BAB I
PENDAHULUAN
Berawal dari Aliran teologi Kontemporer merupakan aliran
yang bergerak dalam bidang ekonomi, social dan politik serta benar-benar fokus
dan maju dibidang kajiannya untuk memperjuangkan nasib manusia yang terengut,
bukan aliran telogi negatif yang ditakuti menentang dunia.
Secara praktis
teologi klasik walaupun berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah dan
Sunnah berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, imamah,
khalifah dan perbuatan-perbuatan manusia, ternyata pandangan ini tidak bisa
memberi motivasi tindakan dalam menghadapi kenyataan kehidupan konkrit manusia.
Sebab, format
atau penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai
perbuatan manusia. Karena itu, perlu ada rekonstruksi terhadap teologi Islam
sehingga semangat teologi pembebasan dan teologi lingkungan yang merupakan perintah
ajaran Islam dapat terwujud. Semangat teologi pembebasan belakangan muncul dari
gereja, kalaupun kita terinspirasi darinya itu tidak bertentangan dengan Islam.
Bukankah secara histori Nabi Muhammad SAW adalah orang yang pertama memberikan
contoh, beliau sangat peduli dengan orang tertindas, dan peduli dengan
lingkungan.
Sungguh kepada
umat Islam agar berbuat sesuatu untuk membebaskan saudara kita dari jeratan
yang dilakukan rentenir menghisap darah masyarakat miskin berpenghasilan rendah
dengan pinjaman-pinjaman yang berbunga. Terjunlah ke masyarakat untuk
mengarahkan, membimbing, dan menggerakkan masyarakat miskin untuk berwirausaha
dan bekerja secara mandiri serta memperhatikan, memelihara dan menjaganya bukan
merusakannya, terkutuklah mereka yang berbuat kerusakan di bumi.(Ar-rum: 41):
ظهر الفسادفى البروالبحربماكسبت ايدالناس ليذيقهم بعض الذى
عملوالعلهم يرجعون {الروم:41}
“Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali”.(Q.S.Ar-Rum:41)
Munculnya
gerakan/paham/ aliran dengan keyakinan yang mantap untuk berbuat dan
menerjunkan diri pada tatanan social merupakan deklarasi keimanan yang
diterjemahkan atau dioperasionalkan ke dalam masyarakat. Sekiranya mau
membentangkan catatan sejarah sejak Nabi Muhammad SAW dan dilanjuti oleh
ulama-ulama yang setia tetap eksis melakukan gerakan dan inovasi untuk
mengayomi, melindungi dan mengawasi masyarakat dan lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
Teologi
lingkungan merupakan konsep baru dalam diskursus kajian teologi. Kajian ini
merupakan respon penyikapan secara teologis terkait dengan persoalan
lingkungan. Dalam diskursus akademisi teologi muslim klasik, kajian mengenai
teologi lingkungan belum mendapat porsi. Akademisi muslim klasik masih berkutat
dalam diskursus teologi yang memfokuskan pada kajian mengenai ‘Tuhan’. Kajian
pada fase akademisi teologi pertengahan sudah mulai berkembang, namun belum
menyentuh persoalan lingkungan. Hal ini dikarenakan persolan lingkungan pada
fase itu belumlah menimbulkan persoalan. Namun dimasa kontemporer, persoalan
lingkungan sudah begitu memprihatinkan, sehingga membutuhkan respon yang serius
dari berbagai kalangan, termasuk didalamnya adalah para akdemisi teologi.
Dalam diskursus teologi lingkungan, Islam bukanlah
satu-satu agama yang mencoba merumuskan konsep teologinya terkait dengan
lingkungan. Namun kajian teologi lingkungan juga dikembangkan oleh para
agama-agama lainnya. Dengan kata lain, persoalan lingkungan hidup merupakan
problem dan memunculkan keprihatinan bagi semua agama. Berlandaskan hal
tersebut, para akademisi berusaha menelaah khazanah literaturnya untuk
merumuskan konsep teologinya untuk merespon krisis-krisis lingkungan yang
semakin parah.
Namun selain adanya realitas lingkungan kontemporer
yang semakin rusak, munculnya kajian teologi lingkungan juga didorong oleh
adanya kritik-kritik yang menjustifikasi bahwa agama-agama –khususnya
monoteisme- harus bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan. Arnold Toynbee
misalnya, menyatakan bahwa krisis lingkungan hidup disebabkan oleh agama-agama
monoteisme yang menghilangkan rasa hormat terhadap alam ilahi, sehingga tidak
ada lagi yang menahan ketamakan manusia (Martin, 2001: xv). Kenyataan ini
tentunya memicu para teolog untuk merespon kritik tersebut dengan memberikan
pemahaman yang proposional mengenai konsep teologi agama-agama.
Antroposentrisme Paradigma Manusia
Dalam masyarakat, teologi yang berkembang dan dianut
lebih condong kepada antropsentrisme. Paradigma ini ditandai dengan muncul dan
melonjaknya kesadaran bahwa manusia merupakan makhluk istimewa dan berkuasa
atas alam. Dengan kata lain, paradigma ini mengacu pada keyakinan bahwa manusia
merupakan makhluk elite, exlusive, dan segenap oganisme di luar manusia
diciptakan dan disediakan untuk kepentingan dan kebutuhan manusia. Dari hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa paradigma antroposentrisme merupakan ekologi
arogan yang mana memposisikan lingkungan sebagai nilai untung bagi manusia. Hal
inilah yang kemudian memberi jalan kepada manusia terjerusmus dalam keangkuhan,
kesombongan, dan tamak terhadap lingkungan. Lingkungan dieksploitasi seenaknya
demi kepentingan manusia tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Dapat ditebak,
dengan perilaku ini otomatis lingkungan menjad rusak, tercemar, dan
memprihatinkan.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang memiliki
paradigma antroposentrisme juga semakin membuat manusia semakin mengukuhkan
dominasinya atas alam. Hal ini dikarena ilmu dan teknologi yang diciptakan
merupakan alat untuk mengekploitasi lingkungan dan sumberdaya alam demi
memenuhi ambisi kebutuhan manusia. Lingkungan direkayasa sedemikian rupa tanpa
memperhatikan aspek negatif yang muncul. Implikasinya tentu saja membuat
lingkungan menjadi tidak seimbangan serta merusak ekosistem yang ada. Sebagai
misal adalah pemakaian bahan kimia yang satu segi meningkatkan produktifitas,
namun dalam segi yang lain menimbulkan pencemaran dan merusak ekosistem. Namun
bagi masyarakat berparadigma antroposentisme, hal tersebut tetap dilakukan,
karena titik tolak nilai yang dikejar adalah keuntungan bagi manusia.
Pandangan
Islam tentang Lingkungan
Teologi
lingkungan adalah tuntutan kesadaran beragama yang memiliki keterlibatan dan
keberpihakan penuh kepada lingkungan yang bertujuan dan berperan untuk
mendekonstruksi, menguji kembali sikap hidup dan tingkah laku kita terhadap
alam. Baik itu meliputi alam (Thabi’ah) diciptakan Allah seperti bintang,
matahari, bumi dan sebagainya, serta begitu juga alam industri (shina’iyah)
yang diciptakan manusia seperti rumah, pohon yang ditanam dan lain-lain
Dari penjelasan
di atas bahwa teologi lingkungan merupakan tuntutan dengan penuh kesadaran
kepada lingkungan baik meliputi alam ciptaan Allah swt dan alam yang dibuat
oleh manusia untuk dijaga dan jangan dirusak, atau dengan kata lain bagaimana
kita berkhlak kepada alam sesuai dengan tuntutan agama. Hal ini senada dengan
apa yang diungkapkan Harun Nasution, sebagaimana dikutip Tsuroya Kiswati, bahwa
alam merupakan ciptaan Allah SWT yang tidak bisa diabaikan. Visi dan misi
seorang berteologi harus sampai pada aspek keselamatan yang bersifat universal,
karena seluruh alam luas ini akan menjadi rahmat bagi manusia tidak ada yang
sia-sia.
1. Peran Manusia Terhadap Lingkungan
Manusia
memiliki peranan yang amat penting dalam pemeliharaan lingkungan. Sebagaimana
dikutip Yusuf al-Qaradhawi dalam Araghib al-Asfahani bahwa, ada tiga tujuan
manusia berperan terhadap lingkungan :
Pertama: Untuk mengabdi pada Allah swt,
(Adz-Dzariyat: 56):
ماخلقت الجنّ
والانس الاّليعبدون {الذّاريات:56}
“Dan Aku tidak menciptakn jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembahku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ibadah ini
meliputi seala sesuatu yang disenangi Allah swt dan diridhai-Nya baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Maka dalam konteks ini sebenarnya bentuk ibadah
mencakup semua aspek kehidupan.
Kedua: Sebagai wakil (Khalifah) Allah SWT di
atas bumi. Allah berfirman (Al-baqarah: 30):
واذقال
ربك انّى جاعل فى الاض خليفة قالوااتجعل فيها من يفسد فيهاويسفك الدّماء ونحن
نسبّح بحمدك ونقدّسلك قال انّى اعلم ماالاتعلمون {البقرة:30}
“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Kata mereka, "Kenapa
hendak Engkau jadikan di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah padahal kami selalu bertasbih dengan memuji-Mu dan
menyucikan-Mu Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui".( Al-baqarah: 30)
supaya praktik
kekhalifahan ini terwujud, mereka dituntut untuk menegakan kebenaran dan
keadilan, serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan. Ketiga:
Membangun peradaban dimuka bumi.
Dalam salah satu firmanNya (Hud: 61):
والى
ثموداخاهم صالحا قال ياقوم اعبدواالله مالكم من اله غيره هوانشاكم من الارض
واستعمركم فيهافاستغفروه ثمّ توبوااليه انّربّى قريب مجيب {هود:61}
“ Dia telah menciptakan kamu dari bumi
dan menjadi pemakmurnya”. Arti menjadi pemakmur di sini mengandung pesan pada
manusia untuk membangunnya.” (QS.Hud: 61)
Memperhatikan
pendapat dan diperkuat oleh firman Allah swt di atas, maka manusia mempunyai
beban dan bertanggung jawab untuk membangun agar bumi bisa sempurna lewat cara
menanam, membangun, memperbaiki dan menghidup, serta menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang merusak.
Manusia
melakukan tindakan kesalahan pengelolaan dalam interaksinya dengan berbagai
komponen alam dan sumberdaya dalam suatu ekosistem, maka akan terjadi
pencemaran, krisis lingkungan, degradasi mutu lingkungan dan bahkan bencana alam.
Menurut Gail Omvedt sebagaimana dikutip Amaladoss menyebutkan, merusak
lingkungan merupakan kemerosotan dan berdampak buruk pada kualitas diri
sendiri. Dan orang yang mengeksploitasi alam secara rakus dan merusak berarti
ia berusaha merampas eksistensi dan kehidupan alam semesta serta berusaha
menggugat dan merampas hak dan kekuasaan Tuhan. Oleh karenanya sebagai orang
beriman maka ia mesti mereflleksikan atau mempraktikkan teologi lingkungan
dalam proses menuju keselamatan seluruh ciptaan Tuhan.
Menurut Yusuf Qardhawi ada beberapa
factor-faktor merusak lingkungan :
1. Mengubah ciptaan Allah.
Mengubah sunnah
Allah merupakan salah satu pengrusak lingkungan yang sangat berbahaya , yang
akan melampai batas-batas asli penciptaanNya, yang disediakan bagi kemaslahatan
manusia. Mengubah di sini maksudnya yaitu mengubah fitrah manusia yang telah
diciptakan Allah sesuai dengan fitrahnya, dan setan akan berupaya menggoda
manusia merusak (an-Nahl: 119):
ثمّ
انّ ربّك للّذين عملو السّوء بجهالة ثمّ تابوامن بعدذالك واصلحوا انّ ربّك من
بعدها لغفور رحيم {النحل:119}
“Kemudian sesungguhnya
Rabbmu terhadap orang-orang yang mengerjakan keburukan karena kebodohannya
kemudian mereka bertobat sesudah itu dan memperbaiki dirinya sesungguhnya
Rabbmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.an-Nahl:
119)
2. Kezaliman
Kezaliman
merupakan perusakan di laut dan darat dan ini merupakan pengrusakan yang paling
berbahaya, baik kepada manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda padat, tanah,
air, udara dan lain-lain. Sesungguhnya kezaliman dan kejahatan adalah perbuatan
yang dibenci oleh Allah.
Dan Allah akan membalas perbuatan zalim (an- Naml: 52), (al-Kahfi: 59), (Yunus:
23) dan (Hud: 117). Orang baik berbuat kebajikan tidak akan dihancurkan oleh
Allah meskipun tidak beragama Islam. Karena perbuatan baik untuk merka sendiri
dan Allah menunda hukuman sampai kiamat. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu
Taimiyah, “ Sesungguhnya Allah akan membiarakan Negara kafir apabila berlaku
adil dan akan memusnahkan Negara Islam yang banyak terjadi kezaliman di
dalamnya” dengan kata lain, orang zalim tidak akan bermanfaat Islamnya jika ia
berlaku zalim terhadap makhluk Allah lainnya
3. Berjalan sombong di muka bumi,
(lihat,al-qoshos: 41)
وجعلناهم
ائمّة يدعون الى النّار ويوم القيمة لا ينصرون{القصص:41}
“Dan Kami jadikan mereka
pemimpin-pemimpin yang menyeru ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan
ditolong”.
(QS.al-qoshos: 41)
4. Menuruti hawa nafsu
Bila manusia
ditundukkan oleh hawa nafsu dan mementingkan kepuasan syahwat serta hasrat
dunia, mendahulukan hawa nafsu daripada akalnya maka kerusakanpun terjadi,
bahkan akan dibinasakan oleh Allah (al-Mukminun: 71)
ولوالتّبع
الحقّ اهواء هم لفسدت السّموات والارض ومن فيهنّ بل اتينهم بذكرهم فهم عن ذكر
ربّهم معرضون{المؤمنون:71}
“Andaikata kebenaran itu
menuruti hawa nafsu mereka pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada
di dalamnya.Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka
tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS.al-Mukminun: 71)
5. Penyimpangan dari keseimbangan kosmos
Allah telah
menciptakan sesuatu sesuai dengan ukurannya lalu diletaknya sesuatu dengan
segala perhitungan (Ar-Ra’du: 8), (al-hijr:19), (ar-Rahman: 5-9), ayat ini
mengisyarat pada keseimbangan kosmos. Kerusakan yang terjadi di muka bumi
disebabkan oleh tangan manusia.(Ar-rum: 41), bila ini terjadi kemerosotan
lingkungan berdampak buruk pada proses kita sendiri.
6. Kufur terhadap nikmat Allah
Manusia yang
lupa mensyukuri dan memelihara dan menyalah gunakan melanngar aturan Allah oran
itu dikatakan kufur nikmat yang akhirnya menyebabkan hilangnya nikmat tersebut.
Pelakunya akan mendapat hukuman dari Allah, banyak ayat tentang membicarakan
tentang kufur nikmat akan mendapat kesensaraan dan juga membuat kerusakan diantaranya:
(Ibrahim: 7, Al-Ahzab: 182, Ali-Imran: dan an-Naml: 112 dan Ibrahim: 28).
2. Pandangan ahli tentang kewajiban memelihara
lingkungan
Pandangan
kalangan Ilmu Ushuluddin menyatakan semua ciptaan baik makhluk hidup atau mati,
semua itu makhluk bersujud kepada Allah SWT, termasuk kedalam golongan manusia,
diciptakan, (An-Nahl: 3-8). Ia ikut bersama manusia dalam kafasitasnya memuji
pada Allah, menaati perintahNya dan patuh terhadap semua hukum yang berlaku
bagi semua makhluk (Al-Hasyr: 1, at-Taghabun:1 dan al-Isra’: 44) Akan tetapi
karena manusia berikrar menyanggupi memikul amanat (al-Ahzab:72), berarti
manusia itu menerima amanat kekhilafahan Allah Swt di muka bumi, (al-Baqarah:
30, al-An’am: 165).
Khalifah
berarti wakil/pengganti. Dalam konteks ini manusia adalah wakil Allah Swt yang
memiliki kewajiban moral menjabarkan segala kehendak Allah Swt di muka bumi ini
agar bumi tetap dalam kondisi nature-nya (QS. Hud: 61)sebagai
pengayom/memelihara alam ini.
