Prinsip – prinsip Utama dalam
Hukum Islam
A. PENDAHULUAN
Tugas ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqih yang dibimbing oleh Bapak
Dr.Muhammad Asrori,M.Ag Makalah ini berjudul ”Prinsip – prinsip Utama dalam Hukum
Islam”. Ini perlu dibicarakan karena penting bagi kehidupan sehari – hari.
Islam adalah
agama dan cara hidup berdasarkan syariat Allah yang terkandung dalam kitab
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya
kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syariat
– syariat yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah .
Prinsip menurut
pengertian bahasa adalah permulaan, tempat pemberangkatan, titik tolak atau
al-mabda atau kebenaran yang menjadi pokor dasar berpikir atau bertindak.Pengertian
hukum Islam dikemukakan Hasbi Ash-Shidieqy sebagai koleksi daya upaya para
fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Jadi
yang yang dimaksud dengan prinsip hukum Islam adalah prinsip yang membentuk hukum
Islam dari setiap cabang – cabangnya.
B. PEMBAHASAN
Syari’at Islam
adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia
agar sesuai dengan keinginan Al-Qur‟an dan Sunnah. Sebagaimana hukum-hukum yang
lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat
atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau
diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokoknya. Prinsip
– prinsip utama dalam hukum Islam adalah:
1)
Keadilan
Teori – teori keadilan dari para ahli:
1. Teori Keadilan Aristoteles
Dalam buku : nicomachean ethics
keadilan di pahami dalam arti KESAMAAN, Namun Aristoteles membuat
pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional . Kesamaan
numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang
biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita
mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional
memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,
prestasinya, dan sebagainya.[1]
Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan
distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik,
yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.keadilan distributif, hal yang
penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama
rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang
disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat.
2. Teori keadilan John Rawls
Dalam buku : a theory of justice
Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai
berikut:
Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini
hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,
Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial
maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”).
Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan
yang lebih besar.
Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap
ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk meberikan jawaban atas
hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga) pronsip kedilan, yang sering
dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:
Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
Prinsip perbedaan (differences principle)
Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
3.Teori keadilan dalam filsafat hukum Islam
Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari
diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik
dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu
atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu
(Allah).[2]
Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan
cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua
konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan
keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama
teologi dialektika Islam yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah.
Tesis dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas,
bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk
merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar –
yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia
sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif
4. Teori keadilan Plato
keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber
ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki
elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:
Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang
diisi oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas
dengan domba manusia.
Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya;
perhatian khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada
persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas
ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-kepentingan
anggotanya.
Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat
diturunkan, misalnya berikut ini:
Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan
dan latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk
pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi dalam
aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha mencari penghasilan,[3]
Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas
penguasa, dan propaganda terus-menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan
pikiran-pikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan agama
harus dicegah atau ditekan.[4]
Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). Negara harus
bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa akan
bergantung pada para pedagang, atau justru para penguasa itu sendiri menjadi
pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan kekuasaan mereka, sedangkan
alternatif kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa dan stabilitas
negaranya.
Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada
struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas
ini adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan
bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dan negara.
Bagaimana individu melayani negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai
kualitas atau fungsi smakhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati
oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia
lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan
tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan
Tuhan yang tidak dapat diduga.Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang
memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher[5]
Kata keadilan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata adil yang mendapat
imbuhan awalan dan akhiran berasal dari bahasa Arab, yakni عد لbermakna: istiqamah, seimbang, harmonis, lurus, tegak,
kembali, berpaling, dan lain-lain.Adil dapat pula diartikan dengan memberikan
sesuatu kepada seseorang yang menjadi haknya, oleh Ibrahim Mustafa menyebutkan
dalam kitab.Kata keadilan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata adil yang
mendapat imbuhan awalan dan akhiran berasal dari bahasa Arab, yakni: عد ل yang bermakna: istiqamah, seimbang, harmonis, lurus, tegak, kembali,
berpaling, dan lain-lain.
Adil dapat pula diartikan dengan memberikan sesuatu kepada seseorang yang
menjadi haknya, oleh Ibrahim Mustafa menyebutkan dalam kitabmu’jamnya
“mengambil dari mereka sesuatu yang menjadi kewajibannya”.Dalam kamus bahasa
Indonesia disebutkan bahwa kata adil diartikan dengan 1) Tidak memihak atau
tidak berat sebelah, 2) Berpihak kepada kebenaran, 3) Sepatutnya atau tidak
sewenang-wenang. Ibnu Faris
menyebutkan makna kata al-idl dengan “missal atau pengganti sesuatu”.
Beberapa ulama
tafsir menjelaskan kata adil tersebut, diantaranya: al-Maraghi memaknai adil
dengan “menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif”. Oleh al-Raghib
al-Asfahani, menyebutkan bahwa lafaz tersebut bermakna “memberi pembagian yang
sama”.
M. Quraish
Shihab mengemukakan bahwa kata adil pada awalnya diartikan dengan sama atau
persamaan, itulah yang menjadikan pelakunya tidak memihak atau berpihak pada
yang benar. Makna ini menunjukkan bahwa keadilan itu melibatkan beberapa pihak,
yang terkadang saling berhadapan, yakni: dua atau lebih, masing-masing pihak
mempunyai hak yang patut perolehnya, demikian sebaliknya masing-masing pihak
mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan.
Alquran
menggunakan beberapa lafaz yang bermakna adil yang dipakai dalam konteks
kalimat yang berbeda, yakni: lafaz قصط, عد ل dan ميزن yang bermakna perintah Allah kepada manusia untuk berlaku adil seperti
firman Allah swt berikut:
قل امر ربى با لقصط 1.
Artinya:
Katakanlah, Tuhanku memerintahkan al-qisth (keadilan). (QS. al-A’raf:29)
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah swt.memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan
(kebajikan). (QS. An
Nahl:90)
- - 3 واىع بَء زفعهب ووضع اى صَُا ,ُ ألا تطغىا ف اى صَُا ,ُ اىسح بَ ,ُ 8 7
Terjemahnya:
Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca (keadilan)
agar kamu tidak melampaui batas, tentang neraca itu.[6]
Kata adil dalam Alquran berulang 28 kali dengan bermacam-macam
bentuk, tidak satupun yang dinisbatkan kepada Allah swt.menjadi sifat-Nya, dari
semua kata adil tersebut, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa paling tidak ada
empat makna keadilan yang dikemukakan oleh pakar agama, yaitu: 1). Adil
Secara bahasa
keadilan adalah sinonim dengan al- mizan yang berarti keseimbangan atau
moderasi. Lafazh al – mizan yang berarti keadilan dapat dijumpai dalam surat
al-Syura ayat 17 dan surat al-Hadid ayat 25.Kebanyakan filsuf menganggap bahwa
keadilan merupakan tujuan tertinggi dari penerapan hukum .
Keadilan
merupakan prinsip yang sangat penting dalam hukum Islam.Demikian pentingnya
sehingga dapat disebut sebagai prinsip semua prinsip hukum Islam. Didalam
Al-Qur’an, karena pentingnya kedudukan dan fungsi kata itu, keadilan disebut
lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah Allah dan ilmu pengetahuan .
Keadilan dalam
Islam meliputi berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam bidang dan sistem
hukumnya.Konsep keadilan meliputi keadilan dalam berbagai hubungan, baik
menyangkut hubungan dalam intern pribadi manusia, hubungan antara individu
dengan manusia dan masyarakatnya, hubungan antara individu dengan hakim dan
yang berperkara serta berbagai pihak yang terkait.Seseorang yang hidup menurut
hukum Tuhan harus berbuat adil, tidak saja pada diri sendiri tetapi juga pada
keluarga dan alam sekitarnya.[7]
Menurut
syari’at Islam, semua orang sama. Tidak ada kelebihan seorang manusia dari yang
lain di hadapan hukum. Dalam khutbah haji wada’ yang pengikutnya hampir
seluruhnya orang berkebangsaan Arab, Rasul bersabda: “Tidak ada perbedaan
antara orang Arab dan orang ‘ajam”. Firman Allah dalam Qs.al-Maidah ayat 8 dan
Qs.an-Nisa’ ayat 135
Pada suatu
ketika, orang – orang Quraisy disibukkan oleh peristiwa seorang wanita yang
hendak dijalankan hukuman potong tangan atasnya lantaran mencuri.Orang Quraisy
berkehendak untuk membebaskan hukuman bagi wanita tersebut. Mereka menyampaikan
maksud tersebut melalui pemuda kesayangan Rasul yaitu Usamah bin Zaid. Ketika
mendengar pengaduan Usamah, Nabi saw menjadi marah dan bersabda “ Apakah engkau
memberi syafa’at (dispensasi) terhadap seseorang dalam menjalankan suatu had
dari had – had Allah? Sesungguhnya telah binasa orang – orang sebelum kamu
lantaran mereka jika mencuridiantara mereka orang yang berpangkat, mereka
biarkan (tidak dihukum), dan jika yang mencuri itu orang rendah mereka laksanakan
had itu. Demi Allah, andaikan Fatimah purti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad
memotong tangannya”.[8]
Kedilan sebagai pedoman kehidupan:
Segala kesalahan maka hanya ada satu alasan : yaitu kita tidak mau
mendengarkan diri kita sendiri. Oleh karena itu prinsip keadilan ini teramat
penting sampai-sampai Allah SwT meletakkannya setelah prinsip Keesaan Tuhan. Di
dalam al-Qur’an, Allah SwT berfirman,”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan!” [al-Qur’an Surat Ali Imran (3)
ayat 18] atau ayat lainnya, Dia memerintahkan orang-orang yang beriman,”Wahai
orang-orang yang beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar penegak
keadilan!” [al-Qur’an Surat An-Nisa (4) ayat 135]
Plato sendiri konon pernah mengatakan, ”Pengetahuan tanpa ruh
keadilan lebih pantas disebut sebagai kelicikan ketimbang kearifan” (Wisdom of
Ages)
Albert Pike juga mengatakan, ”Kejahatan moral (moral evil)
merupakan kebohongan dalam perbuatan sebagaimana kebohongan merupakan kejahatan
dalam kata-kata. Ketidakadilan merupakan esensi dari kebohongan. Karena setiap
kebohongan adalah ketidakadilan. Ketidak adilan atau kezaliman adalah kematian
bagi keberadaan moral, sebagaimana kebohongan merupakan racun bagi
intelijensia”
Bagaimana pun, keadilan merupakan dasar dari seluruh moralitas
agama. Hanya agama-agama palsu saja yang mengabaikan pentingnya penegakan
keadilan.
Namun sayangnya, akhir-akhir ini, masih banyak
orang yang menjadikan keadilan hanya sebagai propaganda atau sekadar
slogan-slogan kosong tanpa aksi dan tanpa dasar ketulusan, sehingga semua itu
berujung pada kebohongan pula.
Oleh karena itu Horace mengatakan, ”Kesetiaan (kepada kebenaran)
adalah saudara perempuan keadilan!” Mungkin yang dimaksud kesetiaan oleh Horace
di sini adalah kejujuran terhadap diri spendiri,
sehingga hanya orang-orang yang jujur terhadap diri mereka sendirilah yang bisa
menegakkan keadilan dengan sebenar-benarnya.
