BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Mohammad Iqbal
Iqbal dilahirkan di Sialkot-India (suatu kota tua bersejarah di
perbatasan Punjab Barat dan Kashmir) pada tanggal 9 November 1877/2 Dzulqa'dah
1294 dan wafat pada tanggal 21 April 1938. Ia terlahir dari keluarga miskin,
tetapi berkat bantuan beasiswa yang diperlolehnya dari sekolah menengah dan
perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus. Setelah pendidikan
dasarnya selesai di Sialkot ia masuk Government College (sekolah tinggi
pemerintah) Lahore. Iqbal menjadi murid kesayangan dari Sir Thomas Arnold. Iqbal lulus
pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta dua medali emas karena
baiknya bahasa inggris dan arab, dan pada tahun 1909 ia mendapatkan gelar M.A
dalam bidang filsafat.
Ia lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga sejak
masa kecilnya telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh
Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya. Pendidikan dasar sampai tingkat
menengah ia selesaikan di Sialkot untuk kemudian melanjutkan ke Perguruan
Tinggi di Lahore, di Cambridge-Inggris dan terakhir di Munich-Jerman dengan
mengajukan tesis dengan judul The Development Of Metaphysics in Persia.
Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru Besar di Lahore dan
sempat menjadi pengacara.
Adapun karya-karya Iqbal diantaranya adalah: Bang-i-dara (Genta
Lonceng), Payam-i-Mashriq (Pesan Dari Timur), Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia
Diri), Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia Peniadaan Diri), Jawaid Nama (Kitab
Keabadian), Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi Musa), Pas Cheh Bayad Kard Aye
Aqwam-i-Sharq (Apakah Yang Akan Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?), Musafir Nama,
Bal-i-Jibril (Sayap Jibril), Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz), Devlopment
of Metaphyiscs in Persia, Lectures on the Reconstruction of Religius Thought in
Islam Ilm al Iqtishad, , A Contibution to the History of Muslim Philosopy,
Zabur-i-'Ajam (Taman Rahasia Baru), Khusal Khan Khattak, dan Rumuz-i-Bekhudi
(Rahasia Peniadaan Diri).
Sebagai seorang pemikir, tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa
gagasan-gagasannya tersebut tanpa dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya.
Iqbal hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. Pada masa ini pemikiran kaum
muslimin di anak benua India sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh religius
yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi dan Sayyid Ahmad Khan. Syah Ad-Dahlawi adalah
Ahmad bin Abdurrahim bin Wajiduddin bin Mu'azzam bin Ahmad bin Muhammad bin
Qawanuddin al-Dahlan. Ia lahir di Kota dekat Delhi pada tanggal 21 Pebruari
1703 M/ 4 Syawal 1114 H dan wafat pada tanggal 29 Muharram 1176 H/ 10 gustus
1762 dalam usia 61 tahun. Karya tulisnya yang monumental adalah Hujjatullah
al-Balighah. Dan Sayyid Ahmad Khan adalah seorang penulis, pemikir dan aktivis
politik modernis Islam India. Lahir di Delhi tahun 1817 M. Dimasa pemberontakan
tahun 1857 ia berusaha mencegah kekerasan yang karenanya banyak orang-orang
Inggris tertolong dari pembunuhan. Karena jasanya itu Inggris memberikan gelar
kepadanya dengan sebutan Sir. Selanjutnya ia menggunakan kesempatan itu untuk
menjalin hubungan baik dengan Inggris tapi semata-mata untuk kepentingan umat
Islam India, karena baginya dengan jalan itulah umat Islam dapat tertolong. Dan
akhirnya setelah kejadian tahun 1857 itu ia menjalankan tiga proyek besar
yaitu: memprakarsai dialog untuk menciptakan saling pegertian antara kaum
muslim dan Kristen, mendirikan organisasi ilmiah yang membantu kaum muslim
untuk memahami kunci keberhasilan Barat dan menganalisis secara objektif
penyebab pemberontakan 1857. Keduanya adalah sebagai para pemikir muslim
pertama yang menyadari bahwa kaum muslimin tengah menghadapi zaman modern yang
didalamnya pemahaman Islam mendapat tantangan serius dari Inggris. Terlebih
ketika Dinasti Mughal terakhir di India ini mengalami kekalahan saat melawan
Inggris pada tahun 1857, juga sangat mempengaruhi 41 tahun kekuasaan Imperium
Inggris dan bahkan pada tahun 1858 British East India Company dihapus dan Raja
Inggris bertanggungjawab atas pemerintah imperium India.
2.
Pemikiran-Pemikiran Mohammad Iqbal
Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan dalam pengantar buku Metafisika
Iqbal yang ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver, Iqbal memiliki beberapa
pemikiran yang fundamental yaitu intuisi diri, dunia dan Tuhan. Baginya Iqbal
sangat berpengaruh di India bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan
dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.
Namun dalam tataran praktek, Iqbal secara konkrit, yang diketahui
dan difahami oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa literature-literatur
yang beredar luas, justru dia adalah sebagai negarawan, filosof dan sastrawan.
Hal ini tidak sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan
karya-karyanya mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji, pemikiran-pemikirannya
yang fundamental (intuisi, diri, dunia dan Tuhan) itulah yang menggerakkan
dirinya untuk berperan di India pada khususnya dan dibelahan dunia timur
ataupun barat pada umumnya baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan.
Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional.
Dengan latar belakang itu maka dalam makalah ini penulis akan
memaparkan gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal yaitu: pemikirannya tentang
politik dan tentang Islam.
a.
Pemikiran Politik
Sepulangnya dari Eropa, Iqbal kemudian terjun kedunia politik dan
bahkan menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi
anggota legistalif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga
Muslim. Karir Iqbal semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika
dirinya diberi gelar ‘Sir’ oleh pemerintah kerajaan Inggris di London atas
usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal di
bidang intelektual dan politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari kerajaan
inggris atas kemampuan intelektualitas dan memperkuat bargening position
politik perjuangan umat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai
Bapak Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan
sebutan Iqbal Day.
Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia
tunjukkan sejak terpilih menjadi Presidaen Liga Muslimin tahun 1930. Ia
memandang bahwa tidaklah mungkin umat Islam dapat bersatu dengan penuh
persaudaraan dengan warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya
ia berfikir bahwa kaum muslimin harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia
lontarkan keberbagai pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat
dari seorang politikus muslim yang sangat berpengaruh yaitu Muhammad Ali Jinnah
(yang mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan
didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak
saat menghadapi front melawan Inggris. Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya
merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang
akan dibentuk menurutnya adalah salah satu republik itu.
Sebagai seorang negarawan yang matang tentu pandangan-pandangannya
terhadap ancaman luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya
imperialisme, materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani.
Karenanya ia sangat menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa
faktor terpenting bagi reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan
pemahaman seperti itu yang ia landasi diatas ajaran Islam maka ia berjuang
menumbuhkan rasa percaya diri terhadap umat Islam dan identitas keislamannya.
Umat Islam tidak boleh merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara
itu kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu imperialis.
Muhammad Asad mengingatkan bahwa imitasi yang dilakukan umat Islam
kepada Barat baik secara personal maupun
social dikarenakan hilangnya kepercayaan diri, maka pasti akan menghambat dan
menghancurkan peradaban Islam.
Paham Iqbal yang mampu mambangunkan kaum muslimin dari tidurnya
adalah “dinamisme Islam” yaitu dorongannya terhadap umat Islam supaya bergerak
dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah
menciptakan, maka Iqbal menyeeru kepada umat Islam agar bangun dan menciptakan
dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa
seolah-lah orang kafir yang aktif kreatif "lebih baik" dari pada
muslim yang "suka tidur".
Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas yaitu; gigih
menentang nasionalisme yang mengedepankan sentiment etnis dan kesukuan (ras).
Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang
bebas dan jauh dari sentiment nasionalisme.
M. Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul
Structure of Islam, Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan
ungkapannya: “Didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana,
bukanlah dua daerah yang terpisah, dan fitrah suatu perbuatan betapapun
bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya.
Akhir-akhirnya latar belakang ruhani yang tak kentara dari sesuatu perbuatan
itulah yang menentukan watak dan sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan
ialah temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap yang
terlepas dari kompleks kehidupan yang tak terbatas. Dalam agama islam yang
demikian itu adalah seperti yang disebut orang "gereja" kalau dilihat
dari satu sisi dan sebagai "negara" kalau dilihat dari sisi yang lain.
Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara disebut sebagai dua faset atau
dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak
dapat dipecah-pecahkan seperti itu”. Demikian tegas Iqbal berpandangan bahwa
negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak terpisah.
Dengan gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan diri)
inilah Iqbal dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan
yang dialami dewasa ini. Ia kembalikan semangat sebagaimana yang dulu dapat
dirasakan kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kedirian inilah yang
pada akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.
b.
Pemikirannya Tentang Landasan Islam
1)
Pemikiran Tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang
prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa Al-Qur’an adalah benar firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril.
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book
which emphazhise deed rather than idea
(Al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun
dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran Al-Qur’an dapat berkembang
sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan
utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam
hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Al-Qur’an tidak memuatnya secara
detail maka manusialah yang ditutntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah
fiqih hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal sebagai prinsif
gerak dalam struktur Islam. Disamping itu Al-Qur’an memandang bahwa kehidupan
adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun
Al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu,
namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif
untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku
terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap
berjalan di tempatnya.
Satu segi mengenai al-Qur'an yang patut dicatat adalah bahwa ia
sangat menekankan pada aspek Hakikat yang bisa diamati. Tujuan al-Qur'an dalam
pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada
manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah symbol. Iqbal menyatakan hal
ini seraya menyitir beberapa ayat, diantaranya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit
dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.”
(Qs. 30:22)
2)
Perspektif Tentang Al-Hadits
Sejak dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk
dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik
berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa
tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis
mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk
mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.
Iqbal memandang bahwa umat Islam perlu melakukan studi mendalam
terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku
orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar
faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam
sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadits, yaitu
cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan,
cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi
sangat memperhatikan sekali adat
istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada
prinsip-prinsip dasar kehidupan social bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait
oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang
dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip
kemaslahatan, dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu
Hanifah lebih banyak mempergunakan
konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan
berarti hadits-hadits pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan
Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah
wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan
universal hadits daripada koleksi belaka.
3)
Perspektif Tentang Ijtihad
Menurut Iqbal ijtihad adalah “Exert with view to form an independent
judgment on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan
yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadits
maupun Al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping
ijtihad pribadi hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad
kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi
oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang
muncul. Sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazhab). Sebagaimana
mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad kedalam tiga tingkatan yaitu:
*
Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara
praktis hanya terbatas pada pendiri mazhab-mazhab saja.
*
Otoritas relative yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu
dari satu madzhab
*
Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam
kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri
madzhab.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal,
kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama
ahl-al-sunnah tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya
mazhab-mazhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir
tidak mungkun dipenuhi. Sikap ini adalah sangat ganjil dalam suatu system hukum
Al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibatnya ketentuan
ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami
stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum
Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi
kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma hanya menjadi mimpi untuk
mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka
batallah keberlakuan ijma tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin
meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja,
konsekwensinya, hukum Islam pun statis tidak berkembang selama beberapa abad.
BAB III
KESIMPULAN
Iqbal adalah seorang intelektualis asal Pakistan telah melahirkan
pemikiran dan peradaban besar bagi generasi setelahnya . Iqbal merupakan sosok
pemikir multi disiplin. Ia adalah seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum,
filosof, pendidik dan kritikus seni. Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin
itu, tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian
Iqbal. Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang ditemui.
dalam tataran praktek, Iqbal secara konkrit, yang diketahui dan
difahami oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa literature-literatur yang
beredar luas, justru dia adalah sebagai negarawan, filosof dan sastrawan. Hal
ini tidak sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan karya-karyanya
mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji, pemikiran-pemikirannya yang fundamental
(intuisi diri, dunia dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya untuk berperan
di India pada khususnya dan dibelahan dunia timur ataupun barat pada umumnya
baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan. Karena itulah ia disebut sebagai
Tokoh Multidimensional. Mohammad Iqbal memaparkan gagasan-gagasannya dalam
biang politik dan landasan islam.
Pemikiran pendidikannya seperti apa?
BalasHapusmakasih infonya sangat membantu..
BalasHapusInfo sejarah islam yang diketengahkan oleh para pemikir atau oleh para filosofi sangat membantu bagi orang yang cinta ilmu ...
BalasHapusbgus nih admin,,izin share ya
BalasHapusHebat.
BalasHapusDinamisme Islam
Gerak, Cipta.
AlQuran seru..
Kreatif dan Progresif
Hebat.
BalasHapusDinamisme Islam
Gerak, Cipta.
AlQuran seru..
Kreatif dan Progresif
terimakasih atas informasinya :D
BalasHapusThanks buat infonya...
BalasHapus