Selasa, 07 Januari 2014

PRINSIP-PRINSIP PESYARIATAN (TASYRI’) DALAM ISLAM



PRINSIP-PRINSIP PESYARIATAN (TASYRI’) DALAM ISLAM

A. PENDAHULUAN
Keistemewaan ajaran Islam dari pada ajaran agama lainnya adalah sisi universalitasnya. Ajaran-ajaran samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada kaum tertentu.  Sedangkan ajaran Islam diturunkan untuk seluruh umat, baik manusia ataupun jin (kaffah li al-alamin). Telah dimaklumi, bahwa perundang-undangan manapun harus selaras dengan kondisi dan relevansi pihak yang dibebani undang-undang tersebut. Umat Nabi Adam as bisa merasakan kelonggaran syari’at berupa kebolehan menikahi saudara sendiri, karena pada saat itu populasi manusia baru dari satu keturunan.
 Sedangkan umat Nabi Musa as harus merasakan ketatnya syariat, karena dalam menghadapi Bani Israel yang terkenal keras kepala, membutuhkan langkah-langkah preventif dengan menerapkan undang-undang yang sekiranya dapat membuat mereka jera. Sedangkan syari’at Nabi Muhammad saw (Islam) yang ditujukan untuk seluruh makhluk di dunia ini, baik manusia atau jin, tentunya harus membentuk undang-undang (syari’at) yang bisa diterima oleh semua kalangan. Untuk mewujudkan undang-undang tersebut, syari’at Islam memiliki prinsip-prinsip dasae agar dapat diterima oleh seluruh makhluk di segala zaman.
 Dalam Islam sendiri terdapat norma-norma hukum yang terdiri dari dua kategori;
 Pertama, norma-norma hukum yang ditetapkan oleh Allah dan atau Rasulnya secara langsung dan tegas. Norma-norma hukum jenis ini bersifat konstant dan tetap. Artinya, untuk melaksanakan ketentuan hukum tersebut tidak membutuhkan penalaran atau tafsiran (ijtihad) dan tetap berlaku secara universal pada setiap zaman dan tempat. Norma-norma hukum semacam ini jumlahnya tidak banyak, dan dalam diskursus norma hukum (Islam), inilah yang disebut dengan syariat dalam arti yang sesungguhnya.
Kedua, Norma-norma hukum yang ditetapkan Allah atau rasul-Nya berupa pokok-pokok atau dasarnya saja. Dari norma-norma hukum yang pokok ini kemudian lahir norma hukum lain melaui ijtihad para mujtahid dengan format yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Norma-norma yang terakhir inilah yang kemudian dinamai dengan fikih atau hukum Islam. Tentu saja norma-norma ini tidak bersifat tetap, tetapi bisa saja berubah (diubah) sesuai tuntutan ruang dan waktu. Hanya saja, dalam menetapkan format hukum baru untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang, para mujtahid dan badan legislasi Islam harus senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

B. SUBSTANSI KAJIAN
1. Pengertian Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islam
Pada bagian ini, terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan, yaitu tasikh, tasyri’, syariah dan tarikh tasyri’. Secara etimologis, tarikh dalam bahasa arab berarti buku tahunan, perhitungan tahun, buku riwayat, atau sejarah. Dalam bahasa Inggris, tarikh diterjemahkan history, yang berarti pengalaman masa lampau umat manusia, the past experience of mankind. Pengertian selanjutnya, tarikh bermakna sejarah sebagai catatan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau yang diabadikan dalam laporan tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas. Dengan demikian, tarikh merupakan pembahasan segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan kronologis[1].
            Sedangkan tasyri’ tampaknya lebih merupakan istilah teknis tentang proses pembentukan fikih atau perundang-undangan. Secara etimologis, tasyri’ berarti pembuatan undang-undang atau peraturan-peraturan (taqnin). Menurut Abdul Wahab Khalaf, tasyri’ adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.[2] Menurut batasan ini, tasyri’ merupakan produk ijtihad manusia dalam proses pembentukan perundang-undangan (fikih).
            Kata tasyri’ sendiri berasal daari kata syariat. Syariat secara bahasa, sebagaimana dikemukakan Muhammad Sya’ban Ismail yang dinukil oleh Dr. Jaih Mubarok, adalah al-utbah (lekuk-liku limbah), al-atabah (ambang pintu dan tangga), maurid al-syaribah (jalan tempat peminum mencari air) dan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus).[3]
Adapun secara terminologi, syariat adalah:
ما سنه الله لعباده من احكام عقائدية او عملية او خلقية
Artinya: “Apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya berupa hukum-hukum, baik hukum keyakinan (‘aqadiyah), hukum amaliah maupun hukum akhlak.
Dengan demikian, syariat merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah kepada Nabi Muhammad bagi manusia yang mencakup keyakinan  (aqaid), perbuatan (‘amaliah) dan akhlak.
            Adapun tarikh al-tasyri’ al-islam, seperti dikemukakan Ali al-Sayyis, adalah:
ألعلم الذى يبحث فيه عن حا لة الفقه الإسلامى في عصر الرسالة وما بعده من العصور من حيث التعيين الأزمنة التى أنشأت فيها تلك الأحكام و بيان ما طرأ فيها من نسخ أو تخصيص و تفريع وما سوى ذلك و عن حالة الفقهاء والمجتهدين وما كان لهم من شأن تلك الأحكام
Artinya: “Ilmu yang membahas keadaan hukum-hukum (fiqh) pada masa Nabi dan sesudahnya –termasuk penjelasan dan periodesasinya- yang padanya berkembang hukum itu, menjelaskan karakteristiknya (nasikh, takhsish dan sebagainya), juga keadaan fuqaha dan mujtahidin, serta merumuskan hukum-hukum itu.”[4]
            Menurut batasan diatas, tampak bahwa tarikh al-tasyri’ al-islam merupakan pembahasan tentang segala aktivitas manusia dalam pembentukan perundang-undanganan Islam dimasa lampau, baik masa Nabi, sahabat maupun tabi’in (para mujtahid) sampai sekarang, secara sistematis dan kronologis.
