C.H.
Cooley: Konsep Cermin Diri (Looking Glass Self)
Charles
Horton Cooley (1864-1929) menyelesaikan program doktornya di Universitas
Michigan pada 1894. Karir dosennya telah dimulai semenjak sebelum meraih gelar
Ph.D-nya di almamaternya sampai pension. Meski C.H. Cooley mengajar di
Universitas Michigan, namun pemikiran sosiologinya mengikuti aliran Chicago
yang sejalan dengan teori interaksionisme simbolik.
Diri
sebagai sisi khs dari kemanusiaan (Humanness), dibangun secara social;
maksudnya, perasaan mengenai diri kita berkembang melalui interaksi dengan
orang lain. Cooley (1964) mengusulkan konsep Looking Glass Self (cermin
diri) untuk menggambarkan suatu analogi perkembangan diri melalui cermin, di
mana cermin memantulkan apa yang ada didepannya, dari sana seseorang melihat
dirinya: ganteng, cantik, perkasa, dan ramah. Terdapat tiga unsure dalam Looking
Glass Self (cermin diri):
1. Anda membayangkan
bagaimana anda tampak bagi mereka di sekeliling kita. Sebagai contoh, kita
dapat berpikir bahwa orang lain menganggap anda sebagai seorang peramah atau
pemarah.
2. Anda menafsirkan
reaksi orang lain. Anda menarik kesimpulan bagaimana orang lain mengevaluasi
anda. Apakah mereka menyukai anda karena anda seorang peramah?
3. Anda
mengembangkan suatu konsep-diri (self-concept). Cara anda
menginterpretasikan reaksi orang lain terhadap anda memberikan anda perasaan
dan ide mengenai diri anda sendiri. Suatu refleksi diri yang menyenangkan dalam
cerminn diri social ini mengarah pada suatu konsep diri yang positif; suatu
refleksi negative mengarah ke suatu konsep diri negative.
Melakukan
cermin diri tidak berhenti pada suatu masa, misalnya masa dewasa yang dianggap
telah memiliki konsep-diri yang mapan dan tetap; sebaliknya konsep diri
dibangun terus-menerus sepanjang hayat. Dengan demikian, konsep diri menurut
Cooley merupakan produk yang tidak pernah selesai dibentuk, bahkan sampai usia
lanjut.
Bagaimana
relevansi Looking Glass Self (cermin diri) pada proses perkembangan diri
di masyarakat saat ini? Kalau kita cermati apa yang dilakukan oleh para pejabat
public dan politisi yang bersaing meraih kekuasaan pada berbagai tingkatan,
seperti anggota legislatif dan elite eksekutif (pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten dan kota), ternyata mereka mengeksplorasi dan mengintensifkan pemanfaatan
efek cermin cermin diri bagi pencitraan diri menjadi positive sesuai denagn
konstruksi yang diharapkan. Pencitraan diri melibatkan berbagai cara dan teknik
efek citra melalui media sehingga apa yang dikatakan, bagaimana mengatakannya,
dan dalam situasi apa hal ini dikatakan meminta pertimbangan berbagai ahli
(seperti politik, sosiologi, militer, agama, etika, komunikasi, dan psikologi).
Seseorang bias mendapat pencitraan positif karena meraih award
antikorupsi karena diberikan oleh suatu lembaga yang dibuat seolah independen
pada saat sekian bulan menjelang suatu pemilihan, misalnya. Pencitraan positif
ini dikristalkan melalui penyebaran informasi sedemikian rupa melalui berbagai
media massa. Padahal sejatinya, orang ini tidak begitu serius memberantas
korupsi atau melakukan suatu program antikorupsi. Konsekuensi pencitraan
seperti ini rating-nya menjadi naik dimata pemilih. Sehingga pemilih memberikan
suara terbanyak pada kandidat yang memperoleh award antikorupsi ini.
Apakah
cermin diri politik dapat berubah? Dalam kehidupan politik di Indonesia pernah
ada satu partai partai politik yang mencitrakan diri sebagai “partainya wong
cilik”. Pada awalnya pencitraan ini menarik banyak orang untuk memilih partai
ini. Namun pencitraan tersebut memudar di kala pemimpin “partainya wong cilik”
menjadi kepala pemerintahan, yang memiliki otoritas untuk merealisasikan citra
yang melekat pada partainya. Namun sayangnya kebanyakan kebijakan yang dibuat,
menurut pandangan pemilihnya, tidak mencerminkan keberpihakan pada “wong
cilik”. Akibatnya lawannya melesatkan jargon “partainya wong cilik” menjadi
“partainya wong cilik”. Sehingga “partainya wong cilik” yang sebelumnya sebagai
partai pemenang pemilihan umum dikalahkan oleh partai lain pada pemilihan
berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar