Minggu, 16 November 2014

Teologi Lingkungan



BAB I
PENDAHULUAN
Berawal dari Aliran teologi Kontemporer merupakan aliran yang bergerak dalam bidang ekonomi, social dan politik serta benar-benar fokus dan maju dibidang kajiannya untuk memperjuangkan nasib manusia yang terengut, bukan aliran telogi negatif yang ditakuti menentang dunia.
Secara praktis teologi klasik walaupun berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah dan Sunnah berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, imamah, khalifah dan perbuatan-perbuatan manusia, ternyata pandangan ini tidak bisa memberi motivasi tindakan dalam menghadapi kenyataan kehidupan konkrit manusia.
Sebab, format atau penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Karena itu, perlu ada rekonstruksi terhadap teologi Islam sehingga semangat teologi pembebasan dan teologi lingkungan yang merupakan perintah ajaran Islam dapat terwujud. Semangat teologi pembebasan belakangan muncul dari gereja, kalaupun kita terinspirasi darinya itu tidak bertentangan dengan Islam. Bukankah secara histori Nabi Muhammad SAW adalah orang yang pertama memberikan contoh, beliau sangat peduli dengan orang tertindas, dan peduli dengan lingkungan.
Sungguh kepada umat Islam agar berbuat sesuatu untuk membebaskan saudara kita dari jeratan yang dilakukan rentenir menghisap darah masyarakat miskin berpenghasilan rendah dengan pinjaman-pinjaman yang berbunga. Terjunlah ke masyarakat untuk mengarahkan, membimbing, dan menggerakkan masyarakat miskin untuk berwirausaha dan bekerja secara mandiri serta memperhatikan, memelihara dan menjaganya bukan merusakannya, terkutuklah mereka yang berbuat kerusakan di bumi.(Ar-rum: 41):
ظهر الفسادفى البروالبحربماكسبت ايدالناس ليذيقهم بعض الذى عملوالعلهم يرجعون {الروم:41}

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali”.(Q.S.Ar-Rum:41)
 Munculnya gerakan/paham/ aliran dengan keyakinan yang mantap untuk berbuat dan menerjunkan diri pada tatanan social merupakan deklarasi keimanan yang diterjemahkan atau dioperasionalkan ke dalam masyarakat. Sekiranya mau membentangkan catatan sejarah sejak Nabi Muhammad SAW dan dilanjuti oleh ulama-ulama yang setia tetap eksis melakukan gerakan dan inovasi untuk mengayomi, melindungi dan mengawasi masyarakat dan lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN

Teologi lingkungan merupakan konsep baru dalam diskursus kajian teologi. Kajian ini merupakan respon penyikapan secara teologis terkait dengan persoalan lingkungan. Dalam diskursus akademisi teologi muslim klasik, kajian mengenai teologi lingkungan belum mendapat porsi. Akademisi muslim klasik masih berkutat dalam diskursus teologi yang memfokuskan pada kajian mengenai ‘Tuhan’. Kajian pada fase akademisi teologi pertengahan sudah mulai berkembang, namun belum menyentuh persoalan lingkungan. Hal ini dikarenakan persolan lingkungan pada fase itu belumlah menimbulkan persoalan. Namun dimasa kontemporer, persoalan lingkungan sudah begitu memprihatinkan, sehingga membutuhkan respon yang serius dari berbagai kalangan, termasuk didalamnya adalah para akdemisi teologi.
            Dalam diskursus teologi lingkungan, Islam bukanlah satu-satu agama yang mencoba merumuskan konsep teologinya terkait dengan lingkungan. Namun kajian teologi lingkungan juga dikembangkan oleh para agama-agama lainnya. Dengan kata lain, persoalan lingkungan hidup merupakan problem dan memunculkan keprihatinan bagi semua agama. Berlandaskan hal tersebut, para akademisi berusaha menelaah khazanah literaturnya untuk merumuskan konsep teologinya untuk merespon krisis-krisis lingkungan yang semakin parah.
            Namun selain adanya realitas lingkungan kontemporer yang semakin rusak, munculnya kajian teologi lingkungan juga didorong oleh adanya kritik-kritik yang menjustifikasi bahwa agama-agama –khususnya monoteisme- harus bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan. Arnold Toynbee misalnya, menyatakan bahwa krisis lingkungan hidup disebabkan oleh agama-agama monoteisme yang menghilangkan rasa hormat terhadap alam ilahi, sehingga tidak ada lagi yang menahan ketamakan manusia (Martin, 2001: xv). Kenyataan ini tentunya memicu para teolog untuk merespon kritik tersebut dengan memberikan pemahaman yang proposional mengenai konsep teologi agama-agama.
Antroposentrisme Paradigma Manusia
            Dalam masyarakat, teologi yang berkembang dan dianut lebih condong kepada antropsentrisme. Paradigma ini ditandai dengan muncul dan melonjaknya kesadaran bahwa manusia merupakan makhluk istimewa dan berkuasa atas alam. Dengan kata lain, paradigma ini mengacu pada keyakinan bahwa manusia merupakan makhluk elite, exlusive, dan segenap oganisme di luar manusia diciptakan dan disediakan untuk kepentingan dan kebutuhan manusia. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa paradigma antroposentrisme merupakan ekologi arogan yang mana memposisikan lingkungan sebagai nilai untung bagi manusia. Hal inilah yang kemudian memberi jalan kepada manusia terjerusmus dalam keangkuhan, kesombongan, dan tamak terhadap lingkungan. Lingkungan dieksploitasi seenaknya demi kepentingan manusia tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Dapat ditebak, dengan perilaku ini otomatis lingkungan menjad rusak, tercemar, dan memprihatinkan.
            Perkembangan ilmu dan teknologi yang memiliki paradigma antroposentrisme juga semakin membuat manusia semakin mengukuhkan dominasinya atas alam. Hal ini dikarena ilmu dan teknologi yang diciptakan merupakan alat untuk mengekploitasi lingkungan dan sumberdaya alam demi memenuhi ambisi kebutuhan manusia. Lingkungan direkayasa sedemikian rupa tanpa memperhatikan aspek negatif yang muncul. Implikasinya tentu saja membuat lingkungan menjadi tidak seimbangan serta merusak ekosistem yang ada. Sebagai misal adalah pemakaian bahan kimia yang satu segi meningkatkan produktifitas, namun dalam segi yang lain menimbulkan pencemaran dan merusak ekosistem. Namun bagi masyarakat berparadigma antroposentisme, hal tersebut tetap dilakukan, karena titik tolak nilai yang dikejar adalah keuntungan bagi manusia.
Pandangan Islam tentang Lingkungan
Teologi lingkungan adalah tuntutan kesadaran beragama yang memiliki keterlibatan dan keberpihakan penuh kepada lingkungan yang bertujuan dan berperan untuk mendekonstruksi, menguji kembali sikap hidup dan tingkah laku kita terhadap alam. Baik itu meliputi alam (Thabi’ah) diciptakan Allah seperti bintang, matahari, bumi dan sebagainya, serta begitu juga alam industri (shina’iyah) yang diciptakan manusia seperti rumah, pohon yang ditanam dan lain-lain
Dari penjelasan di atas bahwa teologi lingkungan merupakan tuntutan dengan penuh kesadaran kepada lingkungan baik meliputi alam ciptaan Allah swt dan alam yang dibuat oleh manusia untuk dijaga dan jangan dirusak, atau dengan kata lain bagaimana kita berkhlak kepada alam sesuai dengan tuntutan agama. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Harun Nasution, sebagaimana dikutip Tsuroya Kiswati, bahwa alam merupakan ciptaan Allah SWT yang tidak bisa diabaikan. Visi dan misi seorang berteologi harus sampai pada aspek keselamatan yang bersifat universal, karena seluruh alam luas ini akan menjadi rahmat bagi manusia tidak ada yang sia-sia.
1.      Peran Manusia Terhadap Lingkungan
Manusia memiliki peranan yang amat penting dalam pemeliharaan lingkungan. Sebagaimana dikutip Yusuf al-Qaradhawi dalam Araghib al-Asfahani bahwa, ada tiga tujuan manusia berperan terhadap lingkungan :
Pertama: Untuk mengabdi pada Allah swt, (Adz-Dzariyat: 56):
ماخلقت الجنّ والانس الاّليعبدون {الذّاريات:56}

Dan Aku tidak menciptakn jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ibadah ini meliputi seala sesuatu yang disenangi Allah swt dan diridhai-Nya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Maka dalam konteks ini sebenarnya bentuk ibadah mencakup semua aspek kehidupan.
Kedua: Sebagai wakil (Khalifah) Allah SWT di atas bumi. Allah berfirman (Al-baqarah: 30):
واذقال ربك انّى جاعل فى الاض خليفة قالوااتجعل فيها من يفسد فيهاويسفك الدّماء ونحن نسبّح بحمدك ونقدّسلك قال انّى اعلم ماالاتعلمون {البقرة:30}

Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Kata mereka, "Kenapa hendak Engkau jadikan di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah padahal kami selalu bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".( Al-baqarah: 30)
 supaya praktik kekhalifahan ini terwujud, mereka dituntut untuk menegakan kebenaran dan keadilan, serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan. Ketiga: Membangun peradaban dimuka bumi.
 Dalam salah satu firmanNya (Hud: 61):
والى ثموداخاهم صالحا قال ياقوم اعبدواالله مالكم من اله غيره هوانشاكم من الارض واستعمركم فيهافاستغفروه ثمّ توبوااليه انّربّى قريب مجيب {هود:61}
 “ Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadi pemakmurnya”. Arti menjadi pemakmur di sini mengandung pesan pada manusia untuk membangunnya.” (QS.Hud: 61)
Memperhatikan pendapat dan diperkuat oleh firman Allah swt di atas, maka manusia mempunyai beban dan bertanggung jawab untuk membangun agar bumi bisa sempurna lewat cara menanam, membangun, memperbaiki dan menghidup, serta menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merusak.
Manusia melakukan tindakan kesalahan pengelolaan dalam interaksinya dengan berbagai komponen alam dan sumberdaya dalam suatu ekosistem, maka akan terjadi pencemaran, krisis lingkungan, degradasi mutu lingkungan dan bahkan bencana alam. Menurut Gail Omvedt sebagaimana dikutip Amaladoss menyebutkan, merusak lingkungan merupakan kemerosotan dan berdampak buruk pada kualitas diri sendiri. Dan orang yang mengeksploitasi alam secara rakus dan merusak berarti ia berusaha merampas eksistensi dan kehidupan alam semesta serta berusaha menggugat dan merampas hak dan kekuasaan Tuhan. Oleh karenanya sebagai orang beriman maka ia mesti mereflleksikan atau mempraktikkan teologi lingkungan dalam proses menuju keselamatan seluruh ciptaan Tuhan.
Menurut Yusuf Qardhawi ada beberapa factor-faktor merusak lingkungan :
1. Mengubah ciptaan Allah.

Mengubah sunnah Allah merupakan salah satu pengrusak lingkungan yang sangat berbahaya , yang akan melampai batas-batas asli penciptaanNya, yang disediakan bagi kemaslahatan manusia. Mengubah di sini maksudnya yaitu mengubah fitrah manusia yang telah diciptakan Allah sesuai dengan fitrahnya, dan setan akan berupaya menggoda manusia merusak (an-Nahl: 119):
ثمّ انّ ربّك للّذين عملو السّوء بجهالة ثمّ تابوامن بعدذالك واصلحوا انّ ربّك من بعدها لغفور رحيم {النحل:119}
Kemudian sesungguhnya Rabbmu terhadap orang-orang yang mengerjakan keburukan karena kebodohannya kemudian mereka bertobat sesudah itu dan memperbaiki dirinya sesungguhnya Rabbmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.an-Nahl: 119)
2. Kezaliman

