Minggu, 29 Maret 2015

Pola (Model) Pengembangan Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konsep manajemen Islam telah terbukti handal dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, dengan konsep ini Nabi Muhammad SAW telah membuktikan hanya dalam 23 tahun masa kenabiannya mampu merubah konsep negara, dan menjadi dasar dari konsep bernegara yang baik sampai dengan saat ini. Salah satu konsep bernegara tersebut tentulah berkaitan dengan berorganisasi. Kehandalan konsep manajemen Islam tersebut tidak terlepas dari misi besar Islam.
UIN Maliki Malang, Universitas dengan cita-cita menjadi center of excellence dan center of Islamic civilization sekaligus mengimplementasikan ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (al Islam rahmat li al-alamin) ialah salah satu bukti keberhasilan dalam melakukan pengembangan pendidikan dengan konsep manajemen Islam. Berbagai rencana strategis pengembangan pendidikan Islam dilakukan dengan sungguh-sungguh hingga membawa kemajuan secara terus menerus. Baru-baru ini UIN Maliki telah mewujudkan impiannya menuju Universitas Islam bertaraf Internasional. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) setelah melakukan visitasi di UIN Maliki, menetapkan UIN Maliki Malang masuk dalam sebelas Universitas ternama di Indonesia yang terakreditasi A. Penilaian (BAN-PT) terhadap UIN Maliki didasarkan atas beberapa penilaian, penilaian akademik, sosial, dan spiritual. Kegiatan yang telah membudaya di UIN Maliki, seperti kegiatan khotmil Quran yang dilakukan sebulan sekali, kegiatan Istighosah, kegiatan ubudiah shalat berjamaah memberi andil penting dalam penetapan akreditasi tersebut. Sistem akademik yang terintegrasi juga menjadi aspek krusial dalam penilaian. Dalam pencapaian tersebut, UIN Maliki telah mempersiapkan diri untuk masuk dalam jajaran Universitas ternama tingkat Asean pada Asean University Network (AUN).
Hal tersebut menunjukkan bahwa berbagai macam model pengembangan dalam pendidikan Islam harus menempatkan ajaran Islam sebagai suatu objek kajian yang melihat Islam sebagai paradigma integrasi dengan mewujudkan misi besar Islam yang menjadikan umat kaya ilmu pengetahuan, menjadikan manusia berkualitas, membangun tatanan sosial yang adil, memberi tuntunan kegiatan ritual untuk memperkokoh spiritual dan beramal shaleh.
Secara umum makalah ini berisi tentang pemahaman terhadap pendidikan Islam, bagaimana proses dan model pengembangan manajemen pendidikan serta model pengembangan pendidikan agama Islam sendiri sekaligus pola pengembangan Pendidikan UIN Maliki Malang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana memahami pendidikan agama Islam?
2.      Bagaimana proses dan model pengembangan manajemen pendidikan?
3.      Apa saja model atau pola pengembangan pendidikan agama Islam?
4.      Bagaimana pola pengembangan pendidikan UIN Maliki Malang?

C.    Tujuan
1.      Memahami pendidikan agama Islam
2.      Mengetahui proses dan model pengembangan manajemen pendidikan
3.      Mengetahui model atau pola pengembangan pendidikan agama Islam
4.      Mengetahui pola pengembangan pendidikan UIN Maliki Malang


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Memahami Pendidikan Agama Islam
Banyak  orang  merancukan  pengertian  istilah  “pendidikan  agama islam”  dan  “pendidikan  Islam”.  Kedua  istilah  ini  dianggap  sama sehingga ketika seseorang berbicara tentang pendidikan Islam ternyata isinya terbatas pada pendidikan agama Islam, atau sebaliknya ketika seseorang  berbicara  pendidikan  agama  Islam  justru  yang  dibahas  didalamnya adalah tentang pendidikan Islam. Padahal kedua istilah itu memiliki substansi yang berbeda.[1]
PAI dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan agama Islam. PAI  sebagai  mata  pelajaran  seharusnya  dinamakan  “Agama  Islam”, karena  yang  diajarkan  adalah  agama  Islam.  Nama  kegiatannya  atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam adalah nama sistem,  yaitu sistem pendidikan yang islami, yang memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim  yang  di idealkan.  Pendidikan  Islam  ialah  pendidikan  yang  teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur’an dan Hadits.[2]
Ahmadi  mendefinisikan  Pendidikan  Islam  sebagai  “usaha  yang lebih  khusus  ditekankan  untuk mengembangkan   fitrah  keberagamaan  (religiousity), subyek didik agar lebih mampu  memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran  Islam”.  Ahmadi  menekankan  kepada  proses  pengembangan  potensi  fitrah manusia  untuk  selalu  melaksanakan  ajaran-ajaran  Islam,  yang  diawali  dengan pemberian  pengetahuan,  pengertian  dan  pemahaman  terhadap  ajaran-ajaran  Islam.[3]
Pemahaman  tentang  PAI  di  sekolah  dapat  dilihat  dari  dua  sudut pandang, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai fenomena. PAI sebagai  aktivitas  berarti  upaya  yang  secara  sadar  dirancang  untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup baik  yang  bersifat  manual  (petunjuk  praktis)  maupun    mental dan sikap sosial yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran serta nilai-nilai Islam.  Sedangkan  sebagai  fenomena  adalah  peristiwa  perjumpaan antara  dua  orang  atau  lebih  dan/atau  penciptaan  suasana  yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan  atau  dijiwai  oleh  ajaran  dan  nilai-nilai  Islam,  yang  diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.[4]
Ahmad  Tafsir  mendefinisikan  pendidikan  Islam  sebagai  bimbingan  yang  diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Atau dengan  kata  lain, pendidikan  Islam  adalah  bimbingan    terhadap  seseorang    agar  ia menjadi  muslim  semaksimal  mungkin.  Dengan  definisi  tersebut,  Ahmad  Tafsir menekankan  kepada  sifat  dari  aktivitas  pendidikan  Islam,  yaitu  berupa  bimbingan sebagai suatu upaya yang tidak hanya ditekankan kepada aspek pengajaran (transfer ilmu  pengetahuan),  tapi  berupa  arahan,  bimbingan,  pemberian  petunjuk  dan pelatihan  menuju  terbentuknya  pribadi  muslim  yang  seutuhnya.[5]
Selanjutnya,  Abdul  Mudjib  menyatakan  bahwa  pendidikan  Islam  adalah  proses transinternalisasi  pengetahuan  dan  nilai  Islam  kepada  peserta  didik  melalui  upaya pengajaran,  pembiasaan,  bimbingan,  pengasuhan,  pengawasan,  dan  pengembangan potensinya  guna  mencapai    keselarasan  dan  kesempurnaan  hidup  di  dunia  dan akhirat.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan Islam adalah proses pembentukan individu untuk mengembangkan fitrah keagamaannya, yang secara konseptual dipahami, dianalisis serta dikembangkan dari ajaran  al-Qur’an  dan  al-Sunnah  melalui  proses  pembudayaan  dan  pewarisan  dan pengembangan  kedua  sumber  Islam  tersebut  pada  setiap  generasi  dalam  sejarah ummat Islam dalam mencapai kebahagian, kebaikan di dunia dan akhirat.
B.     Proses Dan Model Pengembangan Manajemen Pendidikan
Inti kegiatan manajemen pendidikan persekolahan adalah pembuatan keputusan untuk peningkatan mutu kinerja sekolah. Sejalan dengan pemikiran ini, inti manajemen partisipatif yang dituntut dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pembuatan keputusan secara parsitipatif. Keputusan dalam bidang manajemen itu berasal dari manusia secara melembaga dan untuk kepentingan manusia yang melembaga pula atau yang mempunyai kepentingan dengan lembaga tersebut.[6]
Dilihat dari konsep inovasi, pembuatan keputusan sebagai inti manajemen pendidikan mengandung makna keputusan inovatif jika keputusan dibuat dan dianggap baru oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan keputusan itu. Mengikuti proses pengembangan inovasi (innovation-development process), inovasi dalam bidang manajemen pendidikan dapat dilakukan dengan menempuh proses sebagai berikut:[7]
1.      Recognizing a problem or need
Inovasi manajemen pendidikan diawali dengan adanya masalah atau kebutuhan untuk meningkatkan mutu manajemen sekolah secara lebih baik. Misalnya penerapan MBS didasari atas kebutuhan riil sekolah untuk memberdayakan diri sesuai dengan kemampuan dan prestasi terbaik yang dapat dicapai. Kebutuhan (need) tersebut ditentukan berdasarkan proses penilaian (assessment process) yang sistematis dan komprehensif agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Produk assessment itu selanjutnya menjadi cikal-bakal masalah penelitian, mengingat inovasi yang baik bersifat rasional empiris. Artinya, inovasi hanya akan bermakna jika dirasakan manfaatnya oleh pengguna inovasi itu.
2.      Penelitian (Research)
Umumnya penelitian dilakukan melalui eksperimentasi terapan. Adakalanya juga dilakukan dalam bentuk penelitian kebijakan atau policy research. Namun demikian karena sifat penelitian ini selalu memperlakukan unsur manusia maka penelitian ini harus dilakukan secara hati-hati. Salah satu bentuk kehati-hatian adalah eksperimen terbatas. Misalnya, sebelum diberlakukan kebijakan secara menyeluruh, terlebih dahulu dilakukan penelitian eksperimental untuk satu atau beberapa komunitas (sekolah atau wilayah) tertentu.
3.      Pengembangan
Penelitian dan pengembangan (research and development) mempunyai kaitan yang sangat erat. Kegiatan pengembangan harus didasari atas hasil penelitian. Pengembangan dari suatu inovasi di sini diartikan sebagai proses menempatkan ide-ide baru dalam bentuk yang diharapkan untuk menemukan kebutuhan pemakai sebagai adaptor yang potensial. Namun demikian, adakalanya kegiatan penelitian ini tidak diikuti dengan kegiatan pengembangan secara meluas sehubungan dengan adanya indikasi kegagalan atau kekurangberhasilan eksperimen itu.
4.      Komersialisasi (commercialization)
Dalam bidang manajemen pendidikan tidak dipersepsi sebagai komersialisasi dalam bidang bisnis. Realitasnya, kaidah-kaidah manajemen bisnis dapat diadopsi dilingkungan persekolahan. Sekolah tidak bias lagi hanya sebatas menjadi unit kerja yang membelanjakan semata (cost center), tetapi harus mampu melakukan prakarsa untuk mendapatkan uang (revenue generating), misalnya melalui unit komersial pada sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Komersialisasi di sini mengandung makna menyusun suatu paket inovasi untuk disampaikan kepada pengguna atau adaptor. Kebijakan MBS skan mamiliki nilai “komersial”, ketika dengan kehadirannya, etos kerja guru meningkat serta mutu proses dan produk pembelajaran dapat didongkrak secara signifikan.
Adakalanya paket inovasi yang ditawarkan bersifat ganda karena bersifat erat kaitannya. Misalnya, jika sistem informasi manajemen (SIM) bidang akaddemik diberlakukan, paket inovasi yang ditawarkan adalah perangkat keras dan perangkat lunak yang menjadi pendukungnya, disertai pelatihan-pelatihan yang memungkinkan untuk hal tersebut.
5.      Deffusion and adoption (difusi dan adopsi)
Merupakan aspek yang sangat esensial dalam keseluruhan aktivitas pengembangan inovasi, yaitu keputusan untuk mulai mendifusikan inovasi kepada adaptor potensial sehingga terjadinya proses adopsi perlu dilakukan sesegera mungkin setelah produk inovasi itu dipaket. Didalam melakukan proses ini tidak mudah untuk diaplikasikan mengingat benturan dengan dana dan budaya.
6.      Konsekuensi (concequences)
Dari proses pengembangan inovasi adalah konsekuensi dari inovasi. Di sini akan diketahui apakah masalah/kebutuhan yang muncul diawal akan benar-benar dapat dipecahkan melaui suatu inovasi. Inovasi diawali oleh masalah atau kebutuhan dan umumnya diakhiri dengan masalah atau kebutuhan baru. Oleh karena itu, inovasi membentuk suatu siklus.
            Berikut disajikan model proses pengembangan inovasi dalam bidang manajemen pendidikan.