والى
ثموداخاهم صالحا قال ياقوم اعبدواالله مالكم من اله غيره هوانشاكم من الارض
واستعمركم فيهافاستغفروه ثمّ توبوااليه انّربّى قريب مجيب {هود:61}
“Dan kepada Tsamud saudara
mereka Saleh. Saleh berkata, "Hai kaumku! Sembahlah Allah sekali-kali
tidak ada bagi kalian Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi
dan menjadikan kalian pemakmurnya karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian
bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat dekat lagi memperkenankan”.(QS. Hud: 61)
Sedangkan kalangan Ilmu Fiqih menyatakan, sesuai dengan ilmu fiqh yang
mengatur hubungan manusia dengan TuhanNya, sesamanya dan lingkungan.
Menyebutkan Perhatian terhadap lingkungan, mengatur dan memeliharanya adalah
wajib. Di antara kaedah-kaedah yang keras tentang menjaga lingkungan berbunyi,
“ Keadaan darurat tidak boleh dijadikan alasan untuk menganggu hak-hak yang
lain” (al-idhtiror la yabthil haqqa al-ghair), ini merupakan prinsip yang
dipakai untuk menetapkan hukum yang berkaitan dengan pemeliharaan dan
kelestariaan lingkungan.Tokohnya yang berkutat adalah, As-Syuyuthi yang
bermazhab Syafi’i dan Ibnu Najim bermazhab Hanafi.
Dari kaedah diatas, kita bisa menetapkan hukum zaman sekarang, terutama
terhadap mereka yang sering menganggu ketertiban lingkungan, dan melampau
batas, seperti dilakukan oleh Industri-industri, Perusahaan yang tidak peduli
dampak yang menimpa masyarakat, mereka ini jelas salah dan menciptakan
malapetaka bagi orang umum. Mereka di ibaratkan ”seperti kaum yang
mendayung perahu yang kemudian saling menabrak mereka yang di atas dan dibawah.
Mereka di bawah apabila minum dari air akan berjalan di atasnya. Lalu mereka
berkata kami buat lubang di bawah pasti tidak akan menyusahkan yang di atas,
sekiranya yang di atas membiarkan mereka di bawah, maka semuanya mati tetapi
jika mereka mencegahnya maka semuanya selamat” (HR. Buchori).
Kemudian dari
kalangan Ushul fiqih, orang yang pertama kali meletakan pondasi terhadap
bangunan yang membahas kepentingan masyarakat, Abu Hamid Al-Ghazali dengan
bukunya “al-Mustashfanim ilm ushul”, setelah itu Izuddin dengan bukunya “Qawaid
al-Ahkafi fi Mashalihil al-Anam” yang memuat tentang kaidah hukum bagi
kemaslahatan manusia. Semua syariat mengandung unsur maslahat, baik yang
mempunyai orientasi menjaga dari unsure-unsur bahaya serta melaksanakan makruf
dan menghidari kejahatan.
Upaya perbaikan
lingkungan dan pemeliharaan dapat dilakukan denga dua pijakan: 1. Metode
solutif dan positif atau metode eksestensi menrurut istilah Asy-Syatibi 2.
Metode pragmatis atau negative. Dua kerangka inilah dalam bukunya
“Pemeliharaan” yang tersirat kata “ perlindungan” dalam aplikasinya mencakup perlindungan
terhadap keberadaannya dan sisi penjagaan dari kepunahannya. Pemeliharaan
lingkungan berarti:1. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga agama. 2. Menjaga
lingkungan sama dengan menjaga jiwa. 3. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga
keturunan. 5. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga akal. 6. Menjaga
lingkungan sama dengan menjaga harta.
Dari paparan
teologi lingkungan di atas, kalau kita tarik benang merahnya berarti jelaslah
bahwa manusia dituntut menjaga dan memelihara lingkungan baik itu meliputi alam
(Thabi’ah) diciptakan Allah seperti manusia, bintang, laut, matahari, bulan,
bumi, tambang, mineral dan sebagainya, serta begitu juga alam industri
(shina’iyah) yang diciptakan manusia seperti bangunan-bangunan, hasil karya,
pohon yang ditanam dan lain-lain. Dan perlu dipahami kewajiban menjaga,
memelihara dan menggunakan atau mengelola serta mengayomi lingkungan dengan
baik bukan tuntutan dari norma adat dan negara akan tetapi merupakan perintah
dari Allah SWT (Lihat wahyu).
Teologi Lingkungan Islam
Dalam diskursus keislaman, istilah teologi biasanya
diistilahkan dengan ilmu tauhid, ilmu kalam, dan ilmi ushuluddin. Istilah ilmu
tauhid dikarena obyek kajian ilmu membahas mengenai keyakinan bahwa Allah itu
Maha Esa. Hal ini dikarenakan keesaan Allah merupakan pokok sistem keyakinan
Islam sebagai agama monoteisme. Adapun istilah ilmu kalam dikarenakan kajian
ilmu ini membahas mengenai firman Allah yang termanifertasikan dalam kitab suci
Al-Qur’an. Hal ini tercatat dalam sejarah Islam bahwa persoalan al-Qur’an
sebagai kalamullah -apakah qadim atau hadits?- pernah
menimbulkan polemik, dan berdarah-darah dikalangan umat Islam. Sedangkan
istilah ushuluddin muncul dikarenakan ilmu ini membahas mengenai dasar-dasar
ajaran agama Islam.
Secara konseptual, bila dihubungkan dengan kajian keislaman, maka teologi
lingkungan Islam merupakan teologi yang obyek material kajiannya adalah bidang
lingkungan dan perumusannya didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Dengan
bahasa yang lain, teologi lingkungan juga bermakna ilmu yang membahas tentang
ajaran-ajaran Islam mengenai lingkungan.
Teologi lingkungan Islam secara konseptual berbeda
dengan teologi antroposentrisme radikal yang menempatkan manusia dalam posisi
paling berkuasa atas lingkungan (Mujiono, 2006: 291). Dalam hal ini, teologi
lingkungan Islam menempatkan manusia dalam posisi yang proposional dan seimbang
dengan alam. Konstruksi ini otomatis menempatkan manusia sebagai bagaian
integral dari lingkungan.
Landasan teologi lingkungan Islam didasarkan pada
rumusan al-Qur’an antara lain adalah Q.S. Ar-Rahman: 10 dan Q.S. Al-Baqarah:
29. Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa lingkungan diciptakan dan untuk
didayagunakan oleh manusia. Dari ayat tersebut dapat ditarik makna secara
teologis bahwa Allah telah menciptakan sumber daya alam dan lingkungan untuk
didayagunakan oleh manusia. Keyword dari ayat tersebut adalah pada kata lam.
Secara semantik, lam tersebut memiliki arti hak memanfaatkan (lam
lit-tanfi’) bukan lam yang bermakna memiliki (lam lit-tamlik)
(Mujiono, 2006: 291). Dengan demikian, pada dasarnya manusia diberi hak dan
kewenangan untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Namun hal
tersebut diberi aturan dengan batas-batas keseimbangan dan kewajaran, karena di
ayat-ayat yang lain manusia juga diingatkan supaya tidak berbuat kerusakan
terhadap lingkungan. Dari landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa teologi
Islam mendasarkan pada paradigma keseimbangan, bukan pada paradigma
antroposentrisme radikal. Hal ini juga didasarkan pada keyakinan dalam teologi
Islam bahwa pemilik hakiki alam semesta adalah Allah.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan
diatas dapat disimpulkan bahwa embrio dari teologi lingkungan ini ialah
keberadaan teologi islam klasik yang dinilai kurang mengikuti dinamika
perubahan, oleh karena itu diperlukan hasil pemikiran baru yang mampu mengatasi
persoalan-persoalan kemanusiaan. Dari paparan teologi lingkungan di atas, kalau kita tarik benang
merahnya berarti jelaslah bahwa manusia dituntut menjaga dan memelihara
lingkungan baik itu meliputi alam (Thabi’ah) diciptakan Allah seperti manusia,
bintang, laut, matahari, bulan, bumi, tambang, mineral dan sebagainya, serta
begitu juga alam industri (shina’iyah) yang diciptakan manusia seperti bangunan-bangunan,
hasil karya, pohon yang ditanam dan lain-lain. Dan perlu dipahami kewajiban
menjaga, memelihara dan menggunakan atau mengelola serta mengayomi lingkungan
dengan baik bukan tuntutan dari norma adat dan negara akan tetapi merupakan
perintah dari Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar