BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep
manajemen Islam telah terbukti handal dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, dengan
konsep ini Nabi Muhammad SAW telah membuktikan hanya dalam 23 tahun masa
kenabiannya mampu merubah konsep negara, dan menjadi dasar dari konsep
bernegara yang baik sampai dengan saat ini. Salah satu konsep bernegara
tersebut tentulah berkaitan dengan berorganisasi. Kehandalan konsep manajemen
Islam tersebut tidak terlepas dari misi besar Islam.
UIN Maliki
Malang, Universitas
dengan cita-cita menjadi center of excellence dan center of Islamic
civilization sekaligus mengimplementasikan ajaran Islam sebagai rahmat bagi
semesta alam (al Islam rahmat li al-alamin) ialah salah
satu bukti keberhasilan dalam melakukan pengembangan pendidikan dengan konsep
manajemen Islam. Berbagai rencana strategis pengembangan pendidikan Islam
dilakukan dengan sungguh-sungguh hingga membawa kemajuan secara terus menerus.
Baru-baru ini UIN Maliki telah mewujudkan impiannya menuju Universitas Islam
bertaraf Internasional. Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BAN-PT) setelah melakukan visitasi di UIN Maliki, menetapkan UIN
Maliki Malang masuk dalam sebelas Universitas ternama di Indonesia yang
terakreditasi A. Penilaian (BAN-PT) terhadap UIN Maliki didasarkan atas
beberapa penilaian, penilaian akademik, sosial, dan spiritual. Kegiatan yang
telah membudaya di UIN Maliki, seperti kegiatan khotmil Quran yang dilakukan
sebulan sekali, kegiatan Istighosah, kegiatan ubudiah shalat berjamaah memberi
andil penting dalam penetapan akreditasi tersebut. Sistem akademik yang
terintegrasi juga menjadi aspek krusial dalam penilaian. Dalam pencapaian
tersebut, UIN Maliki telah mempersiapkan diri untuk masuk dalam jajaran Universitas
ternama tingkat Asean pada Asean University Network (AUN).
Hal tersebut
menunjukkan bahwa berbagai macam model pengembangan dalam pendidikan Islam harus menempatkan ajaran Islam sebagai suatu objek kajian yang melihat Islam sebagai paradigma
integrasi dengan mewujudkan misi besar Islam yang menjadikan
umat kaya ilmu pengetahuan, menjadikan manusia berkualitas, membangun tatanan
sosial yang adil, memberi tuntunan kegiatan ritual untuk memperkokoh spiritual
dan beramal shaleh.
Secara umum
makalah ini berisi tentang pemahaman terhadap pendidikan Islam, bagaimana
proses dan model pengembangan manajemen pendidikan serta model pengembangan pendidikan agama Islam sendiri sekaligus pola
pengembangan Pendidikan UIN Maliki Malang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana memahami pendidikan agama Islam?
2.
Bagaimana proses dan model pengembangan manajemen pendidikan?
3.
Apa saja model atau pola pengembangan pendidikan agama Islam?
4.
Bagaimana pola pengembangan pendidikan UIN Maliki Malang?
C.
Tujuan
1.
Memahami pendidikan agama Islam
2.
Mengetahui proses dan model pengembangan manajemen pendidikan
3.
Mengetahui model atau pola pengembangan pendidikan agama Islam
4.
Mengetahui pola pengembangan pendidikan UIN Maliki Malang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Memahami Pendidikan Agama Islam
Banyak orang merancukan pengertian
istilah “pendidikan agama islam”
dan “pendidikan Islam”.
Kedua istilah ini
dianggap sama sehingga ketika
seseorang berbicara tentang pendidikan Islam ternyata isinya terbatas pada
pendidikan agama Islam, atau sebaliknya ketika seseorang berbicara
pendidikan agama Islam
justru yang dibahas
didalamnya adalah tentang pendidikan Islam. Padahal kedua istilah itu
memiliki substansi yang berbeda.[1]
PAI dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan agama Islam.
PAI sebagai mata
pelajaran seharusnya dinamakan
“Agama Islam”, karena yang
diajarkan adalah agama
Islam. Nama kegiatannya
atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai
pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang islami, yang
memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok
muslim yang di idealkan.
Pendidikan Islam ialah
pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur’an
dan Hadits.[2]
Ahmadi mendefinisikan Pendidikan
Islam sebagai “usaha
yang lebih khusus ditekankan
untuk mengembangkan fitrah keberagamaan
(religiousity), subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran-ajaran Islam”. Ahmadi
menekankan kepada proses
pengembangan potensi fitrah manusia untuk
selalu melaksanakan ajaran-ajaran
Islam, yang diawali
dengan pemberian
pengetahuan, pengertian dan
pemahaman terhadap ajaran-ajaran
Islam.[3]
Pemahaman tentang PAI
di sekolah dapat
dilihat dari dua
sudut pandang, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai fenomena. PAI
sebagai aktivitas berarti
upaya yang secara
sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok
orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan
memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup
baik yang bersifat
manual (petunjuk praktis)
maupun mental dan sikap sosial
yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran serta nilai-nilai Islam. Sedangkan
sebagai fenomena adalah
peristiwa perjumpaan antara dua
orang atau lebih
dan/atau penciptaan suasana
yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang
bernafaskan atau dijiwai
oleh ajaran dan
nilai-nilai Islam, yang
diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu
atau beberapa pihak.[4]
Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan
Islam sebagai bimbingan
yang diberikan oleh seseorang
agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Atau dengan kata
lain, pendidikan Islam adalah
bimbingan terhadap seseorang
agar ia menjadi muslim
semaksimal mungkin. Dengan
definisi tersebut, Ahmad
Tafsir menekankan kepada sifat
dari aktivitas pendidikan
Islam, yaitu berupa
bimbingan sebagai suatu upaya yang tidak hanya ditekankan kepada aspek
pengajaran (transfer ilmu
pengetahuan), tapi berupa
arahan, bimbingan, pemberian
petunjuk dan pelatihan menuju
terbentuknya pribadi muslim
yang seutuhnya.[5]
Selanjutnya, Abdul Mudjib
menyatakan bahwa pendidikan
Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan
dan nilai Islam
kepada peserta didik
melalui upaya pengajaran, pembiasaan,
bimbingan, pengasuhan, pengawasan,
dan pengembangan potensinya guna
mencapai keselarasan dan
kesempurnaan hidup di
dunia dan akhirat.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
Islam adalah proses pembentukan individu untuk mengembangkan fitrah keagamaannya,
yang secara konseptual dipahami, dianalisis serta dikembangkan dari ajaran al-Qur’an
dan al-Sunnah melalui
proses pembudayaan dan
pewarisan dan pengembangan kedua
sumber Islam tersebut
pada setiap generasi
dalam sejarah ummat Islam dalam
mencapai kebahagian, kebaikan di dunia dan akhirat.
B.
Proses Dan Model Pengembangan Manajemen Pendidikan
Inti kegiatan manajemen pendidikan persekolahan adalah pembuatan
keputusan untuk peningkatan mutu kinerja sekolah. Sejalan dengan pemikiran ini,
inti manajemen partisipatif yang dituntut dalam Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) adalah pembuatan keputusan secara parsitipatif. Keputusan dalam bidang
manajemen itu berasal dari manusia secara melembaga dan untuk kepentingan
manusia yang melembaga pula atau yang mempunyai kepentingan dengan lembaga
tersebut.[6]
Dilihat dari konsep inovasi, pembuatan keputusan sebagai inti
manajemen pendidikan mengandung makna keputusan inovatif jika keputusan
dibuat dan dianggap baru oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan keputusan
itu. Mengikuti proses pengembangan inovasi (innovation-development process),
inovasi dalam bidang manajemen pendidikan dapat dilakukan dengan menempuh
proses sebagai berikut:[7]
1.
Recognizing a problem or need
Inovasi manajemen pendidikan diawali dengan adanya masalah atau
kebutuhan untuk meningkatkan mutu manajemen sekolah secara lebih baik. Misalnya
penerapan MBS didasari atas kebutuhan riil sekolah untuk memberdayakan diri
sesuai dengan kemampuan dan prestasi terbaik yang dapat dicapai. Kebutuhan
(need) tersebut ditentukan berdasarkan proses penilaian (assessment process)
yang sistematis dan komprehensif agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang
sesungguhnya. Produk assessment itu selanjutnya menjadi cikal-bakal masalah
penelitian, mengingat inovasi yang baik bersifat rasional empiris. Artinya,
inovasi hanya akan bermakna jika dirasakan manfaatnya oleh pengguna inovasi
itu.
