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis, ijmak tersebut otomatis batal.[16]
Dilihat dari segi terjadinya. Ijma dapat terbagi kepada dua bagian, yakni ijma sharih dan ijma sukuty:
Ijma sharih ialah bila semua mujtahid mengeluarkan pendapat-pendapatnya, baik dengan perkataan maupun dengan tulisan, yang menyatakan persetujuan atas pendapat yang telah diberikan oleh seseorang mujtahid masanya.
Sedangkan ijma sukuty adalah diamnya sebagian ulama mujtahid atas pendapat mujtahid lainnya dalam menolak atau menerima pendapat tersebut dan diamnya itu bukan karena takut, segan, atau malu.[17]
Ijma’berarti kesepakatan degan suara bulat dari para ulama atas suatu persoalan tertentu. Menurut pendapat ulama Syi’ah, Ijma’merupakan Hujjah, karena jika semua muslim memiliki kesatuan pandangan, ini merupakan bukti bahwa pandangan tersebut telah diterima dari Nabi.[18] 
4.        Qiyas
Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang keempat. Qiyas menurut bahasa artinya ukuran. Menurut istilah qiyas adalah hukum yang telah tetap dalam suatu benda atau perkara, kemudian diberikan pula kepada suatu benda atau perkara lain yang dipandang memiliki asal, cabang, sifat, dan hukum yang sama dengan suatu benda atau perkara yang telah tetap hukumnya.
Dalam proses qiyas, ada 4 faktor (rukun) yang harus dipenuhi, yakni asalnya, cabangnya, hukumnya, dan sifatnya. Misalnya, tentang haramnya khamar (arak). Khamar itu disebut asalnya. Sifatnya memabukkan dipandang sebagai sebabnya, maka setiap minuman lain yang sifatnya memabukkan dipandang sebagai cabangnya, dan dinyatakan hukumnya sebagai haram. Dari kriteria tersebut, dapat dikembangkan kepada minuman atau makanan lain. Apabila terdapat kesamaan maka dihukumi sebagauman khamar, misalnya narkotik.
Sikap para ulama mujtahidin terhadap qiyas berbeda-beda. Golongan Hanafiyah mementingkannya dan mendahulukannya dari hadis ahad (tidak mansyur). Imam Ahmad bin Hanbal membatasi diri dalam mempergunakannya, hanya dalam keadaan darurat saja, yaitu jika tidak ada nash dalam Al-Qur’an, Hadis, Atsar, atau Fatwa-fatwa sahabat walaupun dha’if. Adapun Imam Malik dan Imam Syafi’I menempuh jalan tengah. Pandangan moderat Imam Malik tampak karena qiyas dipergunakn selama tidak ada nash dari Al-Qur’an, Hadis, dan Atsar sahabat yang sah. Golongan Hanafiyah lebih mengutamakan qiyas daripada Hadis ahad, sedangkan golongan Syafi’iyah baru menggunakan qiyas apabila tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadis.[19]
Pengertian Qiyas dapat dibagi dilihat dari 2 segi, yaitu:
1)        Munurut logika, qiyas artinya mengambil suatu kesimpulan khusus dari dua kesimpulan umum sebelumnya (syllogisme).
2)        Menurut hukum Islam, qiyas artinya menetapkan suatu hukum dari masalah baru yang belum pernah disebutkan hukumnya dengan memperhatikan masalah lama yang sudah ada hukumnya yang mempunyai kesamaan pada segi alasan dari masalah baru itu.[20]
5.    Akal (áql)
Kesaksian hujjah akal dalam pandangan Syi’ah berarti bahwa jika dalam suatu keadaan akal memberikan keputusan yang jelas, maka keputusan itu, karena ia bersifat pasti dan mutlak, adalah hujjah. Diantara ulama yang Sunni, Abu Hanifah, memandang Qiyas (analogi) sebagai dalil (bukti) keempat dan karenanya menurut aliran Hanafi, sumber-sumber fiqih ada empat: Al-kitab, Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Namun, menurut ulama Syi’ah, karena qiyas adalah dugaan dan sangkaan murni, dan karena seluruh yang telah diterima dari Nabi dan para Imam adalah cukup untuk memenuhi tanggung jawab (keagamaan) kita, perujukan kepada qiyas secara keras dilarang.[21]
Setiap hukum harus mempunyai landasan dari sumber-sumber hukum tersebut. Jika tidak maka itu tidak boleh diamalkan. Contohnya adalah hukum yang memperbolehkan seorang wanita menjadi imam solat bagi makmum laki-laki. Alasannya adalah bahwa laki-laki itu setara dengan wanita. Kalau laki-laki boleh mengimami wanita maka wanitapun juga boleh menjadi imam bagi laki-laki. Karena hukum ini tidak berdasar pada sumber-sumber hukum di atas dan hanya merupakan pertimbangan akal, maka tidak bisa dibenarkan dan karenanya tidak boleh diamalkan.
d.    Hakikat Hukum Islam
Ulama sependapat bahwa di dalam syariat Islam terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Hukum-hukum itu ada kalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya dukemukakan dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum Islam dalam bentuk yang disebut pertama tidak diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya, karena memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah. Hukum Islam dalam bentuk ini disebut wahyu murni. Adapun untuk mengetahui hukum Islam dalam bentuk kedua diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Keseluruhan hukum yang ditetapkan melalui cara seperti disebut terakhir ini disebut fiqih.
Dalam peristilahan syar’i, ilmu fiqih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci (baca: al-Tafshili) dalam nash (Al-qur’an dan hadis).
Hukum syar’i yang dimaksud dalam definisi di atas adalah segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Adapun kata ‘amali dalam definisi itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa menjadi lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan (’amaliyah) dari mukallaf itu. Sedangkan dalil-dalil terperinci (al-tafshili) maksudnya adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash di mana satu per satunya menunjuk pada satu hokum tertentu.
Dalam versi lain, fiqih juga disebut sebagai koleksi (majmu’) hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili. Dengan sendirinya, ilmu fiqih dapat dikatakan sebagai ilmu yang bicara tentang hukum-hukum sebagaimana disebutkan itu.[22]
2.    Ruang Lingkup
Keistimewaan fiqh islami dari pada hukum-hukum (Undang-undang) lainnya karena ia meliputi tiga prinsip hubungan manusia yaitu:[23]

a. Hubungan manusia dengan Tuhannya;
b. Hubungannya dengan dirinya sendiri; dan
c. Hubungannya dengan mastarakatnya.
Ilmu fiqh Islami, bukan hanya duniawi semata, tetapi untuk dunia dan akhirat; dia adalah agama dan kekuasaan, serta berlaku umum bagi umat manusia hingga hari kiamat.
Isi ilmu fiqh seluruhnya terjalin dengan baik antara akidah denagn ibadah, akhlak dan muamalah, untuk menciptakan kesadaran hati nurani, dan rasa tanggung jawab, karena selalu merasakan pengawasan Allah kepadanya, baik dalam keadaan terang-terangan, maupun tersembunyi. Orang yang selalu merasakan demikian, tetap tenang hatinya, tentram jiwanya dan merasa aman dalam hidupnya.
Ruang lingkup ilmu fiqh yang berkaitan dengan segala kegiatan orang-orang mukallaf yang meliputi: perkataannya, perbuatannya, dan seluruh daya-upayanya, dapat di bagi atas dua bagian (kelompok) yaitu:
a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan segala macam, ibadah yang meliputi: taharah, shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan sebagainya, yang bertujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
b. Hukum-hukum selain ibadah, yang dalam istilah syar’i disebut dengan “hukum muamallah”, yang meliputi berbagai macam transaksi, daya-upaya, hukuman, pelanggaran, jaminan dan sebagainya yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan orang-orang mukallaf dengan sesame mereka, baik secara pribadi, maupun jama’ah (masyarakat).
Dizaman modern, hukum mu’amalah, dirinci atas beberapa macam bidang yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang berkaitan dengannya, yaitu:[24]
a. Hukum-hukum yang berhubungan dengan urusan keluarga, semenjak terbentuknya keluarga itu, hingga berakhirnya.
b. Hukum Perdata (Hukum sipil)
c. Hukum Jinayah (Pidana)
Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan tindakan pidana (kejahatan) dari orang mukallaf dan hukumannya.
d. Hukum Acara
Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan: penuntutan, pemeriksaan, saksi, sumpah, dan pemutusan perkara ini dimaksudkan untuk mengatur cara-cara mengajukan perkara, untuk menciptakan keadilan diantara manusia.
e. Hukum Dusturiah (perundang-undangan)
Yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang dasar-dasar pemerintahan (Negara) dan sistemnya.
f. Hukum Internasional
Yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan Negara-negara Islam denagn Negara-negara lain, baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.[25]
g. Hukum Ekonomi dan Keuangan
Yaitu hukum-hukum yang mengatur sumber-sumber pemasukan keuangan Negara dan menetapkan anggaran belanja Negara; mengatur hak dan kewajiban setiap Negara dibidang keuangan dan mengatur hubungan social-ekonomi antara orang kaya dan orang fakir-miskin, serta antara pemerintah denagn rakyat.
Objek ilmu Fiqh pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’. Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah, mu’amalah, dan ‘uqubah.
Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada allah, seperti sholat, puasa, haji, dan lain sebagainya.
Bagian mu’amalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah, dan harta peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.
Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti qisas, had, diyat, dan ta’zir.[26]
Sesuai dengan definisi fiqh diatas maka seluruh perbuatan dan perilaku manusia merupakan medan bahasan ilmu fiqh. Ruang lingkup yang demikian luas ini biasanya dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
a)      Ibadah, yang berisi tentang tata cara beribadah seperti sholat, puasa, zakat dan haji.
b)      Thaharah, yaitu hal ihwal bersuci, baik dari najis maupun dari hadats.
c)      Muamalat, yang membahas tentang bentuk-bentuk transaksi dan kegiatan-kegiatan ekonomi
d)     Munakahat, yaitu tenatang pernikahan, perceraian dan soal-soal hidup berumah tangga.
e)      Jinayat, yang mengulas tentang perilaku-perilaku menyimpang (mencuri, merampok, zina dan lain-lain) dan sangsinya
f)       Faraidh, yang membahas tentang harta warisan dan tata cara pembagiannya kepada yang berhak.
g)      Siyasat, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas politik, peradilan, kepemimpinan dan lain-lain.
Singkat kata, seluruh perbuaatan manusia, baik yang masuk dalam ketujuh kelompok di atas maupun tidak semuanya mempunyai hukum. Yaitu salah satu diantara lima hukum dibawah ini:
1.    Wajib, yaitu sesuatu yang harus dikerjakan. Jika dikerjakan maka pelakunya memperoleh pahala dan jika ditinggalkan maka ia menuai dosa. Kata lain dari wajib adalah fardlu atau hatm. Wajib ini ada dua macam:
a)    Wajib ‘ain (fardhu ‘ain), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu Muslim. Mempelajari ilmu Fiqh terhadap permasalahan yang tidak boleh seorang muslimpun tidak mengetahuinya adalah fardu ain bagi setiap muslim. Ilmu-ilmu tersebut sering kita kenal dengan istilah ما علم من اليد بالضرورة  atau dengan istilah ما لا يسع المسلم يجهله. Ilmu tersebut merupakan ilmu primer yang mesti diketahui oleh seorang muslim bagaikan kebutuhan mereka kepada makanan pokok yang merupakan kebutuhan primer manusia. Contoh: sholat, puasa, zakat dan lain-lain.
b)    Wajib kifayah (fardhu kifayah), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada sebuah komunitas Muslim. Jika salah satu dari anggota komunitas itu sudah melaksanakannya maka gugurlah kewajiban itu atas yang lain. Tapi jika tak ada satupun yang melaksanakannya maka setiap anggota komunitas tersebut berdosa.
Mempelajari ilmu Fiqh secara lebih mendalam terhadap setiap permasalahan-permasalahan fiqh adalah fardu kifayah bagi setiap muslim. Apabila tidak ada muslim yang mempelajari ilmu fiqh secara mendalam pada satu wilayah (dalam radius wilayah yang sudah boleh mengqashar shalat), maka mereka akan berdosa. Contoh: memandikan mayit, mensholatkan dan menguburkannya.
2.    Sunnah, yaitu sesuatu yang jika dikerjakan maka pelakunya mendapat pahala namun jika ditinggalkan ia tidak berdosa. Mempelajari ilmu Fiqh secara lebih mendalam pada seluruh permasalahan Fiqh setelah terpenuhinya kewajiban fardhu ain dan fardhu kifayah.Contoh: Sholat tarawih, puasa Senin Kamis, sholat tahajjud dan lain-lain.
3.    Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan tanpa bernilai pahala dan dosa. Contoh: makan, minum, tidur dan lain-lain. Namun hal-hal yang masuk dalam kategori mubah ini bisa benilai pahala jika disertai dengan niat.
4.    Makruh, yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan pelakunya mendapat pahala namun jika tidak ditinggalkan ia tidak berdosa. Contoh: minum dengan tangan kiri dan lain-lain.
5.    Haram, yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan pelakunya mendapat pahala dan jika dikerjakan ia berdosa. Contoh: zina, meminum minuman keras, menggunjing dan lain-lain. Wallahu alam bishshowab.
Walaupun hukum syara’mengenai perbuatan manusia, seperti: wajib, haram, sunah, makruh, mubah, shah, batal, ada’atau lainnya, namun dalam kenyataannya tersusun dari dua bagian : pertama, hukum-hukum syara’amaliyah dan kedua, dalil-dalil tafshiliyah (yang jelas) mengenai hukum itu.
Hukum fiqh diambil dari wahyu baik yang ditilawatkan (Al Qur-an) maupun wahyu yang tidak ditilawatkan (Sunnatur Rasul). Dalam pada itu, apabila mujtahid tidak memperoleh nash, maka dia menggali hokum itu dari ruh (jiwa) syari’at dan maksud-maksudnya.
Ilmu fiqh ini, dinamai juga dengan Ilmu Hal, Ilmu Halal wal Haram, Ilmusy Syari’ah wal Ahkam.[27]
Syariat Islam mencakup seluruh sisi hidup dan kehidupan manusia dan seluruh ranah apapun yang dilakonkan oleh manusia. Tidak ada satupun permasalahan dalam dunia manusia yang tidak dijamah oleh syariat. Tidak ada satupun perbuatan manusia kecuali ada hukumnya menurut pandangan syariat. Karena hukum Allah berkaitan dengan seluruh perbuatan manusia, seperti yang disampaikan oleh para ulama ushul fiqh. Secara spesifik ilmu untuk mengkaji perbuatan manusia dari perspektif syariat ini dikaji dalam ilmu fiqh.
Setiap pengkaji sebuah ilmu -sebelum mendalaminya- mereka mesti mengetahui dasar-dasar sebuah ilmu. Agar ilmu yang akan ditekuni bisa diraih dengan pencapaian paripurna. Dasar-dasar sebuah ilmu ini dikenal oleh para ulama dengan istilah mabadi` `asyarah al `ilm. Karena seseorang yang tidak tahu apa yang sedang ditekuninya, akan berdampak terhadap kesia-siaan, yang tidak mendatangkan faidah dalam pencariannya. Sebagian ulama mengatakan:
من حرم الأصول حرم الوصول
“orang-orang yang tidak menguasai dasar-dasar sebuah ilmu, maka ia tidak akan sampai (kepada puncak pencapaian paripurna sebuah ilmu)”.
3.    Fungsi Studi Fiqh
Dalam studi Fiqh terdapat  tujuan instruksional umum, yaitu:
a.    Dapat melafalkan dua kalimat syahadat dan artinya melalui pengamatan, penerapan dan komunikasi.
b.    Mengetahui alat dan cara bersuci dari kotoran dan najis, adab buang air, istinja’ dan berwudhu’ melalui pengamatan, penerapan dan komunikasi.
c.    Mengetahui tata cara melaksanakan shalat dan dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui pengamatan, penerapan, dan komunikasi.
d.    Mengetahui cara-cara melaksanakan puasa dan dapat mengamalkannya melalui pengamatan, penerapan dan komunikasi.
e.    Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang zakat, shadaqah, infaq dan waqaf melalui pengamatan, interpretasi dan komunikasi.
f.     Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang ibadah haji dan melalui pengamatan, interpretasi dan komunikasi.
g.    Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang hukum makanan dan minuman melalui pengamatan, interpretasi dan komunikasi.
h.    Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang binatang yang halal dan yang haram serta cara penyembelihan, melalui pengamatan, interpretasi, dan komunikasi.
i.     Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang jual-beli melalui pengamatan, interpretasi dan komunikasi.
j.     Mempelajari studi Fiqh akan membuahkan terlaksananya ibadah dan muamalat secara benar serta meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, yang merupakan anugerah terbesar dari Allah SWT.
k.    Mengetahui, memahami, menghayati hukum-hukum Islam serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
l.     Mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara menyeluruh baik berupa dalil naqli maupun aqli, pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial.
m.   Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar, pengalaman tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kekuatan menjalankan hukum Islam dengan disiplin, dan bertanggung jawab social yang tinggi dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
            Adapun tentang kegunaan Ilmu Fiqh, di dalam mukadimah al-Iqna’ karangan asy-Syarbaini al-Khathib disebutkan bahwa fungsi ilmu Fiqh adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun jika boleh menambahkan penjelasan di sini, alangkah lebih tepatnya jika ditambahkan “untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya”, dengan kata lain Ilmu Fiqh mempunyai kegunaan, yaitu agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan. Selain itu, studi fiqih berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai dan kesadaran beribadah kepada Allah SWT sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, membiasakan pengamalan terhadap hukum Islam dengan ikhlas dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Madrasah dan masyarakat, membuat kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial di Madrasah dan masyarakat, meneguhkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah serta menanamkan akhlak mulia seoptimal mungkin.[28]
Mengetahui keutamaan (faedah) mempelajari ilmu fiqh mempelajarinya.Ilmu Fiqh merupakan ilmu yang sangat mulia dan menjadi ilmu primer yang mesti diketahui oleh setiap muslim, karena Fiqh mengkaji tentang rukun islam. Selain itu, ilmu ini merupakan ilmu yang berhubungan dengan seluruh perbuatan manusia dan menentukan terhadap kebenaran perbuatan mereka yang dilihat dari perspektif syariat. Dengan fiqh seseorang mengetahui cara beribadah kepada Allah dan mengetahui halal dan haram yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk mahkluqNya. Dengan penguasaan fiqh, seseorang bisa menjalani kehidupan berada di dalam koridor syariat Allah yang lurus.
Menerapkan hukum-hukum syariat Islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu Fiqh itu adalah rujukan (tempat kembali) seorang hakim (qadhi) dalam keputusannya, rujukan seorang Mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang Mukallaf untuk mengetahui hukum syariat dalam ucapan dan perbuatannya. Inilah tujuan yang dimaksudkan dari semua undang-undang untuk ummat manusia, karena dari undang-undang itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menerapkan materi hukumnya terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Selain itu juga untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan atau diharamkan baginya.[29]
Mempelajari Fiqh membuahkan terlaksananya ibadat dan muamalat secara benar serta meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, yang merupakan anugerah terbesar dari Allah Swt.

4.    Pengertian Syariah dan Perbedaannya dengan Fiqh
a.    Pengertian Syariah
1.        Secara etimologi
Secara etimologi kata Syari’ah berakar kata syara’a (ش ر ع) yang berarti “sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya”. Dari sinilah terbentuk kata syari’ah yang berarti “sumber air minum”. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan yang lurus yang harus diikuti.
Tasyri’berasal dari kata syari’at. Syari’at pada asalnya bermakna jalan yang lempang atau jalan yang dilalui air terjun.[30]
2.       Secara terminologi
Secara terminologi, Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti
شريعة : هي النظم التي شرعها الله او شرع اصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه في علاقته بربه وعلاقته بأخيه المسلم وعلاقته بأخيه الإنسان وعلاقته بالكون وعلاقته بالحياة
Menurut Faruq Nabhan, secara istilah, syari’ah berarti “ segala sesuatu yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sedangkan menurut Manna al-Qaththan, syari’ah berarti segala ketentuan yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalat. Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian syari’ah itu sebagai :
الشريعة ما شرعه الله تعالي لعباده من الأحكام التي جاءت بها نبي من الأنبياء صلعم وعلي نبيتا وسلم, سواء كانت متعلقة بكيفية عمل وتسمي فرعية ودون لها علم الفقه او بكيفية الإعتقاد وتسمي اصلية واعتقادية ودون لها علم الكلام
Dari beberapa pengertian yang diungkapkan oleh para ahli dapat dirumuskan bahwa syari’ah adalah aturan-aturan yang berkenaan dengan perilaku manusia, baik yang berkenaan dengan hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi saw.
Kata “syari’ah” atau yang seakar dengan itu muncul beberapa kali dalam al-quran seperti dalam :
1. Surat Al-maidah ayat 48 :
لكل جعلنا منكم شر عة و منها خا
“Untuk tiap – tiap Kami berikan aturan dan jalan yang terang”.

2. Surat Al – syura’ ayat 13 :
شر ع لكم من الدين ما وص به نو جا
“Dia telah mensyariatkan bagimu tentang agama, apa yang telah di wasiatkan oleh Nuh ...
3. Surat Al- jasiyah ayat 18 :
ثم جعلنا ك علي شر يعة من الأ مر فاتبعها
“Kemudian Kami jadikan Kamu berada atas suatu syari’ah dari urusan (agama) maka ikutilah syariat itu …
Namun demikian, perlu difahami bahwa meskipun syari’at Islam itu tidak berubah, tetapi dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi, sebab petunjuk-petunjuk yang dibawakannya dapat membawa manusia kepada kebahagiaan yang abadi.
Karena fiqh itu berkaitan erat dengan syari’ah atau bahkan syahri’ah itu merupakan induk dari fiqh, maka sebelum membicarakan pengertian fiqh lebih dahulu dijelaskan secara sederhana arti syari’ah itu.[31]
Secara leksikal syari’ah berati “jalan ketempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air disungai”. Arti terakhir ini digunakan orang arab sampai sekarang untuk maksud kata (syari’ah).
Dari ayat al-Qur’an tersebut di atas “agama” ditetapkan Allah untuk manusia yang disebut “syari’at” dalam arti lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan syariat Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syari’ah itu ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh – tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syari’ah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia.
Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”.Demikian syari’ah itu adalah bagi hukum – hukum yang bersifat amaliah.[32]
Walau pada mulanya syari’ah itu di artikan “agama” sebagaimana di singgung Allah dalam surat Al- Syura’ ayat 13, kemudian di khususkan penggunakannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini di maksutkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan syari’ah berlaku untuk masing – masing umat yang mungkin berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian “syari’ah” lebih khusus dari pada agama. Syari’ah adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian memperbaiki dan meluruskan syari’at yang lalu karena generasinya sudah berbeda, situasi dan kondisi umat yang akan mengamalkan juga sudah berbeda ; sedangkan dasar agama yaitu tauhid hanya satu yang bersifat universal dan tidak terpengaruh pada waktu dan tempat.
Diantara ulama ada yang mengkhususkan alagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “Apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup halal dan haram. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang di wariskan oleh Al- Thabari, ahli tafsir dan sejarah, penggunaan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban,hak, perintah dan larangan ; tidak termasuk di dalamnya akhidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “ hukum – hukum dan aturan – aturan yang ditetapkan Allah bagi hambanya untuk di ikuti dalam hubungannya dengan Allah dan dengan hubungannya dengan sesame manusia dan alam sekitarnya”. Dr. Farauk Abu Zeid menjelaskan bahwa syari’ah ialah “apa – apa yang di tetapkan Allah melalui lisan Nabi – Nya.Allah adalah pembuat syari’ah yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia”.[33]
b.    Hubungan antara fiqh dan Syariah
Fiqh bermakna: Ilmu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat bersifat `amaly (yang berasal dari istinbath terhadap) dalil-dalil terperinci.
Syariah bermakna: hukum-hukum syariat yang ditetapkan oleh Allah terhadap hamba-hambaNya melalui Rasul Saw.
Berdasarkan definisi diatas maka syariah ini mencakup 3 sisi ajaran dalam syariat islam:
1. Sisi yang berhubungan dengan akidah, yang menjadi kajian dalam ilmu tauhid.
2. Sisi yang berhubungan dengan perbuatan lahir manusia yang menjadi kajian ilmu akhlaq.
3. Sisi yang berhubungan dengan perbuatan lahir manusia yang dikenal dengan istilah fiqh.
Dari pengertian diatas maka dipahami bahwa fiqh lebih khusus dibandingkan syariah, karena fiqh hanya mengkaji satu bagian dari syariah yang terdiri dari 3 komponen utama.Meskipun belakangan istilah syariah lebih akrab diistilahkan untuk fiqh dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan fiqh.[34]
c.    Perbedaan Fiqh dan Syariah
Para fuqaha’memakai kata syari’at sebagai nama bagi hokum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasullulah supaya para hamba melaksanakannya dengan dasar iman, baik hokum itu mengenai amaliyah lahiriyah, maupun yang mengenai akhlak dan aqaid, kepercayaan yang bersifat batiniyah.
Demikianlah nama syari’at pada permulannya. akan tetapi jumhur mutaakhirin[35] telah memakai kata syari’at untuk nama “hukum fiqh atau hukum Islam”yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul ungkapan: Islam itu adalah aqidah dan syari’at.
Peraturan Islam ada dua macam:[36]
Pertama: peraturan yang ditetapkan oleh Allah dengan ayat-ayat Al Qur-an. peraturan-peraturan ini dinamai “tasyri’mahdl”.
Kedua: peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh para mujtahidin, baik mujtahidin para sahabat, maupun mujtahidin para tabi’in atau tabi’it-tabi’in dan seterusnya dengan jalan mengistinbatkan dari tasyri’Ilahi (nash Al Qur-an atau Hadits) atau dari jiwa syari’ah, jiwa-jiwa nash tersebut. bagian ini melihat dasar pokok pengambilannya dinamai tasyri’Ilahi juga. akan tetapi mengingat bahwa hokum itu merupakan hasil ijtihad para mujtahidin dengan mengistinbatkan dari tasyri’Ilahi atau ruhnya, dinamai tasyri’Wadl’i.
Syari’at Islam pembahasannya meliputi segala yang berhubungan dengan aqidah, akhlak, dan muamalah antara sesama manusia.[37]
Hukum-hukum I’tiqad ialah: “Hukum-hukum yang berpautan dengan Rasul-rasul Allah, pahala dan siksa”. Hukum tersebut dibahas dalam ilmu kalam atau Al Fiqhul Akbar.
Hukum-Hukum akhlak ialah: “Hukum-hukum yang menerangkan keutamaan-keutamaan yang wajib kita pegang dan mengambarkan manusia yang sempurna”. Hukum tersebut dibahas dalam ilmu akhlak.
Hukum-hukum Amaliyah ialah: “Hukum-hukum yang berpautan dengan tindak-tindak seorang mukallaf, baik perkataan maupun perbuatan dan tindakan-tindakan yang lain. Hukum tersebut dibahas dalam ilmu fiqh Islam.
Syari’at Islam adalah syari’at penutup[38]. syari’at yang paling umum, paling lengkap dan mencakup segala hukum, baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan. Karena itu, syari’at Islam tidak saja memperkatakan bidang mental, spiritual, kesusilaan, bahkan menyusun segala segi hidup dan kehidupan manusia, yang meliputi aqaid, akhlak dan mu’amalah.
1. Syariah adalah hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam Quran dan sunnah, sementara fiqh adalah hukum yang disimpulkan dari syariah yang merespon situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung dibahas dalam hokum syariah.
2. Syariah adalah pasti dan tidak bisa berubah, sementara fiqh berubah sesuai dengan situasi dan kondisi di mana diterapkan.
3. Hukum syariah, sebagian besar bersifat umum: meletakkan prinsip-prinsip dasar. Sebaliknya, hukum fiqh cenderung spesifik: menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dasar syariah bisa diaplikasikan sesuai dengan keadaan.[39]

5.    Studi Kasus
Sebagai pemilik ruko, Pak Rahmad mempersilahkan Pak Burhan untuk memanfaatkan ruko tersebut tanpa dipungut biaya sewa. Di tengah periode, Pak Rahmad meminta Pak Burhan untuk membayar sewa ruko tersebut sebesar 20% dari keuntungan bisnisnya.
Dengan melihat fakta tersebut, mari kita lihat terlebih dahulu tentang hukum perjanjian (akad) dalam islam. Perjanjian dalam transaksi jual-beli (bai’), sewa-menyewa (ijarah), bagi hasil (mudharabah), penitipan barang (wadi’ah), perseroan (syirkah), pinjam meminjam (ariyah), pemberian (hibah), penangguhan utang (kafalah), wakaf, wasiat, kerja, gadai atau perjanjian perdamaian dan lain sebagainya.
Secara umum, rukun perjanjian dalam hukum Islam adalah adanya shigat aqad itu sendiri, yang terdiri dari ijab dan qabul, yaitu suatu cara bagaimana rukun-rukun akad tersebut dinyatakan dan menunjuk kepada kehendak kedua belah pihak.
Adapun syarat-syarat shigat akad ini adalah:
a. Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku.  
b. Harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
c. Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan) dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh.
Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan (dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat (khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf) ataupun dengan perbuatan (seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya).
Suatu akad atau perjanjian dapat dikatakan telah terjadi jika telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang ditentukan. Rukun-rukun akad sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah adanya ijab dan qabul (shighat). Sementara syarat-syaratnya, ada yang menyangkut subyek perjanjian (‘aqidain), obyek perjanjian (ma’qud alaih) dan tempat akad (mahallul ‘aqad).
Adapun syarat-syarat terjadinya akad dapat dibedakan menjadi dua (2) macam:
1)        Pertama, syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu yang wajib sempurna wujudnya dalam setiap perjanjian.  
2)        Kedua, syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, dan tidak pada sebagian lainnya (tambahan), seperti adanya dalam akad nikah dan sebaginya.
Berdasarkan penjelasan di atas dan melihat kasus yang terjadi sangat jelas bahwa Pak Rahmad jelas melakukan penyimpangan akad, akad yang sebelumnya adalah pinjam meminjam kemudian menjadi sewa menyewa ditengah periode jelas bathil. Pak Burhan tidak perlu memberikan keuntungannya karena dalam perjanjian awal adalah peminjaman tanpa ada syarat apapun.
Perjanjian tersebut bias dibatalkan dikarenakan, apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang disepakati dalam perjanjian, maka pihak lain dapat membatalkan perjanjian tersebut. Hal ini didasarkan dalam Qur’an: “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haraam? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 7)
Dalam Hukum Islam suatu perjanjian atau akad merupkan sesuatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan ketika para pihak yang terkait. Baik, hubungannya dengan shigat yang akan dilakukan, isi perjanjian yang akan disepakati, ataupun segala sesuatu yang terkait dengan perjanjian yang akan dibuat. Dalam hal ini para pihak sudah seharusnya menaati ketentuan ketentuan yang berlaku sesuai dengan hukum perjanjian dalam agama Islam, agar perjanjian yang dibuat dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dan tidak akan menimbulkan masalah atau sengketa yang dapat merugikan kedua belah pihak.[40]

D.   Kesimpulan
1.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Fiqh adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.
Ruang lingkup Studi fiqh dibagi kedalam beberapa kelompok yaitu: Ibadah, Thaharah, Muamalat, Munakahat, Jinayat, Faraidh, Siyasat. Adapun fungsi dan tujuan Studi Fiqh diantaranya adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan. Selain itu, studi fiqih berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai dan kesadaran beribadah kepada Allah SWT sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
2.    Saran
            Materi mengenai Studi Fiqh yang didalamnya terdapat pengertian, ruang lingkup, serta fungsi dan tujuan ini, penulis berharap agar dapat dijadikan referensi untuk menambah wawasan keilmuan yang lebih luas.
Cukup kiranya bahasan kami tentang materi ini, kami sadar sepenuhnya makalah ini masih jauh dari sempurna. Mohon kiranya saudara pembaca memberikan masukan demi adanya perbaikan di tugas kami selanjutnya. Akhir kata kami sampaikan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Ameenah, Bilal Philips Abu. 2010. Asal Ushul dan perkembangan Fiqh.  Yogyakarta: CV Pustaka Setia.
Amir, Syarifuddin. 2003. Garis-garis Besar Fiqih.  Jakarta: Predana Media.
Baqir Ash-Shadr, Ayatullah. 1993. Pengantar Ushul Fiqh & Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Djamali, Abdul. 2002.  Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju.
Koto, Alaiddin . 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Mustofa. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika.
Sunarso, Ali. 2009. Islam Praparadigma. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Zuhri, Saifudin. 2011. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Pustaka Belajar.


[1] Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqih  (Jakarta: Predana Media, 2003), 4.
[2] Ibid., 5.
[3] Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 15. Yang dimaksud dengan kata syariat di sini, ialah: yang bermakna istilah yang khusus, yaitu: yang disebut fiqh Islam. Sebenarnya lafad syariat diberbagai tempat, diartikan dengan agama yang disyariat diberbagai tempat, diartiakan dengan agama yang disyariatkan Allah untuk para hamba yang melengkapi hokum I’tiqadiyah, khuluqiyah dan amaliyah, yang berpautan dengan perbuatan, perkataan, perikatan, tasharrufnya dan lain-lain. Lihat Hasan Ahmad Al Khatib, Al Fiqhul Muqaran, 8.
[4] Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 15. Dalil tafshilli ialah: dalil-dalil yang khusus. pemgertian yang diperoleh dari dalil-dalil tafshili ialah: hokum-hukum yang khusus yang diambil daripadanya dengan jalan nadhar ijtihad.
[5] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), hal 9.
[6] Ali Sunarso, Islam Praparadigma (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2009 ), 132-133.
[7] Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 16. Fuqaha tujuh di Madinah ialah: Said ibn Musaiyab, Abu Bakar ibn Abdur Rahman, Urwah Ibnu Zubar, Sulaiman Ibn Yassar, Al Qasim Ibn Muhammad, Kharidjah Ibn Zaid dan Ubaidullah Ibn Abdillah.
[8] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hal 1-2.
[10] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), hal 9-10.
[11] Ibid,. hal 11-13
[12] Mustofa, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 9.
[13] Ayatullah Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushul Fiqh & Ushul Fiqh Perbandingan (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), 142.
[14] Ibid,. hal 13.
[15] Ibid, 144.
[16] Ibid,. hal 14.
[17] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hal 82.
[18] Ibid, 146.
[19] Mustofa, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 14-15.
[20] Abdul                 Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal 71.
[21] Ibid, 147-148.
[22] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hal 1-2.
[23] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqhi (Islam dalam Berbagai Mazhab), (Jakarta: Radarjaya Offset, 1993), 15.
[24] Ibid., 16.
[25] Ibid., 17.
[26] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hal 5.
[27] Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 17.
[29]http://blog-pusatbelajar.blogspot.com/2010/06/tujuan-mempelajari-ilmu-fiqhushulul.html

[30] Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 5.
[31] Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqih,  (Jakarta: Predana Media, 2003), hal 2
[32] Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqih,  (Jakarta: Predana Media, 2003), hal 3
[33]Ibid., 47
[34] Ibid., 68
[35] Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 5. Mutaakhirin artinya: golongan yang muncul sesudah abad 3 Hijriah.
[36] Ibid., 5.
[37] Ibid., 6.
[38] Islam bermakna: damai dan perdamaian, juga bermakna taslim dan inqiyaad, yakni pasrah diri dan patuh. Makna istilahnya ialah: agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang melengkapi urusan dunia dan akhirat.
[39] Abu amenah bilal Philips, Asal Ushul dan perkembangan Fiqh, ( Yogyakarta: CV Pustaka Setia, 2010), hal 2.

3 komentar:

  1. سبحان الله
    bahasannya sangat mendasar sekali, kumplit terima kasih makalahnya bagus banget (y) (y) (y) (y) (y)

    BalasHapus
  2. ijin copas untuk perbandingan.
    jazakumullah khoiron

    BalasHapus