Rabu, 08 Januari 2014

PEMIKIRAN PEMBAHARUAN FIKIH ISLAM DI INDONESIA



PEMIKIRAN PEMBAHARUAN FIKIH ISLAM DI INDONESIA
A.    Pendahuluan
Pemikiran umat manusia semisal seorang bayi yang berawal dalam keadaan primitif dan sederhana, kemudian ia tumbuh dan ikut bersamaan dengan timbulnya akal pikirannya sampai pada tingkat yang lebih sempurna.[1]
Agama yang diturunkan dari langit adalah sesuai dengan masa evolusi bahwa Allah yang menjadi sumber agama dengan berbagai ketentuan dan aturannya yang bersifat umum dan khas, menunjukan bahwa Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk mengkaji dan menganalisa segala apa yang Allah tetapkan.
Tuhan memberikan petunjuk dan tuntunan kepada manusia dalam menanggungnya dan sesuai dengan pertumbuhannya, karena manusia pada awalnya hanya mengenal hal-hal apa yang dirasakannya, sementar akalnya belum dapat memahami apa yang belum disentuhnya. Namun pengalaman manusia mengalami, mempelajari, berdiskusi dan bermasyarakat, maka muncullah pemikiran-pemikiran pembaharuan dalam kehidupan, termasuk pembaharuan pemikiran fikih.
Pembaharuan Fiqh diperlukan guna menyesuaikan hukum-hukum yang ada dengan situasi sekarang ini. akan  tetapi harus tetap berpegang pada syariat yang ada. contoh kasus fiqh kontemporer adalah bayi tabung dan operasi selaput keperawanan yang akan dibahas dalam pembahasan ini.

B.     Substansi Kajian
1.      Perkembangan Fikih Islam di Indonesia
Perkembangan Islam di Indonesia dapat dibagi atas dua periode, periode pertama: yaitu dimana agama Islam dengan umatnya pada zaman agama Hindu dan Budha (pada abad 15, 16, 17, 18 dan 19). Periode kedua: reformasi agama Islam dengan kebangkitan semangat kebangsaan Pan Islamisme (pada abad ke XX ini)[2]
Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah serta berdasarpada keterangan seminar tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia, yang diadakan di Medan pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, ditetapkan bahwa Agama Islam masuk di Indonesia pada abad ke 14 di Sumatera (Pasai-Aceh) dan di Jawa (Gresik).
Di antara hal yang menyebabkan agama Islam menarik hati orang Indonesia, adalah karena penghargaan agama ini pribadi manusia. Agama Islam meratakan penghargaan itu, dengan menganggap manusia sebagai makhluk yang dijadikan Allah, membawa manusia kepada jalan memerdekakan dirinya sendiri dari pada paksaan kemasyarakatan.
Dengan memeluk agama Islam, tiap-tiap orang mencapai penghargaan yang tetap terhadap dirinya sendiri, tanpa perlu mempedulikan kedudukannya dalam lingkungan masyarakat. Sebab Islam tidak mengenal stratifikasi masyarakat dari aspek suku, budaya, kasta dan sebagainya, kecuali perbedaan ketakwaan. Hal ini menyebabkan Islam dengan mudahnya dapat berkembang dan diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebelumnya telah terlebih dahulu mengenal agama lain, yaitu Hindu dan Budha.
Keberhasilan Islam menghapuskan pengaruh Hindu dan Budha dari masyarakat Indonesia, adalah karena pengakuan Islam tentang Allah Yang Maha Kuasa.[3] Ajaran yang kurang mendapat tempat dalam agama sebelumnya.
Dalam kenyataannya, mazhab fikih yang banyak diikuti di Indonesia adalah pemikiran Imam Syafii. Imam Syafii lahir di Gaza (dekat Palestina) pada tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah, 150 H dan wafat tahun 204 H.[4]
Mazhab fikih Syafii tersebut dibawa oleh mubalig dan ulama yang datang ke Indonesia menyebarkan Islam. Setelah terjadinya Islamisasi ini, maka ulama-ulama dari kalangan pribumi pun muncul dan diketahui kemudian ternyata semuanya adalah pendukung mazhab Syafii. Kita lihat misalnya di Aceh ada Syekh Abdurrahman Singkil, di Kalimantan ada Syekh Arsad al-Banjar, di Sumatera ada Syekh Abdussalam al-Falinbani, di Jawa ada Syekh Nawawi Banten, Syekh Saleh Darat As-Samarani dan seterusnya, bahkan ulama generasi berikutnya pun seluruhnya adalah pengikut mazhab Syafii.
Fikih Syafii adalah fikih sintesa atau perpaduan antara fikih Hanafi dan fikih Maliki. Hal ini boleh jadi karena Muhammad Idris Al-Syafii pernah berguru pada Imam Malik di Madinah selama 9 tahun. Kemudian beliau sempat berkenalan dengan Fikih Hanafi melalui seorang murid imam Abu Hanifah yaitu Muhammad bin al-Hasan Al-Syaibani, dengan beliau pernah berkumpul di Baghdad selama tiga tahun.
Fikih Syafii yang disusun di Mekah sepulang dari perlawatan pertama al-Syafii ke Irak. Konsep fikih Syafii menunjukan kemandirian Imam al-Syafii dalam berpendapat, karena ia melahirkan pendapat-pendapat yang berbeda dengan guru-gurunya. Misalnya ia pada dasarnya sependapat dengan Imam Malik, bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam. Tapi keduanya berbeda dalam menerapkan konsep ijmak ini. Jika imam Malik memaksudkan ijmak sebagai kesepakatan ulama pemuka Madinah,[5] maka menurut imam al-Syafii untuk mempunyai kekuatan sebagai sumber hukum itu, harus ada kesepakatan umat Islam dari seluruh dunia Islam. Selain perbedaan dalam masalah ijmak, Syafii juga enggan menyetujui konsep al-maslahat al-mursalah dari fikih Maliki.[6]
Sebaliknya Syafii sepakat dengan Imam Abu Hanifah bahwa qiyās atau analogi adalah merupakan salah satu sumber hukum. Tetapi Syafii dapat menolak fikih Hanafi dari segi konsepsi istihsān.
Dalam pemikiran hukumnya Al-Syafii hanya menerima lima sumber hukum Islam. Alquran, Sunnah Nabi, Ijma atau konsensus, pendapat sebagian sahabat yang tidak adanya perselisihan mereka di dalamnya, dan pendapat yang di dalamnya terdapat perselisihan qiys atau analogi.[7]
Berlainan dengan Abu Hanifah, Al-Syafii banyak memakai sunnah sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah dekat dengan Alquran. Istihsān yang dibawa Abu Hanifah dan al-Masālih al-Mursalah yang dikemukakan Imam Malik, ditolak oleh Al-Syafii sebagai sumber hukum.
Bahwa fikih Syafii adalah fikih sintesa antara fikih Hanafi dan Fikih Maliki, juga dapat dilihat antara lain dari ketentuan fikih Syafii tentang cara orang duduk dalam sholat.
Menurut Hanafi, cara duduk orang yang shalat Iftirāsy (duduk dengan tegak dengan beralaskan dua betis yang membujur sejajar dengan arah kiblat), dengan tiada perbedaan apakah itu duduk antara dua sujud, dua tahiyat pertama tahiyat akhir.
Menurut Imam Syafii duduk antara dua sujud, duduk tahiyat pertama adalah iftirāsy, dan untuk duduk tahiyat akhir adalah tawarruk.[8]
Selain itu, al-Syafii adalah ahli fikih pertama yang menyusun Ilmu Ushul al-Fiqh. Fikih Syafii juga diwarnai fikih Irak dan fikih Misri, dimana fatwa-fatwa imam al-Syafii berbeda ketika ia menetap di Baghdad dengan ketika berada di Mesir. Kedua pendapatnya ketika berada di kedua kota itu dikenal dengan al-qaul al-qadim dan al-qaul al-jadīd.[9]
Ungkapan di atas menunjukan kepada kita bahwa sistem pemikiran imam al-Syafii yaitu berijtihad dengan menggunakan metode deduktif dan ijtihad dengan metode komparatif, dimana dapat berusaha mempertemukan dua pendapat yang memang berbeda, yang biasanya disebut dengan taufīqīy atau menguatkan salah pendapat yang disebut dengan tarjīh.
Ketika Islam dibawa masuk ke Indonesia dan menyebabkan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam diberbagai daerah, keberadaan Islam dan penganutnya tidak dipandang sebagai musuh yang datang menjajah, melainkan dirasakan sebagai pembaharuan dan inovasi. Sebab, umumnya antara raja-raja di kerajaan Islam masih ada pertalian darah dengan raja yang digantikannya. Kerena itu, perubahan itu dipandang sebagai kelanjutan yang tidak mengejutkan, hanya berganti keyakinan agama yang dianggap lebih sesuai dan praktis. Oleh karena itu antara julukan Sri Baginda Maharaja dengan julukan Sultan Akbar Khalifatullah Sayyidin Patanah Ahama dan lain sebagainya itu dipandang hal yang biasa.[10]
Kekuasaan raja dan sultan juga lebih banyak ditopang dan didukung oleh penasehat-penasehat agama yang lazim disebut wali, yang tiada lain adalah pemimpin agama dan dai yang agung sekaligus ulama.
Setelah kemerdekaan, sudah tentu untuk mengisi kemerdekaan ini, sikap ulama terhadap umara tidak boleh terjadi sebagaimana terhadap penjajah, melainkan dibina kemanunggalan ulama dengan umara’ sedemikian rupa sehingga pembangunan di Indonesia di alam kemerdekaan ini dapat berjalan lancar, ibarat beban, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjit.
Dengan perspektif yang melihat bahwa dinamika pergerakan Islam tidak dapat diisolasikan dari dinamika negara sebagai kekuatan yang mampu memproduksikan sistem simbolik, dan juga dengan perspektif bahwa Islam mempunyai potensi untuk melakukan “counter hegomonic-movement” sambil menawarkan alternatif-alternatif sistematik untuk integrasi sistem sosial dan sistem budaya.
Gerakan-gerakan dari pembaharu telah menjadi warisan tersendiri dalam spektrum intelektual Islam Indonesia yang sekaligus sebagai pemikiran baru perkembangan hukum Islam.[11]
Pelopor pembaharuan fikih di Indonesia, pertama Hazairin, seorang guru besar Hukum Islam dan Hukum Adat Universitas Indonesia. Dan kedua Hasbi Ash Shiddiqiy beliau adalah mantan Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Meskipun konsepsi yang diajukan oleh kedua guru besar ini tampak tampil secara sendiri-sendiri, tapi masih tidak terlepas kepada bentuk pembaharuan yang selalu didengunkan di Indonesia, walaupun pada saat itu belum terbentuk ide mereka dalam satu ketetapan hukum, namun banyak praktek para cendekiawan sudah menuju ke arah pembaharuan tersebut.
Dalam pidatonya tahun 1951, Hazairin telah mempersoalkan kemungkinan kita di Indonesia mendirikan mazhab kita sendiri, Mazhab Nasional dalam lapangan yang langsung mempunyai kepentingan kemasyarakatan. Ini menunjukan bahwa pola pemikiran pembaharuan di Indonesia ini selalu melihat kepentingan negara dan masyarakat, agar berjalan secara baik dan benar.
Penegasan Huzairin ini mengandung beberapa hal yang fundamental bagi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.
1.      Perlu memberi corak kenasionalan bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia dengan merangkumnya dalam satu Mazhab Indonesia guna menonjolkan hal-hal yang sifatnya spesifik.
2.      Dalam rangka memberikan identitas Nasional terhadap hukum Islam diadakan pembedaan dalam dua bidang :
a.       Hukum Islam yang berkenaan dengan masalah ibadah, yang sifatnya tidak langsung bersangkut paut dengan kemasyarakatan. Ini boleh diadakan pembaharuan, karena tidak memberikan pengaruh langsung kepada masyarakat yang selama ini dianggap sesuatu yang sangat benar, yang bila diadakan perobahan dapat menimbulkan kerawanan dan kekacauan bagi masyarakat.
b.      Hukum Islam yang langsung berkenaan dengan soal kemasyarakatan. Dari bidang ini boleh kita adakan pembaharuan yang sifatnya bertahap dari satu masalah ke masalah lain, dan kalau ini diadakan perubahan tidak terlalu terasa oleh masyarakat, karena dianggap bukan hal-hal yang prinsip dan tidak membatalkan ibadah mereka.