2.
Penelitian (Research)
Umumnya penelitian dilakukan melalui eksperimentasi terapan.
Adakalanya juga dilakukan dalam bentuk penelitian kebijakan atau policy
research. Namun demikian karena sifat penelitian ini selalu memperlakukan
unsur manusia maka penelitian ini harus dilakukan secara hati-hati. Salah satu
bentuk kehati-hatian adalah eksperimen terbatas. Misalnya, sebelum diberlakukan
kebijakan secara menyeluruh, terlebih dahulu dilakukan penelitian eksperimental
untuk satu atau beberapa komunitas (sekolah atau wilayah) tertentu.
3.
Pengembangan
Penelitian dan pengembangan (research and development) mempunyai
kaitan yang sangat erat. Kegiatan pengembangan harus didasari atas hasil
penelitian. Pengembangan dari suatu inovasi di sini diartikan sebagai proses
menempatkan ide-ide baru dalam bentuk yang diharapkan untuk menemukan kebutuhan
pemakai sebagai adaptor yang potensial. Namun demikian, adakalanya kegiatan
penelitian ini tidak diikuti dengan kegiatan pengembangan secara meluas
sehubungan dengan adanya indikasi kegagalan atau kekurangberhasilan eksperimen
itu.
4.
Komersialisasi (commercialization)
Dalam bidang manajemen pendidikan tidak dipersepsi sebagai
komersialisasi dalam bidang bisnis. Realitasnya, kaidah-kaidah manajemen bisnis
dapat diadopsi dilingkungan persekolahan. Sekolah tidak bias lagi hanya sebatas
menjadi unit kerja yang membelanjakan semata (cost center), tetapi harus mampu
melakukan prakarsa untuk mendapatkan uang (revenue generating), misalnya
melalui unit komersial pada sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Komersialisasi di sini mengandung makna menyusun suatu paket inovasi untuk
disampaikan kepada pengguna atau adaptor. Kebijakan MBS skan mamiliki nilai
“komersial”, ketika dengan kehadirannya, etos kerja guru meningkat serta mutu
proses dan produk pembelajaran dapat didongkrak secara signifikan.
Adakalanya paket inovasi yang ditawarkan bersifat ganda karena
bersifat erat kaitannya. Misalnya, jika sistem informasi manajemen (SIM) bidang
akaddemik diberlakukan, paket inovasi yang ditawarkan adalah perangkat keras
dan perangkat lunak yang menjadi pendukungnya, disertai pelatihan-pelatihan
yang memungkinkan untuk hal tersebut.
5.
Deffusion and adoption (difusi dan adopsi)
Merupakan aspek yang sangat esensial dalam keseluruhan aktivitas
pengembangan inovasi, yaitu keputusan untuk mulai mendifusikan inovasi kepada
adaptor potensial sehingga terjadinya proses adopsi perlu dilakukan sesegera
mungkin setelah produk inovasi itu dipaket. Didalam melakukan proses ini tidak
mudah untuk diaplikasikan mengingat benturan dengan dana dan budaya.
6.
Konsekuensi (concequences)
Dari proses pengembangan inovasi adalah konsekuensi dari inovasi.
Di sini akan diketahui apakah masalah/kebutuhan yang muncul diawal akan
benar-benar dapat dipecahkan melaui suatu inovasi. Inovasi diawali oleh masalah
atau kebutuhan dan umumnya diakhiri dengan masalah atau kebutuhan baru. Oleh
karena itu, inovasi membentuk suatu siklus.
Berikut disajikan
model proses pengembangan inovasi dalam bidang manajemen pendidikan.
Kebutuhan/masalah
|
Penelitian
|
Pengembangan
|
Difusi/Adopsi
|
Konsekuensi
|
Produktivitas rendah
|
Kebijakan menyeluruh
|
Aplikasi kebijakan
|
Guru dan siswa
|
Mengubah tradisi kerja
|
Sistem manajemen akademik
|
Terapan pada unit terbatas
|
Ke semua unit manajemen akademik
|
Petugas manajemen akademik
|
Pengadaan perangkat keras dan lunak
|
Supervisi kepala sekolah belum
berjalan baik
|
Kebijakan eksperimen ditingkat
sekolah atau wilayah
|
Ke semua sekolah/wilayah
|
Kepala sekolah
|
Delegasi sebagian tugas
administrasi
|
Uraian diatas menggariskan beberapa pemikiran esensial. Pertama,
pembaruan dalam bidang manajemen pendidikan merupakan penerapan cara-cara baru
dan kreatif dalam seleksi, organisasi, dan penggunaan sumber-sumber manusia dan
material yang diharapkan akan meningkatkan mutu proses pengelolaan pendidikan
dan hasil-hasilnya secara lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Kedua, kebijakan pembaruan dalam bidang manajemen pendidikan
dipandang sangat penting. Manajemen pendidikan yang inovatif akan mampu
mewujudkan tujuan sekolah, yaitu pendidikan dan pengajaran terhadap anak didik
secara lebih efektif dan efisien. Untuk mengaplikasikan kebijakan baru dalam
bidang manajemen pendidikan di sekolah-sekolah diperlakukan strategi tertentu
yaitu dengan cara menggunakan power pimpinan dan meningkatkan kesadaran kepala
sekolah akan pentingnya peningkatan mutu manajemen pendidikan di sekolah.
Apapun bentuk dan bagaimanapun ragam pembaruan pendidikan tidak akan banyak
manfaatnya jika lembaga pendidkan tidak dikelola dengan format manajemen
pendidikan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, kegiatan penelitian dan
pengembangan untuk menghasilkan kebijakan baru dalam bidang manajemen
pendidikan tampaknya harus sejalan dengan kegiatan penelitian kependidikan pada
umumya.[8]
C.
Model Pengembangan Pendidikan Agama Islam
a.
Model Dikotomis
Pada model
ini, aspek kehidupan
dipandang sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi
atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan.
Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang aspek
kehidupan dunia dan
akhirat, kehidupan jasmani
dan rohani, sehingga
pendidikan agama Islam
hanya diletakkan pada
aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Dengan
demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non agama, pendidikan keislaman
dengan nonkeislaman, demikian
seterusnya.[9]
Pandangan
semacam itu akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama Islam yang
hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan
duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang
terpisah dari kehidupan
jasmani. Pendidikan (agama)
Islam hanya mengurusi
persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi,
politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan sebagainya
dianggap sebagai urusan duniawi
yang menjadi garapan
bidang pendidikan nonagama.
Pandangan dikotomis inilah
yang menimbulkan dualism dalam sistem pendidikan, yaitu
istilah pendidikan agama dan nonagama. Sikap dikotomi (dualisme) ini terkait
erat dengan world view umat Islam dalam
memandang dan menempatkan
dua sisi ilmu, yaitu ‘ilm al-dînîyah dan ‘ilm ghair
al-dînîyah.[10]
Demikian
pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang
normatif, doktriner dan
absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor)
yang loyal, memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan dedikasi (pengabdian)
yang tinggi terhadap agama yang
dipelajari. Sementara itu,
kajian-kajian keilmuan yang
bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman,
sehingga perlu ditindih oleh pendekatan yang normatif dan doktriner tersebut.
Pola
dikotomi yang demikian, telah menimbulkan sejumlah efek negatif. Abdurrahman
Mas’ud dalam salah
satu penelitiannya
sebagaimana dikutip Ma’arif--menunjukkan bahwa
cara pandang yang dikotomik
tersebut akhirnya telah
membawa kemunduran dalam dunia pendidikan Islam. Di
antaranya adalah menurunnya
tradisi belajar yang
benar di kalangan
muslim, layunya intelektualisme Islam, melanggengkan
supremasi ilmu-ilmu agama
yang berjalan secara monotomik,
kemiskinan penelitian empiris
serta menjauhkan disiplin filsafat dari pendidikan Islam.[11]
b.
Model Mekanisme
Model
mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan
dipandang sebagai penanaman
dan pengembangan seperangkat
nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut
fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang
terdiri atas beberapa
komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan
antara satu dengan lainnya bisa berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai
kehidupan itu sendiri
terdiri atas nilai agama, nilai
individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional,
nilai estetik, nilai
biofisik, dan lain-lain.