Kezaliman merupakan perusakan di laut dan darat dan ini merupakan pengrusakan yang paling berbahaya, baik kepada manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda padat, tanah, air, udara dan lain-lain. Sesungguhnya kezaliman dan kejahatan adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah.
            Dan Allah akan membalas perbuatan zalim (an- Naml: 52), (al-Kahfi: 59), (Yunus: 23) dan (Hud: 117). Orang baik berbuat kebajikan tidak akan dihancurkan oleh Allah meskipun tidak beragama Islam. Karena perbuatan baik untuk merka sendiri dan Allah menunda hukuman sampai kiamat. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Taimiyah, “ Sesungguhnya Allah akan membiarakan Negara kafir apabila berlaku adil dan akan memusnahkan Negara Islam yang banyak terjadi kezaliman di dalamnya” dengan kata lain, orang zalim tidak akan bermanfaat Islamnya jika ia berlaku zalim terhadap makhluk Allah lainnya
3. Berjalan sombong di muka bumi, (lihat,al-qoshos: 41)

وجعلناهم ائمّة يدعون الى النّار ويوم القيمة لا ينصرون{القصص:41}
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”. (QS.al-qoshos: 41)
4. Menuruti hawa nafsu

Bila manusia ditundukkan oleh hawa nafsu dan mementingkan kepuasan syahwat serta hasrat dunia, mendahulukan hawa nafsu daripada akalnya maka kerusakanpun terjadi, bahkan akan dibinasakan oleh Allah (al-Mukminun: 71)
ولوالتّبع الحقّ اهواء هم لفسدت السّموات والارض ومن فيهنّ بل اتينهم بذكرهم فهم عن ذكر ربّهم معرضون{المؤمنون:71}
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya.Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS.al-Mukminun: 71)
5. Penyimpangan dari keseimbangan kosmos

Allah telah menciptakan sesuatu sesuai dengan ukurannya lalu diletaknya sesuatu dengan segala perhitungan (Ar-Ra’du: 8), (al-hijr:19), (ar-Rahman: 5-9), ayat ini mengisyarat pada keseimbangan kosmos. Kerusakan yang terjadi di muka bumi disebabkan oleh tangan manusia.(Ar-rum: 41), bila ini terjadi kemerosotan lingkungan berdampak buruk pada proses kita sendiri.
6. Kufur terhadap nikmat Allah

Manusia yang lupa mensyukuri dan memelihara dan menyalah gunakan melanngar aturan Allah oran itu dikatakan kufur nikmat yang akhirnya menyebabkan hilangnya nikmat tersebut. Pelakunya akan mendapat hukuman dari Allah, banyak ayat tentang membicarakan tentang kufur nikmat akan mendapat kesensaraan dan juga membuat kerusakan diantaranya: (Ibrahim: 7, Al-Ahzab: 182, Ali-Imran: dan an-Naml: 112 dan Ibrahim: 28).
2. Pandangan ahli tentang kewajiban memelihara lingkungan

Pandangan kalangan Ilmu Ushuluddin menyatakan semua ciptaan baik makhluk hidup atau mati, semua itu makhluk bersujud kepada Allah SWT, termasuk kedalam golongan manusia, diciptakan, (An-Nahl: 3-8). Ia ikut bersama manusia dalam kafasitasnya memuji pada Allah, menaati perintahNya dan patuh terhadap semua hukum yang berlaku bagi semua makhluk (Al-Hasyr: 1, at-Taghabun:1 dan al-Isra’: 44) Akan tetapi karena manusia berikrar menyanggupi memikul amanat (al-Ahzab:72), berarti manusia itu menerima amanat kekhilafahan Allah Swt di muka bumi, (al-Baqarah: 30, al-An’am: 165).

Khalifah berarti wakil/pengganti. Dalam konteks ini manusia adalah wakil Allah Swt yang memiliki kewajiban moral menjabarkan segala kehendak Allah Swt di muka bumi ini agar bumi tetap dalam kondisi nature-nya (QS. Hud: 61)sebagai pengayom/memelihara alam ini.
والى ثموداخاهم صالحا قال ياقوم اعبدواالله مالكم من اله غيره هوانشاكم من الارض واستعمركم فيهافاستغفروه ثمّ توبوااليه انّربّى قريب مجيب {هود:61}
Dan kepada Tsamud saudara mereka Saleh. Saleh berkata, "Hai kaumku! Sembahlah Allah sekali-kali tidak ada bagi kalian Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian pemakmurnya karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat dekat lagi memperkenankan”.(QS. Hud: 61)
Sedangkan kalangan Ilmu Fiqih menyatakan, sesuai dengan ilmu fiqh yang mengatur hubungan manusia dengan TuhanNya, sesamanya dan lingkungan. Menyebutkan Perhatian terhadap lingkungan, mengatur dan memeliharanya adalah wajib. Di antara kaedah-kaedah yang keras tentang menjaga lingkungan berbunyi, “ Keadaan darurat tidak boleh dijadikan alasan untuk menganggu hak-hak yang lain” (al-idhtiror la yabthil haqqa al-ghair), ini merupakan prinsip yang dipakai untuk menetapkan hukum yang berkaitan dengan pemeliharaan dan kelestariaan lingkungan.Tokohnya yang berkutat adalah, As-Syuyuthi yang bermazhab Syafi’i dan Ibnu Najim bermazhab Hanafi.
Dari kaedah diatas, kita bisa menetapkan hukum zaman sekarang, terutama terhadap mereka yang sering menganggu ketertiban lingkungan, dan melampau batas, seperti dilakukan oleh Industri-industri, Perusahaan yang tidak peduli dampak yang menimpa masyarakat, mereka ini jelas salah dan menciptakan malapetaka bagi orang umum. Mereka di ibaratkan ”seperti kaum yang mendayung perahu yang kemudian saling menabrak mereka yang di atas dan dibawah. Mereka di bawah apabila minum dari air akan berjalan di atasnya. Lalu mereka berkata kami buat lubang di bawah pasti tidak akan menyusahkan yang di atas, sekiranya yang di atas membiarkan mereka di bawah, maka semuanya mati tetapi jika mereka mencegahnya maka semuanya selamat” (HR. Buchori).
Kemudian dari kalangan Ushul fiqih, orang yang pertama kali meletakan pondasi terhadap bangunan yang membahas kepentingan masyarakat, Abu Hamid Al-Ghazali dengan bukunya “al-Mustashfanim ilm ushul”, setelah itu Izuddin dengan bukunya “Qawaid al-Ahkafi fi Mashalihil al-Anam” yang memuat tentang kaidah hukum bagi kemaslahatan manusia. Semua syariat mengandung unsur maslahat, baik yang mempunyai orientasi menjaga dari unsure-unsur bahaya serta melaksanakan makruf dan menghidari kejahatan.

Upaya perbaikan lingkungan dan pemeliharaan dapat dilakukan denga dua pijakan: 1. Metode solutif dan positif atau metode eksestensi menrurut istilah Asy-Syatibi 2. Metode pragmatis atau negative. Dua kerangka inilah dalam bukunya “Pemeliharaan” yang tersirat kata “ perlindungan” dalam aplikasinya mencakup perlindungan terhadap keberadaannya dan sisi penjagaan dari kepunahannya. Pemeliharaan lingkungan berarti:1. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga agama. 2. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga jiwa. 3. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga keturunan. 5. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga akal. 6. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga harta.