2.Prinsip-Prinsip Tasyri’ Islam[5]
            Mu’arikh hukum Islam menjelaskan beragai prinsip hukum islam. Prinsip-prinsip hukum islam yang dijelaskan mu’arikh adalah sebagai berikut:
1.    Meniadakan Kesukaran (‘Adam al-Haraj)
al-Haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Adapun arti terminologinya adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta secara berlebihan, baik sekarang maupun dikemudian hari. (Shalih ibn Abd Allah ibn Hamid).
Hukum Islam datang masih dalam batas kemampuan seorang mukallaf, tidak diluar batas kemampuan dan sulit diemban. Dan ini tidak bertentangan dengan tabiat dan persepsi manusia, sebab semua pekerjaan dalam hidup ini pasti ada masyaqah (beban) dan kepenatan sampai kebutuhan primer sekalipun tetap ada bebannya seperti makan, minum dan mencari rizki.[6]
Menyadari tabiat manusia yang tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya, maka Allah SWT menurunkan syari’at islam untuk memelihara dan mengusahakan agar ketentuan yang dibebankan pada manusia dapat dengan mudah dilaksanakan serta dapat menghilangkan kesulitan dan kesempitan. Yang dimaksud dengan menhilangkan kesulitan dan kesempitan adalah menghilangkan hal-hal yang menyulitkan (masyaqah) masyarakat yang berlebih-lebihan, dan dapat menghabiskan daya manusia dalam melaksanakannya.[7]
Meskipun demikian tidaklah berarti bahwa syari’ah Islam menghilangkan sama sekali kesulitan yang mungkin dialami oleh manusia dalam kehidupannya. Hanya saja diharapkan ketentuan yang terdapat dalam syari’at Islam dapat mengurangi kesulitan bagi manusia. Hal ini sesuai dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’[4] : 28.[8]

ير يد الله ان يخفف عنكم و خلق الا نسا ن ضعيفا
Artinya:
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikannya bersifat lemah.”[9]
Menurut Kamil Musa, diantara cara meniadakan kesulitan adalah:
a. Pengguguran kewajiban, yaitu kewajiban dalam keadaan tertentu ditiadakan, seperti ketidakwajiban melaksanakan ibadah haji bagi orang-orang yang pailit atau dalam keadaan tidak aman.
b. Pengurangan kadar yang telh ditentukan, umpamanya qasar sholat bagi yang sedang dalam perjalanan.
c. Penukaran, yaitu penukaran kewajiban yang satu dengn yang lainnya, umpamanya kewajiban wudhu diganti dengan tayamum.
d. Mendahulukan, yaitu mengerjakan sesuatu sebelum waktu yang telah ditentukan secara umum (asal), seperti jama’taqdim (melaksanakan) sholat Ashar pada waktu Zuhur.
e. Menangguhkan, yaitu mengerjakan sesuatu setelah waktu asal telah tiada, seperti jama’ta’khir (melaksanakan) shalat Zuhur pada waktu Ashar.
f. Perubahan, yaitu bentuk perbuatan berubah-ubah sesuai dengan situasi yang dihadapi, seperti sholat Khauf.[10]
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 286 :
لا يكلف الله نفسا الا وسعها
Artinya : “Allah tidak mmembebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah:286).[11]
Menurut Al-Yatibi mengatakan bahwa: kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia -melihat prinsip ini- tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).
Dalam menetapkan hukum, Allah SWT senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madharat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis fari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan: “Allah membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at).[12]
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan saja[13].
Menurut Al-Syatibi, yaitu: mengharuskan sesuatu yang padanya ada yang memberatkan berupa masyaqqah (kesulitan). Hanya saja, kesulitan itu sepadan dengan kemampuan yang dimiliki mukalaf (orang yang dibebani hukum). Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringkali dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam beramal. Bila diamati ajaran Islam, khususnya dalam bidang hukum, maka akan terlihat bahwa norma-norma hukumnya senantiasa bertumpu pada prinsip nafy al-haraj (meniadakan kesukaran) demi menghindari kesulitan[14].
 Hal ini tidak berati bahwa setiap ketetapan syarak sedikitpun tidak mengandung kesulitan. Bahkan, seperti dikatakan Hasbi, kesulitan meskipun hanya sedikit adalah ciri khas dari hukum Islam, dan tanpa adanya kesulitan, taklif itu tidak ada wujudnya. Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa ketentuan-ketentuan hukum dalam Islam bukanlah sesuatu yang harus dilaksanakan secara kaku tanpa mempertimbangkan kesulitan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi sebaliknya, dimana dalam kondisi-kondisi tertentu, jika dipandang penerapan hukum yang ada akan menimbulkan kesulitan yang luar biasa, maka diberikan jalan keluar berupa keringanan atau toleransi.
Prinsip nafy al-haraj ini dapat dilihat dalam kandungan sejumlah ayat al-Qur`an dan hadis Nabi, dimana taklif tidak pernah diberikan melampaui batas kemampuan mukalaf. Oleh karena itu, ketika mukallaf mengalami kesulitan dalam pelaksanaan suatu hukum, maka dalam waktu yang sama diberikan kemudahan atau toleransi. Pemberian kemudahan atau toleransi di kalangan ahli hukum Islam disebut juga dengan rukhshah. Contoh, dibolehkan memakan atau meminum yang haram dalam kondisi yang darurat, boleh meninggalkan yang wajib jika kesulitan melaksanakannya; seperti karena sakit dibolehkan berbuka puasa di bulan Ramadan, melaksanakan shalat dengan duduk, bahkan berbaring. Begitu juga dibolehkan menggabungkan (menjamak) dan mengqashar (meringkas) shalat karena musafir (bepergian)[15].