Demikian juga dalam proses pendidikan dibutuhkan sistem nilai agar dalam
pelaksanaannya berjalan dengan
arah yang pasti,
karena berpedoman pada garis
kebijaksanaan yang ditimbulkan oleh nilai-nilai fundamental, misalnya
nilai agama, ilmiah, sosial,
ekonomi, kualitas kecerdasan dan sebagainya.[12]
Oleh
karena itu, jika kita membahas nilai-nilai pendidikan, akan jelas melalui
rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan, sebab di dalam rumusan tujuan
pendidikan itu tersimpul dari semua nilai pendidikan yang
hendak diwujudkan di
dalam pribadi peserta didik. Demikian pula,
jika berbicara tentang
tujuan pendidikan Islam, berarti
berbicara nilai-nilai ideal
yang bercorak Islami.
Hal ini mengandung makna
bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah tujuan yang
merealisasi idealitas Islami. Sedang idealitas Islami itu sendiri pada
hakikatnya adalah mengandung nilai
perilaku manusia yang didasari
atau dijiwai oleh
iman dan taqwa
kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.
Dengan
demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau
nilai kehidupan dari
aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara
nilai agama dengan
nilai-nilai lainnya kadang-kadang
bersifat horizontal-lateral (independent)
atau bersifat lateral-sekuensial, tetapi tidak sampai pada
vertikal linier.
Relasi
yang bersifat horizontal-lateral
(independent), mengandung arti
bahwa beberapa mata
pelajaran yang ada
dan pendidikan agama mempunyai
hubungan sederajat yang
independen, dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang
bersifat lateral-sekuensial, berarti
di antara masing-masing
mata pelajaran tersebut
mempunyai relasi sederajat yang
bisa saling berkonsultasi. Sedangkan
relasi vertikal linier berarti
mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi,
sementara seperangkat mata pelajaran
yang lain termasuk
pengembangan nilai insani
yang mempunyai relasi vertikal
linier dengan agama.
Dalam
konteks tersebut, selama ini di sekolah-sekolah masih ada proses sekularisasi
ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan umum.
Nilai-nilai keimanan dan
ketakwaan seolah-olah hanya
merupakan bagian dari
mata pelajaran pendidikan agama, sementara mata
pelajaran yang lain
mengajarkan ilmunya seolah-olah tidak ada hubungannya dengan
masalah nilai keimanan dan ketakwaan. Dampak berupa gejala kegersangan batin
dan kejiwaan modern adalah
konsekuensi dari hal
itu. Bahkan pendidikan di dunia muslim pun berurat
berakar mengadopsi konsep sekuler yang dikotomis dan tidak utuh.[13]
Model tersebut
tampak dikembangkan pada
sekolah yang didalamnya diberikan seperangkat mata
pelajaran atau ilmu pengetahuan, yang salah satunya adalah mata pelajaran
pendidikan agama yang hanya diberikan 2 atau 3 jam pelajaran per minggu, dan
didudukkan sebagai mata pelajaran, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian
yang religius. Kebijakan ini sangat prospektif dalam membangun
watak, moral dan
peradaban bangsa yang
bermartabat. Namun demikian,
dalam realitasnya pendidikan
agama Islam sering termarginalkan, bahkan guru PAI di sekolah pun
kadang-kadang terhambat karirnya untuk menggapai jabatan fungsional tertinggi,
karena tidak tersedia program studi sebagai induknya.[14]
Kebijakan tentang
pembinaan pendidikan agama
Islam secara terpadu di sekolah
umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para
guru agamanya mampu memadukan
antara mata pelajaran
agama dengan pelajaran
umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah yang
cukup puas hanya mengembanhkan pola
relasi horizontal-lateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut
relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola
lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para
guru agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu-ilmu umum,
sebaliknya guru umum dituntut untuk menguasai ilmu umum (bidang keahliannya)
dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru agama dituntut untuk mampu
menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara
keduanya.[15]
c.
Model Organism/Sistemik
Meminjam istilah
biologi, organism dapat
berarti susunan yang bersistem dari
berbagai bagian jasad
hidup untuk suatu
tujuan. Dalam konteks pendidikan
Islam, model organism
bertolak dari pandangan bahwa
aktivitas kependidikan merupakan suatu system yang terdiri
atas komponen-komponen yang
hidup bersama dan bekerja
sama secara terpadu menuju
tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai
oleh ajaran dan nilai-nilai agama.[16]
Pandangan
tersebut menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari
fundamental doctrines dan fundamental
values yang tertuang dan
terkandung dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah al-Shahîhah
sebagai sumber pokok.
Ajaran dan nilai-nilai ilahi didudukkan sebagai sumber
konsultasi yang bijak, sementara aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai
nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertikal-linier dengan nilai ilahi /
agama.[17]
Nilai ilahi
dalam aspek teologi
tak pernah mengalami
perubahan, sedangkan aspek amaliahnya
mungkin mengalami perubahan
sesuai dengan tututan
zaman dan lingkungan.
Sebaliknya nilai insani selamanya
mengalami perkembangan dan
perubahan menuju ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi. Tugas
pendidikan adalah memadukan nilai- nilai baru dengan nilai-nilai lama secara
selektif, inovatif, dan akomodatif guna mendinamisasikan perkembangan
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan, tanpa meninggalkan
nilai fundamental yang menjadi tolok ukur bagi nilai-nilai baru.
Melalui upaya
semacam itu, maka
sistem pendidikan Islam diharapkan dapat
mengintegrasikan nilai-nilai ilmu
pengetahuan, nilai-nilai
agama dan etik,
serta mampu melahirkan
manusia-manusia yang menguasai
dan menerapkan ilmu
pengetahuan, teknologi dan
seni, memiliki kematangan
profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
Paradigma tersebut
tampaknya mulai dirintis
dan dikembangkan dalam
sistem pendidikan di
madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah umum yang
berciri khas agama
Islam, atau sekolah-sekolah (swasta)
Islam unggulan. Kebijakan
pengembangan madrasah
berusaha mengakomodasikan tiga
kepentingan utama, yaitu:
pertama, sebagai wahana untuk membina roh atau praktik hidup keislaman; kedua,
memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah
sederajat dengan sistem
sekolah, sebagai pembinaan warga negara
yang cerdas berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif; dan
ketiga, mampu merespon
tuntutan-tuntutan masa depan
dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki ke siapan memasuki era
globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.[18]
Maka dari
itu, model organisme/sistemik dapat
diimplementasikan dalam pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah,
mengingat kegiatan pendidikan
agama yang berlangsung selama ini
lebih banyak bersikap menyendiri,
kurang berinteraksi dengan
kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya.
Cara kerja semacam
ini kurang efektif untuk
keperluan penanaman suatu
perangkat nilai yang
kompleks. Selain itu, metodologi pendidikan agama kurang mendorong
penjiwaan terhadap nilai-nilai kegamaan serta terbatasnya bahan-bahan
bacaan keagamaan. Buku-buku
paket pendidikan agama
saat ini belum memadai untuk membangun kesadaran
beragama, memberikan keterampilan
fungsional keagamaan dan
mendorong perilaku bermoral dan berakhlak mulia pada peserta
didik.
D.
Pola Pengembangan Pendidikan UIN Maliki Malang
a.
Manajemen Syari’ah
Manajemen Syari’ah adalah
perilaku yang terkait dengan nilai keimanan dan ketauhidan (Hafidhuddin,
2003). Jika kegiatan seseorang yang tergabung dalam sebuah lembaga didasari
oleh nilai tauhid, maka dia menyadari bahwa adanya pengawasan dari Allah.
Konsep Manajemen Syari’ah inilah yang diterapkan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo
dalam melakukan perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang, dan masih diterapkan
selama memimpin UIN Malang.
Gambar Model Manajemen Pengembangan Kampus UIN Malang
Pada gambar Model Manajemen Pengembangan Kampus STAIN Malang / UIN Malang, dapat
dilihat bahwa segala aktifitas Civitas akademika, Visi dan Misi, Profil lulusan
bermuara kepada ridho Allah SWT. Secara transeden segala aktifitas perubahan
selalu didasarkan dan diinspirasikan pada prinsip Iman dan Amal saleh. Pada
tahap empiris, aktifitas membaca adalah salah satu langkah penting dalam
membangun kesadaran yang akan menginspirasi kebangkitan. Konsep thoharoh (bersuci) dipaparkan oleh Prof.
Dr. Imam Suprayogo dengan maksud mengeliminir resistensi (budaya negatif)
terhadap perubahan (budaya positif). Tahap yang penting adalah konsep jihad
(perjuangan), dimana dibutuhkan sebuah pengagungan tehadap Allah SWT, sabar,
rela berkorban, serta kesungguhan dalam mencapai cita-cita perjuangan. Hal
penting berikutnya adalah kebersamaan.
Budaya kampus yang ingin dibangunnya, seperti: Menghargai dan
memuliakan ilmuwan, Ikhlas menjadikan seluruh warga kampus sebagai teman
perjuangan hidup, Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan
dan istiqomah, Dinamis, inovatif sebagaimana tuntutan masyarakat yang selalu
berubah. Pola yang dibangun ini sangat memperhatikan aspek humanisme dengan
selalu menanamkan spirit ajaran Islam.
Tidak hanya dalam
tataran konsep, permasalahan pembangunan fisik juga menjadi perhatian,
diantaranya adalah perlunya ada rencana strategis pembangunan: Sumber daya
manusia yang handal, Mesjid, Ma’had, Perpustakaan, Laboratorium, Ruang belajar,
Perkantoran (pelayanan), Pusat seni dan olahraga. Cita-cita akhir dari konsep
pengembangan yang digagas Prof. Dr. Imam
Suprayogo adalah profil lulusan yang memilki kedalaman spiritual, keagungan
akhlaq, keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Nilai-nilai manajerial yang
Islami sangat kental menjadi budaya kampus.
b. Konsep Pohon Ilmu UIN Malang
Permasalahan
dikotomi ilmu agama dan non agama bukanlah masalah baru, pada masa klasik
permasalahan ini sudah ditulis oleh Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Sains modern
Barat mengenyampingkan status keilmuan keagamaan, padahal ilmu agama tidak bisa
menghindari membicarakan Tuhan, malaikat, dan permasalahan ghaib lainnya (Kartanegara,
2005: 20). Menurut Kartanegara ilmu-ilmu sekuler positivistik yang dikenalkan
ke dunia Islam lewat imperialisme Barat telah membuat dikotomi yang sangat kuat
antara ilmu agama dan ilmu positivistik. Permasalahan dikotomi inilah yang
masih berlangsung saat ini di sisem pendidikan Indonesia , khususnya di pesantren
dan PTAI.
Integrasi
ilmu yang berlandaskan tauhid serta menggali kembali khasanah keilmuan klasik
Islam dan penelitian-penelitian Barat maka integrasi ilmu dapat dilakukan.
Menurut Faruqi, Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk memberikan respon positif
terhadap realitas ilmu pengetahuan modern sekuler dan Islam yang relegius
kedalam sebuah model yang utuh, maka diperlukan hal berikut: a) Penguasaan
disiplin ilmu modern; b)Penguasaan khasanah warisan Islam; c) Membangun relevansi
Islam dengan disiplin ilmu modern; d) Memadukan nilai dan khasanah warisan
Islam secara kreatif dengan ilmu modern; e) Pengarahan aliran pemikiran Islam
ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah (Faruqi, 1995).
Al-Faruqi
mengajukan 12 langkah untuk mewujudkan Islamisasi ilmu: a) Penguasaan disiplin
ilmu modern; b) Survei disiplin ilmu; c) Penguasaan khasanah Islam; d) Penguasaan
khasanah ilmiah Islam; e) Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin
ilmu; f) penilaian kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat
perkembangannya di masa kini; g) Penilaian kritis terhadap khasanah Islam dan
tingkat perkembangannya disaat ini; h) Survei permasalahan yang dihadapi umat
Islam; i) Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia; j) Analisa sintesa
kreatif dan sintesa; k) Penuangan kembali disiplin ilmu modern kembali ke dalam
kerangka Islam; l) Penyebaran ilmu-ilmu yang telah di Islamkan.
Secara
tegas Al-Faruqi mengatakan bahwa umat Islam tidak bisa diharapkan untuk bangkit
kembali jika sistem pendidikannya tidak
dirubah dan kesalahannya tidak dikoreksi. Bagi Al-Faruqi yang diperlukan adalah
pembaharuan terhadap sistem lembaga pendidikan Islam. Dualisme dalam sistem
pendidikan Islam yang berlangsung hingga saat ini harus dihilangkan, dan
berupaya mengintegrasikannya dengan spirit Islam yang juga berfungsi sebagai
bagian integral dari program ideologis Islam (Faruqi, 1998)
Upaya
integrasi ilmu inilah yang menjadi core
business UIN Malang dengan konsep pohon ilmu yang digagas Prof. Dr. Imam Suprayogo.
Konsep pohon ilmu ini menjadi filosofi bahkan menjadi branding UIN Malang untuk memperlihatkan kekhasan pengembangan ilmu
di UIN Malang . Prof.
Dr. Imam Suprayogo mengilustrasikan bahwa Bahasa Arab, Bahasa Inggris,
Pancasila, Filsafat, Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial dasar sebagai akar.
Sedangkan Alqur’an, Al-Sunnah, Sirah
Nabawiyah, Pemikiran Islam, Masyarakat Islam adalah sebagai pohon. Selanjutnya Ilmu-ilmu:
Ekonomi, Psikologi, Hukum, Teknik, MIPA, Bahasa dan sastra, Tarbiyah sebagai
cabang pohon.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kegiatan pendidikan agama
yang berlangsung selama
ini lebih banyak bersikap
menyendiri, kurang berinteraksi
dengan kegiatan-kegiatan pendidikan
lainnya. Cara kerja
semacam ini kurang
efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang efektif
untuk keperluan penanaman suatu
perangkat nilai yang
kompleks. Selain itu, metodologi
pendidikan agama kurang
mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai
kegamaan serta terbatasnya
bahan-bahan bacaan
keagamaan. Buku-buku paket
pendidikan agama saat
ini belum memadai untuk membangun kesadaran beragama,
memberikan keterampilan fungsional keagamaan
dan mendorong perilaku
bermoral dan berakhlak mulia pada
peserta didik. Untuk itu, diperlukan pengembangan pendidikan
agama yang lebih kondusif
dan prospektif terutama
di sekolah. Model
pengembangannya perlu direkonstruksi, dari
model yang bersifat
dikotomis dan mekanisme ke
arah model organisme
atau sistemik. Hanya
saja untuk merombak model
tersebut diperlukan kemampuan
guru PAI dan political will dari
para pengambil kebijakan, termasuk di dalamnya para pimpinan
lembaga pendidikan itu
sendiri.
Daftar Pustaka
Abdurrahmansyah.
2005. Wacana Pendidikan Islam,
Khazanah Filosofis dan Implementasi Kurikulum, Metodologi dan
Tantangan Pendidikan Moralitas. Yogyakarta: Global Pustaka.
Ahmadi. 2005. Ideologi
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danim, Sudarwan.
2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Maarif,
Syamsul. 2007. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muhaimin dan
Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya.
Bandung: Trigenda Karya.
Muhaimin. 2009.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam di
Sekolah, Madrasah, dan Perguruan
Tinggi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Muhaimin. 2009.
Rekonstruksi Pendidikan Islam,
dari Paradigma Pengembangan,
Manajemen Kelembagaan, Kurikulum
hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali
Press.
Muhaimin. 2006.
Nuansa Baru Pendidikan
Islam: Mengurai Benang Kusut
Dunia Pendidikan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Tafsir, Ahmad.
2006. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Jurnal Manajemen Perubahan Perguruan
Tinggi Islam Konsep dan Praksis Prof. Dr. Imam Suprayogo Oleh: Fridiyanto,
M.Pd.I*
[1] Muhaimin, Nuansa Baru
Pendidikan Islam: Mengurai Benang
Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006), hlm. 3-4.
[2]
Ibid.,
[4]
Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam, dari
Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga
Strategi Pembelajaran,
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 51.
[5]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam, (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2006), hlm. 32.
[6] Sudarwan
Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hal. 49.
[7] Ibid., hal. 49-51.
[8] Sudarwan
Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hal. 51-52.
[9] Muhaimin,
Rekonstruksi Pendidikan Islam,
dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga
Strategi Pembelajaran.
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 60.
[10] Ibid., Lihat I.R. Poedjawajatna, Tahu dan Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat
Ilmu (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 62-73.
[11] Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2007), hlm.15.
[12] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian
Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya,
1993), hlm.124.
[13] Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan
Islam, Khazanah Filosofis
dan Implementasi
Kurikulum,
Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas,
(Yogyakarta: Global Pustaka
Utama,
2005), hlm. 145.
[14] Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 37.
[15] Ibid., hlm. 37-38.
[16] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan
Islam, dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga
Strategi Pembelajaran. (Jakarta: Rajawali
Press, 2009), hlm. 67.
[17] Ibid., hlm. 67.
[18] Ibid., hlm. 68.
*
Dosen Mata Kuliah Perencanaan Strategik Pendidikan di Program Studi Manajemen
Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara.
ijin copas yaa ust..matur suwun
BalasHapus