Hamid Algar, di dalam bukunya: Islam and Revolution, A Warning to
the Nation, menyebutkan bahwa Imam Khomeini (qs), pemimpin spiritual Islam dari
Iran pernah mengatakan, ”Apakah Anda tahu apa itu keadilan? Jika Anda tidak
tahu, tanyakan pada akal Anda, karena tindakan yang didasarkan akal itu
seumpama mata bagi seseorang”
2)
Persamaan
Prinsip ini
mempunyai landasan yang kuat didalam al – Qur’an dan Sunnah Nabi, prinsip ini
ditekankan oleh Islam, yang dibuktikan dengan menentang penindasan dan
perbudakan atas manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam Qs.al – Hujarat ayat 13
Untuk
mempertegas konsep al – Qur’an itu, dalam pidato perpisahan di Padang Arafah
Nabi menyatakan “Sekalian manusia apakah kamu tidak mengetahui jika Tuhan kamu
itu satu dan bapak kamu juga satu. Orang Arab tidak lebih mulia daripada orang
Ajam, dan Ajami pun tidak lebih mulia daripada orang Arab, demikian juga yang
berkulit merah tidak lebih mulia dari yang hitam, dan tidak juga yang berkulit
hitam lebih mulia dari yang merah, kecuali karena taqwa” .
Prinsip
keadilan yang memperlakukan semua manusia sama dihadapan Allah dan dihadapan
hukum dan pemerintahan. Tidak ada diskriminasi karena perbedaan bangsa, suku
bangsa, bahsa, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, adat – istiadat, dan
sebagaimana. Tersebut dalam surat Al – Hujarat ayat 13.
Prinsip
persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah),
yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas
manusia.Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti
tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.[9]
Kendati prinsip
persamaan merupakan bagian yang terpenting dalam pembinaan dan pengembangan
hukum Islam ketika menggerakkan dan mengontrol masyarakat, hal itu bukan
berarti ia menghendaki masyarakat tanpa kelas sebagaimana dikehendaki paham
komunisme .
·
Dalam teori Prof Muhammad
Abu Zahrah membahagi keadilan dalam tiga bahagian:
,yaiaitu keadilan
undang-undang, keadilan sosial, dan keadilan global. Keadilan undang-undang
adalah penguatkuasaan undang-undang secara merata kepada semua tahap sosial
yang ada. Tidak membezakan yang kaya ataupun yang papa, yang mulia ataupun yang
hina. Semua orang di sisi undang-undang dan perundangan adalah sama.
Keadilan sosial adalah sesuatu yang menuntut setiap
individu dalam suatu kumpulan agar dapat hidup secara terhormat tanpa ada
tekanan dan halangan serta mampu memanfaatkan kemampuan sesuai dengan apa yang
berfaedah bagi diri dan orang lain sehingga boleh berkembang secara kolektif. Keadilan global ialah prinsip utama sebagai landasan ditegakkannya
hubungan antara kaum Muslim dan bukan-Muslim.
Agama Islam meletakkan aspek keadilan pada kedudukan yang sangat
tinggi dalam sistem perundangannya. Tiada bukti keadilan yang begitu kompleks,
kecuali dalam ayat Al-Quran. Dari situ, jelas kiranya kedudukan prinsip
keadilan dalam Islam.
Dalam kes keluarga, misalnya, Al-Quran menyebutkan, "Jika kamu
takut berlaku tidak adil, ambillah seorang isteri sahaja." (Surah An-Nisa
[4]: 3). Dalam skala kecil, iaitu unit keluarga saja, kita diperintahkan
untuk adil.[10]
151.
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,
dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar
[518]". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).
[518] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.[11]
[518] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.[11]
Penerapan Prinsip Persamaan Kedudukan Warga Negara dalam Kehidupan
Warga negara
memiliki kedudukan yang sederajat dengan negara. Dalam negara demokratis,
kedudukan dan perlakuan yang sama warga negara merupakan ciri utama demokrasi
menganut sistem persamaan kedudukan manusia.
Di Indonesia
persamaan kedudukan warga negara tersebut dinyatakan dalam Pasal 27 Ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
1. Persamaan Kedudukan
Warga Negara di Bidang Hukum dan Pemerintahan
Persamaan di depan hukum (equality before law) mengharuskan setiap
warga negara diperlakukan adil dan sama, tanpa pandang bulu oleh negara.
Prinsip persamaan di depan hukum tertuang dalam peraturan:[12]
a. UU no. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP
b. UU no. 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum
c. UU no. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
d. UU no. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman
Penerapan prinsip di depan hukum adalah:
a. Setiap orang
dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan mutlak dari pengadilan (asas
praduga tidak bersalah)
b. Setiap orang yang
menjadi terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum
c. Pengadilan tidak
boleh membeda-bedakan orang
Persamaan warga
negara di bidang pemerintahan adalah setiap warga negara memperoleh perlakuan
yang sama dari pemerintah. Penerapan prinsip persamaan dalam bidang
pemerintahan adalah pendaftaran PNS dibuka untuk umum, pemberian pelayanan
kesehatan yang sama, dan subsidi pendidikan kepada semua anak SD dan SMP
3) Musyawarah
Islam telah menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya dalam banyak ayat
dalam al-Qur’an, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan individu,
keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen penting dalam kehidupan
umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang beriman dimana
keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali dengannya, ini disebutkan
dalam surat khusus,Syura atau pengambilan pendapat hukumnya sunnah dan khusus
bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
Oleh karena
kedudukan musyawarah sangat agung maka Allah menyuruh rasulnya melakukannya.
Dan ayat yang kedua berbunyi:
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
‘’Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka’’. (QS.
asy-Syura [42]: 38)[13]
Perintah Allah kepada
rasulnya untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya setelah tejadinya perang
uhud dimana waktu itu Nabi telah bermusyawarah dengan mereka, beliau mengalah
pada pendapat mereka, dan ternyata hasilnya tidak menggembirakan, dimana umat
Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah
Hamzah, Mush’ab dan Sa’ad bin ar Rabi’. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya
untuk tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya, karena dalam musyawarah ada
semua kebaikan, walaupun terkadang hasilnya tidak menggembirakan .
Sifat-sifat itu hanya ada pada kaum Muslim.
Abu Hurairah ra
berkata: Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak musyawarahnya
dari pada Rasulullah saw terhadap para sahabatnya.
Hasan ra berkata: Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka memperoleh petunjuk agar urusan mereka mendapatkan bimbingan.
Hasan ra berkata: Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka memperoleh petunjuk agar urusan mereka mendapatkan bimbingan.
Adapun
penyampaian pendapat boleh didengar dari kaum Muslim maupun non muslim, karena
Rasul telah mentaqrirkan suatu pendapat yang ada pada hilf al-fudlul. Beliau
bersabda: ‘Jika aku dipanggil bersamanya, sungguh aku akan memenuhi
(panggilannya), dan aku tidak ingin melanggarnya. (Ketahuilah) bahwasanya hal
itu bagiku (lebih baik dari pada) unta merah’. Padahal pendapat tersebut adalah
pendapat orang-orang musyrik .
Sekarang mari kita memperhatikan sejenak Rasulullah
s.a.w. yang ternyata di sepanjang hidupnya selalu memberi perhatian besar
terhadap prinsip musyawarah serta selalu menghargai pendapat orang lain tanpa
memandang usia atau tingkat kecerdasannya.
Rasulullah adalah pemimpin yang tak pernah ragu mendengar pendapat
orang lain di setiap kesempatan serta menerima pendapat mereka untuk menentukan
jalan terbaik demi memujudkan langkah dan rencana yang kokoh. Terkadang
Rasulullah meminta pendapat seorang sahabat yang dianggap layak dimintai saran,
dan terkadang beliau mengumpulkan beberapa orang sahabat untuk melakukan
musyawarah secara kolektif.
Berikut ini adalah beberapa peristiwa dalam hidup Rasulullah yang
dapat kita jadikan sebagai bukti betapa besarnya perhatian beliau terhadap
prinsip musyawarah.[14]
1- Dalam peristiwa "hâdits al-ifki", Rasulullah
meminta saran dari Ali ibn Abi Thalib r.a., Umar ibn Khaththab r.a., Zainab
binti Jahsy r.a., Barizah r.a., dan beberapa sahabat beliau yang lainnya. Pada saat itu, Ali r.a. memberi masukan kepada Rasulullah yang
cukup membantu beliau memecahkan masalah yang tengah beliau hadapi. Demikian
pula Umar ibn Khattab r.a., Zainah binti Jahsy r.a., Barizah r.a., dan para
sahabat lain menyatakan bahwa Ummul Mukminin Aisyah r.a. bersih dari segala
desas-desus yang disebarkan kaum munafik.
Berkenaan dengan peristiwa ini, terdapat sebuah riwayat
yang meski lemah sanadnya namun cukup menggambarkan dialog yang terjadi antara
Rasulullah s.a.w. dengan Umar ibn Khaththab r.a. Dalam riwayat itu disebutkan
bahwa Rasulullah meminta pendapat Umar r.a. mengenai Aisyah r.a.. Umar lalu
menjawab dengan menegaskan kembali bahwa Aisyah r.a. pasti bersih dari segala
fitnah yang dituduhkan kepadanya. Rasulullah
pun bertanya kepada Umar mengenai alasan sahabatnya itu bisa begitu yakin akan
kesucian Aisyah r.a. dari segala noda.
Umar pun lalu menjelaskan bahwa pada suatu ketika Rasulullah s.a.w.
pernah shalat bersama para sahabat. Sebelum shalat, ternyata Rasulullah
melepaskan terompah beliau terlebih dulu. Umar lalu bertanya mengapa Rasulullah
melepas alas kaki beliau. Rasulullah kemudian menjawab bahwa Jibril a.s. telah
memberitahu bahwa ada najis di terompah beliau. Jadi, ujar Umar, jika bahkan
mengenai keberadaan kotoran di terompah saja Allah s.w.t. langsung mengutus
Malaikat Jibril a.s. untuk memberi tahu Rasulullah s.a.w. tentang hal itu, maka
bagaimana mungkin Allah akan berdiam diri jika memang ada istri Rasulullah yang
telah berbuat nista.[15]
Meskipun sanad riwayat ini diperdebatkan dan menjadi objek
ilmu jarh wa al-ta'dîl (ilmu kritik sanad), tapi kandungan dari riwayat ini
layak kita tangkap dengan sepenuh hati.
2- Ketika perang Badar akan dimulai, Rasulullah terlebih dulu
meminta saran kepada para sahabat beliau, baik dari golongan muhajirin maupun
anshar. Pada saat itu, seorang sahabat Rasulullah yang bernama Miqdad r.a.
mewakili kaum muhajirin, sementara Sa'd ibn Mu'adz r.a. mewakili kaum anshar.
Dalam musyawarah itu, ternyata baik Miqdad r.a. maupun Sa'd r.a. sama-sama
mengemukakan pendapat yang serupa mengenai dukungan yang akan diberikan para
sahabat terhadap Rasulullah s.a.w. dengan penuh keimanan, semangat yang tinggi,
dan sikap patuh kepada beliau. Sebab itulah tidak lama kemudian, semua sahabat
dari kedua golongan ini bersepakat untuk melaksanakan keputusan yang diambil
pada musyawarah itu.
Jadi melalui musyawarah Rasulullah telah berhasil membuat semua
sahabat menjadi pendukung atas pendapat yang telah disepakati. Selain itu,
melalui musyawarah Rasulullah juga telah menumbuhkan semangat kebersamaan di
tengah sahabat-sahabat beliau yang berasal dari berbagai latar belakang yang
berbeda.[16]
3- Dalam perang Badar Rasulullah s.a.w. juga meminta saran dari
Habab ibn Mundzir r.a. dan para sahabat lain mengenai posisi penempatan pasukan
muslim dan di mana sebaiknya mereka bertempur melawan musuh. Tidak berapa lama
kemudian keputusan pun diambil dan kemudian dipatuhi oleh semua prajurit
muslim. Perang Badar berakhir dengan kemenangan gemilang di pihak pasukan
muslim dalam satu pertempuran meski kekuatan pasukan musuh jumlahnya tiga atau
empat kali lipat lebih banyak dibandingkan mereka. Seusai perang, pasukan pun
kembali dengan membawa senandung kemenangan.
4- Pada perang Ahzab (perang Parit), Rasulullah bermusyawarah
dengan para sahabat mengenai taktik perang yang akan digunakan pasukan muslim.
Pada saat itu Rasulullah memilih usul yang dikemukakan oleh Salman al-Farisi
r.a. yang meminta pasukan muslim menggali parit untuk mencegah masuknya pasukan
musyrik ke kota Madinah. Peristiwa ini dengan jelas menunjukkan sikap
Rasulullah yang sangat terbuka terhadap saran sahabat beliau.
5- Pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah menunjukkan
perhatian besar beliau terhadap prinsip musyawarah. Pada saat itu, Rasulullah
berhasil menyatukan pendapat seluruh umat Islam. Bahkan setelah perjanjian itu
selesai dilakukan, Rasulullah meminta saran dari Ummul Mukminin Ummu Salamah
r.a. Meski perjanjian ini pada mulanya oleh para sahabat dianggap sebagai
kekalahan umat Islam, namun akhirnya setelah rombongan umat Islam kembali ke
Madinah, Rasulullah berhasil menunjukkan kepada mereka bahwa Perjanjian
Hudaibiyah adalah kemenangan gemilang bagi mereka.
Perjalanan hidup Rasulullah s.a.w. memang banyak dihiasi
dengan musyawarah mengenai hal-hal yang tidak dijelaskan oleh wahyu, dan tanpa
ragu Rasulullah menerapkan hasil musyawarah dengan para sahabat. Setelah masa
Rasulullah, semua lembaga permusyawarahan yang ada di seluruh negeri-negeri
muslim tidak lain hanyalah gambaran sederhana dari apa yang telah dirintis oleh
Rasulullah s.a.w. ratusan tahun yang lampau.
Musyawarah dalam kehidupan berumah tanga
Manusia merupakan makhluk sosial, itu artinya
manusia tidak bisa hidup sendirian, sebab jika hanya sendirian maka tidaklah
terjadi suatu kehidupan. Dalam
menjalani hidup keseharian, manusia harus berinteraksi dengan orang lain, dan
dalam interaksi tersebut manusia memiliki peran yang berbeda-beda.
Menurut Horton dan Hunt (1993) (dalam Rinawahyu, 2011), peran
(role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu
status. Pengertian tersebut seakan menegaskan bahwa perilaku seseorang telah
terkonsep dalam sebuah skenario yang menjadi pengetahuan bersama. Seperti
halnya seorang guru adalah seorang yang ramah, selalu berpakaian rapi dan
bijaksana. Sehingga perilaku manusia dalam lingkungan sosialnya dapat
diprediksikan sesuai dengan konteksnya.[17]
Mengingat pentingnya teori ini, maka sepertinya perlu pendidikan
sejak dini pada anak untuk penerapan teori peran ini. Lalu bagaimanakah cara
memberikan pembelajaran teori peran bagi anak?. Lingkungan keluarga merupakan
lingkungan yang cocok bagi pembelajaran teori peran.
Sebagai contoh penerapan pembelajaran ini misalnya saat suatu
keluarga bermusyawarah, semisal menentukan akan berlibur kemana, bagaimana
persiapannya, dan sebagainya. Dalam musyawarah tersebut akan terkonsep peran
dari masing-masing anggota keluarga. Seperti halnya orangtua menjadi pemimpin
musyawarah dan juga penengah, anak menyampaikan usul secara sopan. Selain itu
juga anak dapat belajar menerima dan menghormati keputusan jika pendapatnya
tidak diterima, karena peran anak yang seharusnya adalah hormat kepada
orangtua.
Dalam kesempatan ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam kehidupan
manusia didalamnya terdapat suatu interaksi sosial. Di dalam interaksi tersebut
terkandung peran sosial. Dimana peran sosial ini sangat mendukung suatu
interaksi sosial, maka pemahaman ini perlu di mengerti sejak dini. Dalam hal
ini, musyawarah keluarga merupakan suatu langkah pembelajaran mengenai teori
peran.
ORANG-ORANG YANG DIMINTA BERMUSYAWARAH
Secara tegas
dapat terbaca bahwa perintah musyawarah pada ayat 159 surat
Ali 'Imran ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini dengan
mudah dipahami dari
redaksi perintahnya yangberbentuk tunggal.
Namun demikian, pakar-pakar
Al-Quran asepakat
berpendapat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepadasemua orang.
Bila Nabi Saw. saja diperintahkan oleh Al-Quran untuk bermusyawarah, padahal
beliau orang yang
ma'shum (terpelihara dari
dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia
selain beliau. Tanpa analogi
di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat
dipahami berlaku untuk
Semua orang, walaupun
redaksinya ditujukan kepada
Nabi Saw. Di sini Nabi berperan sebagai pemimpin umat, yang berkewajiban
menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh umat, sehingga
sejak semula kandungannya
telah ditujukan kepada
mereka semua. [18]
Perintah bermusyawarah pada
ayat di atas
turun setelah peristiwa
menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu,
menjelang pertempuran, Nabi
mengumpulkan
sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan
bagaimana sikap menghadapi musuh
yang sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Nabi
cenderung untuk bertahan di
kota Madinah, dan tidak ke luar menghadapi
musuhyang datang dari Makkah.
Sahabat-sahabat beliau terutama kaum muda
yang penuh semangat mendesak agar kaum
Muslim di bawah pimpinan Nabi
Saw "keluar" menghadapi musuh. Pendapat mereka itu memperoleh
dukungan mayoritas, sehingga Nabi
Saw. menyetujuinya. Tetapi,
peperangan berakhir dengan gugurnyatidak kurang dari tujuh puluh
orang sahabat Nabi Saw.
Hubungan antara persamaan,keadilan,dan musyawaroh
C.KESIMPULAN
1) Secara bahasa keadilan adalah sinonim dengan
al- mizan yang berarti keseimbangan atau moderasi. Lafazh al – mizan yang
berarti keadilan.Keadilan dalam Islam meliputi berbagai aspek kehidupan,
khususnya dalam bidang dan sistem hukumnya.Konsep keadilan meliputi keadilan
dalam berbagai hubungan, baik menyangkut hubungan dalam intern pribadi manusia,
hubungan antara individu dengan manusia dan masyarakatnya, hubungan antara
individu dengan hakim dan yang berperkara serta berbagai pihak yang terkait.
2) Persamaan mempunyai landasan yang kuat
didalam al – Qur’an dan Sunnah Nabi, prinsip ini ditekankan oleh Islam, yang
dibuktikan dengan menentang penindasan dan perbudakan atas manusia. Prinsip
keadilan yang memperlakukan semua manusia sama dihadapan Allah dan dihadapan
hukum dan pemerintahan. Tidak ada diskriminasi karena perbedaan bangsa, suku
bangsa, bahsa, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, adat – istiadat
3) Islam telah menganjurkan musyawarah dan
memerintahkannya dalam banyak ayat dalam al-Qur’an, ia menjadikannya suatu hal
terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi
elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar
orang-orang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali
dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus,Syura atau pengambilan pendapat
hukumnya sunnah dan khusus bagi kaum Muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Dra.Husnul Khatimah,M.Ag. Penerapan Syariah
Islam. PT Pustaka Pelajar. Yogyakarta:2007.
Prof.H.Mohammad Aud Ali,S.H. Hukum Islam:
Pengantar Ilmu Hukum. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005.
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah PT
Gunung Agung, Jakarta: 1987.
Fathurrahman Djamil,M.A.Filsafat Hukum
Islam.Logos Wacana Ilmu Ciputat: 1997.
http//www.islamhouse.com
http//www.islamhouse.com
0 komentar:
Posting Komentar