Kebutuhan/masalah
Penelitian
Pengembangan
Difusi/Adopsi
Konsekuensi
Produktivitas rendah
Kebijakan menyeluruh
Aplikasi kebijakan
Guru dan siswa
Mengubah tradisi kerja
Sistem manajemen akademik
Terapan pada unit terbatas
Ke semua unit manajemen akademik
Petugas manajemen akademik
Pengadaan perangkat keras dan lunak
Supervisi kepala sekolah belum berjalan baik
Kebijakan eksperimen ditingkat sekolah atau wilayah
Ke semua sekolah/wilayah
Kepala sekolah
Delegasi sebagian tugas administrasi
Uraian diatas menggariskan beberapa pemikiran esensial. Pertama, pembaruan dalam bidang manajemen pendidikan merupakan penerapan cara-cara baru dan kreatif dalam seleksi, organisasi, dan penggunaan sumber-sumber manusia dan material yang diharapkan akan meningkatkan mutu proses pengelolaan pendidikan dan hasil-hasilnya secara lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Kedua, kebijakan pembaruan dalam bidang manajemen pendidikan dipandang sangat penting. Manajemen pendidikan yang inovatif akan mampu mewujudkan tujuan sekolah, yaitu pendidikan dan pengajaran terhadap anak didik secara lebih efektif dan efisien. Untuk mengaplikasikan kebijakan baru dalam bidang manajemen pendidikan di sekolah-sekolah diperlakukan strategi tertentu yaitu dengan cara menggunakan power pimpinan dan meningkatkan kesadaran kepala sekolah akan pentingnya peningkatan mutu manajemen pendidikan di sekolah. Apapun bentuk dan bagaimanapun ragam pembaruan pendidikan tidak akan banyak manfaatnya jika lembaga pendidkan tidak dikelola dengan format manajemen pendidikan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan kebijakan baru dalam bidang manajemen pendidikan tampaknya harus sejalan dengan kegiatan penelitian kependidikan pada umumya.[8]
C.    Model Pengembangan Pendidikan Agama Islam
a.      Model Dikotomis
Pada  model  ini,  aspek  kehidupan  dipandang  sangat  sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang aspek kehidupan  dunia  dan  akhirat,  kehidupan  jasmani  dan  rohani,  sehingga  pendidikan  agama  Islam  hanya  diletakkan  pada  aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Dengan demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non agama, pendidikan  keislaman  dengan  nonkeislaman,  demikian  seterusnya.[9]
Pandangan semacam itu akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan  rohani  yang  terpisah  dari  kehidupan  jasmani.  Pendidikan  (agama)  Islam  hanya  mengurusi  persoalan  ritual  dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan sebagainya dianggap sebagai  urusan  duniawi  yang  menjadi  garapan  bidang  pendidikan  nonagama.  Pandangan  dikotomis  inilah  yang  menimbulkan  dualism dalam sistem pendidikan, yaitu istilah pendidikan agama dan nonagama. Sikap dikotomi (dualisme) ini terkait erat dengan world view umat  Islam  dalam  memandang  dan  menempatkan  dua  sisi  ilmu, yaitu ‘ilm al-dînîyah dan ‘ilm ghair al-dînîyah.[10]
Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan  yang  normatif,  doktriner  dan  absolutis.  Peserta  didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal, memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap  agama  yang  dipelajari.  Sementara  itu,  kajian-kajian  keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan yang normatif dan doktriner tersebut.
Pola dikotomi yang demikian, telah menimbulkan sejumlah efek negatif.  Abdurrahman  Mas’ud  dalam  salah  satu  penelitiannya sebagaimana  dikutip  Ma’arif--menunjukkan  bahwa  cara  pandang yang  dikotomik  tersebut  akhirnya  telah  membawa  kemunduran dalam  dunia pendidikan  Islam. Di  antaranya adalah  menurunnya tradisi  belajar  yang  benar  di  kalangan  muslim,  layunya  intelektualisme Islam, melanggengkan supremasi  ilmu-ilmu  agama  yang berjalan  secara  monotomik,  kemiskinan  penelitian  empiris  serta menjauhkan disiplin filsafat dari pendidikan Islam.[11]
b.      Model Mekanisme
Model mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan  pendidikan  dipandang  sebagai  penanaman  dan  pengembangan  seperangkat  nilai  kehidupan, yang  masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang  terdiri  atas  beberapa  komponen  atau  elemen-elemen,  yang masing-masing menjalankan  fungsinya sendiri-sendiri,  dan  antara satu dengan lainnya bisa berkonsultasi atau tidak. Aspek-aspek  atau  nilai-nilai  kehidupan  itu  sendiri  terdiri  atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai  rasional,  nilai  estetik,  nilai  biofisik,  dan  lain-lain.  Demikian juga dalam proses pendidikan dibutuhkan sistem nilai agar dalam pelaksanaannya  berjalan  dengan  arah  yang  pasti,  karena  berpedoman pada garis kebijaksanaan yang ditimbulkan oleh nilai-nilai fundamental,  misalnya  nilai  agama, ilmiah, sosial, ekonomi, kualitas kecerdasan dan sebagainya.[12]
Oleh karena itu, jika kita membahas nilai-nilai pendidikan, akan jelas melalui rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan, sebab di dalam rumusan tujuan pendidikan itu tersimpul dari semua nilai pendidikan  yang  hendak  diwujudkan  di  dalam  pribadi  peserta didik. Demikian  pula,  jika  berbicara  tentang  tujuan  pendidikan Islam,  berarti  berbicara  nilai-nilai  ideal  yang  bercorak  Islami.  Hal ini  mengandung  makna  bahwa  tujuan  pendidikan  Islam  adalah tujuan yang merealisasi idealitas Islami. Sedang idealitas Islami itu sendiri  pada  hakikatnya  adalah mengandung  nilai  perilaku manusia  yang  didasari  atau  dijiwai  oleh  iman  dan  taqwa  kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.
Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek  atau  nilai  kehidupan  dari  aspek-aspek  kehidupan  lainnya. Hubungan  antara  nilai  agama  dengan  nilai-nilai  lainnya  kadang-kadang  bersifat  horizontal-lateral  (independent)  atau  bersifat  lateral-sekuensial, tetapi tidak sampai pada vertikal linier.
Relasi yang bersifat horizontal-lateral  (independent), mengandung arti  bahwa  beberapa  mata  pelajaran  yang  ada  dan  pendidikan agama  mempunyai  hubungan  sederajat  yang  independen,  dan  tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti  di  antara  masing-masing  mata  pelajaran  tersebut  mempunyai relasi  sederajat  yang  bisa  saling  berkonsultasi.  Sedangkan  relasi  vertikal linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran  yang  lain  termasuk  pengembangan  nilai  insani  yang  mempunyai relasi vertikal linier dengan agama.
Dalam konteks tersebut, selama ini di sekolah-sekolah masih ada proses sekularisasi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan  umum.  Nilai-nilai  keimanan  dan  ketakwaan  seolah-olah  hanya  merupakan  bagian  dari  mata  pelajaran  pendidikan agama, sementara  mata  pelajaran  yang  lain  mengajarkan  ilmunya  seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah nilai keimanan dan ketakwaan. Dampak berupa gejala kegersangan batin dan kejiwaan  modern  adalah  konsekuensi  dari  hal  itu.  Bahkan  pendidikan di dunia muslim pun berurat berakar mengadopsi konsep sekuler yang dikotomis dan tidak utuh.[13]
Model  tersebut  tampak  dikembangkan  pada  sekolah  yang  didalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan, yang salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberikan 2 atau 3 jam pelajaran per minggu, dan didudukkan sebagai mata pelajaran, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Kebijakan ini sangat prospektif dalam  membangun  watak,  moral  dan  peradaban  bangsa  yang  bermartabat.  Namun  demikian,  dalam  realitasnya  pendidikan  agama Islam sering termarginalkan, bahkan guru PAI di sekolah pun kadang-kadang terhambat karirnya untuk menggapai jabatan fungsional tertinggi, karena tidak tersedia program studi sebagai induknya.[14]
Kebijakan  tentang  pembinaan  pendidikan  agama  Islam  secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru agamanya mampu memadukan  antara  mata  pelajaran  agama  dengan  pelajaran  umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah yang cukup  puas  hanya mengembanhkan  pola  relasi  horizontal-lateral  (independent). Barangkali kebijakan tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para guru agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu-ilmu umum, sebaliknya guru umum dituntut untuk menguasai ilmu umum (bidang keahliannya) dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru agama dituntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.[15]
c.       Model Organism/Sistemik
Meminjam  istilah  biologi,  organism  dapat  berarti  susunan  yang bersistem  dari  berbagai  bagian  jasad  hidup  untuk  suatu  tujuan. Dalam  konteks  pendidikan  Islam,  model  organism  bertolak  dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu system yang  terdiri  atas  komponen-komponen  yang  hidup  bersama  dan bekerja  sama secara  terpadu  menuju  tujuan  tertentu, yaitu  terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.[16]
Pandangan tersebut menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines  dan fundamental values  yang  tertuang  dan  terkandung  dalam  al-Qur’an  dan  al-Sunnah  al-Shahîhah  sebagai  sumber  pokok.  Ajaran  dan  nilai-nilai ilahi didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertikal-linier dengan nilai ilahi / agama.[17]
Nilai  ilahi  dalam  aspek  teologi  tak  pernah  mengalami  perubahan, sedangkan  aspek  amaliahnya  mungkin  mengalami  perubahan  sesuai  dengan  tututan  zaman  dan  lingkungan.  Sebaliknya nilai  insani  selamanya  mengalami  perkembangan  dan  perubahan menuju ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi. Tugas pendidikan adalah memadukan nilai- nilai baru dengan nilai-nilai lama secara selektif, inovatif, dan akomodatif guna mendinamisasikan perkembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan, tanpa meninggalkan nilai fundamental yang menjadi tolok ukur bagi nilai-nilai baru.