3.      Mazhab Syafii masih hidup dan dipertahankan untuk bidang hukum yang berkenaan dengan ibadah, sedangkan untuk bidang yang berkenaan dengan soal kemasyarakatan, kita dirikan Mazhab Nasional dan melepaskan diri dari mazhab Syafii dalam artian mengembangkan, mengubah dan memperbaiki mazhab itu, misalnya dalam soal kesahihan macam-macam syirkah.
4.      Untuk membentuk Mazhab Nasional diperlukan lahirnya Mazhab-Mazhab Mujtahid baru yang bercorak nasional untuk melakukan ijtihad kelompok dan peranan hukum Islam yang sesuai dengan kondisi dan situasi di Indonesia.[12]
Lebih sepuluh tahun gagasan itu tidak dapat tanggapi oleh pemerintah maupun dari kalangan pakar hukum Islam dan ahli hukum Islam, pada umumnya. Gagasan-gagasan itu nanti pada tahun 1961 Hasbi Ash Shiddeiqy dalam pidato pengukuhannya mengemukakan ide yang sama, walaupun tanpa menyebut gagasan dari Hazairin. Beliau menyatakan bahwa sangat diperlukan lahirnya ijtihad baru yang dilakukan dengan mempelajari syariat Islam. Karena itu maksud mempelajari syariat Islam di Universitas Islam sekarang ini supaya fikih Islam dapat menampung kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hukum di tanah air. Maksudnya, supaya kita dapat menyusun fikih baru yang diterapkan sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia.
Ide yang sama juga dikemukakan oleh Munawir Sadzali pada saat ia menjadi Menteri Agama RI. Munawir selalu memberikan konsep-konsep pemikirannya dalam rangka pembaharuan hukum Islam di Indonesia, buktinya ia pernah menjelaskan tentang sistem pembagian warisan di Solo antara laki-laki dan perempuan
Mengenai cara mewujudkannya, dikemukakan bahwa kita harus menggali hukum-hukum syariat dari sumber asal (Alquran dan Hadis), dari kitab pokok yang ditulis dalam masa ijtihad dari semua mazhab, sunni, syiah dhahiri dan sebagainya. Bahkan kita tidak boleh hanya membandingkan antara satu fikih dengan fikih yang lain, tapi juga dengan perundang-undangan buatan manusia.
Tampak dari pendapat-pendapat tersebut bahwa sesungguhnya mereka menggunakan terminologi yang bersamaan dan tujuan yang sama. Sekalipun demikian, ada suatu perbedaan pokok antara mereka. Hazairin berpendapat bahwa mazhab di Indonesia adalah mazhab Syafii yang diperbaharui, sedangkan Hasbi ingin membentuk fikih Indonesia, dan pendapat ini diperbuat oleh Bapak Munawir Syadzali.
Dari ide-ide pemikiran mereka itulah saat ini ada sejumlah produk perundang-undangan yang bercirikan Indonesia, Seperti lahirnya Undang-Undang Hukun Acara Peradilan Agama, dimana Pengadilan Agama mempunyai kewenangan yang lebih luas bila dibandingkan dengan sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut.
Dari kesekian itu dengan adanya komplikasi hukum Islam yang ada di Indonesia sekarang ini telah terbukti bahwa walaupun belum sampai semua bidang hukum dapat di kembangkan sesuai zaman, akan tetapi minimal sudah mempunyai langkah-langkah baru dalam menuju fikih ala Indonesia.
Ide kompilasi hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina Teknis Yuridis Peradilan Agama, tugas pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 tahun 1970. Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.[13]
Bardasarkan ketentuan di atas, secara formalnya baru muncul pada tahun 1985 dan kemunculannya ini merupakan hasil kompromi antara Mahkamah Agung dengan menteri agama. Maka Bustanil Arifin sebagai penegas gagasan ini menyatakan bahwa, untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia harus ada antara lain, hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat maupun oleh rakyat.
Upaya penyusunan kompilasi hukum Islam ini disusun dengan mempertahankan kondisi kebutuhan hukum dan kesadaran hukum umat Islam Indonesia, bukan upaya mazhab baru, tetapi sebagai upaya mempersatukan berbagai fikih dalam menjawab satu persoalan yang mengarah kepada unifikasi mazhab dalam Islam.
Bagaimanapun juga kompilasi ini sebagai sesuatu yang di hayati oleh masyarakat bangsa kita. Hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi masyarakat manusia bahkan bagi alam semesta.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah suatu peluang bagi umat Islam. Sehubungan itu seorang pengamat umat Islam. Mitsoo Nakamura menyatakan bahwa, kompilasi ini sangat strategis dan mempunyai arti penting bagi umat Islam. Akan tetapi menurut Nakamura, soalnya tinggal bagaimana tokoh-tokoh Islam dan umat Islam melihat serta memanfaatkan arti pentingnya proyek kompilasi hukum Islam itu.

Ø Urgensi Pembaruan Fiqih
 Urgensi pembaruan akan tampak dalam suatu persoalan, yang dalam penerapan suatu hukum fiqih menimbulkan beban yang teramat sangat dan kesulitan dalam kondisi seperti ini pembaruan justru diperlukan, sesuai dengan prinsip “ menghindari kesulitan dalam islam “      ( daf al-haraj fi al- Islam ) dan kaidah ilmu syar’i “ kesulitan bias menarik kemudahan “ ( al-masyaqqah tajlib al-taysir ) dan  “ ketika sesuatu sempit, ia menjadi lapang “ ( idza dhaqa al-amr, ittasa’a ). Begitu pula apabila pembaruan dilakukan ketika terdapat hukum fiqih yang bertentangan dengan tuntutan maslahat dan realitas yang ada, dimana maslahat tersebut termasuk yang diakui oleh syara’ dan memperhatikan tujuan sang pembuat syariah (ALLAH) dengan menjaga agama, akal, harga diri dan harta. Jadi, pembaruan diperbolehkan demi tuntutan kemaslahatan dengan berpedoman pada prinsip ‘kemudahan dan kelapangan’ yang merupakan fondasi dan pembentukan hukum islam ( tasyri’ islami ).
Pembaruan lebih di fokuskan pada persoalan-persoalan yang baru muncul, ketika tidak di temukan nash ataupun ijtihad yang menjelaskannya. Dewsasa ini banyak sekali persoalan-persoalan yang muncul, baik dalam bidang kedokteran, muamalah, perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam persoalan transportasi darat, laut, maupun udara, pembuatan syarat-syarat dalam melakukan tranksaksi-tranksaksi sipil atau perniagaan, sampai pada persoalan pernikahan dan syarat-syarat yang dibuat dalam pernikahan dan tidak bertentangan dengan tuntutan akad atau hukum syara’, dimana di dalam syarat-syarat yang dibuat itu terdapat salah satu dari dari dua orang yang berakad, yakni maslahat yang benar atau manfaat bagi orang yang mensyaratkannya.
Contohnya adalah perubahan istilah seperti pendapat para ekonom bahwa bunga bank bukanlah riba, akan tetapi harga atau nilai yang berlaku untuk mengimbangi laju inflasi. Maksudnya, bunga bank adalah kompensasi yang berlaku karena perbedaan nilai mata uang yang disebabkan oleh inflasi pada waktu peminjaman hingga waktu pengembalian.
Ø  Kriteria-Kriteria Pembaharuan Fiqih
Seruan untuk menulis ulang fiqih islam bukanlah hal baru. Hal itu bahkan pernah diwujudkan sebagian oleh sejumlah pakar masa kini, seperti Dr. Abdul Razaq Al-Sanhuri, Dr. Abdul Qadir Audah, Dr. Shubhi Mahmashani, dan yang lainnya. Orientasi pembaharuan ini juga merupakan tujuan dari beberapa lembaga antara lain Ma’had al-Dirasat al-Arabiyah (Institut Kajian Arab) di bawah Jami;ah al-Duwal al-Arabiyah (Liga Arab), Ma’had al-Dirasat al-Islamiyah (Institut Kajian Keislaman) di Zamalik, dan Ma’had al-Syari’ah (Institut Syariah) di Universitas Kairo.
1.      Kriteria Pertama: berkaitan dengan materi fiqih dan substansi sasaran pembaharuan fiqih:
Hal pertama yang dibutuhkan di sini adalah mengajukan ijtihad-ijtihad baru bagi permasalahan-permasalahan lama sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Ini telah sering terjadi dalam sejarah fiqih islam, bahkan pada masa kehidupan ahli fiqih itu sendiri, sepertidalam kehidupan Imam Syafi’i. Itu karena ijtihad merupakan gerakan konstan dan berkesinabungan, sehingga pendapat yang dihasilkan oleh seorang mujtahid, betapapun tinggi kedudukannya, tidaklah bersifat absolut. Yang kekal dan absolut hanyalah nash- nash Al-Qur’an dan Sunah, selain itu tidak. Ijtihad sudah seharusnya mempertimbangkan realitas yang senantiasa berubah agar maqashid al-syari’ah (tujuan –tujuan syari’ah dapat terwujud). Menutup pintu ijtihad dan membatasi kajian- kajian fiqih hanya pada melesterikan dan mengulang pendapat- pendapat para ulama terdahulu merupakan salah satu sebab terpenting dari stagnasi perkembangan pemikiran umat umumnya dan perkembangan fiqih khususnya.
Hukum berijtihad adalah fardhu kifayah artinya, dikalangan umat harus selalu ada mujtahid yang melaksanakan kewajiban ini. Jika itu sudah dilakukan, maka seluruh masyarakat tidak akan berdosa. Namun apabila tidak ada satupun mereka yang melaksanakan sebagai mujtahid mereka semua akan berdosa. Yang dimaksud disini ialah adanya seorang mujtahid yang hidup dan aktif serta dapat membaca realitas yang berkembang untuk berijtihad. Bukan adanya kitab- kitab para mujtahid terdahulu yang telah menghadap ke haribaan Allah. Inilah yang dimaksud dari ungkapan yang menyatakan bahwa “ dalam suatu masa tidak boleh kosong dari mujtahid”. Tugas mujtahid yang aktif tidak terbatas pada melakukan ijtihad dalam permasalahan- permasalahan baru yang akan kita bahas pada bagian berikutnya. Juga tidak semata pada melakukan ijtihad mengenai permasalahan – permasalahan lama dengan apa yang disebut oleh sebagian fuqaha masa kini sebagai ijtihad intiqa’i (ijtihad yang hanya sekedar melakukan seleksi atau pilihan)atas pendapat- pendapat lama. Seleksi ini dilakukan pada waktu merumuskan hukum dengan cara memilih satu pendapat diantara beberapa pendapat yang lain dan menetapkan menjadi hukum yang mengikat.
Sesungguhnya ijtihad bersifat bebas. Ia tidak dibatasi ataupun terkait untuk memilih pendapat – pendapat ulama klasik. Pendapat yang menyatakan bahwa para ulama  masa lalu tidak  menyisakan  sedikitpun permasalahan  untuk generasi berikutnya adalah pendapat yang justru  dapat  membunuh kreatifitas. Itu adalah pendapat yang bahkan tidak dapat dilontarkan oleh ulama klasik itu sendiri, pendapat yang merupakan salah satu bentuk kemalasan berfikir dan perwujudan sifat kekanak-kanakan.
Beberapa contoh permasalahan yang memerlukan ijtihad kontemporer adalah sebagai berikut:
1.      Munculnya berbagai lembaga sosial dari kewajiban zakat.
2.      Mengalihkan zakat rikaz menjadi dana pembangunan dunia islam.
3.      Pengenmbangan lembaga peradilan.
4.      Pengembangan lembaga waqaf.
5.      Implikasi teori istikhlaf dalam hal kepemilikan asuransi.
6.      Pengembangan lembaga khilafah.
7.      Pengembangan lembaga ijtihad.
8.      Pengembangan lembaga permusyawaratan.
9.      Pengembangan lembaga hisbah.
10.  Pengembangan fiqih perempuan setelah diperselisihkan kedudukannya karena kemampuan yang dimilikinya.
11.  Pengembangan fiqih minoritas setelah mereka bergabung dalam masyarakat.
12.  Pengembangan pandangan yang membagi dunia menjadi dua bahkaya tiga bagian.
Saya tidak mengingkari adanya ijtihad kontemporer yang membahas sebagian dari permasalahan diatas. Persoalannya ia tetap belum menyentuh batang tubuh fiqih. Ia tidak diajarkan difakultas-fakultas syari’ah dan tidak dibahas dalam kitab-kitab fiqih yang banyak digunakan masyarakat umum. Kitab-kitab fiqih yang dipelajari tetap saja kitab-kitab fiqih tradisional yang banyak didapati ditoko-toko buku dan  pameran-pameran buku. Saya juga tidak menganggap remeh nilai tradisi fiqih kita yang besar dan jauh melebihi tradisi bangsa-bangsa lain. Namun saya mengajak para pakar dapat lebih optimal dalam memanfaatkan khazanah tersebut. Yang dimaksud ialah bagaimana kita melakukan eksplorasi
Yang lebih lanjut, dimana menurut saya ada dua hal yang jadi perhatian. Pertama, ditujukkan pada para pakar, bahwa mereka perlu mengikuti pendahulu yang telah menghasilkan ijtihad untuk zaman mereka dahulu. Yakni dengan cara menghasilkan ijtihad yang sesuai dengan zaman kita dan tidak terkait pada pendapat para mujtahid klasik. Kedua ditujukkan untuk selain pakar. Ini dimaksudkan agar ketika kita mencetak ulang kitab-kitab klasik, semestinya kita menambahkan catatan-catatan kaki yang berupa ijtihad-ijtihad yang baru pada bagian-bagian tertentu dari pendapat ulama terdahulu. Langkah ini dapat mengetahui fiqih masa kini dan dapat membedakannya dari fiqih klasik. Ini akan mendorong kesadaran mereka untuk ikut berpartisipasi dalam gerakan dan tuntutan sejarah sehingga mereka dapat mempengaruhinya dan tidak akan jauh tertinggal dari gerakan tersebut.
Metode-metode pembaharuan berikut contoh-contoh dan penerapannya :’
1.      Metode salafi : yaitu kembali kepada fiqih kaum salaf, yakni pada sahabat dan tabi’in dan melepaskan diri dari fiqih keemapat madzhab. Guru kita Dr. Muhammad Yusuf Musa telah menulis buku berjudul Tarikh al-fiqh al-islami : Da’wah Qawiyah li tajdidhi bi al- ruju’ li Mashadirihil al- ula (sejarah fiqih islam : seruan keras untuk mempengaruhinya dengan kembali kepada sumber-sumbernya yang pertama). Sebagian lain telah mengarang beberapa buku yang khusus membahas tentang fiqih kaum salaf seperti Mu’jam Fiqh al-salaf  ( kamus fiqih kaum salaf) yang dikarang oleh prof. Syaikh Muhammad Al- Muttasyir Al- Kattani, dan juga Mawsu’ah Ibrahim al- Nakha’i susunan Prof. Dr. Ruwwas qala’ji dan lain sebagainya seperti tentang fiqih Umar dan lain-lain.
Mereka memopunyai pendapat yang bersebrangan dengan fiqih imam madzhab dan tidak lagi menghargai dengan pandangan-pandangan mereka,padahal sumber pengetetahuan yang mereka pergunakan ialah al- Qur’an dan al-sunnah. Ijtihad yang dijadika acuan-acuan oleh imam-imam madzhabpun tidak keluar dari dilalah (petunjuk, ma’na) Al-Qur’a, Sunnah, Fiqih sahabat, Fuqih Tabi’indengan melakukan seleksi ketat berkenaan dengan falidasi dengan sumber naqli yang mereka pergunakan mempertimbangkan argumentasi-argumentasi mereka dengan dalil-dalilnya dengan mentarjih sebagai dalil dengan dalil lainnya sebagaimana diketahui, para imam madzhab adalah orang yang paling dekat pengetahuannya dengan pendapat para pendahulunya.
2.      Metode intiqa’i atau ghawgha’i (selektif secara semena-mena). Yaitu menjatuhkan pilihan yaitu menjatuhkan pilihan pada apa yang dirasa baik menurut keinginan pribadi dan hawa nafsu, dengan memilih hukum-hukum tertentu dan mengabaikan sebagian yang lain sekehendak mereka. Mereka bermaksud menentang segala hasil karya masa lalu. Mereka lupa bahwa islam adalah syari’at yang kekal dimana yang baru tidak berbeda dari yang lama. Islam adalah sistem terpadu yang bersifat menyeluruh.
Contoh pembaharuan fiqih kontemporer
Bagaimana hukumnya mengerjakan hukumnya proses bayi tabung ?
Hukum memproses bayi tabung di tafsil sebagai berikut:
1.      Apabila mani yang ditabung yang dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami istri maka hukumnya haram.
2.      Apabila mani yang ditabung merupakan mani suami istri tapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram.`
3.      Apabila mani yang di tabung mani suam istri dan cara mengeluarkannya dengan cara muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istrinya sendiri, maka hukumnya boleh.
NB :
a.       Mani muhtaram ialah mani yang keluar atau dikeluarkan dengan darah tidak dilarang oleh syara’. Sedang mani muhtaram ialah selain yang tersebut diatas.
b.      Tentang anak yang dari mani tersebut dapat ilhaq atau tidak kepada pemilik mani terdapat khilaf antara imam ibnu hajar dan imam ramli. menurut imam ibnu hajar tidak bisa diilhaq kepada pemilik mani secara mutlak (bayi keluarnya mani tersebut muhtaram atau tidak), sedangkan menurut Imam Ramli anak tersebut bisa ilhaq kepada pemilik mani, bila mani tersebut keluarnya termasuk muhtaram.
keterangan , dari kitab :
1.      Tafsir Al-quran Al-Azhim :
عَنْ ا بْن عَبَا سٍ قَالَ قَال رَسُوْل الله ص م  مَا مِنْ ذَ نْبِ بَعْدَ ا اشَّرْكِ اَ عْظَمُ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهاَ رَجُلٌ فئِ رَحِمٍ لاَ ىَحِلُّ لَهُ
Dari Ibn Abbas, beliau berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik daripada mani yang ditaruh seorang laki-laki (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”
 Hikmah al Tasyri’ Wafalsafatuh
مَنْ كَانَ ىُؤمِنُ بِا االله وَ االْىَوْمِ الاخِرِ فَلاَ ىُسْقِىَنَّ مَاءهُ زَرْعَ اَ خِىْهِ
            Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat maka jangan sekali- kali berzina dengan istri saudaranya.
