BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kloning
Klon berasal dari kata
klόόn (yunani), yang artinya tunas. Kloning adalah teknik penggandaan
gen yang menghasilkan keturunan yang
sama, baik dari segi hereditas maupun penampakannya.
Kloning merupakan pembuatan sebuah sel atau molekul
yang seluruhnya identik dengan sel asalnya.
Kloning pertama kali digunakan untuk melukiskan suatu populasi sel atau
organisme yang semuanya berasal dari sel atau organisme tunggal, dengan jalan
reproduksi aseksual, sehingga semua individu dalam kloning itu mempunyai
susunan genetik yang sama.[1]
Secara garis
besar kloning diklasifikasikan menjadi 3 bagian diantaranya :
1.
Kloning Embrio
Kloning embrio atau penggandaan sel kembar. penggandaan
sel kembar secara buatan ini telah dimulai sejak tahun 1970-an yang mengambil
sampel percobaan pada hewan ternak seperti domba, sapi, atau tikus. Kloning
embrio pada dasarnya adalah penggandaaan sel zigot dari sel telur hewan yang
telah dibuai sperma menjadi beberapa sel monozigot mandiri yang mempunyai
genetika yang sama secara sengaja dilaboratorium. Proses kerjanya dengan
menambahkan zatkimia yang merangsang 2 zigot atau lebih untuk berkembang secara
sendiri-sendiri menjadi masing-masing 1 makhluk hidup tunggal. Proses ini
adalah peniruan proses terjadinya bayi kembar satu telur, dimana pada manusia
terjadi proses penggandaan monozigot dari 1 zigot dengan probabilitas
terjadinya satu diantara 75 kehamilan.
2.
Kloning Reproduksi
Kloning ini adalah penggandaan dari hewan yang sudah dewasa
sehingga mempunyai genetika yang sama. Telah dicoba pada domba dolly dan sapi.
prosedur proses kloning ini adalah pengosongan inti sel telur yang mengandung
DNA, dan mengisinya dengan DNA yang diambil dari salah satu sel makhluk hidup
dewasa, lalu mencangkok sel telur ini kedalam rahim hewan. Pada proses kloning
tidak terjadi pertemuan alamiah antara sel telur dan sel sperma, tetapi terjadi
peminjaman sel telur kosong untuk penggandaan DNA dari sel dewasa.
3.
Kloning Terapeutik
Tahap awal prosedur kloning terapeutik
pada prinsipnya sama dengan kloning reproduksi. Tetapi pada kloning terapeutik,
embrio hanya dibiarkan tumbuh kurang lebih 14 hari. Selanjutnya dari embrio ini
hanya sel tunas yang diekstraksi yang pada perkembangannya akan menjadi organ
tubuh. Dari sel tunas ini bisa dibiakkan jaringan tubuh manusia maupun organ
tubuh lengkap seperti pada hati, ginjal, kulit dll. berdasarkan informasi DNA
dari orang yang bersangkutan untuk kepentingan pencangkokan, sehingga penolakan
pencakokan organ dari orang lain bisa diatasi dengan prosedur ini.[2]
B. Dampak dari
Kloning
1.
Dampak positif dari kloning embrio:
a)
Mempermudah penggandaan untuk hasil ternak transgenik yang
benar-benar murni membawa sifat yang diharapkan.
b)
Memberi pertolongan pada mekanisme keguguran berulang yang dialami
oleh ibu hamil yang sampai sekarang belum diketahui penyebabnya, sehingga dapat
menolong para pasien seperti ini.
c)
Memungkinkan wanita dengan karakter mandul untuk mempunyai peluang
kehamilan yang lebih besar.
d)
Memungkinkan penyediaan organ tubuh sang calon bayi ketika dia
menjadi besar dan dalam perjalanan hidupnya membutuhkan cangkok organ tubuhnya
karena rusak oleh penyakit misalnya.
2.
Dampak negatif dari kloning embrio:
a)
Proses kloning embrio memungkinkan untuk membuat sel monozigot
kembar dalam jumlah banyak. Sehingga etika untuk memusnahkan sel monozigot
dalam pemanfaatannya akan menjadi permasalahan ketika zigot dipercayai sebagai
awal kehidupan.
b)
Walaupun proses kloning embrio tidak terlalu artifisial seperti
kloning sel dewasa, pemanfaatannya untuk menciptakan kelas yang terdiri dari
orang-orang unggul untuk kepentingan kekuasaan suatu kelompok tidak bisa
diabaikan.
3.
Dampak positif dari kloning reproduksi:
a)
Kloning reproduksi bisa menolong pasangan suami istri yang ingin
mempunyai anak secara biologis, sementara sang suami sudah tidak bisa
memproduksi sel sperma sama sekali/organ reproduksinya rusak.
4.
Dampak negatif dari kloning reproduksi:
a)
Kloning menimbulkan cacat fungsi organ tubuh atau kelainan bawaan yang
mungkin saja terjadi pada manusia.
b)
Kloning menyebabkan bayi yang lahir adalah bayi yang sudah dewasa,
sehingga mungkin saja berumur pendek.
c)
Kloning reproduksi memungkinkan manusia untuk mempunyai anak tanpa
laki-laki, yang bisa mengakibatkan gender laki-laki musnah dari muka bumi ini.
d)
Memungkinkan penyalahgunaan dengan memproduksi manusia unggul
secara massal untuk kepentingan buruk dan menjadikan
manusia sebagai komoditas komersial.
e)
Anak yang lahir akan mempunyai banyak sifat yang mirip dengan bapak
atau ibunya saja yang mungkin akan mempengaruhi psikologis dan pendidikan di
masa depan kelak
f)
Jika anak adalah hasil kloning reproduksi, dimana genetis adalah
hanya ayah atau ibu, maka apakah ini sesuai dengan fitrah alam yang berlaku.
5.
Dampak positif dari kloning terapeutik:
a)
Karena organ untuk transplantasi yang dihasilkan adalah berdasarkan
informasi genetis dari DNA sang pasien, reaksi penolakan tubuh dapat
dihilangkan.
b)
Dengan adanya embrio yang mengandung sel tunas ini, maka sumber
organ untuk keperluan transplantasi menjadi unlimited. Sebuah keuntungan yang
tidak bisa diperoleh dalam proses pencangkokan selama ini, dimana pasien hanya
dapat menunggu berhasil atau tidak dengan organ sang donor.
6.
Dampak negatif dari kloning terapeutik:
a)
Memilki batas yang “tipis” dalam prosedur kelanjutannya.
b)
Sebenarnya, sel tunas bisa diambil dari sumber lain selain dengan
kloning terapeutik.
c)
Secara etika keagamaan, apakah pemusnahan sel embrio berusia 14
hari untuk mengambil sel tunas saja diperkenankan oleh agama.
C. Kloning manusia dalam perspektif Islam
Permasalahan
kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian). Dalam kajian
literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh
karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning
ini adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer.
Para ulama
mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari ayat berikut:
… فَإِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ
مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي
اْلأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ … (الحج: 5).
“… Kami telah
menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal
darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa
yang Kami kehendaki …” (QS. 22/al-Hajj: 5).
Abul Fadl
Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa ayat tersebut
menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia mencegah
tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat
kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas
tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.
Selanjutnya, ia
mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi ilmiah atas kloning
manusia, apakah akan merusak keimanan kepada Allah SWT sebagai Pencipta? Abul
Fadl menyatakan “tidak”, berdasarkan pada pernyataan al-Qur’an bahwa Allah SWT
telah menciptakan Nabi Adam As. tanpa ayah dan ibu, dan Nabi ‘Isa As. tanpa
ayah, sebagai berikut:
إِنَّ مَثَلَ
عِيسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ ءَادَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ
كُنْ فَيَكُونُ (ال عمران: 59).
“Sesungguhnya
misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah”
(seorang manusia), maka jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran: 59).
