PRINSIP-PRINSIP PESYARIATAN
(TASYRI’) DALAM ISLAM
A. PENDAHULUAN
Keistemewaan
ajaran Islam dari pada ajaran agama lainnya adalah sisi universalitasnya.
Ajaran-ajaran samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada kaum tertentu. Sedangkan ajaran Islam diturunkan untuk
seluruh umat, baik manusia ataupun jin (kaffah li al-alamin). Telah dimaklumi,
bahwa perundang-undangan manapun harus selaras dengan kondisi dan relevansi
pihak yang dibebani undang-undang tersebut. Umat Nabi Adam as bisa merasakan
kelonggaran syari’at berupa kebolehan menikahi saudara sendiri, karena pada
saat itu populasi manusia baru dari satu keturunan.
Sedangkan umat Nabi Musa as harus merasakan
ketatnya syariat, karena dalam menghadapi Bani Israel yang terkenal keras
kepala, membutuhkan langkah-langkah preventif dengan menerapkan undang-undang
yang sekiranya dapat membuat mereka jera. Sedangkan syari’at Nabi Muhammad saw
(Islam) yang ditujukan untuk seluruh makhluk di dunia ini, baik manusia atau
jin, tentunya harus membentuk undang-undang (syari’at) yang bisa diterima oleh
semua kalangan. Untuk mewujudkan undang-undang tersebut, syari’at Islam
memiliki prinsip-prinsip dasae agar dapat diterima oleh seluruh makhluk di
segala zaman.
Dalam Islam sendiri terdapat norma-norma hukum
yang terdiri dari dua kategori;
Pertama, norma-norma hukum yang
ditetapkan oleh Allah dan atau Rasulnya secara langsung dan tegas. Norma-norma
hukum jenis ini bersifat konstant dan tetap. Artinya, untuk melaksanakan
ketentuan hukum tersebut tidak membutuhkan penalaran atau tafsiran (ijtihad)
dan tetap berlaku secara universal pada setiap zaman dan tempat. Norma-norma
hukum semacam ini jumlahnya tidak banyak, dan dalam diskursus norma hukum
(Islam), inilah yang disebut dengan syariat dalam arti yang sesungguhnya.
Kedua, Norma-norma hukum yang ditetapkan
Allah atau rasul-Nya berupa pokok-pokok atau dasarnya saja. Dari norma-norma
hukum yang pokok ini kemudian lahir norma hukum lain melaui ijtihad para
mujtahid dengan format yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Norma-norma yang terakhir inilah yang kemudian dinamai dengan fikih atau hukum
Islam. Tentu saja norma-norma ini tidak bersifat tetap, tetapi bisa saja
berubah (diubah) sesuai tuntutan ruang dan waktu. Hanya saja, dalam menetapkan
format hukum baru untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang, para
mujtahid dan badan legislasi Islam harus senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip
hukum yang berlaku.
B. SUBSTANSI KAJIAN
1. Pengertian Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islam
Pada bagian ini, terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan, yaitu tasikh,
tasyri’, syariah dan tarikh tasyri’. Secara etimologis, tarikh dalam
bahasa arab berarti buku tahunan, perhitungan tahun, buku riwayat, atau
sejarah. Dalam bahasa Inggris, tarikh diterjemahkan history, yang
berarti pengalaman masa lampau umat manusia, the past experience of mankind.
Pengertian selanjutnya, tarikh bermakna sejarah sebagai catatan yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau yang diabadikan dalam
laporan tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas. Dengan demikian, tarikh merupakan
pembahasan segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
tertentu pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan kronologis[1].
Sedangkan tasyri’ tampaknya
lebih merupakan istilah teknis tentang proses pembentukan fikih atau
perundang-undangan. Secara etimologis, tasyri’ berarti pembuatan
undang-undang atau peraturan-peraturan (taqnin). Menurut Abdul Wahab
Khalaf, tasyri’ adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang
mengatur hukum perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang
berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.[2] Menurut
batasan ini, tasyri’ merupakan produk ijtihad manusia dalam proses
pembentukan perundang-undangan (fikih).
Kata tasyri’
sendiri berasal daari kata syariat. Syariat secara bahasa,
sebagaimana dikemukakan Muhammad Sya’ban Ismail yang dinukil oleh Dr. Jaih
Mubarok, adalah al-utbah (lekuk-liku limbah), al-atabah (ambang
pintu dan tangga), maurid al-syaribah (jalan tempat peminum mencari air)
dan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus).[3]
Adapun secara terminologi, syariat adalah:
ما سنه الله
لعباده من احكام عقائدية او عملية او خلقية
Artinya: “Apa
yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya berupa hukum-hukum, baik hukum
keyakinan (‘aqadiyah), hukum amaliah maupun hukum akhlak.”
Dengan demikian, syariat merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah
kepada Nabi Muhammad bagi manusia yang mencakup keyakinan (aqaid), perbuatan (‘amaliah) dan
akhlak.
Adapun tarikh
al-tasyri’ al-islam, seperti dikemukakan Ali al-Sayyis, adalah:
ألعلم الذى يبحث فيه عن حا لة الفقه
الإسلامى في عصر الرسالة وما بعده من العصور من حيث التعيين الأزمنة التى أنشأت
فيها تلك الأحكام و بيان ما طرأ فيها من نسخ أو تخصيص و تفريع وما سوى ذلك و عن
حالة الفقهاء والمجتهدين وما كان لهم من شأن تلك الأحكام
Artinya: “Ilmu
yang membahas keadaan hukum-hukum (fiqh) pada masa Nabi dan sesudahnya
–termasuk penjelasan dan periodesasinya- yang padanya berkembang hukum itu,
menjelaskan karakteristiknya (nasikh, takhsish dan sebagainya), juga keadaan
fuqaha dan mujtahidin, serta merumuskan hukum-hukum itu.”[4]
Menurut batasan diatas, tampak bahwa tarikh al-tasyri’ al-islam
merupakan pembahasan tentang segala aktivitas manusia dalam pembentukan
perundang-undanganan Islam dimasa lampau, baik masa Nabi, sahabat maupun
tabi’in (para mujtahid) sampai sekarang, secara sistematis dan kronologis.
2.Prinsip-Prinsip Tasyri’ Islam[5]
Mu’arikh hukum
Islam menjelaskan beragai prinsip hukum islam. Prinsip-prinsip hukum islam yang
dijelaskan mu’arikh adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan
Kesukaran (‘Adam al-Haraj)
al-Haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat.
Adapun arti terminologinya adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa
atau harta secara berlebihan, baik sekarang maupun dikemudian hari. (Shalih ibn
Abd Allah ibn Hamid).
Hukum Islam
datang masih dalam batas kemampuan seorang mukallaf, tidak diluar batas
kemampuan dan sulit diemban. Dan ini tidak bertentangan dengan tabiat dan
persepsi manusia, sebab semua pekerjaan dalam hidup ini pasti ada masyaqah (beban)
dan kepenatan sampai kebutuhan primer sekalipun tetap ada bebannya seperti
makan, minum dan mencari rizki.[6]
Menyadari tabiat manusia yang tidak
menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya, maka Allah SWT menurunkan syari’at
islam untuk memelihara dan mengusahakan agar ketentuan yang dibebankan pada
manusia dapat dengan mudah dilaksanakan serta dapat menghilangkan kesulitan dan
kesempitan. Yang dimaksud dengan menhilangkan kesulitan dan kesempitan adalah
menghilangkan hal-hal yang menyulitkan (masyaqah) masyarakat yang
berlebih-lebihan, dan dapat menghabiskan daya manusia dalam melaksanakannya.[7]
Meskipun demikian tidaklah berarti
bahwa syari’ah Islam menghilangkan sama sekali kesulitan yang mungkin dialami
oleh manusia dalam kehidupannya. Hanya saja diharapkan ketentuan yang terdapat
dalam syari’at Islam dapat mengurangi kesulitan bagi manusia. Hal ini sesuai
dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’[4] : 28.[8]
ير يد الله
ان يخفف عنكم و خلق الا نسا ن ضعيفا
Artinya:
“Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikannya bersifat
lemah.”[9]
Menurut
Kamil Musa, diantara cara meniadakan kesulitan adalah:
a.
Pengguguran kewajiban, yaitu kewajiban dalam keadaan tertentu ditiadakan,
seperti ketidakwajiban melaksanakan ibadah haji bagi orang-orang yang pailit
atau dalam keadaan tidak aman.
b.
Pengurangan kadar yang telh ditentukan, umpamanya qasar sholat bagi yang sedang
dalam perjalanan.
c.
Penukaran, yaitu penukaran kewajiban yang satu dengn yang lainnya, umpamanya
kewajiban wudhu diganti dengan tayamum.
d.