2.      Kanz al –raghibin syarh  Minhaj al- thalibin
وَ لَوْ اَتَتْ بِوَلَدٍ عَلِمَ اَنَّهُ لَىْسَ مِنْهُ.....  مَعَ اِمْكَأنِ كَوْنِهِ مِنْهُ لَزِمَهُ نَفْئُهُ لاِّنَّ تَرَكَ اانَّفىِ ىَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَهُ وَاسْتِلْحَاقُ مَنْ لَىْسَ مِنَهُ حرَامٌ
Seandainya ada wanita yang melahirkan seorang anakl yang diketahui bukan berasal dari suaminya, beserta adanya kemungkinan berasal darinya, maka si suami itu harus terus menafikannya, karena tidak adanya penafian itu mengandung unsur menemukan nasab anak itu kepadanya. Sementara menemukan nasab anak yang tidak berasal darinya itu haram.

3.      Tuhfa al- habib’ ala syarh al Khatib
الْحَا صِلُ اَنَّ االْمُرَادَ بِاالمُحْتَرَمِ حَالَ خُزُوْجِهِ فَقَطْ عَلئَ مَا اعْتَقَدَهُ م ر ؤَاَنْ كَانَ غَىْرَ مُحْتَرَمٍ حَالَ الدُّخُؤْلِ ؤَ تَجِبُ العِدَّةُ بِهِ اذَ طُلِقَتْ الزَّؤجَةُ قَبْلَ الؤَطَءِ عَلىَ المُعْتَمَدِ خِلاَفاً لاِبْنِ حَجَرٍ لاِنَّهُ ئُعْتَبَرُ اَنْ ىَكُؤْنَ مُحْتَرَ مًا فىِ الحَالىْنِ كَمَا قَرَّرهُ شَىْخُنَا
Kesimpulannya adalah bahwa yang sebut dengan mani muhtaram (terhormat atau tidak haram) itu adalah kondisi keluarnya saja sebagaimana yang diyakini sebagai Imam Ramli walaupun tidak muhtaram ketika masuk. Maka para wanita wajib ber’iddah dengan sebab masuknya mani tersebut bila ia tertalak sebelum bersetubuh menurut pendapat mu’tamar, berbeda dengan Ibn Hajar, sebab beliau mempertimbangkan mani tersebut muhtaram dalam dua kondisinya (saat keluar dari laki- laki dan saat masuk ke rahim si perempuan) sebagaimana yang ditetapkan oleh syaikhuna.

4.      Kifayah al-Akhyar fi Hill Ghayah al-ikhtishar
فَأئدَهٌ ... لَؤِ اَسْتَمْنَى الرَّجُلُ مَنِئَّهُ بِئَدِ امْرَاَتِهِ اَؤْمَتِهِ جَازَ لاِنَّهَ مَحَلُّ اِسْتِمْتَا عِهأَ
(Faidah) seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (beronani) dengan tangan istri atau budak wanitanya maka hal tersebut boleh karena istri dan budaknya itu tempat bersenang-senangnya.
Beberapa Kasus Hukum Fiqih  Kontemporer
A.    Operasi Selaput Keperawanan
Di masa awal Islam, hukum belum di ahadapkan dengan berbagai problem kemanusiaan, lebih-lebih pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’ur Rasdin serta para penerusnya generasi ketiga dan ke empat. Ajaran islam yang tertuang dalam teks alqur’an maupun penjelasannya melalui hadist nabi terbatas pada prinsip-prinsip global yang masih perlu dijelaskan, dirinci dan ditafsirkan sesuai semangat spirit (pesan moral) yang dikandungnya. Hubungan manusia dengan tuhannya senantiasa diatur dalam hukum-hukum yang relatif jelas ketimbang aturan tentang relasi manusia atas manusia. Itulah sebabnya, di namika masyarakat cenderung lebih meleset jauh ketimbang tatanan hukum yang mengaturnya, sehingga terkesan hukum islam tidak mampu menjawab segala persoalan yang muncul dan tantangan zamannya. Seiring dengan lajunya perkembangan dan marak-maraknya perubahan, menurut manusia selalu sesuai ( responsif ) terhadap perubahan itu sendiri. Sementara gerak manusia terkait dengan aturan-aturan hukum dengan batasan tertentu, yang tidak bisa melakukan aktivitas individual maupun sosialnya tanpa landasan etika moral keagamaan yang ia yakini sebagai sebuah kebenaran religius yang saklar. Personal kemanusian yang mengemuka, tidak cukup direspon secara normatif-tekstualis yang cenderung stagan dan rigid, tetappi akan lebih bijak jika persoalan yang muncul direspon dengan sepenuh hati, kebesaran jiwa tanpa harus meninggalkan semangat pembaruan komodernan. Pendekatan masalah dengan model legal- formal dibidang hukum berarti telah kehilangan spirit pembaruan dan mendatangkan hasil yang kuku dan terbatas pada suatu sudut pandang.
Sebenarnya diskusidan perdebatan seputar operasi selaput dara ( hymen) telah cukup lama diperbicarakan kalangan ahli-ahli hukum islam dengan berbagi paradigma dan persepsi.pada kesempatan ini kita menvoba berorientasi dan menela’ah ulang persoalan tersebut, mengingat fenomena yang muncul belakangan ini memberikan kesan bahwa masalah keperawanan hanya dilihat dengan sebelah mata, dianggap sesuatu yang tidak urgenuntuk dibicarakan, denagan asusmsi bahwa masalah tersebut adalah klasik, kuno ketinggalan zaman dan penilaian sinis lainnya.beberapa penelitian, baik ituberupa formal maupunnon formal telah dilakukan, dengan kesimpulan bahwa hilangnya keperawanan dikalangan para gadis terjadi pada pernikahan sebelum adanya ikatan perkawainan yang syah, terlebih para gadis yang berdomisili di kota-kota besar yang cenderung ke arah metropolitan. Munculnya di tayangkan di TV Nasional di acara “ fenomena” beredarnya VCD Porno, bahkan menjadi tontonan besar. Untuk hal ini kita harus mengerti bahwa ada persoalan- persoalan sosial yang terjadi yang sedang memanas untuk menguak masalah ini yang dulu diangap tabu, memalukan, rahasia. Karena kemundurannya “ kesucian sosial” yang bisa terjadi kapan saja. Dalam membahas ini kita mengupas menurut kacamata hukum islam dengan pendekatan ilmu kedokteran, dan aspek sosial.