Dari paparan teologi lingkungan di atas, kalau kita tarik benang merahnya berarti jelaslah bahwa manusia dituntut menjaga dan memelihara lingkungan baik itu meliputi alam (Thabi’ah) diciptakan Allah seperti manusia, bintang, laut, matahari, bulan, bumi, tambang, mineral dan sebagainya, serta begitu juga alam industri (shina’iyah) yang diciptakan manusia seperti bangunan-bangunan, hasil karya, pohon yang ditanam dan lain-lain. Dan perlu dipahami kewajiban menjaga, memelihara dan menggunakan atau mengelola serta mengayomi lingkungan dengan baik bukan tuntutan dari norma adat dan negara akan tetapi merupakan perintah dari Allah SWT (Lihat wahyu).
Teologi Lingkungan Islam
            Dalam diskursus keislaman, istilah teologi biasanya diistilahkan dengan ilmu tauhid, ilmu kalam, dan ilmi ushuluddin. Istilah ilmu tauhid dikarena obyek kajian ilmu membahas mengenai keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa. Hal ini dikarenakan keesaan Allah merupakan pokok sistem keyakinan Islam sebagai agama monoteisme. Adapun istilah ilmu kalam dikarenakan kajian ilmu ini membahas mengenai firman Allah yang termanifertasikan dalam kitab suci Al-Qur’an. Hal ini tercatat dalam sejarah Islam bahwa persoalan al-Qur’an sebagai kalamullah -apakah qadim atau hadits?- pernah menimbulkan polemik, dan berdarah-darah dikalangan umat Islam. Sedangkan istilah ushuluddin muncul dikarenakan ilmu ini membahas mengenai dasar-dasar ajaran agama Islam.
            Secara konseptual, bila dihubungkan dengan kajian keislaman, maka teologi lingkungan Islam merupakan teologi yang obyek material kajiannya adalah bidang lingkungan dan perumusannya didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Dengan bahasa yang lain, teologi lingkungan juga bermakna ilmu yang membahas tentang ajaran-ajaran Islam mengenai lingkungan.
            Teologi lingkungan Islam secara konseptual berbeda dengan teologi antroposentrisme radikal yang menempatkan manusia dalam posisi paling berkuasa atas lingkungan (Mujiono, 2006: 291). Dalam hal ini, teologi lingkungan Islam menempatkan manusia dalam posisi yang proposional dan seimbang dengan alam. Konstruksi ini otomatis menempatkan manusia sebagai bagaian integral dari lingkungan.
            Landasan teologi lingkungan Islam didasarkan pada rumusan al-Qur’an antara lain adalah Q.S. Ar-Rahman: 10 dan Q.S. Al-Baqarah: 29. Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa lingkungan diciptakan dan untuk didayagunakan oleh manusia. Dari ayat tersebut dapat ditarik makna secara teologis bahwa Allah telah menciptakan sumber daya alam dan lingkungan untuk didayagunakan oleh manusia. Keyword dari ayat tersebut adalah pada kata lam. Secara semantik, lam tersebut memiliki arti hak memanfaatkan (lam lit-tanfi’) bukan lam yang bermakna memiliki (lam lit-tamlik) (Mujiono, 2006: 291). Dengan demikian, pada dasarnya manusia diberi hak dan kewenangan untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Namun hal tersebut diberi aturan dengan batas-batas keseimbangan dan kewajaran, karena di ayat-ayat yang lain manusia juga diingatkan supaya tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan. Dari landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa teologi Islam mendasarkan pada paradigma keseimbangan, bukan pada paradigma antroposentrisme radikal. Hal ini juga didasarkan pada keyakinan dalam teologi Islam bahwa pemilik hakiki alam semesta adalah Allah.
BAB III
PENUTUP
            Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa embrio dari teologi lingkungan ini ialah keberadaan teologi islam klasik yang dinilai kurang mengikuti dinamika perubahan, oleh karena itu diperlukan hasil pemikiran baru yang mampu mengatasi persoalan-persoalan kemanusiaan. Dari paparan teologi lingkungan di atas, kalau kita tarik benang merahnya berarti jelaslah bahwa manusia dituntut menjaga dan memelihara lingkungan baik itu meliputi alam (Thabi’ah) diciptakan Allah seperti manusia, bintang, laut, matahari, bulan, bumi, tambang, mineral dan sebagainya, serta begitu juga alam industri (shina’iyah) yang diciptakan manusia seperti bangunan-bangunan, hasil karya, pohon yang ditanam dan lain-lain. Dan perlu dipahami kewajiban menjaga, memelihara dan menggunakan atau mengelola serta mengayomi lingkungan dengan baik bukan tuntutan dari norma adat dan negara akan tetapi merupakan perintah dari Allah SWT.

0 komentar:

Posting Komentar