 Adanya rukhshah dalam sejumlah hukum yang ditetapkan Allah maupun Rasul, oleh fuqahâ` dipertajam lagi dengan kesimpulan yang mereka rumuskan dalam bentuk kaedah ”المشقّة تجلب التيسير” (kesulitan itu mendatangkan kemudahan). Dalam penerapannya, kaidah ini dikembangkan lagi dengan beberapa kaidah cabang untuk objek yang lebih spesifik.
a.         Kriteria kesukaran menurut syari’at
Dalam keriteria kesukaran syariat ini, apabila kesukaran dijadikan dasar hukum bagi dispensasi dan kemudahan syar’i, maka ia mempunyai implikasi nyata dalam penetapan hukum dan fakta. Sehingga penentuan konsep “kesukaran” dan keriteria yang ada didalamnya merupakan satu hal yang penting yang tidak dapat diremehkan dan merupakan keniscayaan untuk dikaji. Sehingga kami merasa perlu untuk memaparkan aturan-aturan yang merupakan konsep tersebut.[16] Kesukaran-kesukaran yang berimplekasi pada dispensasi hukum dan yang batasan-batasannya dipandang penting adalah bentuk kesukaran yang subtansinya tidak diterangkan oleh as-syari’.
 Kesukaran inilah yang menjadi pokok bahasan dibawah ini. Adapun bentuk kesukaran yang telah diatur oleh Asy syari’ dan diasosiasikan oleh sebab-sebab tertentu sehingga ditetapkan hukum dispentatifnya berdasarkan ada tidaknya bentuk kesukaran tersebut maka masalah ini mempunyai bidang tersendiri saat menjelaskan sebab-sebab kemudahan didalam syariat.[17]
 Menurut Pendapat ulama’ AL-Izz bin Abdussalam, beliau adalah seorang ulama’ yang concern mengkaji metode untuk menentukan keriteria yang mempunyai implikasi hukum. Dalam karya Qawaid Al Ahkam ia menyebutkan bahwa kesukaran ada dua macam:
Pertama: Kesukaran yang tidak dapat lepas dari ibadah pada umumnya.
 Maksutnya pelaksanaan ibadah tidak mungkin terjadi tanpa disertai kesukaran tersebut. Misalnya, kesukaran pada waktu wudu’ dan mandi karena pada air yang sifatnya dingin, kekusakaran melaksanakan puasa karena udaranya siang yang panas dan waktunya yang panjang, kesukaran perjalanan yang tidak dapat terlepas dari niat menunaikan ibadah haji, jihat secara umum, dan penerapan sangsi pidana untuk berbagai bentuk tindak pidana. Jenis kesukaran ini tidak mempunyai implikasi atau efek terhadap ketentuan hukum dispentatif. Sebab jika diterapkan implikasi hukum tersebut, maka kemaslahatan dan bentuk ketaatan dalam ibadah akan sirna untuk selamanya. Dengan demikian, sirna pula ganjaran dari pelaksanaan dan penunaian ibadah tersebut berupa pahala yang telah dipersiapkan untuk selama-lamanya.[18]
 Kedua: Kesukaran secara umum dapat terlepas dari ibadah.
 Yaitu kondisi umum dimana ibadah dapat dilakukan tanpa disertai faktor kesukaran tersebut.
 Jenis kesukaran ini ada tiga bentuk yaitu :
1)        Kesukaran yang dapat menimbulkan bencana dan kesukaran besar. Seperti kesukaran dalam bentuk ketakutan yang berkaitan dengan keselamatan jiwa. Bentuk kesukaran ini harus diringankan dan diberikan dispensasi hukum sebab memelihara darah dan jiwa untuk membangun kemaslahatan dunia dan ahkhirat lebih utama dari pada menentangnya hanya karena kehilangan waktu dalam pengejaran ibadah atau rangkayan ibadah tertentu.
2)        Kesukaran ringan seperti sedikit rasa sakit pada jari-jari tangan, sakit kepala ringan, atau penyakit ringan lainnya. Bentuk kesukaran ini tidak dianggap dan tidak menimbulkan efek pada keringanan hukum kecuali menurut madzab zhahiri. Sebab realisasi manfaat ibadah lebih utama daripada menulak kesukaran ringan yang kecil nilainya.
3)        Kesukaran yang terletak ditengah-tengah antara dua kesukaran diatas yang berbeda-beda dari segi ringan dan beratnya kesukaran kesukaran tersebut. Perinsipnya, apabila kesukaran lebih dekat pada bentuk kesukaran, pertama maka ia mengharuskan pemberian keringanan hukum, namun jika lebih dekat dengan bentuk kedua, maka ia tidak meniscayakan keringanan.

2.    Menyedikitkan Pembebanan (Taqlif al-Takalif)
Taklif secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara istilah, yang dimaksud taklif adalah tuntutan Allah untuk berbuat sehingga dipandang taat dan (tuntutan) untuk menjauhi cegahan Allah.(Wahbah al-Zuhaili,I, 1986:134) Dengan demikian, yang dimaksud taqlil al-takalif secara terminology adalah menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat; mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi cegahan-Nya. (Jaih, 1995: 48)[19].
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa ddasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan. Umat manusia tidak diperintahkan untuk mencari-cari sesuatu yang justru akan memperberat diri sendiri.
 Artinya syari’ tidak memperbanyak beban yang diberikan kepada para hamba-Nya, sehingga beban yang berupa perintah dan larangan dapat dijalankan tanpa menimbulkan kesulitan.[20]  Allah swt. Berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 101, yakni sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian” (QS. al-Maidah: 101).[21]

Ayat ini melarang para sahabat menghujani pertanyaan kepada Nabi dikala wahyu sedang turun alam merespons masalah-masalah yang belum diterangkan hukumnya. Hal ini dimaksudkan agar masalah-masalah itu apabila nantinya dapat ditetapkan hukumnya melalui kaidah-kaidah umum sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, ayat ini mengajarkan pada umat agar berpandangan riil terhadap segala hal, khususnya dalam masalah penetapan hukum, tidak boleh didasarkan pada dugaan-dugaan yang belum terjadi.[22]
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima merupakan beban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban (taqlil al-taklif). Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Qur’an menafsirkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat itu. Sedangkan yang tidak dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada masa yang akan datang.