Keperawanan adalah selaput tipis yang berada diwilayah vagina ( kemaluan wanita), yang di dalam istilah kedokterannya adalah (hymen). Kenapa di sebut keperawanan? Dan siapa yang dinamakan perawan  itu? Karena selaput ini dimiliki oleh sorang yang masih perawan yang belum pernah melaukan hubungan seksual dengan pria. Sedangkan pria yang belumpernah berhubungan seksual itu dinamakan perjaka, bahwa agama telah menyebutkan bawasannya keperawanan bisa hilang atau rusak sebagian, atau keseluruhannya yang di sebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya kecelakaan, seorang atlit yang banyak melakukan gerak dan aktivitas fisik, misalnya manstrubasi ( pemuasan organ vital dengan alat ataupun organ tangan untuk mendapatkan kepuasan seks yang telah dilakukan sendiri. Sementara menurut istilah bagi pria disebut onani, atau bahasa agamanya di sebut istimta’.
Menurut penulis, sebelum tahun 70 an keperawanan merupakan suatu yang paling berharga dan bernilai paling rahasia yang di miliki seorang wanita, karena ia merupakan ketidak harga diri seorang perempuan dan sekaligus kehormatan yang paling asasi, oleh karena itu ia sangat menjaganya dan mempertahankan sampai mati-matian sebelum ia melakukan pernikahan yang syah. Hilangnya keperawanan seseorang bisa mengakibatkan berbagai reaksi yang hebat, baik secara pribadi, sosial, hukum. Secara pribadi hilangnya keperawanan merupakan aib besar, merusak kehormatan diri, keluarga yang melibatkan sters dan trauma yang berkepanjangan, bahkan mendorong untuk melakukan bunuh diri. Secara sosial, ia merupakan aib sosial, rasa malu bahkan dapat mendatangkan petidaka kutukan dari sang penguasa. Di mata hukum, dapat menimbulkan delik penipuan jika seorang yang tidak perawan mengaku dalam keterangan surat nikahnya masih perawan, menimbulkan keribuutan di malm pertama dengan pasangan nikahnya jika keperawanan seorang wanita telah rusak atau bahkan hilang. Bahkan tidak jarang berakibat hancurnya bangunan rumah tangga dan putusnya perkawinan, karena kecewa yang sangt luar biasa
Nampaknya di era 70-80 an hingga 2000 an secara lambat laun mulai jarang terdengar dan diperbicarakan orang, baik secara pribadi maupun secara sosial. Kemungkinan yang bisa dikemukakan adalah semakin kompleksnya persoalan kemanusiaan yang lebih penting untuk dibicarakan. Sementara untuk membicarakan masalah keperawanan adalah sesuatu yang telah usang, kuno dan ketinggalan zaman. Sekarang zaman modern,di suatu sisi manusia berhadapan dengan berbagai persoalan hidup, di sisi yang lain terdapat solusi yang bisa membantu menyelesaikan. Soal keperawann rusak, telah ditemukan media yang canggih untuk mengembalikan seperti semula, kenapa harus dipersoalkan, demikan kira-kira fenomena yang muncul. Bagi islam, sebenarnya bukan masalah pengembalian barang yang telah rusak  ( orerasi). Secara fisik, tentu tidak menjadi sebuah masalah, tetapi secara jujur apakah secara psikis bisa pulih kembali? Nah, ini yang menjadi fokus kajian pada kesempatan kali ini
1.      Keperawanan: Agenda fiqih Kedokteran (AL-FIQH AL-THIBIY)
Pada hkikatnya, perilaku atau perbuatan orang dewasa apapun agama dan golongannya tidak pernahlepas dan bebas dari tuntunan tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Terlebih lagi perbuatan itu menyangkut aspek hukum,moral, soaial dan sebagainya. Begitu pula fenomena operasi keperawanan tentu dilakukan oleh seorang wanita yang telah dewasa, artinya segala perbuatannya itu membawa impliksi yang luas, baik secara individual maupun ingkungan sosialnya. Oleh karena itu, opersi keperawanan ini mendapatkan sorotan yang cukup tajam oleh berbagai kalangan, terutama kalangan para fuqoha’. Meskipun sejauh ini telah banyak dilakukan upaya untuk memverivikasikan persoaln ini. Tetapi menurut asumsi respon balik pada masyarakat belum terlihat secara rill. Bahkan terkesan opriori, apatis, tidak acuh, buat kegelisahan tersendiri, karena bagimanapun juga persoalan tersebut adalah persoalan kita bersama, umat islam, umat non islam, tdak cukup dengan model fatwa belaka, tanpa penjelasan yang memuaskan, baik secara nalar kemudian akademik maupun basis ajaran keagamaan yang bersifat normatif doktriner dan aspek filosofinya.
Masalah operasi selaput dara ( keperawanan), secara fuktual tidak di jumpai aturan hukumnya dalam Nash  (Ghoiru manshush). Baik dari teks alqur’an maupun hadis, sehingga kepastian hukumnya perlu dicaridengan melihat Nash-Nash  yang memiliki semagat (spirit) yang sama atau paling tidak dari segi  ilat ( alasan) hukumnya.pendekatan yang paling mungkin bisa dipakai dengan menggunakan metode anologi ( qiyas), jika adakesamaan ilatnya, kalau tidak bisa maka bisa di lacak dengan mempertimbangkan dari aspek al-maqashid al-syariah, dengan melihat tujuan tasyri’ (hukum) dengan dukungan- dukungan kaidah fiqih (al-qawa’id al fiqhiyyah) atau kaidah- kaidah dasar (qawa’id ushuliyyah). Hal ini ditempuh dalam rangka untuk mengungkap sisi manfaat dan madlarat dari perbuatan operasi selaput dara, maka sangat mungkin pendekatan sumber hukum non-teks (ghair an-nash) bisa dipertimbangkan urgensinya. Misalnya saja, penerapan maslahah mursalah (menarik sisi yang positif) atau syadzdudz dzari’ah (menguak sisi yang negatif).
Untuk sampai pada penetapan hukum secara fiqhi tentang operasi selapu dara, mesti harus dilihat dari beberap aspek yang sangat urgen. Karena tidak mungkin hanya melihat satu aspek saja secara parsial, karena saling berkait antar aspek yang relevan. Paling tidak ada tiga aspek, yaitu : pertama, pertimbangan rasionalitas dengan melihat manfaat dan mudlarat nya, kedua, pertimbangan sosio-psikologis dan ketiga, pertimbangan etika dan norma hukum (agama).
·         Nilai positif dan negatif operasi keperawanan
Setiap perubahan hukum, mesti berbarengan dengan manfaat dan mudlarat nya. Menurut Dr. M. Nu’ain Yasin, operasi keperawanan terdapat beberapa manfaat anatar lain:
Ø  Untuk menutupi celah (aib).
Hilangnya suatu keperawanan apapun sebabnya, tentu membawa aib tersendiri bagi pemilinya, atau paling tidak ada beban psikologis. Jika seorang gadis yang telah menginjak usia perkawinan, sementara ia telah kehilangan keperawanan, maka akan membawa dampak buruk bagi dirinya, rasa tidak tenang, was-was, gelisah, ragu, mudah tersinggung, bahkan bisa mengakibatkan stres dan trauma kalau aibnya tercium oleh orang lain, apakah itu dari lingkungan keluarganya atau lingkungan masyarakat yang berkepanjangan jika tidak segera ditemukan solusinya. Dengan adanya kemajuan teknologi di bidang kedokteran, rupanya membawa harapan dampak buruk dari hilangnya keperawanan bisa teratasi dengan cara operasi keperawanan. Hal ini sedikit banyak berpengaruh secara psikologis bagi seorang wanita, karen aib itu bisa disikapi dengan cara yang aktif, bukan hanya pasrah tanpa tindakan apapun (pasif). Tindakan seseorang untuk mengembalikan keperawanan, meskipun tidak seorisinil aslinya, inilah yang dimakan tindakn aktiv. Tindakan ini bisa menutupi aib dirinya dan akn berdamapak bagi orang lain, terutama bagi pasangan hidupnya, setelah terikat dengan tali perkawinan.
Menutupi aib diri  maupun orang lain adalah sikap yang mulia karena ia salah satu tujuan syariat, yakni menjaga kehormatan diri dan lingkungannya (hifdz an-nafs wa an-nasl) hal ini pernah dinyatakan Nabi dalam salah satu sabdanya yang artinya:
“..... seseorang yang rela menutupi aib orang lain, maka Allah akan menutupi aib orang itu kelak dihari kiamat......”(HR. Muslim).
Terlebih lagi menutupi aib saudaranya sesama muslim, merupakan tindakan agama yang terpuji, sehingga Allah pun akan memberikan balasan yang setimpal apa yang mereka lakukan di dunia
 D.    Kesimpulan
Perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia lebih banyak didominasi oleh pemikiran Imam Syafii, perkembangan pemikiran fikih di Indonesia dengan melalui para pedagang dan mubaliq-mubaliq pada saat itu, hukum Islam banyak diterima di Indonesia karena para pembawanya menunjukan sifat kenetralan, dimana masyarakat Indonesia pada saat itu dalam dua kondisi, yakni pengaruh Hindu dan Budha yang mengklasifikasi status sosial masyarakat, sedangkan Islam muncul dengan kesamaan derajat.
Pemikiran pembaharuan fikih di Indonesia dikemukakan oleh Hazairin dan Hasbi Ash-Shiddeiqy, dan kemudian dikembangkan oleh Munawir Zadhali sewaktu menjadi Menteri Agama. Fikih Syafii adalah fikih yang sintesa antara fikih Hanafi dan fikih Maliki, walaupun dalam merumuskannya kadang menggunakan pendapat diantara salah satunya, akan tetapi pada waktu menuangkan-nya dalam pendapatnya lebih banyak dipengaruhi Rasional, sehingga kadang dikatakan fikih syafii adalah fikih Rasional.

DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar. Sekitar Islam Masuk di Indonesia, Cet. I; Bandung: Bina Aksara, 1972
Ash Shiddieqi, Hasbi. Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Cet. I; Surabaya: Bulan Bintang, 1966
Hamid, Juhri. Peranan Ulama Indonesia Dewasa Ini, Cet. II; Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), h. 27
Khalil, Munawir. Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1972
Khallaf, Abdul Wahab. al-Tasyrī’ al-Islāmī Fī mā lā Na¡¡a Fī hi, Diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Anwar Rasyidi, dengan judul Sumber-Sumber Hukum Islam, Cet. I; Bandung: Risalah, 1972
Kuntowidjoyo, Paradigma Islam, Cet. II; Bandung: Mizan, 1991
Nasution, Amir Taat. Menuju Kesatuan Aqidah Ibadah, Cet. II; Jakarta: Bina Ilmu, 1974
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek, Jilid III, Cet. II; Jakarta: UI, 1978
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Panitia Seminar IAIN Imam Bonjol, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, Oleh: Prof. Ibrahim Husain, Padang: 26-28 Desember 1985
Yahya, Mokhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam, Cet. I; Bandung: al-Ma’arif, 1983), h. 105



[1] Ahmad Sabali. Studi Komprehensip Tentang Agama Islam  (Cet. I: Surabaya: Bina Islam, 1988) hal. 9
[2] Amir Taat Nasution,  Menuju Kesatuan Aqidah Ibadah  (Cet. II; Jakarta: Bina Ilmu, 1974)  hal 74
[3] Juhri Hamid,  Peranan Ulama Indonesia Dewasa Ini (Cet. II  Yogyakarta: Bina Usaha, 1984) hal  27
[4] Panitia Seminar IAIN Imam Bonjol, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, (Oleh: Ibrahim Husain, Padang: 26-28 Desember 1985)
[5] Mokhtar Yahya, dkk.Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam, (Cet. I; Bandung: al-Ma’arif, 1983) hal . 105.
[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspek, Jilid III, (Cet. II; Jakarta: UI, 1978) hal 17
[7] Abdul Wahab Khallaf, al-Tasyrī’ al-Islāmi Fī mā lā Na¡¡a fī hi. Diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar  dkk, dengan judul Sumber-Sumber Hukum Islam  (Cet. I Bandung: Risalah, 1972)  hal  219
[8] Mokhtar Jahya, op. cit., hal 105
[9] Hasbi Ash Shiddieqi, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Cet. I; Surabaya: Bulan Bintang, 1966), hal 43
[10] Abu Bakar Aceh, Sekitar Islam Masuk di Indonesia, (Cet. I; Bandung: Bina Aksara, 1972) hal 33
[11] Kuntowidjoyo, Paradigma Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1991) hal 35
[12] Fahmi Ali, Merambah Jalan Baru Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Presindo, 1984) hal 88
[13] Tim Dit Bapera, Berbagai Pandangan Terhadap Komplikasi Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993) hal 7

0 komentar:

Posting Komentar