Melalui  upaya  semacam  itu,  maka  sistem  pendidikan  Islam diharapkan  dapat  mengintegrasikan  nilai-nilai  ilmu  pengetahuan, nilai-nilai  agama  dan  etik,  serta  mampu  melahirkan  manusia-manusia  yang  menguasai  dan  menerapkan  ilmu  pengetahuan,  teknologi  dan  seni,  memiliki  kematangan  profesional,  dan  sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
Paradigma  tersebut  tampaknya  mulai  dirintis  dan  dikembangkan  dalam  sistem  pendidikan  di  madrasah,  yang  dideklarasikan sebagai sekolah umum  yang  berciri  khas  agama  Islam,  atau  sekolah-sekolah  (swasta)  Islam  unggulan.  Kebijakan  pengembangan madrasah  berusaha  mengakomodasikan  tiga  kepentingan  utama, yaitu: pertama, sebagai wahana untuk membina roh atau praktik hidup keislaman; kedua, memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah  sederajat  dengan  sistem  sekolah,  sebagai  pembinaan warga  negara  yang  cerdas  berpengetahuan,  berkepribadian,  serta produktif;  dan  ketiga,  mampu  merespon  tuntutan-tuntutan    masa depan dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki ke siapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.[18]
Maka  dari  itu,  model  organisme/sistemik  dapat  diimplementasikan dalam pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah, mengingat  kegiatan  pendidikan  agama  yang  berlangsung selama  ini  lebih banyak  bersikap  menyendiri,  kurang  berinteraksi  dengan  kegiatan-kegiatan  pendidikan  lainnya.  Cara  kerja  semacam  ini  kurang  efektif untuk  keperluan  penanaman  suatu  perangkat  nilai  yang  kompleks. Selain itu, metodologi pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai kegamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan  keagamaan.  Buku-buku  paket  pendidikan  agama  saat  ini  belum memadai untuk membangun kesadaran beragama, memberikan keterampilan  fungsional  keagamaan  dan  mendorong  perilaku  bermoral dan berakhlak mulia pada peserta didik.
D.    Pola Pengembangan Pendidikan UIN Maliki Malang
a.      Manajemen Syari’ah
Manajemen Syari’ah adalah  perilaku yang terkait dengan nilai keimanan dan ketauhidan (Hafidhuddin, 2003). Jika kegiatan seseorang yang tergabung dalam sebuah lembaga didasari oleh nilai tauhid, maka dia menyadari bahwa adanya pengawasan dari Allah. Konsep Manajemen Syari’ah inilah yang diterapkan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam melakukan perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang, dan masih diterapkan selama memimpin UIN Malang.
Gambar Model Manajemen Pengembangan Kampus UIN Malang

Pada gambar Model Manajemen Pengembangan  Kampus STAIN Malang / UIN Malang, dapat dilihat bahwa segala aktifitas Civitas akademika, Visi dan Misi, Profil lulusan bermuara kepada ridho Allah SWT. Secara transeden segala aktifitas perubahan selalu didasarkan dan diinspirasikan pada prinsip Iman dan Amal saleh. Pada tahap empiris, aktifitas membaca adalah salah satu langkah penting dalam membangun kesadaran yang akan menginspirasi kebangkitan. Konsep thoharoh (bersuci) dipaparkan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo dengan maksud mengeliminir resistensi (budaya negatif) terhadap perubahan (budaya positif). Tahap yang penting adalah konsep jihad (perjuangan), dimana dibutuhkan sebuah pengagungan tehadap Allah SWT, sabar, rela berkorban, serta kesungguhan dalam mencapai cita-cita perjuangan. Hal penting berikutnya adalah kebersamaan.
Budaya kampus yang ingin dibangunnya, seperti: Menghargai dan memuliakan ilmuwan, Ikhlas menjadikan seluruh warga kampus sebagai teman perjuangan hidup, Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan istiqomah, Dinamis, inovatif sebagaimana tuntutan masyarakat yang selalu berubah. Pola yang dibangun ini sangat memperhatikan aspek humanisme dengan selalu menanamkan spirit ajaran Islam.
            Tidak hanya dalam tataran konsep, permasalahan pembangunan fisik juga menjadi perhatian, diantaranya adalah perlunya ada rencana strategis pembangunan: Sumber daya manusia yang handal, Mesjid, Ma’had, Perpustakaan, Laboratorium, Ruang belajar, Perkantoran (pelayanan), Pusat seni dan olahraga. Cita-cita akhir dari konsep pengembangan  yang digagas Prof. Dr. Imam Suprayogo adalah profil lulusan yang memilki kedalaman spiritual, keagungan akhlaq, keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Nilai-nilai manajerial yang Islami sangat kental menjadi budaya kampus.
b. Konsep Pohon Ilmu UIN Malang
Permasalahan dikotomi ilmu agama dan non agama bukanlah masalah baru, pada masa klasik permasalahan ini sudah ditulis oleh Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Sains modern Barat mengenyampingkan status keilmuan keagamaan, padahal ilmu agama tidak bisa menghindari membicarakan Tuhan, malaikat, dan permasalahan ghaib lainnya (Kartanegara, 2005: 20). Menurut Kartanegara ilmu-ilmu sekuler positivistik yang dikenalkan ke dunia Islam lewat imperialisme Barat telah membuat dikotomi yang sangat kuat antara ilmu agama dan ilmu positivistik. Permasalahan dikotomi inilah yang masih berlangsung saat ini di sisem pendidikan Indonesia, khususnya di pesantren dan PTAI.
Integrasi ilmu yang berlandaskan tauhid serta menggali kembali khasanah keilmuan klasik Islam dan penelitian-penelitian Barat maka integrasi ilmu dapat dilakukan. Menurut Faruqi, Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern sekuler dan Islam yang relegius kedalam sebuah model yang utuh, maka diperlukan hal berikut: a) Penguasaan disiplin ilmu modern; b)Penguasaan khasanah warisan Islam; c) Membangun relevansi Islam dengan disiplin ilmu modern; d) Memadukan nilai dan khasanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu modern; e) Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah (Faruqi, 1995).
Al-Faruqi mengajukan 12 langkah untuk mewujudkan Islamisasi ilmu: a) Penguasaan disiplin ilmu modern; b) Survei disiplin ilmu; c) Penguasaan khasanah Islam; d) Penguasaan khasanah ilmiah Islam; e) Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu; f) penilaian kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini; g) Penilaian kritis terhadap khasanah Islam dan tingkat perkembangannya disaat ini; h) Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam; i) Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia; j) Analisa sintesa kreatif dan sintesa; k) Penuangan kembali disiplin ilmu modern kembali ke dalam kerangka Islam; l) Penyebaran ilmu-ilmu yang telah di Islamkan.
Secara tegas Al-Faruqi mengatakan bahwa umat Islam tidak bisa diharapkan untuk bangkit kembali  jika sistem pendidikannya tidak dirubah dan kesalahannya tidak dikoreksi. Bagi Al-Faruqi yang diperlukan adalah pembaharuan terhadap sistem lembaga pendidikan Islam. Dualisme dalam sistem pendidikan Islam yang berlangsung hingga saat ini harus dihilangkan, dan berupaya mengintegrasikannya dengan spirit Islam yang juga berfungsi sebagai bagian integral dari program ideologis Islam (Faruqi, 1998)
Upaya integrasi ilmu inilah yang menjadi core business UIN Malang dengan konsep pohon ilmu yang digagas Prof. Dr. Imam Suprayogo. Konsep pohon ilmu ini menjadi filosofi bahkan menjadi branding UIN Malang untuk memperlihatkan kekhasan pengembangan ilmu di UIN Malang. Prof. Dr. Imam Suprayogo mengilustrasikan bahwa Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Pancasila, Filsafat, Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial dasar sebagai akar. Sedangkan  Alqur’an, Al-Sunnah, Sirah Nabawiyah, Pemikiran Islam, Masyarakat Islam adalah sebagai pohon. Selanjutnya Ilmu-ilmu: Ekonomi, Psikologi, Hukum, Teknik, MIPA, Bahasa dan sastra, Tarbiyah sebagai cabang pohon. 

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kegiatan  pendidikan  agama  yang  berlangsung  selama  ini  lebih banyak  bersikap  menyendiri,  kurang  berinteraksi  dengan  kegiatan-kegiatan  pendidikan  lainnya.  Cara  kerja  semacam  ini  kurang  efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang efektif untuk keperluan  penanaman  suatu  perangkat  nilai  yang  kompleks.  Selain itu,  metodologi  pendidikan  agama  kurang  mendorong  penjiwaan terhadap  nilai-nilai  kegamaan  serta  terbatasnya  bahan-bahan  bacaan keagamaan.  Buku-buku  paket  pendidikan  agama  saat  ini  belum  memadai untuk membangun kesadaran beragama, memberikan keterampilan  fungsional  keagamaan  dan  mendorong  perilaku  bermoral  dan berakhlak mulia pada peserta didik. Untuk  itu,  diperlukan pengembangan  pendidikan  agama yang  lebih  kondusif  dan  prospektif  terutama  di  sekolah.  Model  pengembangannya  perlu  direkonstruksi,  dari  model  yang  bersifat  dikotomis dan  mekanisme  ke  arah  model  organisme  atau  sistemik.  Hanya  saja untuk  merombak  model  tersebut  diperlukan  kemampuan  guru  PAI dan political will dari para pengambil kebijakan, termasuk di dalamnya para  pimpinan  lembaga  pendidikan  itu  sendiri.

Daftar Pustaka
Abdurrahmansyah. 2005. Wacana  Pendidikan  Islam,  Khazanah  Filosofis  dan Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas. Yogyakarta: Global Pustaka.
Ahmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Maarif, Syamsul. 2007. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muhaimin dan Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar  Operasionalisasinya. Bandung:  Trigenda  Karya. 
Muhaimin. 2009. Pengembangan  Kurikulum  Pendidikan  Agama  Islam  di  Sekolah, Madrasah,  dan  Perguruan  Tinggi. Jakarta:  Raja Grafindo  Persada.
Muhaimin. 2009. Rekonstruksi  Pendidikan  Islam,  dari  Paradigma  Pengembangan,  Manajemen  Kelembagaan,  Kurikulum  hingga  Strategi  Pembelajaran. Jakarta:  Rajawali  Press.
Muhaimin. 2006. Nuansa  Baru  Pendidikan  Islam: Mengurai  Benang  Kusut  Dunia  Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tafsir, Ahmad. 2006. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Jurnal Manajemen Perubahan Perguruan Tinggi Islam Konsep dan Praksis Prof. Dr. Imam Suprayogo Oleh: Fridiyanto, M.Pd.I*


[1] Muhaimin, Nuansa  Baru  Pendidikan  Islam: Mengurai  Benang  Kusut  Dunia  Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 3-4.  
[2] Ibid.,
[3] Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 29.
[4] Muhaimin, Rekonstruksi  Pendidikan  Islam,  dari  Paradigma  Pengembangan,  Manajemen  Kelembagaan,  Kurikulum  hingga  Strategi  Pembelajaran, (Jakarta:  Rajawali  Press,  2009), hlm. 51.
[5] Ahmad  Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2006), hlm. 32.
[6] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hal. 49.
[7] Ibid.,  hal. 49-51.
[8] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hal. 51-52. 
[9] Muhaimin, Rekonstruksi  Pendidikan  Islam,  dari  Paradigma Pengembangan,  Manajemen  Kelembagaan,  Kurikulum  hingga  Strategi  Pembelajaran. (Jakarta:  Rajawali  Press, 2009), hlm. 60.
[10] Ibid., Lihat I.R. Poedjawajatna, Tahu dan  Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat Ilmu (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 62-73.
[11] Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm.15.
[12] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka 
Dasar  Operasionalisasinya, (Bandung:  Trigenda  Karya,  1993),  hlm.124. 
[13] Abdurrahmansyah,  Wacana  Pendidikan  Islam,  Khazanah  Filosofis  dan Implementasi 
Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, (Yogyakarta: Global Pustaka 
Utama, 2005), hlm. 145.
[14] Muhaimin, Pengembangan  Kurikulum  Pendidikan  Agama  Islam  di  Sekolah, Madrasah,  dan  Perguruan  Tinggi. (Jakarta:  Raja Grafindo  Persada, 2009), hlm. 37.
[15] Ibid., hlm. 37-38. 
[16] Muhaimin, Rekonstruksi  Pendidikan  Islam,  dari  Paradigma Pengembangan,  Manajemen  Kelembagaan,  Kurikulum  hingga  Strategi  Pembelajaran. (Jakarta:  Rajawali  Press, 2009), hlm. 67.
[17] Ibid., hlm. 67.
[18] Ibid., hlm. 68.
* Dosen Mata Kuliah Perencanaan Strategik Pendidikan di Program Studi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara.

1 komentar: