Pengertian, Ruang Lingkup dan Fungsi Studi Fiqh
A.
Pendahuluan
Pentingnya
pembahasan tema ini yaitu agar kita bisa mengetahui lebih dalam mengenai
pengertian, ruang lingkup, fungsi studi fiqh serta hukum Islam yang bersumber
dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Fikih membahas tentang
bagaimana cara beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antar manusia sesuai
dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Bidang
studi fiqh juga memberikan sumbangan
dalam melatih kedisiplinan dan ketaatan melaksanakan peraturan. Kebiasaan
disiplin dan taat melaksanakan hukum-hukum Islam yang diperoleh dalam bidang
studi fiqh sangat membantu dalam membentuk pribadi sebagai warga Negara yang
baik. Seperti yang kita ketahui bahwa setiap individu diharapkan menjadi muslim
yang baik memiliki pengetahuan,
pemahaman, penghayatan, serta keterampilan melaksanakan hukum-hukum Islam.
B. Substansi Kajian
1. Pengertian Fiqh
a. Secara Etimologi
Secara etimologi, fiqh berasal dari kalimat :
1) Faqaha (فقَه), yang bermakna: paham secara mutlak, tanpa
memandang kadar pemahaman yang dihasilkan. Kata
fiqh ( فقه) secara arti kata
berarti : “paham yang mendalam”. Semua kata “fa qa ha” yang terdapat dalam al
qur’an mengandung arti ini. Umpamanya firman Allah dalam surat al – Taubah :122
فلو لا نفر كل فرقة منهم طا ئفة لىتفهوا فى الدي
“Mengapa tidak pergi dari
tiap – tiap golongan dianatara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama …”.[1]
Bila “paham”
dapat digunakan untuk hal –hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham
yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu
batin. Karena itulah al – tirmizi menyebutkan “fiqh tentang sesuatu”
berati mengetahui batinnya sampai kepada kedalamnya.
Ada pendapat
yang mengatakan “fiqhu” atau paham tidak sama dengan “ilmu” walupun mazan
(timbangan) lafaznya adalah sama. Meskipun belum menjadi ilmu, paham adalah
pikiran yang baik dari kesiapannya menangkap apa yang dituntut. Ilmu bukanlah
dalam bentuk zanni seperti paham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang
hukum yang zanni dalam dirinya.[2]
2) Faqiha (فقِه), yang bermakna memahami maksud dari perkataan
pembicara ketika terjadi komunikasi. Pengertian ini lebih khusus dibandingkan
pengertian sebelumnya.
3) Faquha (فقُه), yang bermakna bahwa fiqh sudah menjadi
karakter ilmiah dan kepakaran. Pengertian ini lebih khusus lagi dibandingkan
pengertian sebelumnya.
Fiqh, menurut bahasa bermakna : tahu dan paham.[3]
Orang yang mengetahui ilmu fiqh dinamai Faqih.[4]
Al-fiqh
secara etimologis berarti al-fahm yaitu pemahaman yang mendalam yang
membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut dapat ditemukan di
dalam Q.S At-thaha [20]: 27-28 dan surat Hud [11]:91.
Qs. At-thaha :27-28
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka
mengerti perkataanku”.
Qs. Hud:
91
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا
مِمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا وَلَوْلا رَهْطُكَ
لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيز
“Mereka berkata:
"Hai Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu
dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara
kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang
kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami”.
Fiqih
menurut bahasa artinya pengetahuan, pemahaman dan kecakapan tentang sesuatu
biasanya tentang ilmu agama (Islam)
karena kemuliaannya.[5]
Istilah fiqh pada
mulanya meliputi seluruh pemahaman agama sebagai yang di ungkapkan dalam
al-quran Innatafaqqahu fi ad-din (agar
mereka melakukan pemahaman dalam agama ). Objek bahasa ilmu fiqh adalah setiap
perbuatan mukallaf (orang dewasa yang wajib melakukan hokum agama ), yang
terhadap perbuatannya itu ditentukan hokum apa yang harus dikenakan. Mulai dari tindakan hukum seorang mukallaf
tersebut bisa bersifat wajib, sunnah,boleh atau mubah,makruh dan haram,yang
semuanya ini dinamakan hokum taklifi dan juga bisa dengan sah,batal, dan fasid atau rusak dikenal dengan hokum wadh’i.
[6]
b. Secara Terminologi
Secara Terminologi menurut Ibnu Subki dalam kitabnya Jam’u al-
Jawami’ fiqh berarti :
العم بالآ حكا م الشر عىة العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Ilmu tentang hukum –
hukum syar’I yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil –
dalil yang tafsili.”
Secara teriminologi Qadhi Baidhawi
mendefinisikan fiqh :
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسبة من
الادلة التفصيلية
“Ilmu yang berhubungan dengan hukum-hukum
syariat bersifat `amaly (yang berasal dari istinbath terhadap) dalil-dalil
terperinci”.
Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi
yaitu fiqih merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh
melalui dalil di Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu fiqih merupakan ilmu yang
juga membahas hukum syar’iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia
sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.
Para fuqaha (jumhur mutaakhirin) mentakrifkan fiqh dengan : “Ilmu
yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang
tafshil”.
Hasan ahmad khatib berkata : “Yang dimaksud dengan fiqih Islami
adalah sekumpulan hokum syara’yang sudah dibukukan dari berbagai-bagai madzab,
baik dari madzab yang empat atau dari madzab lainnya dan yang dinukilkan dari
fatwa-fatwa sahabat dan tabiín, baik dari fuqaha yang tujuh[7],
di Madinah ataupun fuqaha Makkah, fuqaha Syam dan Fuqaha Mesir, Iraq, Bashrah
dan sebagainya”.
Menurut Abu
Zahrah dalam kitab Ushul al-fiqh, fiqih adalah mengetahui hukum- hukum syara’
yang bersifat ‘amali (praktis) yang di kaji melalui dalil-dalil yang
terperinci. Adapun para ulama fiqh mendefinisikan fiqh sebagai sekumpulan hukum
praktis(yang sifatnya akan di amalkan) yang disyariatkan dalam Islam.
Dalam
versi lain, fiqih juga disebut sebagai koleksi (majmu’) hukum-hukum
syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan diambil dari
dalil-dalilnya yang tafshili. Dengan sendirinya, ilmu fiqih dapat
dikatakan sebagai ilmu yang bicara tentang hukum-hukum sebagaimana disebutkan
itu.[8]
Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan, bahwa fiqh bukanlah hukum syara’ itu sendiri, tetapi interpretasi
terhadap hokum syara’ yang dilakukan melalui upaya ijtihad. Dengan istilah
lain, fiqh adalah produk interpretasi ilmiyah dari teks al-quran dan as-sunnah.
Fiqh adalah salah satu
bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum
yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih
seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang
muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.[9]
Jikalau kita
memandang kepada pengertian secara etimologi, maka istilah fiqh bersifat
general terhadap ilmu aqidah, ilmu akhlaq dan ilmu fiqh. Namun fiqh ketika
diartikan dengan definisi secara terminologi, maka fiqh sudah menjadi satu
disiplin ilmu yang berdiri sendiri, berbeda dengan dua disiplin ilmu lainnya;
akidah dan akhlaq.
Menurut istilah, fiqih mempunyai dua pengertian, pengertian pertama
fiqih ialah “Pengetahuan (mengetahui) hukum-hukum syara tentang perbuatan
beserta dalil-dalinya.”
Yang dimaksud dengan “al-ahkam” (hukum-hukum) dalam pengertian
tersebut di atas adalah: “Segala yang diterbitkan pembuat syara’ (Allah)
bagi manusia baik berupa perintah-perintah maupun aturan perbuatan yang
mengatur kehidupan dalam masyarakat dan hubungan mereka antara pihak satu dengn
lainnya serta membatasi perbuatan dan tindak-tanduk mereka.”
Dan yang dimaksud dengan “Asy-Syar’iyyah” (dalam pengertian
itu pula), adalah bahwa hukum-hukum itu diperoleh dari Syara’ baik dengan cara
mudah karena jelas tersebut dalam Al-Qur’an dan al-Hadis maupun melalui jalan ijtihad.
Kemudian dengan pembatasan: “amaliyah” dimaksudkan bahwa
hukum-hukum itu mengenai perbuatan, bukan mengenai masalah-masalah kepercayaan
(keimanan) yang dibahas ilmu lain.
Dari pengertian fiqih sebagaimana tersebut di atas dapat diketahui
bahwa fiqih adalah sifat ilmiah.[10]
Pengertian kedua, fiqih adalah “Kumpulan (kondifikasi)
hukum-hukum perbuatan yang disyari’atkan dalam Islam.”
Disyari’atkan dalam nas (teks) yang jelas dari Al-Qur’an dan hadis
maupun dari ijma’ serta ijtihad para mujtahid dari nas-nas dan kaidah-kaidah
umum.
Pengertian fiqih sebagaimana tersebut di atas meliputi segala hukum
syara’ baik yang mudah diketahui maupun yang tidak mudah diketahui yakni yang
diketahui atau yang ditetapkan dengan ijtihad. Pengertian demikian dikemukakan
pula antara lain oleh: S. Salam al-Qabbani dalam komentarnya terhadap kitab Ad
Dararil Mudi-ah.
Pengertian itu sesuai dengan kenyataan kitab-kitab fiqih yang
kesemuanya membahas hukum-hukum yang mudah diketahui dan tak mudah diketahui.
Sebenarnya abad pertama Hijriyah yaitu masa umat Islam belum mazab
dan belum mengikatkan dirinya kepada seseorang mujtahid tertentu di mana urusan
agama masih di tangan sahabat dan tabiin, fiqih mencakup semua hukum-hukum
agama, baik yang berhubungan dengan hukum-hukum kepercayaan, hukum-hukum
perbuatan maupun hukum-hukum akhlak. Soal-soal itu berkisar sekitar Al-Qur’an
dan hadis serta didasarkan kepadanya. Oleh karena itu sebutan ini bagi
orang-orang yang ahli dalam lapangan hukum tersebut pada masa itu disebut “Al-Qurra”
karena harus dibaca dari keduanya.
Pengertian Fiqih yang mencakup seluruh pengetahuan agama demikian
nampak jelas dari firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 122, yang artinya:
“Tiada sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semua (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.”
Dalam Al-Qur’an terdapat 20 ayat yang menyebut kata-kata “fiqih”.
Juga dapat dipahami dari sabda Nabi Muhammad saw: “Barang siapa dikehendaki
Allah akan diberikan kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya paham
yang mendalam dalam agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
Jadi pengertian fiqih pada masa itu yaitu pengertian yang populer
di kalangan umat Islam pada masa sahabat dab tabiin ialah segala macam
pengetahuan agama yang tidak mudah mendapatkannya, diperlukan usaha yang
sungguh-sungguh dengan cara melakukan penelitian, pengkajian dan sebagainya,
fiqih mempunyai arti yang sama dengan ilmu.
Kemudian pada abad kedua Hijriyah sesudah meluasnya Islam dan
bertambah banyaknya macam dan lapangan hukum yang menyangkut tindak-tanduk
seseorang, dan hubungan antara seseorang dengan lainnya, lahirlah
mujtahid-mujtahid yang membangun mazab. Pengertian fiqih dipersempit menjadi
sebagai suatu disiplin ilmu (pengetahuan) hukum yang menyangkut perbuatan.
Hukum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Hadis melalui usaha pemahaman dan
ijtihad.[11]
c. Sumber-sumber
Fiqh
Sumber hukum Islam (Syariah Islam) terdiri atas:
1.
Al-Qur’an[12]
Sumber
utama hukum Islam ialah Al-Qur’an. Al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan.
Menurut istilah, Al-Qur’an adalah himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Al-Qur’an
diturunkan sejak kenabian Muhammad saw secara berangsur-angsur dalam masa
kurang lebih 21 tahun (perhitungan tahun Syamsiyah) atau kurang lebih 22,5
tahun (perhitungan tahun Qamariyah), yakni sejak beliau berusia 40 tahun hingga
beberapa waktu menjelang beliau wafat.
Al-qur’an
diturunkan secara bertahap hingga terhimpun dengan baik dan sempurna. Di antara
hikmah diturunkan Al-qur’an secara bertahap adalah untuk memudahkan penerimaan,
pencatatan, penghafalan, pemahaman maksud dan kandungan isinya serta memudahkan
untuk dihayati diamalkan oleh kaum muslimin. Sebab apabila diturunkan secara
sekaligus, akan menyulitkan dalam penghafalan, penulisan, penghayatan, dan
pengamalannya.
Proses
turunnya wahyu melalui beberapa cara, antara lain: malaikat Jibril dating
menampakkan dirinya seperti seorang laki-laki, kemudian membacakan firman Allah
SWT dan Nabi Muhammad saw langsung menangkap dan memahami bacaan itu dengan
baik, kemudian beliau hafal dengan sempurna. Kadang-kadang pula wahyu diterima
Nabi saw dalam bentuk bunyi seperti suara genta, namun dapat ditangkap dengan
baik oleh Rasulullah saw. Selain itu, Jibril pernah menampakkan dirinya dalam
rupa yang asli, sebagaimana diungkapkan dala Al-Qur’an Surah An-Najm (53) ayat
13-14.
Demikian
juga Nabi saw menerima wahyu dengan tanpa melihat sesuatu pun, namun beliau
merasakan bahwa wahyu sudah berada dalam kalbunya, sebagaimana diungkapkan
dalam Al-qur’an Surah Asy-syuura (42) ayat 51.
Untuk
manuliskan wahyu yang diterima dari Allah SWT, Nabi saw telah menunjuk sejumlah
sahabat yang pandai baca tulis, yang menurut suatu riwayat jumlahnya sekitar 40
orang. Di antaranya Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan Abdullah bin Arqam.
Wahyu
yang turun dituliskan oleh para sahabat pada: kulit, pelepah kurma, dedaunan,
batu, tulang, dan sebagainya. Tulisan-tulisan tersebut pada asalnya tersebut
pada para sahabat penulis Al-Qur’an. Pada masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
seluruhnya dihimpun pada satu tempat atas saran Umar bin Khatthab ra.
Sepeninggal Abu Bakar ra, kumpulan naskah Al-Qur’an disimpan oleh khalifah Umar
bin Khatthab ra dan putri beliau Hafsah. Pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan
ra, Al-Qur’an disalin ke dalam beberapa naskah, kemudian dikirimkan kepada
beberapa penjuru yang seterusnya disalin lagi dan diperbanyak.
Kitab Allah,
Al-Quran adalah sumber hukum pertama bagi hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.[13]
2.
Al-Hadis[14]
Al-Hadis menurut bahasa dalah khabar atau berita. Menurut
istilah, Al-Hadis adalah segala berita yang disandarkan kepada nabi Muhammad
saw, meliputi: sabda, perbuatan beliau, dan perbuatan para sahabat yang beliau
diamkan dalam arti membenarkannya (taqrir).
Hadis lazim pula disebut Sunnah, atau Sunnah Rasulullah saw,
sedangkan manurut bahasa Sunnah berarti kelakuan, perjalanan, pekerjaan, atau
cara.
Hadis Nabi saw dapat diketahui dari riwayat yang berantai, yang
dimulai dari sahabat Nabi Muhammad saw
yang berlangsung menyaksikan perbuatan Nabi saw atau mendengar sabdanya. Para
sahabat yang meliputi berita itu menyampaikannya kepada orang lain, baik kepada
sahabat lain maupun kepada para tabi’in (generasi setelah sahabat), dan
proses itu terus berlangsung sampai kepada para penulis Hadis, seperti Bukhari
Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Daruquthi, Ibnu
Hibban, dan sebagainya.
Pada zaman Nabi saw, boleh dikatakan tidak ada sahabat yang secara
terang-terangan menulis Hadis (tidak sebagaimana mereka menuliskan Al-Qur’an).
Mereka hanya menghafalkan lafazhnya atau maknanya dari sabda Rasulullah saw.
Pasa tahun 99 H barulah Al-Hadis mulai ditulis dan dikumpulkan oleh Abu Bakar
bin Hazm atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pekerjaan mencatat Hadis
terus berkembang diimbangi dengan berkembangnya penyeleksian, baik dari
materinya sendiri maupun kualitas orang-orang yang menjadi mata rantai Hadis
tersebut. Para ulama Hadis telah bekerja keras dalam memeriksa dan menyeleksi
sesuatu berita yang dikatakan sebagai Hadis. Apakah betul-betul dari Nabi saw
atau bukan, mereka memeriksanya dengan ketat, kemudian mengkategorinya dalam
derajat, ada yang shahih (dapat dipergunakan sebagai dalil/hujjah), ada
pula yang dha’if (tidak dapat dipergunakan sebagai dalil/hujjah).
Hadis Shahih, yakni Hadis yang telah diteliti dengan cermat
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran beritanya dari Nabi saw karena
pembawa beritanya (sanad) merupakan orang-orang yang jujur, dapat
diandalkan hafalannya, kaitan sanad-nya satu sama lain saling bertemu,
dan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hadis Dha’if, yakni Hadis yang setelah diteliti dengan
cermat ternyata mengandung kelemahan, baik dari segi pembawaan beritanya (sanad)
yang dipandang tidak jujur, buruk hafalannya, antara kaitan sanad-nya
terputus, atau isinya bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hadis yang menjadi sumber hukun adalah hadis yang shahih, sedangkan
Hadis dha’if tidak dapat dijadikan sumber hukum.
Terdapat Sunnah berarti kata-kata, tindakan dan
diamnya (taqrir) Nabi dan para Imam. Jika Nabi telah menjelaskan secara lisan
suatu hokum tertentu; jika sudah jelas bagaimana Nabi melaksanakan kewajiban
agama tertentu; jika diketahui orang lain melaksanakan kewajiban agama tertentu
semasa beliau denagn suatu cara yang memperoleh berkah dan izin beliau; artinya
bahwa dengan diamnya, sebenarnya beliau memberikan persetujuan. Ini merupaka
bukti (dalil) yang cukup bagi seorang Faqih untuk memandang tindakan yang
dipersoalkan tersebut sebagai hokum actual Islam.[15]
3.
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa, artinya kesepakatan. Adapun menurut istilah,
ijmak berarti kebulatan pendapat para mujtahidin pada suatu masa dalam menetapkan
suatu hukum yang tidak tidak ditemukan dalilnya secara tegas dalam A-Qur’an
atau Hadis.
Sudam merupakan sunatullah dalam perkembangan zaman senantiasa
ditemui masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia yang perlu diketahui
kedudukan hukumnya. Apabila para ulama mujtahidin sepakat dalam
menetapkan hukumnya, berarti lahirlah ijmak/kesepakatan (konsensus) para ulama.
Meskipun ijma’ mengenai masalah-masalah yang tidak ada dalil
hukumnya secara tegas dan jelas dari Al-Qur’an dan Hadis, namun prosesnya tidak
boleh lepas dari landasan Al-Qur’an dan Hadis, yaitu berpegang kepada kaidah
dasar agama. Tidak boleh ada ijmak yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis
yang merupakan sumber kaidah dasar agama. Andaikata ada ijmak yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Hadis, ijmak tersebut otomatis batal.[16]
Dilihat dari segi terjadinya. Ijma dapat terbagi kepada dua bagian,
yakni ijma sharih dan ijma sukuty:
Ijma sharih ialah bila
semua mujtahid mengeluarkan pendapat-pendapatnya, baik dengan perkataan maupun
dengan tulisan, yang menyatakan persetujuan atas pendapat yang telah diberikan
oleh seseorang mujtahid masanya.
Sedangkan ijma sukuty adalah diamnya sebagian ulama mujtahid
atas pendapat mujtahid lainnya dalam menolak atau menerima pendapat tersebut
dan diamnya itu bukan karena takut, segan, atau malu.[17]
Ijma’berarti
kesepakatan degan suara bulat dari para ulama atas suatu persoalan tertentu. Menurut
pendapat ulama Syi’ah, Ijma’merupakan Hujjah, karena jika semua muslim
memiliki kesatuan pandangan, ini merupakan bukti bahwa pandangan tersebut telah
diterima dari Nabi.[18]
4.
Qiyas
Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang keempat. Qiyas menurut
bahasa artinya ukuran. Menurut istilah qiyas adalah hukum yang telah tetap
dalam suatu benda atau perkara, kemudian diberikan pula kepada suatu benda atau
perkara lain yang dipandang memiliki asal, cabang, sifat, dan hukum yang sama
dengan suatu benda atau perkara yang telah tetap hukumnya.
Dalam proses qiyas, ada 4 faktor (rukun) yang harus dipenuhi, yakni
asalnya, cabangnya, hukumnya, dan sifatnya. Misalnya, tentang haramnya khamar
(arak). Khamar itu disebut asalnya. Sifatnya memabukkan dipandang sebagai
sebabnya, maka setiap minuman lain yang sifatnya memabukkan dipandang sebagai
cabangnya, dan dinyatakan hukumnya sebagai haram. Dari kriteria tersebut, dapat
dikembangkan kepada minuman atau makanan lain. Apabila terdapat kesamaan maka
dihukumi sebagauman khamar, misalnya narkotik.
Sikap para ulama mujtahidin terhadap qiyas berbeda-beda. Golongan
Hanafiyah mementingkannya dan mendahulukannya dari hadis ahad (tidak mansyur).
Imam Ahmad bin Hanbal membatasi diri dalam mempergunakannya, hanya dalam
keadaan darurat saja, yaitu jika tidak ada nash dalam Al-Qur’an, Hadis, Atsar,
atau Fatwa-fatwa sahabat walaupun dha’if. Adapun Imam Malik dan Imam
Syafi’I menempuh jalan tengah. Pandangan moderat Imam Malik tampak karena qiyas
dipergunakn selama tidak ada nash dari Al-Qur’an, Hadis, dan Atsar sahabat yang
sah. Golongan Hanafiyah lebih mengutamakan qiyas daripada Hadis ahad, sedangkan
golongan Syafi’iyah baru menggunakan qiyas apabila tidak ada nash Al-Qur’an dan
Hadis.[19]
Pengertian Qiyas dapat dibagi dilihat dari 2 segi, yaitu:
1)
Munurut
logika, qiyas artinya mengambil suatu kesimpulan khusus dari dua kesimpulan
umum sebelumnya (syllogisme).
2)
Menurut
hukum Islam, qiyas artinya menetapkan suatu hukum dari masalah baru yang belum
pernah disebutkan hukumnya dengan memperhatikan masalah lama yang sudah ada
hukumnya yang mempunyai kesamaan pada segi alasan dari masalah baru itu.[20]
5. Akal
(áql)
Kesaksian
hujjah akal dalam pandangan Syi’ah berarti bahwa jika dalam suatu
keadaan akal memberikan keputusan yang jelas, maka keputusan itu, karena ia
bersifat pasti dan mutlak, adalah hujjah. Diantara ulama yang Sunni, Abu
Hanifah, memandang Qiyas (analogi) sebagai dalil (bukti) keempat dan karenanya
menurut aliran Hanafi, sumber-sumber fiqih ada empat: Al-kitab, Sunnah, Ijma dan
Qiyas.
Namun,
menurut ulama Syi’ah, karena qiyas adalah dugaan dan sangkaan murni, dan karena
seluruh yang telah diterima dari Nabi dan para Imam adalah cukup untuk memenuhi
tanggung jawab (keagamaan) kita, perujukan kepada qiyas secara keras dilarang.[21]
Setiap hukum harus mempunyai landasan dari
sumber-sumber hukum tersebut. Jika tidak maka itu tidak boleh diamalkan. Contohnya adalah hukum yang memperbolehkan seorang wanita menjadi imam
solat bagi makmum laki-laki. Alasannya adalah bahwa laki-laki itu setara
dengan wanita. Kalau laki-laki boleh mengimami wanita maka
wanitapun juga boleh menjadi imam bagi laki-laki. Karena hukum ini tidak berdasar pada sumber-sumber hukum di atas dan hanya
merupakan pertimbangan akal, maka tidak bisa dibenarkan dan karenanya tidak
boleh diamalkan.
d. Hakikat Hukum Islam
Ulama sependapat bahwa di dalam
syariat Islam terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia,
baik perkataan maupun perbuatan. Hukum-hukum itu ada kalanya disebutkan secara
jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya dukemukakan dalam bentuk
dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum Islam dalam
bentuk yang disebut pertama tidak diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil
begitu saja dan diamalkan apa adanya, karena memang sudah jelas dan tegas
disebut oleh Allah. Hukum Islam dalam bentuk ini disebut wahyu murni. Adapun
untuk mengetahui hukum Islam dalam bentuk kedua diperlukan upaya yang
sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat di dalam nash
melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Keseluruhan hukum yang
ditetapkan melalui cara seperti disebut terakhir ini disebut fiqih.
Dalam peristilahan syar’i, ilmu
fiqih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali
(praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap
dalil-dalilnya yang terperinci (baca: al-Tafshili) dalam nash
(Al-qur’an dan hadis).
Hukum syar’i yang dimaksud dalam
definisi di atas adalah segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan
diambil dari syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Adapun kata ‘amali
dalam definisi itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa menjadi lapangan
pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan (’amaliyah)
dari mukallaf itu. Sedangkan dalil-dalil terperinci (al-tafshili)
maksudnya adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash di
mana satu per satunya menunjuk pada satu hokum tertentu.
Dalam versi lain, fiqih juga disebut
sebagai koleksi (majmu’) hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf dan diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili. Dengan
sendirinya, ilmu fiqih dapat dikatakan sebagai ilmu yang bicara tentang
hukum-hukum sebagaimana disebutkan itu.[22]
2. Ruang Lingkup
Keistimewaan fiqh islami dari pada hukum-hukum (Undang-undang)
lainnya karena ia meliputi tiga prinsip hubungan manusia yaitu:[23]
a. Hubungan manusia dengan Tuhannya;
b. Hubungannya dengan dirinya sendiri; dan
c. Hubungannya dengan mastarakatnya.
Ilmu fiqh Islami, bukan hanya duniawi semata, tetapi untuk dunia
dan akhirat; dia adalah agama dan kekuasaan, serta berlaku umum bagi umat
manusia hingga hari kiamat.
Isi ilmu fiqh seluruhnya terjalin dengan baik antara akidah denagn
ibadah, akhlak dan muamalah, untuk menciptakan kesadaran hati nurani, dan rasa
tanggung jawab, karena selalu merasakan pengawasan Allah kepadanya, baik dalam
keadaan terang-terangan, maupun tersembunyi. Orang yang selalu merasakan
demikian, tetap tenang hatinya, tentram jiwanya dan merasa aman dalam hidupnya.
Ruang lingkup ilmu fiqh yang berkaitan dengan segala kegiatan
orang-orang mukallaf yang meliputi: perkataannya, perbuatannya, dan seluruh
daya-upayanya, dapat di bagi atas dua bagian (kelompok) yaitu:
a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan segala macam, ibadah yang
meliputi: taharah, shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan sebagainya,
yang bertujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
b. Hukum-hukum selain ibadah, yang dalam istilah syar’i disebut
dengan “hukum muamallah”, yang meliputi berbagai macam transaksi, daya-upaya,
hukuman, pelanggaran, jaminan dan sebagainya yang dimaksudkan untuk mengatur
hubungan orang-orang mukallaf dengan sesame mereka, baik secara pribadi, maupun
jama’ah (masyarakat).
Dizaman modern, hukum mu’amalah, dirinci atas beberapa macam bidang
yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang berkaitan dengannya, yaitu:[24]
a. Hukum-hukum yang berhubungan dengan urusan keluarga, semenjak
terbentuknya keluarga itu, hingga berakhirnya.
b. Hukum Perdata (Hukum sipil)
c. Hukum Jinayah (Pidana)
Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan tindakan pidana (kejahatan)
dari orang mukallaf dan hukumannya.
d. Hukum Acara
Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan: penuntutan, pemeriksaan,
saksi, sumpah, dan pemutusan perkara ini dimaksudkan untuk mengatur cara-cara
mengajukan perkara, untuk menciptakan keadilan diantara manusia.
e. Hukum Dusturiah (perundang-undangan)
Yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang dasar-dasar pemerintahan
(Negara) dan sistemnya.
f. Hukum Internasional
Yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan Negara-negara Islam denagn
Negara-negara lain, baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.[25]
g. Hukum Ekonomi dan Keuangan
Yaitu hukum-hukum yang mengatur sumber-sumber pemasukan keuangan
Negara dan menetapkan anggaran belanja Negara; mengatur hak dan kewajiban
setiap Negara dibidang keuangan dan mengatur hubungan social-ekonomi antara
orang kaya dan orang fakir-miskin, serta antara pemerintah denagn rakyat.
Objek ilmu Fiqh pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam
ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah,
mu’amalah, dan ‘uqubah.
Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya
berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan
dengan maksud mendekatkan diri kepada allah, seperti sholat, puasa, haji, dan
lain sebagainya.
Bagian mu’amalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan
harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah, dan harta
peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.
Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak
pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan dan lain-lain.
Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti qisas, had, diyat, dan
ta’zir.[26]
Sesuai dengan definisi fiqh diatas maka seluruh perbuatan dan
perilaku manusia merupakan medan bahasan ilmu fiqh. Ruang lingkup yang demikian
luas ini biasanya dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
a) Ibadah, yang berisi tentang tata cara beribadah seperti sholat, puasa,
zakat dan haji.
b) Thaharah, yaitu hal ihwal bersuci, baik dari najis maupun dari hadats.
c) Muamalat, yang membahas tentang bentuk-bentuk transaksi dan kegiatan-kegiatan
ekonomi
d) Munakahat, yaitu tenatang pernikahan, perceraian dan soal-soal hidup berumah
tangga.
e) Jinayat, yang mengulas tentang perilaku-perilaku menyimpang (mencuri,
merampok, zina dan lain-lain) dan sangsinya
f) Faraidh, yang membahas tentang harta warisan dan tata cara pembagiannya
kepada yang berhak.
g) Siyasat, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas politik, peradilan,
kepemimpinan dan lain-lain.
Singkat kata, seluruh perbuaatan manusia, baik
yang masuk dalam ketujuh kelompok di atas maupun tidak semuanya mempunyai
hukum. Yaitu salah satu diantara lima hukum dibawah ini:
1. Wajib, yaitu sesuatu yang harus dikerjakan.
Jika dikerjakan maka pelakunya memperoleh pahala dan jika ditinggalkan maka ia
menuai dosa. Kata lain dari wajib adalah fardlu
atau hatm. Wajib ini ada dua macam:
a)
Wajib ‘ain (fardhu ‘ain), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada
setiap individu Muslim. Mempelajari ilmu Fiqh terhadap permasalahan yang tidak boleh seorang
muslimpun tidak mengetahuinya adalah fardu ain bagi setiap muslim. Ilmu-ilmu
tersebut sering kita kenal dengan istilah ما علم من اليد
بالضرورة atau dengan istilah ما لا يسع
المسلم يجهله. Ilmu tersebut merupakan ilmu primer yang mesti
diketahui oleh seorang muslim bagaikan kebutuhan mereka kepada makanan pokok
yang merupakan kebutuhan primer manusia.
Contoh: sholat, puasa, zakat dan lain-lain.
b) Wajib kifayah (fardhu kifayah), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada sebuah komunitas
Muslim. Jika salah satu dari anggota komunitas itu sudah melaksanakannya maka
gugurlah kewajiban itu atas yang lain. Tapi
jika tak ada satupun yang melaksanakannya maka setiap anggota komunitas
tersebut berdosa.
Mempelajari ilmu Fiqh secara lebih mendalam
terhadap setiap permasalahan-permasalahan fiqh adalah fardu kifayah bagi setiap
muslim. Apabila tidak ada muslim yang mempelajari ilmu fiqh secara mendalam
pada satu wilayah (dalam radius wilayah yang sudah boleh mengqashar shalat),
maka mereka akan berdosa. Contoh:
memandikan mayit, mensholatkan dan menguburkannya.
2. Sunnah, yaitu sesuatu yang jika dikerjakan maka pelakunya
mendapat pahala namun jika ditinggalkan ia tidak berdosa. Mempelajari ilmu Fiqh secara lebih mendalam pada seluruh permasalahan Fiqh
setelah terpenuhinya kewajiban fardhu ain dan fardhu kifayah.Contoh: Sholat tarawih, puasa Senin Kamis,
sholat tahajjud dan lain-lain.
3. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan
dan boleh ditinggalkan tanpa bernilai pahala dan dosa. Contoh: makan, minum,
tidur dan lain-lain. Namun hal-hal yang masuk dalam kategori mubah ini bisa
benilai pahala jika disertai dengan niat.
4. Makruh, yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan
pelakunya mendapat pahala namun jika tidak ditinggalkan ia tidak berdosa.
Contoh: minum dengan tangan kiri dan lain-lain.
5. Haram, yaitu sesuatu
yang jika ditinggalkan pelakunya mendapat pahala dan jika dikerjakan ia
berdosa. Contoh: zina, meminum minuman keras, menggunjing dan lain-lain.
Wallahu a’lam bishshowab.
Walaupun hukum syara’mengenai perbuatan manusia, seperti: wajib,
haram, sunah, makruh, mubah, shah, batal, ada’atau lainnya, namun dalam
kenyataannya tersusun dari dua bagian : pertama, hukum-hukum
syara’amaliyah dan kedua, dalil-dalil tafshiliyah (yang jelas) mengenai
hukum itu.
Hukum fiqh diambil dari wahyu baik yang ditilawatkan (Al Qur-an)
maupun wahyu yang tidak ditilawatkan (Sunnatur Rasul). Dalam pada itu, apabila
mujtahid tidak memperoleh nash, maka dia menggali hokum itu dari ruh (jiwa)
syari’at dan maksud-maksudnya.
Ilmu fiqh ini, dinamai juga dengan Ilmu Hal, Ilmu Halal wal
Haram, Ilmusy Syari’ah wal Ahkam.[27]
Syariat Islam mencakup seluruh sisi hidup dan kehidupan
manusia dan seluruh ranah apapun yang dilakonkan oleh manusia. Tidak ada
satupun permasalahan dalam dunia manusia yang tidak dijamah oleh syariat. Tidak
ada satupun perbuatan manusia kecuali ada hukumnya menurut pandangan syariat.
Karena hukum Allah berkaitan dengan seluruh perbuatan manusia, seperti yang
disampaikan oleh para ulama ushul fiqh. Secara spesifik ilmu untuk mengkaji
perbuatan manusia dari perspektif syariat ini dikaji dalam ilmu fiqh.
Setiap pengkaji sebuah ilmu -sebelum
mendalaminya- mereka mesti mengetahui dasar-dasar sebuah ilmu. Agar ilmu yang
akan ditekuni bisa diraih dengan pencapaian paripurna. Dasar-dasar sebuah ilmu
ini dikenal oleh para ulama dengan istilah mabadi` `asyarah al `ilm. Karena
seseorang yang tidak tahu apa yang sedang ditekuninya, akan berdampak terhadap
kesia-siaan, yang tidak mendatangkan faidah dalam pencariannya. Sebagian ulama
mengatakan:
من حرم الأصول حرم الوصول
“orang-orang yang tidak menguasai dasar-dasar sebuah
ilmu, maka ia tidak akan sampai (kepada puncak pencapaian paripurna sebuah
ilmu)”.
3. Fungsi Studi Fiqh
Dalam studi Fiqh terdapat tujuan instruksional umum, yaitu:
a. Dapat melafalkan dua kalimat syahadat dan
artinya melalui pengamatan, penerapan dan komunikasi.
b. Mengetahui alat dan cara bersuci dari kotoran
dan najis, adab buang air, istinja’ dan berwudhu’ melalui pengamatan, penerapan
dan komunikasi.
c. Mengetahui tata cara melaksanakan shalat dan
dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui pengamatan,
penerapan, dan komunikasi.
d. Mengetahui cara-cara melaksanakan puasa dan
dapat mengamalkannya melalui pengamatan, penerapan dan komunikasi.
e. Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang
zakat, shadaqah, infaq dan waqaf melalui pengamatan, interpretasi dan
komunikasi.
f. Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang
ibadah haji dan melalui pengamatan, interpretasi dan komunikasi.
g. Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang
hukum makanan dan minuman melalui pengamatan, interpretasi dan komunikasi.
h. Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang binatang
yang halal dan yang haram serta cara penyembelihan, melalui pengamatan,
interpretasi, dan komunikasi.
i. Mengetahui pokok-pokok Syari’at Islam tentang
jual-beli melalui pengamatan, interpretasi dan komunikasi.
j. Mempelajari studi Fiqh akan membuahkan terlaksananya
ibadah dan muamalat secara benar serta meraih kebahagiaan dunia dan akhirat,
yang merupakan anugerah terbesar dari Allah SWT.
k. Mengetahui, memahami, menghayati hukum-hukum
Islam serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
l. Mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara menyeluruh baik berupa dalil naqli maupun aqli, pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial.
m. Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar, pengalaman tersebut diharapkan dapat
menumbuhkan kekuatan menjalankan hukum Islam dengan disiplin, dan
bertanggung jawab social yang tinggi dalam kehidupan pribadi dan
sosialnya.
Adapun tentang kegunaan Ilmu Fiqh, di dalam
mukadimah al-Iqna’ karangan asy-Syarbaini al-Khathib disebutkan bahwa fungsi
ilmu Fiqh adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
namun jika boleh menambahkan penjelasan di sini, alangkah lebih tepatnya jika
ditambahkan “untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt
dan menjauhi larangan-Nya”, dengan kata lain Ilmu Fiqh mempunyai kegunaan,
yaitu agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh
Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan. Selain itu, studi
fiqih berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai dan kesadaran beribadah kepada
Allah SWT sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat,
membiasakan pengamalan terhadap hukum Islam dengan ikhlas dan perilaku yang
sesuai dengan peraturan yang berlaku di Madrasah dan masyarakat, membuat
kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial di Madrasah dan masyarakat,
meneguhkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah serta menanamkan akhlak mulia
seoptimal mungkin.[28]
Mengetahui keutamaan
(faedah) mempelajari ilmu fiqh mempelajarinya.Ilmu Fiqh merupakan ilmu yang
sangat mulia dan menjadi ilmu primer yang mesti diketahui oleh setiap muslim,
karena Fiqh mengkaji tentang rukun islam. Selain itu, ilmu ini merupakan ilmu yang
berhubungan dengan seluruh perbuatan manusia dan menentukan terhadap kebenaran
perbuatan mereka yang dilihat dari perspektif syariat. Dengan fiqh seseorang
mengetahui cara beribadah kepada Allah dan mengetahui halal dan haram yang
sudah ditetapkan oleh Allah untuk mahkluqNya. Dengan penguasaan fiqh, seseorang
bisa menjalani kehidupan berada di dalam koridor syariat Allah yang lurus.
Menerapkan hukum-hukum syariat Islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia.
Jadi, ilmu Fiqh itu adalah rujukan (tempat kembali) seorang hakim (qadhi) dalam
keputusannya, rujukan seorang Mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang
Mukallaf untuk mengetahui hukum syariat dalam ucapan dan perbuatannya. Inilah
tujuan yang dimaksudkan dari semua undang-undang untuk ummat manusia, karena
dari undang-undang itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menerapkan materi
hukumnya terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Selain itu juga untuk membatasi
setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan atau diharamkan baginya.[29]
Mempelajari Fiqh
membuahkan terlaksananya ibadat dan muamalat secara benar serta meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat, yang merupakan anugerah terbesar dari Allah Swt.
4. Pengertian
Syariah dan Perbedaannya
dengan Fiqh
a.
Pengertian Syariah
1.
Secara etimologi
Secara etimologi kata Syari’ah berakar kata
syara’a (ش ر ع)
yang berarti “sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya”. Dari sinilah
terbentuk kata syari’ah yang berarti “sumber air minum”. Kata ini kemudian
dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan yang lurus yang harus diikuti.
Tasyri’berasal dari kata syari’at. Syari’at pada asalnya bermakna jalan
yang lempang atau jalan yang dilalui air terjun.[30]
2. Secara terminologi
Secara terminologi, Muhammad Ali al-Sayis
mengartikan syari’ah dengan jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini
dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan
dari dalil-dalil terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai
hukum- hukum dan tata aturan yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk
diikuti
شريعة : هي النظم التي شرعها الله او شرع اصولها ليأخذ
الإنسان بها نفسه في علاقته بربه وعلاقته بأخيه المسلم وعلاقته بأخيه الإنسان
وعلاقته بالكون وعلاقته بالحياة
Menurut Faruq Nabhan, secara istilah, syari’ah
berarti “ segala sesuatu yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Sedangkan menurut Manna al-Qaththan, syari’ah berarti segala ketentuan yang
disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak
maupun muamalat. Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian syari’ah itu sebagai
:
الشريعة ما شرعه الله تعالي لعباده من الأحكام التي جاءت بها نبي من الأنبياء
صلعم وعلي نبيتا وسلم, سواء كانت متعلقة بكيفية عمل وتسمي فرعية ودون لها علم
الفقه او بكيفية الإعتقاد وتسمي اصلية واعتقادية ودون لها علم الكلام
Dari beberapa pengertian yang diungkapkan oleh
para ahli dapat dirumuskan bahwa syari’ah adalah aturan-aturan yang berkenaan
dengan perilaku manusia, baik yang berkenaan dengan hukum pokok maupun hukum
cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi saw.
Kata “syari’ah” atau yang seakar dengan itu
muncul beberapa kali dalam al-quran seperti dalam :
1. Surat Al-maidah ayat 48 :
لكل جعلنا منكم شر عة و منها خا
“Untuk tiap – tiap Kami berikan aturan dan jalan yang terang”.
2. Surat Al – syura’ ayat 13 :
شر ع لكم من الدين ما وص به نو جا
“Dia telah
mensyariatkan bagimu tentang agama, apa yang telah di wasiatkan oleh Nuh ...
3. Surat Al- jasiyah ayat 18 :
ثم جعلنا ك علي شر يعة من الأ مر فاتبعها
“Kemudian Kami jadikan Kamu berada atas suatu syari’ah dari urusan
(agama) maka ikutilah syariat itu …
Namun demikian, perlu difahami bahwa meskipun
syari’at Islam itu tidak berubah, tetapi dapat diterapkan dalam berbagai
situasi dan kondisi, sebab petunjuk-petunjuk yang dibawakannya dapat membawa
manusia kepada kebahagiaan yang abadi.
Karena fiqh itu berkaitan erat dengan syari’ah atau bahkan syahri’ah itu
merupakan induk dari fiqh, maka sebelum membicarakan pengertian fiqh lebih
dahulu dijelaskan secara sederhana arti syari’ah itu.[31]
Secara leksikal
syari’ah berati “jalan ketempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”,
atau “tempat lalu air disungai”. Arti terakhir ini digunakan orang arab sampai
sekarang untuk maksud kata (syari’ah).
Dari ayat al-Qur’an tersebut di atas “agama” ditetapkan Allah untuk manusia
yang disebut “syari’at” dalam arti lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya
dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan syariat Islam dengan jalan air adalah
dari segi bahwa siapa yang mengikuti syari’ah itu ia akan mengalir dan bersih
jiwanya. Allah menjadikan air
sebagai penyebab kehidupan tumbuh – tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia
menjadikan syari’ah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia.
Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu
dengan “segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar
yang mengenai akhlak”.Demikian syari’ah itu adalah bagi hukum – hukum yang
bersifat amaliah.[32]
Walau pada mulanya syari’ah itu di artikan “agama” sebagaimana di singgung
Allah dalam surat Al- Syura’ ayat 13, kemudian di khususkan penggunakannya
untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini di maksutkan karena agama pada dasarnya
adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan syari’ah berlaku untuk
masing – masing umat yang mungkin berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan
demikian “syari’ah” lebih khusus dari pada agama. Syari’ah adalah hukum amaliah
yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang
kemudian memperbaiki dan meluruskan syari’at yang lalu karena generasinya sudah
berbeda, situasi dan kondisi umat yang akan mengamalkan juga sudah berbeda ;
sedangkan dasar agama yaitu tauhid hanya satu yang bersifat universal dan tidak
terpengaruh pada waktu dan tempat.
Diantara ulama ada yang mengkhususkan alagi penggunaan kata syari’ah itu
dengan “Apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada
mahkamah dan tidak mencakup halal dan haram. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang di
wariskan oleh Al- Thabari, ahli tafsir dan sejarah, penggunaan kata syari’ah
kepada hal yang menyangkut kewajiban,hak, perintah dan larangan ; tidak
termasuk di dalamnya akhidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama.
Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “ hukum – hukum dan aturan – aturan
yang ditetapkan Allah bagi hambanya untuk di ikuti dalam hubungannya dengan
Allah dan dengan hubungannya dengan sesame manusia dan alam sekitarnya”. Dr.
Farauk Abu Zeid menjelaskan bahwa syari’ah ialah “apa – apa yang di tetapkan
Allah melalui lisan Nabi – Nya.Allah adalah pembuat syari’ah yang menyangkut
kehidupan agama dan kehidupan dunia”.[33]
b.
Hubungan antara fiqh dan Syariah
Fiqh bermakna: Ilmu yang berhubungan dengan
hukum-hukum syariat bersifat `amaly (yang berasal dari istinbath terhadap)
dalil-dalil terperinci.
Syariah bermakna: hukum-hukum syariat yang ditetapkan
oleh Allah terhadap hamba-hambaNya melalui Rasul Saw.
Berdasarkan definisi diatas maka syariah ini
mencakup 3 sisi ajaran dalam syariat islam:
1. Sisi yang berhubungan dengan akidah, yang
menjadi kajian dalam ilmu tauhid.
2. Sisi yang berhubungan dengan perbuatan lahir
manusia yang menjadi kajian ilmu akhlaq.
3. Sisi yang berhubungan dengan perbuatan lahir
manusia yang dikenal dengan istilah fiqh.
Dari pengertian diatas maka dipahami bahwa fiqh
lebih khusus dibandingkan syariah, karena fiqh hanya mengkaji satu bagian dari
syariah yang terdiri dari 3 komponen utama.Meskipun belakangan istilah syariah
lebih akrab diistilahkan untuk fiqh dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan fiqh.[34]
c.
Perbedaan Fiqh dan Syariah
Para fuqaha’memakai kata syari’at sebagai nama bagi hokum yang
ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasullulah supaya para
hamba melaksanakannya dengan dasar iman, baik hokum itu mengenai amaliyah
lahiriyah, maupun yang mengenai akhlak dan aqaid, kepercayaan yang bersifat batiniyah.
Demikianlah nama syari’at pada permulannya. akan tetapi jumhur
mutaakhirin[35]
telah memakai kata syari’at untuk nama “hukum fiqh atau hukum Islam”yang
berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul
ungkapan: Islam itu adalah aqidah dan syari’at.
Peraturan Islam ada dua macam:[36]
Pertama: peraturan
yang ditetapkan oleh Allah dengan ayat-ayat Al Qur-an. peraturan-peraturan ini
dinamai “tasyri’mahdl”.
Kedua:
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh para mujtahidin, baik mujtahidin para
sahabat, maupun mujtahidin para tabi’in atau tabi’it-tabi’in dan seterusnya
dengan jalan mengistinbatkan dari tasyri’Ilahi (nash Al Qur-an atau Hadits)
atau dari jiwa syari’ah, jiwa-jiwa nash tersebut. bagian ini melihat dasar
pokok pengambilannya dinamai tasyri’Ilahi juga. akan tetapi mengingat bahwa
hokum itu merupakan hasil ijtihad para mujtahidin dengan mengistinbatkan dari
tasyri’Ilahi atau ruhnya, dinamai tasyri’Wadl’i.
Syari’at Islam pembahasannya meliputi segala yang berhubungan
dengan aqidah, akhlak, dan muamalah antara sesama manusia.[37]
Hukum-hukum I’tiqad ialah: “Hukum-hukum yang berpautan
dengan Rasul-rasul Allah, pahala dan siksa”. Hukum tersebut dibahas dalam ilmu
kalam atau Al Fiqhul Akbar.
Hukum-Hukum akhlak ialah: “Hukum-hukum yang menerangkan
keutamaan-keutamaan yang wajib kita pegang dan mengambarkan manusia yang
sempurna”. Hukum tersebut dibahas dalam ilmu akhlak.
Hukum-hukum Amaliyah ialah: “Hukum-hukum yang berpautan dengan
tindak-tindak seorang mukallaf, baik perkataan maupun perbuatan dan
tindakan-tindakan yang lain. Hukum tersebut dibahas dalam ilmu fiqh Islam.
Syari’at Islam adalah syari’at penutup[38].
syari’at yang paling umum, paling lengkap dan mencakup segala hukum, baik yang
bersifat keduniaan maupun keakhiratan. Karena itu, syari’at Islam tidak saja
memperkatakan bidang mental, spiritual, kesusilaan, bahkan menyusun segala segi
hidup dan kehidupan manusia, yang meliputi aqaid, akhlak dan mu’amalah.
1. Syariah adalah hukum yang diwahyukan Allah
yang terdapat dalam Quran dan sunnah, sementara fiqh adalah hukum yang
disimpulkan dari syariah yang merespon situasi-situasi tertentu yang tidak
secara langsung dibahas dalam hokum syariah.
2. Syariah adalah pasti dan tidak bisa berubah,
sementara fiqh berubah sesuai dengan situasi dan kondisi di mana diterapkan.
3. Hukum syariah, sebagian besar bersifat umum:
meletakkan prinsip-prinsip dasar. Sebaliknya, hukum fiqh cenderung spesifik:
menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dasar syariah bisa diaplikasikan sesuai
dengan keadaan.[39]
5. Studi Kasus
Sebagai pemilik ruko, Pak Rahmad mempersilahkan
Pak Burhan untuk memanfaatkan ruko tersebut tanpa dipungut biaya sewa. Di tengah
periode, Pak Rahmad meminta Pak Burhan untuk membayar sewa ruko tersebut
sebesar 20% dari keuntungan bisnisnya.
Dengan melihat fakta tersebut, mari kita lihat
terlebih dahulu tentang hukum perjanjian (akad) dalam islam. Perjanjian
dalam transaksi jual-beli (bai’), sewa-menyewa (ijarah), bagi hasil
(mudharabah), penitipan barang (wadi’ah), perseroan (syirkah), pinjam meminjam
(ariyah), pemberian (hibah), penangguhan utang (kafalah), wakaf, wasiat, kerja,
gadai atau perjanjian perdamaian dan lain sebagainya.
Secara umum, rukun perjanjian dalam hukum Islam
adalah adanya shigat aqad itu sendiri, yang terdiri dari ijab dan qabul, yaitu
suatu cara bagaimana rukun-rukun akad tersebut dinyatakan dan menunjuk kepada
kehendak kedua belah pihak.
Adapun syarat-syarat shigat akad ini adalah:
a. Harus jelas
atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan
qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku.
b. Harus ada
kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk
menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan
perjanjian di kemudian hari.
c. Harus
memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan) dari para pihak
yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga
mempunyai kekuatan hukum yang penuh.
Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri
dapat dilakukan secara lisan (dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat
(khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya,
seperti karena bisu dan buta huruf) ataupun dengan perbuatan (seperti dalam
akad sewa-menyewa dan sebagainya).
Suatu akad atau perjanjian dapat dikatakan
telah terjadi jika telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang
ditentukan. Rukun-rukun akad sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah adanya
ijab dan qabul (shighat). Sementara syarat-syaratnya, ada yang menyangkut
subyek perjanjian (‘aqidain), obyek perjanjian (ma’qud alaih) dan tempat akad
(mahallul ‘aqad).
Adapun syarat-syarat terjadinya akad dapat
dibedakan menjadi dua (2) macam:
1)
Pertama, syarat-syarat yang bersifat umum,
yaitu yang wajib sempurna wujudnya dalam setiap perjanjian.
2)
Kedua, syarat-syarat yang bersifat khusus,
yaitu syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, dan tidak pada
sebagian lainnya (tambahan), seperti adanya dalam akad nikah dan sebaginya.
Berdasarkan penjelasan di atas dan melihat
kasus yang terjadi sangat jelas bahwa Pak Rahmad jelas melakukan penyimpangan
akad, akad yang sebelumnya adalah pinjam meminjam kemudian menjadi sewa menyewa
ditengah periode jelas bathil. Pak Burhan tidak perlu memberikan keuntungannya
karena dalam perjanjian awal adalah peminjaman tanpa ada syarat apapun.
Perjanjian tersebut bias dibatalkan dikarenakan,
apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari
ketentuan yang disepakati dalam perjanjian, maka pihak lain dapat membatalkan
perjanjian tersebut. Hal ini didasarkan dalam Qur’an: “Bagaimana bisa ada
perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin,
kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di
dekat Masjidil haraam? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah
kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 7)
Dalam Hukum Islam suatu perjanjian atau akad
merupkan sesuatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan ketika para pihak
yang terkait. Baik, hubungannya dengan shigat yang akan dilakukan, isi
perjanjian yang akan disepakati, ataupun segala sesuatu yang terkait dengan
perjanjian yang akan dibuat. Dalam hal ini para pihak sudah seharusnya menaati
ketentuan ketentuan yang berlaku sesuai dengan hukum perjanjian dalam agama
Islam, agar perjanjian yang dibuat dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
yang terkait dan tidak akan menimbulkan masalah atau sengketa yang dapat
merugikan kedua belah pihak.[40]
D. Kesimpulan
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Fiqh adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus
membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik
kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai
pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.
Ruang lingkup Studi fiqh dibagi kedalam beberapa kelompok yaitu:
Ibadah, Thaharah, Muamalat, Munakahat, Jinayat, Faraidh, Siyasat. Adapun fungsi dan tujuan Studi Fiqh
diantaranya adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi
larangan-Nya, agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang
dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan
tujuan. Selain itu, studi fiqih berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai dan
kesadaran beribadah kepada Allah SWT sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat.
2. Saran
Materi mengenai Studi Fiqh yang
didalamnya terdapat pengertian, ruang lingkup, serta fungsi dan tujuan ini,
penulis berharap agar dapat dijadikan referensi untuk menambah wawasan keilmuan
yang lebih luas.
Cukup kiranya bahasan kami tentang materi ini, kami sadar sepenuhnya
makalah ini masih jauh dari sempurna. Mohon kiranya saudara pembaca memberikan
masukan demi adanya perbaikan di tugas kami selanjutnya. Akhir kata kami
sampaikan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ameenah, Bilal Philips Abu. 2010. Asal Ushul dan perkembangan
Fiqh. Yogyakarta: CV Pustaka Setia.
Amir, Syarifuddin. 2003. Garis-garis Besar Fiqih. Jakarta: Predana Media.
Baqir Ash-Shadr, Ayatullah. 1993. Pengantar Ushul Fiqh &
Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Djamali, Abdul. 2002. Hukum
Islam. Bandung: Mandar Maju.
Koto, Alaiddin . 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Pengantar Ilmu Fiqh.
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Mustofa. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar
Grafika.
Sunarso, Ali. 2009. Islam Praparadigma. Yogyakarta : Tiara
Wacana.
Zuhri, Saifudin. 2011. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
[1]
Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Predana Media, 2003), 4.
[2]
Ibid., 5.
[3]
Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 15. Yang dimaksud dengan kata syariat
di sini, ialah: yang bermakna istilah yang khusus, yaitu: yang disebut fiqh
Islam. Sebenarnya lafad syariat diberbagai tempat, diartikan dengan agama yang
disyariat diberbagai tempat, diartiakan dengan agama yang disyariatkan Allah
untuk para hamba yang melengkapi hokum I’tiqadiyah, khuluqiyah dan amaliyah,
yang berpautan dengan perbuatan, perkataan, perikatan, tasharrufnya dan
lain-lain. Lihat Hasan Ahmad Al Khatib, Al Fiqhul Muqaran, 8.
[4]
Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 15. Dalil tafshilli ialah:
dalil-dalil yang khusus. pemgertian yang diperoleh dari dalil-dalil tafshili
ialah: hokum-hukum yang khusus yang diambil daripadanya dengan jalan nadhar
ijtihad.
[5]
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), hal 9.
[6] Ali
Sunarso, Islam Praparadigma (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2009 ), 132-133.
[7]
Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 16. Fuqaha tujuh di Madinah ialah:
Said ibn Musaiyab, Abu Bakar ibn Abdur Rahman, Urwah Ibnu Zubar, Sulaiman Ibn
Yassar, Al Qasim Ibn Muhammad, Kharidjah Ibn Zaid dan Ubaidullah Ibn Abdillah.
[8]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2004), hal 1-2.
[10]
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), hal 9-10.
[11]
Ibid,. hal 11-13
[12]
Mustofa, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 9.
[13]
Ayatullah Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushul Fiqh & Ushul Fiqh
Perbandingan (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), 142.
[14]
Ibid,. hal 13.
[15]
Ibid, 144.
[16]
Ibid,. hal 14.
[17]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2004), hal 82.
[18]
Ibid, 146.
[19]
Mustofa, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal
14-15.
[20]
Abdul Djamali, Hukum
Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal 71.
[21]
Ibid, 147-148.
[22]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2004), hal 1-2.
[23]
Drs. H. Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqhi (Islam dalam Berbagai
Mazhab), (Jakarta: Radarjaya Offset, 1993), 15.
[24]
Ibid., 16.
[25]
Ibid., 17.
[26]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2004), hal 5.
[27]
Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 17.
[29]http://blog-pusatbelajar.blogspot.com/2010/06/tujuan-mempelajari-ilmu-fiqhushulul.html
[30]
Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 5.
[31]
Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Predana Media, 2003), hal 2
[32]
Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Predana Media, 2003), hal 3
[33]Ibid.,
47
[34]
Ibid., 68
[35]
Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), 5. Mutaakhirin artinya: golongan yang
muncul sesudah abad 3 Hijriah.
[36]
Ibid., 5.
[37]
Ibid., 6.
[38]
Islam bermakna: damai dan perdamaian, juga bermakna taslim dan inqiyaad, yakni
pasrah diri dan patuh. Makna istilahnya ialah: agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW, yang melengkapi urusan dunia dan akhirat.
[39] Abu
amenah bilal Philips, Asal Ushul dan perkembangan Fiqh, ( Yogyakarta: CV
Pustaka Setia, 2010), hal 2.
makasih . . .
BalasHapusسبحان الله
BalasHapusbahasannya sangat mendasar sekali, kumplit terima kasih makalahnya bagus banget (y) (y) (y) (y) (y)
ijin copas untuk perbandingan.
BalasHapusjazakumullah khoiron