Dalam suatu riwayat juga ada yang menjelaskan bahwa ketika Rasulullah mengajarkan kewajiban haji kepada para sahabat, lalu salah seorang yang hadir mengajukan pertanyaan. ”Ya Rasulallah, apakah kewajiban haji itu tiap tahun?” Rasul menjawab: ”kalau pertanyaan itu saya jawab ”ya”, maka haji itu menjadi wajib untuk tiap-tiap tahun. Dan bila wajib, kamu tidak akan sanggup menunaikannya.” Agaknya, kewajiban haji yang hanya sekali seumur hidup, bertujuan untuk tidak memberi beban kepada mukallaf di luar kemampuannya. Seperti diketahui, dalam melaksanakan ibadah haji membutuhkan pengorbanan yang banyak; seperti fisik, harta, dan waktu. Tak diragukan lagi, hal ini jelas akan memberatkan banyak orang.
Karena itulah Allah mewajibkan hanya sekali saja seumur hidup. Dan itupun untuk orang yang mampu saja. Dalam kaitan ini Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar jangan banyak bertanya tentang suatu ketentuan hukum, yang apabila diterangkan justru akan memberatkan. Begitu juga dengan aturan-aturan hukum, khususnya dalam bidang muamalat, sangat sedikit dibanding dengan persoalan-persoalan muamalat (masalah kemasyarakatan), dan yang langsung datang dari Allah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak pula secara rinci seperti dalam hal ibadat.
Karena sifatnya yang demikian itu, dalam bidang muamalat, berlaku prinsip umum yaitu:
 الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدلّ الدليل على التحريم
Artinya : Pada dasarnya semua perbuatan boleh dilakukan, kecuali tentang perbuatan itu telah ada larangan.
Dengan demikian, prinsip dasar muamalat adalah kebolehan (jâ`iz atau ibâhah). Artinya, semua perbuatan yang termasuk ke dalam kategori muamalat boleh dilakukan asal saja tidak ada larangan melakukan perbuatan itu. Karena sifatnya demikian, hukum Islam, dalam masalah ini tidak akan mengalami benturan dalam menghadapi perubahan zaman. Dan, dalam bidang ini dapat saja dilakukan modernisasi selama modernisasi itu sesuai, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan jiwa (prinsip dasar) Islam. Contoh, dalam masalah ‘aqd (transaksi). Tidak ada aturan resmi atau formal yang harus diikuti untuk menilai sahnya suatu transaksi, melainkan, sebagaimana isyarat al-Qur`an, cukup dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan transaksi.
Aturan yang tidak banyak dan hanya menyangkut pada hal-hal yang pokok, ternyata memberikan ruang gerak bagi hukum Islam dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, aturan yang hanya berupa prinsip-prinsip pokok itu akan memberikan lapangan yang luas bagi manusia untuk melakukan ijtihad, sehingga hukum Islam tidak kaku. Pada masa Rasulullah dahulu dalam menetapkan hukum itu juga ada yang bersifat perintah. Yakni Kewajiban Shalat misalnya : Tahap pertama, terjadi permulaan Islam di (Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kahawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Qaf ayat 39,yakni :
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
Artinya : “Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”.[23]
Kemudian dalam Al-Qur’an Surat Al-Mu’min ayat 55;
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِك وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ
Artinya : “Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”.[24]
Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas Bani Hasyim, dimulailah tahap kedua pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi membawa perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda : “Pada Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga kemudian kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam sehari semalam. Perintah dalam ayat tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi sebagai kewajiban shalat lima waktu, sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada mereka (penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Akkhirnya ketika umat Islam telah mulai merasakan ketenangan di negeri baru mereka, Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih terperinci, yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum dalam al-qur’an surat Al-Maidah ayat 6 dan rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis pelaksanaan shalat sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,supaya kamu bersyukur.(QS: Al-Maidah Ayat: 6)”.[25]

Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam. Dan Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia.
Karenanya, segala sesuatu yang ada di mana-pun ini merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Abd al-Wahab Khalaf dalam kitabnya Ilmul Ushulil Fiqhi, bahwa : Dalam membentuk hokum Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa buktu bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’i menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding dengan hukum tersebut. Adapun sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, beliau selalu berupaya meminimalisasi turunnya taklif (pembebanan) dari Tuhan. Sebagai contoh, Rasulullah sengaja tidak datang ke mesjid melakukan shalat tarawih berjama’ah bersama-sama sahabatnya. Padahal tiga malam sebelumnya beliau secara berturut turut melakukannya. Mengomentari sikap pasifnya tersebut beliau bersabda: “saya hawatir jangan-jangan shalat malam (tarawiih) diwajibkan atas kalian, lalu kalian tidak mampu melakukannya”.
Semangat sunnah dari cerita inilah yang kemudian ditangkap dengan jelinya oleh sahabat Umar bin Al-Khatthab sehingga pada masa khalifah ketiga ini shalat tarawih diorganisir secara bersama-sama (berjama’ah) di masjid. Pertimbangan Umar, bahwa sikap pasifnya Rasulullah mengorganisir shalat tarawih bukan berarti beliau menganggap shalat tarawih secara jama’ah tidak baik. Karuan saja, banyak kalangan menuduh pendapat umar bergeser dari teks wahyu lantaran Rasulullah SAW belum pernah melakukan hal demikian sebelumnya. Menghadapi tuduhan tersebut umar berkomentar pendek: “inilah sebaik-baiknya bid’ah”.
3.  Berangsur-angsur/Bertahap Dalam Persyari’atan (Tadarruj al-Tasyri’)
Tadarruj adalah sebuah cara bertahap yang ditempuh oleh Al Qur’an untuk menyampaikan pesan-pesannya dalam membina masyarakat, baik dalam melenyapkan kepercayaan dan tradisi jahiliyah maupun yang lain. Al Qur’an tidak serta merta merubah 360 derajat sebuah keadaan awal. Al Qur’an lebih memilih jalan bertahap dalam menyampaikan pesannya agar mudah dilaksanakan oleh umat. Karena syari’at diturunkan dengan tujuan yaitu kemaslahatan umat. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi SAW secara bertahap (berangsur-angsur) begitu pula Nabi SAW dalam menyampaikan hal itu kepada para sahabat. Karenanya sangatlah wajar apabila salah satu metode pendidikan Nabi SAW adalah graduasi. Hukum islam dibentuk secara gradual atau tadrij.
Hal ini didasarkan pada al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur. Setiap masyarakat tentu mempunyai adat kebiasaan atau tradisi, baik tradisi yang baik ataupun tradisi yang membahayakan mereka sendiri. Di antara tradisi tersebut ada yang telah mengakar secara mendalam pada suatu masyarakat. Demikian juga dengan bangsa arab. Ketika Islam datang, mereka mempunyai tradisi dan kesenangan yang sukar untuk dihilangkan sekaligus, maka dikhawatirkan akan menyebabkan timbul konflik dan kesulitan-kesulitan.
Prinsip persyari’atan tadarruj ini yang digunakan oleh Al Qur’an merupakan metode yang diturunkan oleh Allah untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sebagai contoh menurut Yudian Seseorang yang lompat ketahap akhir Al Qur’an, tentu akan mengatakan bahwa khamer adalah haram, titik sebaliknya yang ingin memahami proses tadarruj ini sebagai kesatuan dinamis tentunya akan menerapkan metode itu secara utuh ketika berhadapan pada suatu kasus yang mirip. Oleh karena Tadarruj dipandang sebagai prinsip persyari’atan, maka akan ditemukan kekayaan hukum Islam. Dimana hukumnya yang selalu flesibel akan selalu sesuai dengan zaman dan keadaan. Dan yang terpenting adalah terlaksananya dan teraplikasainya hukum-hukum Allah. Yang jelas tersirat suatu metode penerapan dakwah yaitu suatu tahapan dalam pembinaan mayarakat.
 Pembahasan tadarruj ini dapat kita lihat dalam sejarah Islam. Ketika dunia Islam telah bebas dari penjajaan Barat dan yang seterusnya terpecah menjadi negara kebangsaan, dimana masing-masing mengurus sendiri segala sesuatu mulai dari masalah sosial, ekonomi, hukum, politik dan kebudaayaan yang beraneka ragam. Dengan segala perbedaan atau prular yang ada dalam suatu negara, maka ada sesuatu yang telah sesuai dengan syari’at dan ada sesuatu yang jelas bertentangan. Maka tidak mungkin hukum Islam akan menggantikan sekaligus hukum-hukum yang ada dan berlaku dalam masayarakat, karena yang jelas akan terjadi kekagetan yang sangat, disisi lain tidak mungkin hukum Islam ditinggal seluruhnya.
Oleh sebab itu maka prinsip persyari’atan tadarruj diperlukan dalam masalah ini, yaitu dengan membiarkan terus berlakunya hukum yang memenui persyariatan kemaslahatan umat dan mengganti aturan yang tidak sesuai dengan kebutuhan umat. Oleh karena itu tadarruj disini tidak hanya sebagai cara untuk membaca penetapan hukum yang terkandung dalam Al Qur’an, namun juga sebagai metode untuk penetapan suatu hukum atau dapat dijadikan sebagai kaidah fiqih.
 Diantara bidang hukum Islam yang dibentuk berangsur-angsur adalah sebagai berikut, shalat pada awalnya, pengharam riba, pengharam khamar. Prinsip tadarruj memberikan jalan kepada kita untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia mengalami pembaruan. Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidak senangan ketika menghadapi perubahan drastis dari suatu keadaan kepada keadaan lain yang masih asing bagi manusia, maka al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi dan situasi yang terjadi. Dengan demikian, hukum yang diturunkan lebih dapat diterima dan disenangi sehingga menimbulkan keinginan untuk mentaatinya.
Untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang buruk, al-Qur’an menempuh metode yang sangat bijaksana. Mula-mula mereka dilarang melakukan dosa-dosa besar, kemudian dilarang melakukan dosa-dosa kecil terhadap sesuatu yang menjadikesukaan mereka, baru disusul larangan terhadap sesuatu yang telah menjadi kecintaan mereka, seperti arak, riba, dan perjudian. Dengan demikian maka kejahatan dan kerusakan akan benar-benar dapat tercabut dari akarnya secara sempurna.[26]
Prinsip penetapan hukum secara berangsur-angsur nampak sekali dalam proses pewahyuan hukum-hukum syara’. Allah melalui Rasul-Nya tidak menetapkan hukum sekaligus, tetapi melalui tahapan yang mehabiskan waktu hampir 23 tahun. Ayat-ayat hukum diturunkan, begitu juga kemunculan hadis Nabi, umumnya, sejalan dengan adanya kejadian atau peristiwa yang membutuhkan jawaban hukum.
Karena demikian, setiap ketentuan hukum memiliki latar belakang kelahirannya yang khas. Pentahapan Al Qur’an dalam menetapkaan hukum-hukumnya yang berkaitan dengan tuntutan dan larangan mengerjakan sesuatu, berbeda dengan tuntutan dan larangan yang berkaitan dengan aqidah atau kepercayaan. Dalam hal aqidah dan prinsip-prinsip moral, Al Qur’an tidak mengenal pentahapan. Sejak dini Al-Qur’an telah mengajarkan tauhid, kebenaran, keadilan, hormat kepada orang tua dan sebagainya.
Di bawah ini akan dikemukakan suatu contoh terapan metode tadarruj yang digunakan oleh syaree’ untuk menetapkan suatu hukum sesuatu hal. Dan yang dimaksud oleh syaree’ adalah hukum final dari suatu rangkaian tadarruj, namun di sini kita akan mencoba untuk memahapi proses dari penetapan hukum itu sendiri. Dan contoh yang paling sering kita ambil adalah contoh penetapan hukum khamer bagi bangsa Arab yang nota bene bangsa yang gemar meminum khamer ketika zaman penurunan syari’at ini.
Kita dapat melihat ada empat tahapan ayat dalam menetapkan hukum khamer:[27]
1)   Tahapan pertama yaitu ayat QS. An Nahl (16):67. yang berbunyi :
ومن ثمرا ت ا لنخيل وا لا عتا ب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا
Artinya “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang yang memikirkan”.[28]
Dalam ayat ini disebutkan tentang karunia Allah. Predikat baik dalam ayat ini ditujukan untuk semua yang dapat di makan dari kedua pohon itu yaitu kurma dan kismis, bukan sukar (arak).[29]
2)        Tahapan kedua yaitu ayat QS. Al Baqoroh [2]:219. yang berbunyi:
يساء لو نك عن ا لخمر والميسر قل فيهما اثم ومنا فع للناس و اثمهما اكبر من نفعهما و يساء لو نك ما ذا ينفقون قل العفو كذا لك يبين الله لكم الا يا ت لعلكم تتفكرون
Artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka. nafkahkan. Katakanlah: ” Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.[30]
Manfaat yang dimaksud, oleh ayat ini adalah keuntungan materi yang merupakan laba dalam jual beli arak. Mereka membelinya di Syam dengan harga yang murah dan menjualnya di Hijaz dengan harga yang tinggi. Pada tingkat ini al-Qur’an belum secara tegas menyuruh orang meninggalkan minum khamr dan main judi sekaligus, karena masyarakat Arab ketika itu masih sangat gemar minum arak dan main judi.[31]
Setelah Allah memberi tahu bahwa minuman dibagi menjadi dua: ada yang baik dan ada buruk, selanjutnya Allah memberitahu bahwasanya khamer dan judi merupakan hal yang buruk, dan keburukkannya lebih besar daripada manfaat yangditimbulkannya.
 Dari ayat ini Allah telah melangkah satu tingkat lebih berani. Dari awalnya yang hanya memberitahu bahwa khamer buruk, dan mempertegas lagi bahwa keburukkannya lebih besar dari kebaikkannya Keburukkan yang dimaksud adalah segala sesuatu ayag dari akibat khamer dan judi telah merusak tatanan kemaslahatan umat. Sedangkan kebaikkannya adalah kenikmatan dan kepuasan jiwa yang diperoleh dari judi dan khamerMenurut Qurai Shihab ayat ini belum dengan tegas melarang, sehingga hanyalah orang yang tinggi kesadaranya yang menghindari perjudian dan khamer.
3)        Tahapan ketiga yaitu turunnya ayat QS. An Nisa’[4]:43. yang berbunyi:
يا ايها الذين امنوا ر تقربوا ا لصلاة و انتم سكا رى حتى تعلموا ما تقولون
Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,…….”.[32]
Pada tingkatan ini mabuk pun belum dilarang secara mutlak, sifat pelarangannya masih bersifat temporal yaitu ketika shalat.[33]
Asbabun Nuzul dari ayat ini adalah suatu ketika Ibnu Auf dan Anas meminum khamer bersama orang banyak, kemudian mereka melaksanakan sholat dan imamnya membaca surat dan salah karena dalam keadaan mabuk, yaitu ‘ “Katakan hai orang-orang kafir aku menyembah apa yang kamu sembah” suatu penyimpangan yang menyesatkan.
Mengutip Qurais Shihab, bahwa dalam ayat ini telah menjelaskan larangan minium khamer namun dalam waktu-waktu tertentu saja. bagi yang terbiasa minum seakan-akan masih dibolehkan meminum khamer asalkan jauh dari waktu sholat, karena kekhawatiran akan rusaknya bacaan dalam sholat saja.
4)        Tahap yang keempat adalh turunnya ayat QS. Al-Maidah [5]:90-91’ yang berbunyi:
يأ يها الذ ين امنوا انما الخمر و الميسر و الانصا ب و الا زلا م رجس من عمل الشيطا ن(90) ان يو قع بينكم العدوا ة و البغضاء فى الخمر و الميسر و يصد كم عن ذكر الله و عن الصلواة فهل انتم منتهو ن(91)
Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (90). Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu” (91).[34]
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar bin Khottob mengharapkan kepada Allah untuk menjelaskan secara sempurna dan tuntas tentang khamer. Sehingga turunlah ayat ini.
Riwayat lain menceritakan bahwa ketika suatu hari Sa’ad bin Abi Waqqash meminum khamer bersama sahabat Ansar, dan mendendangkan sya’ir-sya’ir dengan berbangga ria, kemudian Sa’ad bin Abi Waqqash bersenandung sebuah sya’ir yang mencela kaum Ansor. Maka salah seorang diantara merekatiba-tiba memukul dan kemudian mengadu kepada Rosulullah. Kenudian Rosulullah berdoa: “ Ya Allah ya Tuhan kami, jelaskanlah khamer kepada kami dengan penjelasan yang menyembuhkan”. Maka turunlah ayat QS. Al Maidah ayat 90.
Dari dua ayat inilah didapat kesimpulan final tentang keharaman khamer untuk selamanya. Allah dengan tegas menetapkan bahwa hukum khamer adalah sesuatu yang harus dijauhi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa khamer hukumnya haram sepanjang waktu. Dari sni tuntaslah penetapan hukum khamer. Hukum yang tidak serta merta melarang denagn hukum haram, namun denagn cara pentahapan atau tadarruj. Dan yang paling urgen dari penetapan ini adalah keberhasilan menuntaskan masalah sosial tanpa adanya syok dan berhasil menghentikan para pecandu minuman keras.
4. Sejalan Dengan Kemaslahatan Ummat (Muthobiqun Li Mashalihil Ummah)
Maslahat berasal dari kata as-sulh atau al-islah yang berarti damai dan tenteram. Damai berorientasi pada fisik, sedangkan tenteram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaskud maslahat secara terminologi adalah perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan. Maslahat adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki landasan  yang kuat dalam al-Quran.
Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat dalam dua bidang; dunia dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam, tidak ada satu bidang keyakinan atau aktivitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada pembahasannya dalam syariat Islam, dikaji dengan segala cara pandang yang luas dan mendalam.[35]
Semua ketentuan dalam syari’at Islam sangat memerhatikan kemaslahatan manusia. Tidak mengherankan jika selama masa Nabi diturunkan aturan-aturan hukum yang sewaktu-waktu aturan itu ada aturan yang dibatalkan apabila keadaan menghendaki demikian dan diganti dengan aturan baru. Seperti perubahan arah qiblat dari masjid al-aqsha ke masjid al-haram. Adanya penghapusan dan penggantian hukum, merupakan suatu buktii bahwa syari’at Islam menghendaki adanya kemaslahatan bagi manusia. Mengomentari hal ini, Anwar Harjono berpendapat bahwa ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum tidak pernah meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan.[36] Ibn Qayyim juga mengatakan:
ان الشريعة مبنا ها و اسا سها على الحكم و مصا لح العبا د فى المعا ش و المعا د
“Sesungguhnya syari’at itu fondasi (dasar) dan asasnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi para hamba, baik dalam kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat.”[37]
Perubahan hukum (syari’ah), memang hanya terjadi pada masa Nabi, yakni pada fase pembentukan dasar-dasar hukum yang lengkap. Sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, dan dasar-dasar syari’ah telah lengkap, tidak ada lagi pembatalan materi syari’ah Islam, akan tetapi Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) telah banyak menjelaskan ‘illat – ‘illat hukum, agar dapat diketahui bahwa ada hukum yang mengikuti ‘illatnya, sehingga dapat berubah menurut perubahan ‘illatnya. Perubahan yang terakhir ini sebenarnya hanyalah dalam penerapannya saja, bukan dalam arti perubahan materi syari’ah.[38]
Maslahah itu sendiri berasal dari kata اصلح atau صلا ح yang dapat berarti damai dan tenteram. Damai berorientasi pada fisik sedangkan tenteram berorientasi pada psikis. Adapun pengertian maslahah secara terminologi adalah : جلب النفع الضرر (“perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan”).[39]
Maslahat adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki landasan yang kuat dalam al-Qur’an, misalnya firman Allah dalam surat al-Anbiya’ [21]: 107.[40]
وما ار سلنك الا ر حمة للعلمين
“Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmad bagi semesta alam”
Dan hadis Rasululloh, misalnya لا ضر ر و لا ضرار (“tidak boleh memberi mudharat kepada orang lain, dan tidak pula boleh diberi mudharat oleh yang lainnya”).[41]

Dalam kerangka hukum Islam, secara umum maslahah dapat dibagi menjadi tiga yaitu: maslahah mu’tabarah, maslahah mulghah dan maslakhah mursalah.[42]
Maslahah mu’tabarah  adalah maslahah yang diperhatikan syara’ berdasarkan nash dan menjadi tujuan dalam penetapan hukum, yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan, dan harta. Maslahah mu’tabarah ini diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu: dharuri (primer), Hajji (sekunder), dan tahsini (tersier) uraian tentang maslahah jenis ini telah dijelaskan pada pembahasan tentang tujuan hukum islam.[43]
Maslahah mulghah adalah maslahah yang ditolak. Yaitu suatu kemaslahatan yang dianggap baik oleh akal, tetapi ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Misalnya pada kasus fatwa Yahya ibn Yahya al-Laits mengenai raja Andalusia yang berjimak pada siang harii di bulan Ramadhan. Berdasarkan pertimbangan akal, maka raja tersebut dikenakan kewajiban kaffarat berpuasa dua bulan berturut-turut. Keputusan tersebut tidak boleh diterapkan, karena bertentangan dengan ketentuan nash yang menyebutkan secara jelas urutan kaffarat bagi yang berjimak pada siang hari di bulan Ramadan yaitu: memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-urut atau memberi makan 60 fakir miskin, dengan tidak membedakan apakah yang melakukan pelanggaran itu seorang raja atau orang miskin.[44]  
Maslahah mursalah adalah sesuatu yang bermanfaat namun tidak didukung maupun disangkal oleh bukti nash. Maslahah ini dikatakan mursalah karena ia mursal, artinya terlepas dari dalil yang mengesahkan atau membatalkannya. Misalnya, agar perceraian bukan merupakan suatu yang dianggap mudah, maka perceraian itu harus dilakukan di hadapan hakim di pengadilan Agama. Pernyataan dalam contoh di atas, tidak diatur di dalam nash walau ternyata bermanfaat untuk mencegah tindakan yang memudah-mudahkan thalak.[45]
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Qur’an. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, agama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam. Maslahat bisa diartikan dengan mengambil manfaat dan menolak kemadaratan atau sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
Apabila kemaslahatan dikatakan sebagai prinsip hukum, maka hukum harus memberikan kemaslahatan (kebaikan) bagi si pemakai hukum. Dalam konteks hukum Islam dan pembinaannya, teori maslahat menduduki peranan penting, bahkan menurut para pakar hukum Islam, semisal al-Syâthibî, maslahah (kebaikan dan kesejahteraan manusia) dipandang sebagai tujuan akhir dari pensyariatan hukum-hukum. setidaknya, dalam rangka memperhatikan kemaslahatan inilah, dalam sejarah pembentukan hukum Islam, suatu kasus bisa saja berubah ketentuan hukumnya apabila ‘illatnya (maslahat atau madarat) telah hilang. Begitu juga sesuatu yang pada dasarnya boleh (tidak dilarang), tapi dalam waktu atau kondisi tertentu bisa saja ditetapkan hukumnya terlarang (haram) apabila mendatangkan kemadaratan seperti kasus berziarah ke kuburan yang telah disebutkan.
 Tidak diragukan, untuk tujuan memelihara kemaslahatan ini jugalah, kenapa sejumlah ijtihad Umar bin al-Khattab, bukan saja kontroversial dengan pendapat para sahabat Nabi di masanya, bahkan berbeda dengan praktek yang berlaku di zaman Rasulullah SAW. Salah satu di antara ijtihad Umar yang kontroversial itu ialah tentang muallaf yang tidak mendapat bagian dari pembagian zakat.
Dalam surat al-Taubah ayat 60, Allah menerangkan bahwa di antara golongan yang berhakmenerima zakat ialah muallaf. Allah berfirman:
إنّما الصدقات للفقرآء والمساكين … والمؤلفة قلوبهم
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, … para muallaf yang dibujuk hatinya(al-Taubah: 60).[46]
Berdasarkan fakta sejarah, kategori muallaf dapat digolongkan kepada orang-orang Islam yang masih lemah imannya dan orang-orang kafir (non-Islam) yang diharapkan sesuatu daripadanya. Untuk kategori yang disebut terakhir, oleh Rasyid Ridha, dibagi lagi menjadi dua macam. Pertama, orang-orang yang diharapkan akan beriman dan memperkuat Islam dengan adanya bagian muallaf yang diberikan kepada mereka. Kedua, orang-orang yang dikhawatirkan tindakan kejahatannya terhadap umat Islam. Maka bagian yang diberikan kepada mereka, diharapkan dapat melunakkan hati mereka dan menahan diri dari melakukan kejahatan.
5. Menghendaki adanya rasa keadilan (Tahqiq al-‘Adalah)
Keadilan memiliki beberapa arti. Secara bahasa, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’ al-syai’ fi mahallihi). Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah memiliki corak yang generalistik, datang untuk semua manusia untuk menyatukan urusan dalam ruang lingkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan. Dalam beberapa ayat al-Quran dijumpai perintah untuk berlaku adil, diantaranya sebagai berikut:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُوۡنُوۡا قَوَّا امِيۡنَ لِلّٰهِ شُهَدَآءَ بِالۡقِسۡطِ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ عَلٰٓى اَ لَّا تَعۡدِلُوۡا ؕ اِعۡدِلُوۡا
هُوَ اَقۡرَبُ لِلتَّقۡوٰى وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk tidak adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah:)[47]
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl: 90).[48]

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujarat: 9).[49]
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatapi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam.
D. KESIMPULAN
Tarikh al-tasyri’ al-islam merupakan pembahasan tentang segala aktivitas manusia dalam pembentukan perundang-undanganan Islam dimasa lampau. Dalam menetapkan hukum, Allah SWT senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madharat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekuensi logis fari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan: “Allah membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa dampak negatif (madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfaat). Taqlil al-takalif adalah menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat; mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Allah mewajibkan melakukan ibadah haji hanya sekali saja seumur hidup. Dan itupun untuk orang yang mampu saja. Dalam kaitan ini Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar jangan banyak bertanya tentang suatu ketentuan hukum, yang apabila diterangkan justru akan memberatkan. Maslahat meruapakan dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki landasan  yang kuat dalam al-Quran. Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat dalam dua bidang; dunia dan akhirat. Keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’ al-syai’ fi mahallihi). Dalam beberapa ayat al-Quran dijumpai perintah untuk berlaku
DAFTAR PUSTAKA
Wahab Khalaf, Abdul, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Roibin, Dr, Penetapan Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Hasan Khalil, Rasyad, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Khatimah, Dra. Husnul, Penerapan Syari’ah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007.
Al-Qur’an Al-Karim.
Muhammad Ath-Thariqy, Abdullah, Fikih Darurat, Jakarta : Pustaka Azzam,
            2001.
Mudjib, Abdul, Hikmatut Tasyri’, Malang : UIN Malang, 1984.
Rasyada, Dede, Hukum islam dan pranata sosial, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 1996.


[1] Abdul Mudjib, Hikmatut Tasyri’ , Malang : UIN Malang, 1984, Hal. 3
[2] Abdul Wahab Khalaf, Searah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Hal., 1.
[3] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Banung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, hal. 3.
[4] Ibid., h. 3.
[5]  Jaih Mubarak, hal. 7-11
[6] Rasyad Hasan Khalil, hal. 28.
[7] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’ah Islam, 89.
[8] Ibid, 90
[9] Ibid, 90
[10] Ibid, 90-91
[11] Al-Qur’an,Al-baqarah: 286
[12] Abdullah bin Muhammad Ath-Thariqy, Fiqih Darurat,  Jakarta: Pustaka Azzam,2001, Hal. 157
[13] Ibid, 159
[14] Ibid, 57
[15] Dede Rosyada, Hukum islam dan pranata sosial, Jakarta : PT Grafindo Persada, 1996, Hal. 104  
[16] Ibid, 58
[17] Dede Rosyada, Hukum islam dan pranata sosial, Jakarta : PT Grafindo Persada, 1996, Hal. 105
[18] Ibid, 107
[19] Abdullah bin Muhammad Ath-Thariqy, Fiqih Darurat,  Jakarta: Pustaka Azzam,2001, Hal. 86
[20] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’ah Islam, 91
[21] Al-Qur’an,Al-Maidah:101.
[22] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’at Islam, 91.
[23] Al-Qur’an,.Al-Qaf:39
[24] Ibid,Al-Mu’min:55
[25] Al-Qur’an, Al-Maidah:6
[26] Abdullah bin Muhammad Ath-Thariqy, Fiqih Darurat,  Jakarta: Pustaka Azzam,2001, Hal.28
[27] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’at Islam, 93.
[28] Al-Qur’an,An-Nahl:67
[29] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’at Islam, 93.
[30] Ibid,Al-Baqarah:219
[31] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’at Islam, 94.
[32] Al-Qur’an,An-Nisa’:43
[33] Husnul Khotimah, Penerapan Syariat Islam, 94.
[34] Al-Qur’an,Al-Maidah:90-91
[35] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009, hal 22.
[36] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’at Islam, 86-87.
[37] Ibid, 87.
[38] Husnul Khotimah, Penerapan Syari’at Islam, 88.
[39] Ibid, 88.
[40] Ibid, 88.
[41] Ibid, 88.
[42] Ibid, 88.
[43] Ibid, 88.
[44] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’at Islam, 88-89.
[45] Ibid, 89.
[46] Al-Qur’an,At-Taubah:60
[47] Al-Qur’an,Al-Maidah
[48] Ibid,An-Nahl:90
[49] Ibid,Al-Hujurot:9

0 komentar:

Posting Komentar