Pada surat yang
sama juga dikemukakan:
إِذْ قَالَتِ
الْمَلاَئِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ
الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ
الْمُقَرَّبِينَ. وَيُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلاً وَمِنَ
الصَّالِحِينَ. قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي
بَشَرٌ قَالَ كَذَلِكِ اللهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا
يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (ال عمران: 45- 47).
“(Ingatlah),
ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu
(dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang)
daripada-Nya, namanya al-Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia
dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia
berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk
di antara orang-orang yang saleh. Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin
aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang
laki-lakipun”. Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan
sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia” (QS. 3/Ali
‘Imran: 45-47).
Hal yang sangat
jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah bahwa segala sesuatu terjadi
menurut kehendak Allah. Namun, kendati Allah menciptakan sistem sebab-akibat di
alam semesta ini, kita tidak boleh lupa bahwa Dia juga telah menetapkan
pengecualian-pengecualian bagi sistem umum tersebut, seperti pada kasus penciptaan
Adam As. dan ‘Isa As. Jika kloning manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka
itu adalah atas kehendak Allah SWT. Semua itu, jika manipulasi bioteknologi ini
berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak mengurangi keimanan kita
kepada Allah SWT sebagai Pencipta, karena bahan-bahan utama yang digunakan,
yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda ciptaan Allah
SWT.
Islam mengakui
hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi pembentukan
masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir dalam
ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang tuanya,
dan kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas. Karena itu,
kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis semacam ini
akan berakibat negatif pada hubungan suami-isteri dan hubungan anak-orang tua,
dan akan berujung pada kehancuran institusi keluarga Islam. Lebih jauh, kloning
manusia akan merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka serta merusak
aturan hukum Islam tentang waris yang didasarkan pada pertalian darah.
Berikutnya, KH.
Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz Sachedina dan Imam
Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan mengandung ancaman bagi
kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan hancurnya
lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang Tuhan, dengan bermain
tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum.
M. Kuswandi,
staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta juga berpendapat teknik kloning
diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan institusi pernikahan yang mulia
(misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak),
juga akan menghancurkan manusia sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang
sesuai dengan environment-nya yang dapat hidup).
Dari sudut
agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut masalah hak waris
dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning hanya
mempunyai DNA dari donor nukleus saja, sehingga walaupun nukleus
berasal dari suami (ayah si anak), maka DNA yang ada dalam tubuh anak tidak
membawa DNA ibunya. Dia seperti bukan anak ibunya (tak ada hubungan darah,
hanya sebagai anak susuan) dan persis bapaknya (haram menikah dengan saudara sepupunya,
terlebih saudara sepupunya hasil kloning juga). Selain itu, menyangkut masalah
kejiwaan, bila melihat bahwa beberapa kelakuan abnormal seperti kriminalitas,
alkoholik dan homoseks disebabkan kelainan kromosan. Demikian pula
masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh single parent,
barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari
suami dan yang mengandung bukan ibunya.
Sedangkan ulama
yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan alasan sebagai berikut:
1.
Dalam Islam, kita
selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami agama.
2.
Islam
menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan sampai ke
negri Cina sekalipun).
3.
Islam
menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia ketahui (lihat
QS. 96/al-’Alaq).
4.
Allah
menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah (lihat
ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).
Dengan landasan
yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan teknologi bayi
tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari takdir
(kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap
kemajuan teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
diajarkan dalam Islam.
Ada juga di
kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan ataupun membolehkan,
namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan di dalamnya.
Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:
Perbedaan
pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih bersifat tentative,
bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada manusia
hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied
science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang mempunyai
implikasi sosial praktis sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka
kurang menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik
kloning, yang bisa berjalan terus di laboratorium baik ada larangan maupun
tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran dan logika
tersendiri pula.
Dalam mencari
batas “keseimbangan” antara kemajuan IPTEK dan Doktrin Agama, pertanyaan yang
dapat diajukan adalah sejauh mana para ilmuan, budayawan dan agamawan dapat
berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi dan orientasi
tersebut? Menekankan satu sisi dengan melupakan atau menganggap tidak adanya
sisi yang lain, cepat atau lambat, akan membuat orang “tertipu” dan “kecewa”.
Dari situ barangkali perlu dipikirkan format kajian dan telaah yang lebih
seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan memahami kedua sisi tersebut
sekaligus. Sudah tidak zamannya sekarang, jika seseorang ingin menelaah
persoalan kloning secara utuh, tetapi tidak memperhatikan kedua sisi tersebut
secara sekaligus.
Selanjutnya,
ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama menurut
penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka
kloning itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama. Bila
sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila
bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita cegah agar tidak
menimbulkan bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu
tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun
harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.
Untuk
menentukan apakah syari’at membenarkan pengambilan manfaat terapeutik dari
kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a vis mudharat dari
praktek ini. Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini, maka manfaat dan
mudharat terapeutik dari kloning manusia dapat diuraikan sebagai
berikut:
1.
Mengobati
penyakit
Teknologi kloning kelak dapat membantu manusia
dalam menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat
tulang, lemak, jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh
pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan. Sekedar melakukan
riset kloning manusia dalam rangka menemukan obat atau menyingkap
misteri-misteri penyakit yang hingga kini dianggap tidak dapat disembuhkan
adalah boleh, bahkan dapat dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset seperti ini
karena ada sebuah hadits yang menyebutkan: “Untuk setiap penyakit ada obatnya”.
Namun, perlu ditegaskan bahwa pengujian tentang ada tidaknya penyakit keturunan
pada janin-janin hasil kloning guna menghancurkan janin yang terdeteksi
mengandung penyakit tesebut dapat melanggar hak hidup manusia.
2. Infertilitas
Kloning manusia memang dapat memecahkan problem
ketidaksuburan, tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Ian Wilmut, A.E.
Schieneke, J. Mc. Whir, A.J. Kind, dan K.H.S. Campbell harus melakukan 277 kali
percobaan sebelum akhirnya berhasil mengkloning “Dolly”. Kloning manusia tentu
akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit. Pada eksperimen awal untuk
menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan hidup akan terjadi banyak sekali
keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari sekian banyak embrio yang dihasilkan
hanya satu embrio, yang akhirnya ditanam ke rahim wanita pengandung sehingga
embrio-embrio lainnya akan dibuang atau dihancurkan. Hal ini tentu akan
menimbulkan problem serius, karena menurut syari’at
pengancuran embrio adalah sebuah kejahatan. Selain itu, teknologi kloning
melanggar sunnatullah dalam proses normal penciptaan manusia, yaitu
bereproduksi tanpa pasangan seks, dan hal ini akan meruntuhkan institusi
perkawinan. Produksi manusia-manusia kloning juga sebagaimana dikemukakan di
atas, akan berdampak negatif pada hukum waris Islam (al-mirâts).
3. Organ-organ untuk transplantasi
Ada kemungkinan bahwa kelak manusia dapat
mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio
hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh
manusia hasil kloning. Manipulasi teknologi untuk mengambil manfaat dari
manusia hasil kloning ini dipandang sebagai kejahatan oleh hukum Islam, karena
hal itu merupakan pelanggaran terhadap hidup manusia. Namun, jika penumbuhan kembali organ tubuh
manusia benar-benar dapat dilakukan, maka syari’at tidak dapat menolak
pelaksanaan prosedur ini dalam rangka menumbuhkan kembali organ yang hilang
dari tubuh seseorang, misalnya pada korban kecelakaan kerja di pertambangan
atau kecelakaan-kecelakaan lainnya. Tetapi, akan muncul pertanyaan mengenai
kebolehan menumbuhkan kembali organ tubuh seseorang yang dipotong akibat
kejahatan yang pernah dilakukan.
4. Menghambat Proses Penuaan
Ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat
menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning. Namun hal
ini bertentangan dengan hadits yang menceritakan peristiwa berikut:
Orang-orang
Baduy datang kepada Nabi SAW, dan berkata: “Hai Rasulullah, haruskah kita mengobati diri kita
sendiri? Nabi SAW menjawab: “Ya, wahai hamba-hamba Allah, kalian harus
mengobati (diri kalian sendiri) karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan
suatu penyakit tanpa menyediakan obatnya, kecuali satu macam penyakit”. Mereka
bertanya: “Apa itu?” Nabi SAW menjawab: “Penuaan”.
5. Jual beli embrio dan sel
Sebuah riset bisa saja mucul untuk
memperjual-belikan embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi
semacam ini dianggap bâthil (tidak sah) berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a)
Seseorang tidak
boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya.
b)
Sebuah hadits
menyatakan: “Di antara orang-orang yang akan dimintai pertanggungjawaban
pada Hari Akhir adalah orang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasilnya”.
Dengan
demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi kloning manusia
jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya, dan karenanya
umat Islam tidak dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari kloning
manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Klon berasal dari kata kloon (yunani) yang
berarti tunas. Kloning ialah teknik penggandaan gen yang menghasilkan keturunan
yang sama, baik dari segi hereditas maupun penampakannya. Kloning merupakan
pembuatan sebuah sel atau molekul yang seluruhnya identik dengan sel asalnya, Kloning
telah member manfaat yang cukupbesar di bidang pertanian, kedokteran,
obat-obatan, dan manusia.
Secara garis besar, kloning
diklasifikasikan menjadi 3 macam yakni kloning embrio, kloning reproduksi, dan
kloning terapeutik.Ketiga kloning ini menimbulkan dampak positif maupun dampak
negative bagi manusia, jika penerapannya dilakukan pada manusia.
Dari dampak-dampak yang ditimbulkan,
memunculkan berbagai pendapat dikalangan ulama.Abul Fadl
Mohsin Ebrahim misalnya, beliau berpendapat
bahwa ayat Al Quran surat Al Hajj
: 5 menampakkan
paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia mencegah tindakan-tindakan yang
mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya
adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas tindakan-Nya dianggap
sebagai perbuatan yang melampaui batas. Namun disisi lain beliau juga tidak melarang adanya kloning karena
Allah menciptakan Nabi Adam AS tanpa ayah dan ibu dan juga Nabi Isa AS yang
diciptakan tanpa ibu. Pendapat beliau diperkuat dengan adanya QS Ali Imran : 59
dan Ali Imran 46-47. Segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak Allah
sehingga tidak mengurangi iman kita kepada Allah SWT. Namun ulama lain seperti KH. Ali Yafie
dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz Sachedina dan Imam Mohamad
Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan mengandung ancaman bagi
kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan hancurnya
lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang Tuhan, dengan bermain
tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum.
M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM
Yogyakarta juga berpendapat teknik kloning diharamkan, dengan argumentasi:
menghancurkan institusi pernikahan yang mulia (misal: tumbuh suburnya lesbian,
tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak), juga akan menghancurkan manusia
sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai dengan environment-nya
yang dapat hidup).
Dari sudut
agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut masalah hak waris
dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning hanya
mempunyai DNA dari donor nukleus saja, sehingga walaupun nukleus
berasal dari suami (ayah si anak), maka DNA yang ada dalam tubuh anak tidak
membawa DNA ibunya. Dia seperti bukan anak ibunya (tak ada hubungan darah,
hanya sebagai anak susuan) dan persis bapaknya (haram menikah dengan saudara
sepupunya, terlebih saudara sepupunya hasil kloning juga). Selain itu,
menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa beberapa kelakuan abnormal
seperti kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan kelainan kromosan.
Demikian pula
masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh single parent,
barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari
suami dan yang mengandung bukan ibunya. Dan beberapa
umat Islam yang tidak langsung membolehkan atau mengharamkan secara langsung
dan melihat dari kemanfaatan dan kemadharatannya dahulu. Namun Faywa MUI mengharamkan kloning pada
manusia dan membolehkan jika dilakukan pada hewan. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasanya kloning akan berbahaya
dan haram jika banyak mendatangkan madharat bagi manusia, namun dihukumi boleh
bila banyak membawa manfaat bagi kehidupan manusia.
0 komentar:
Posting Komentar