Mendahulukan, yaitu mengerjakan sesuatu sebelum waktu yang telah ditentukan
secara umum (asal), seperti jama’taqdim (melaksanakan) sholat Ashar pada waktu
Zuhur.
e.
Menangguhkan, yaitu mengerjakan sesuatu setelah waktu asal telah tiada, seperti
jama’ta’khir (melaksanakan) shalat Zuhur pada waktu Ashar.
f. Perubahan,
yaitu bentuk perbuatan berubah-ubah sesuai dengan situasi yang dihadapi,
seperti sholat Khauf.[10]
Dalam menetapkan syariat Islam,
al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu
diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah)
kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang
dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 286 :
لا يكلف الله نفسا الا وسعها
Artinya : “Allah tidak mmembebani seseorang melainkan dengan
kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah:286).[11]
Menurut Al-Yatibi mengatakan bahwa: kesanggupan
manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at.
Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia -melihat prinsip
ini- tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan
mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian
pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).
Dalam menetapkan hukum, Allah SWT senantiasa
memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madharat yang
mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis fari pelaksanannya. Karena itu,
Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan: “Allah membuat undang-undang syari’at untuk
mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan
menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at).[12]
Namun bukan berarti dalam al-Quran
tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam pelaksanaannya. Sebab menurut
al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa
dialami masyarakat, misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam
kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu
tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan saja[13].
Menurut Al-Syatibi, yaitu: mengharuskan sesuatu yang
padanya ada yang memberatkan berupa masyaqqah (kesulitan). Hanya saja,
kesulitan itu sepadan dengan kemampuan yang dimiliki mukalaf (orang yang
dibebani hukum). Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan)
ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah
versi masyarakat seringkali dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama,
sikap mencari-cari kemudahan dalam beramal. Bila diamati ajaran Islam,
khususnya dalam bidang hukum, maka akan terlihat bahwa norma-norma hukumnya
senantiasa bertumpu pada prinsip nafy al-haraj (meniadakan kesukaran) demi
menghindari kesulitan[14].
Hal ini tidak berati bahwa setiap ketetapan
syarak sedikitpun tidak mengandung kesulitan. Bahkan, seperti dikatakan Hasbi,
kesulitan meskipun hanya sedikit adalah ciri khas dari hukum Islam, dan tanpa
adanya kesulitan, taklif itu tidak ada wujudnya. Dengan demikian dapat
ditegaskan, bahwa ketentuan-ketentuan hukum dalam Islam bukanlah sesuatu yang
harus dilaksanakan secara kaku tanpa mempertimbangkan kesulitan dalam
pelaksanaannya. Akan tetapi sebaliknya, dimana dalam kondisi-kondisi tertentu,
jika dipandang penerapan hukum yang ada akan menimbulkan kesulitan yang luar
biasa, maka diberikan jalan keluar berupa keringanan atau toleransi.
Prinsip nafy al-haraj ini dapat
dilihat dalam kandungan sejumlah ayat al-Qur`an dan hadis Nabi, dimana taklif
tidak pernah diberikan melampaui batas kemampuan mukalaf. Oleh karena itu,
ketika mukallaf mengalami kesulitan dalam pelaksanaan suatu hukum, maka dalam
waktu yang sama diberikan kemudahan atau toleransi. Pemberian kemudahan atau
toleransi di kalangan ahli hukum Islam disebut juga dengan rukhshah. Contoh,
dibolehkan memakan atau meminum yang haram dalam kondisi yang darurat, boleh
meninggalkan yang wajib jika kesulitan melaksanakannya; seperti karena sakit
dibolehkan berbuka puasa di bulan Ramadan, melaksanakan shalat dengan duduk,
bahkan berbaring. Begitu juga dibolehkan menggabungkan (menjamak) dan
mengqashar (meringkas) shalat karena musafir (bepergian)[15].
Adanya rukhshah dalam sejumlah hukum yang
ditetapkan Allah maupun Rasul, oleh fuqahâ` dipertajam lagi dengan kesimpulan
yang mereka rumuskan dalam bentuk kaedah ”المشقّة تجلب التيسير” (kesulitan itu
mendatangkan kemudahan). Dalam penerapannya, kaidah ini dikembangkan lagi
dengan beberapa kaidah cabang untuk objek yang lebih spesifik.
a.
Kriteria kesukaran menurut syari’at
Dalam
keriteria kesukaran syariat ini, apabila kesukaran dijadikan dasar hukum bagi
dispensasi dan kemudahan syar’i, maka ia mempunyai implikasi nyata dalam
penetapan hukum dan fakta. Sehingga penentuan konsep “kesukaran” dan keriteria
yang ada didalamnya merupakan satu hal yang penting yang tidak dapat diremehkan
dan merupakan keniscayaan untuk dikaji. Sehingga kami merasa perlu untuk
memaparkan aturan-aturan yang merupakan konsep tersebut.[16]
Kesukaran-kesukaran yang berimplekasi pada dispensasi hukum dan yang
batasan-batasannya dipandang penting adalah bentuk kesukaran yang subtansinya
tidak diterangkan oleh as-syari’.
Kesukaran inilah yang menjadi pokok bahasan
dibawah ini. Adapun bentuk kesukaran yang telah diatur oleh Asy syari’ dan
diasosiasikan oleh sebab-sebab tertentu sehingga ditetapkan hukum
dispentatifnya berdasarkan ada tidaknya bentuk kesukaran tersebut maka masalah
ini mempunyai bidang tersendiri saat menjelaskan sebab-sebab kemudahan didalam
syariat.[17]
Menurut Pendapat ulama’ AL-Izz bin Abdussalam,
beliau adalah seorang ulama’ yang concern mengkaji metode untuk menentukan
keriteria yang mempunyai implikasi hukum. Dalam karya Qawaid Al Ahkam ia
menyebutkan bahwa kesukaran ada dua macam:
Pertama: Kesukaran yang tidak dapat lepas
dari ibadah pada umumnya.
Maksutnya pelaksanaan ibadah tidak mungkin
terjadi tanpa disertai kesukaran tersebut. Misalnya, kesukaran pada waktu wudu’
dan mandi karena pada air yang sifatnya dingin, kekusakaran melaksanakan puasa
karena udaranya siang yang panas dan waktunya yang panjang, kesukaran
perjalanan yang tidak dapat terlepas dari niat menunaikan ibadah haji, jihat
secara umum, dan penerapan sangsi pidana untuk berbagai bentuk tindak pidana.
Jenis kesukaran ini tidak mempunyai implikasi atau efek terhadap ketentuan
hukum dispentatif. Sebab jika diterapkan implikasi hukum tersebut, maka
kemaslahatan dan bentuk ketaatan dalam ibadah akan sirna untuk selamanya.
Dengan demikian, sirna pula ganjaran dari pelaksanaan dan penunaian ibadah
tersebut berupa pahala yang telah dipersiapkan untuk selama-lamanya.[18]
Kedua: Kesukaran secara umum dapat
terlepas dari ibadah.
Yaitu kondisi umum
dimana ibadah dapat dilakukan tanpa disertai faktor kesukaran tersebut.
Jenis kesukaran ini ada tiga bentuk yaitu :
1)
Kesukaran yang dapat menimbulkan
bencana dan kesukaran besar. Seperti kesukaran dalam bentuk ketakutan yang
berkaitan dengan keselamatan jiwa. Bentuk kesukaran ini harus diringankan dan
diberikan dispensasi hukum sebab memelihara darah dan jiwa untuk membangun
kemaslahatan dunia dan ahkhirat lebih utama dari pada menentangnya hanya karena
kehilangan waktu dalam pengejaran ibadah atau rangkayan ibadah tertentu.
2)
Kesukaran ringan seperti sedikit
rasa sakit pada jari-jari tangan, sakit kepala ringan, atau penyakit ringan
lainnya. Bentuk kesukaran ini tidak dianggap dan tidak menimbulkan efek pada
keringanan hukum kecuali menurut madzab zhahiri. Sebab realisasi manfaat ibadah
lebih utama daripada menulak kesukaran ringan yang kecil nilainya.
3)
Kesukaran yang terletak
ditengah-tengah antara dua kesukaran diatas yang berbeda-beda dari segi ringan
dan beratnya kesukaran kesukaran tersebut. Perinsipnya, apabila kesukaran lebih
dekat pada bentuk kesukaran, pertama maka ia mengharuskan pemberian keringanan
hukum, namun jika lebih dekat dengan bentuk kedua, maka ia tidak meniscayakan
keringanan.
2. Menyedikitkan Pembebanan (Taqlif
al-Takalif)
Taklif secara bahasa berarti beban.
Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara istilah, yang dimaksud
taklif adalah tuntutan Allah untuk berbuat sehingga dipandang taat dan
(tuntutan) untuk menjauhi cegahan Allah.(Wahbah al-Zuhaili,I, 1986:134) Dengan
demikian, yang dimaksud taqlil al-takalif secara terminology adalah
menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat; mengerjakan perintah-Nya dan
menjauhi cegahan-Nya. (Jaih, 1995: 48)[19].
Prinsip kedua ini merupakan langkah
prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan
dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia
menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut
kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan
manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa ddasari
parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan. Umat manusia tidak
diperintahkan untuk mencari-cari sesuatu yang justru akan memperberat diri
sendiri.
Artinya syari’ tidak memperbanyak beban yang
diberikan kepada para hamba-Nya, sehingga beban yang berupa perintah dan
larangan dapat dijalankan tanpa menimbulkan kesulitan.[20]
Allah swt. Berfirman dalam Surat
Al-Maidah ayat 101, yakni sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا
عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا
وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya
akan menyusahkan kalian” (QS. al-Maidah: 101).[21]
Ayat ini melarang para sahabat
menghujani pertanyaan kepada Nabi dikala wahyu sedang turun alam merespons
masalah-masalah yang belum diterangkan hukumnya. Hal ini dimaksudkan agar
masalah-masalah itu apabila nantinya dapat ditetapkan hukumnya melalui
kaidah-kaidah umum sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, ayat
ini mengajarkan pada umat agar berpandangan riil terhadap segala hal, khususnya
dalam masalah penetapan hukum, tidak boleh didasarkan pada dugaan-dugaan yang
belum terjadi.[22]
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa
kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan
umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si
Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di
mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan
yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena,
jawaban yang akan ia terima merupakan beban dari si penanya sendiri. Padahal
prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban (taqlil al-taklif). Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Qur’an menafsirkan
sesuai kebutuhan masyarakat pada saat itu. Sedangkan yang tidak dibutuhkan
didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri
sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada masa yang
akan datang.
Dalam suatu riwayat juga ada yang
menjelaskan bahwa ketika Rasulullah mengajarkan kewajiban haji kepada para
sahabat, lalu salah seorang yang hadir mengajukan pertanyaan. ”Ya Rasulallah,
apakah kewajiban haji itu tiap tahun?” Rasul menjawab: ”kalau pertanyaan itu
saya jawab ”ya”, maka haji itu menjadi wajib untuk tiap-tiap tahun. Dan bila
wajib, kamu tidak akan sanggup menunaikannya.” Agaknya, kewajiban haji yang
hanya sekali seumur hidup, bertujuan untuk tidak memberi beban kepada mukallaf
di luar kemampuannya. Seperti diketahui, dalam melaksanakan ibadah haji
membutuhkan pengorbanan yang banyak; seperti fisik, harta, dan waktu. Tak
diragukan lagi, hal ini jelas akan memberatkan banyak orang.
Karena itulah Allah mewajibkan hanya
sekali saja seumur hidup. Dan itupun untuk orang yang mampu saja. Dalam kaitan
ini Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar jangan banyak bertanya
tentang suatu ketentuan hukum, yang apabila diterangkan justru akan memberatkan.
Begitu juga dengan aturan-aturan hukum, khususnya dalam bidang muamalat, sangat
sedikit dibanding dengan persoalan-persoalan muamalat (masalah kemasyarakatan),
dan yang langsung datang dari Allah terbatas pada yang pokok-pokok saja.
Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak pula secara rinci seperti dalam hal
ibadat.
Karena sifatnya yang demikian itu,
dalam bidang muamalat, berlaku prinsip umum yaitu:
الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدلّ
الدليل على التحريم
Artinya : Pada dasarnya semua perbuatan boleh dilakukan,
kecuali tentang perbuatan itu telah ada larangan.
Dengan demikian, prinsip dasar
muamalat adalah kebolehan (jâ`iz atau ibâhah). Artinya, semua perbuatan yang
termasuk ke dalam kategori muamalat boleh dilakukan asal saja tidak ada
larangan melakukan perbuatan itu. Karena sifatnya demikian, hukum Islam, dalam
masalah ini tidak akan mengalami benturan dalam menghadapi perubahan zaman.
Dan, dalam bidang ini dapat saja dilakukan modernisasi selama modernisasi itu
sesuai, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan jiwa (prinsip dasar)
Islam. Contoh, dalam masalah ‘aqd (transaksi). Tidak ada aturan resmi atau
formal yang harus diikuti untuk menilai sahnya suatu transaksi, melainkan,
sebagaimana isyarat al-Qur`an, cukup dengan kerelaan kedua belah pihak yang
mengadakan transaksi.
Aturan yang tidak banyak dan hanya
menyangkut pada hal-hal yang pokok, ternyata memberikan ruang gerak bagi hukum
Islam dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, aturan
yang hanya berupa prinsip-prinsip pokok itu akan memberikan lapangan yang luas
bagi manusia untuk melakukan ijtihad, sehingga hukum Islam tidak kaku. Pada
masa Rasulullah dahulu dalam menetapkan hukum itu juga ada yang bersifat
perintah. Yakni Kewajiban Shalat misalnya : Tahap pertama, terjadi
permulaan Islam di (Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan
penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada
pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kahawatir terjadi
penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy. Sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an Surat Qaf ayat 39,yakni :
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ
قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
Artinya : “Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka
katakan dan bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari
dan sebelum terbenam(nya)”.[23]
Kemudian dalam Al-Qur’an Surat Al-Mu’min
ayat 55;
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِك وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ
Artinya : “Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji
Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah)
seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”.[24]
Ketika penderitaan umat telah
menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas Bani Hasyim, dimulailah tahap kedua pelaksanaan
shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi membawa
perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dalam hal ini
Nabi bersabda : “Pada Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada umatku lima
puluh shalat. Tak henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga kemudian
kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam sehari semalam. Perintah dalam ayat
tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi sebagai kewajiban shalat
lima waktu, sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke
Yaman, “Kabarkan kepada mereka (penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah
mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Akkhirnya
ketika umat Islam telah mulai merasakan ketenangan di negeri baru mereka,
Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih terperinci, yaitu
dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum dalam al-qur’an
surat Al-Maidah ayat 6 dan rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis
pelaksanaan shalat sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau
bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ
سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,supaya
kamu bersyukur.(QS: Al-Maidah Ayat: 6)”.[25]
Manusia adalah obyek dan subyek
legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran
diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai
jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan
hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah
terdapat syariat Islam. Dan Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik
dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan
manusia.
Karenanya, segala sesuatu yang ada
di mana-pun ini merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi
kebutuhannya. Menurut Abd al-Wahab Khalaf dalam kitabnya Ilmul Ushulil Fiqhi,
bahwa : Dalam membentuk hokum Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat
(ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan
bebrapa buktu bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’i menetapkan hukum-hukum itu sejalan
dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan
sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding dengan
hukum tersebut. Adapun sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, beliau selalu
berupaya meminimalisasi turunnya taklif (pembebanan) dari Tuhan. Sebagai
contoh, Rasulullah sengaja tidak datang ke mesjid melakukan shalat tarawih
berjama’ah bersama-sama sahabatnya. Padahal tiga malam sebelumnya beliau secara
berturut turut melakukannya. Mengomentari sikap pasifnya tersebut beliau
bersabda: “saya hawatir jangan-jangan shalat malam (tarawiih) diwajibkan atas
kalian, lalu kalian tidak mampu melakukannya”.
Semangat sunnah dari cerita inilah
yang kemudian ditangkap dengan jelinya oleh sahabat Umar bin Al-Khatthab
sehingga pada masa khalifah ketiga ini shalat tarawih diorganisir secara
bersama-sama (berjama’ah) di masjid. Pertimbangan Umar, bahwa sikap pasifnya
Rasulullah mengorganisir shalat tarawih bukan berarti beliau menganggap shalat
tarawih secara jama’ah tidak baik. Karuan saja, banyak kalangan menuduh
pendapat umar bergeser dari teks wahyu lantaran Rasulullah SAW belum pernah
melakukan hal demikian sebelumnya. Menghadapi tuduhan tersebut umar berkomentar
pendek: “inilah sebaik-baiknya bid’ah”.
3. Berangsur-angsur/Bertahap Dalam Persyari’atan
(Tadarruj al-Tasyri’)
Tadarruj adalah sebuah cara bertahap
yang ditempuh oleh Al Qur’an untuk menyampaikan pesan-pesannya dalam membina
masyarakat, baik dalam melenyapkan kepercayaan dan tradisi jahiliyah maupun
yang lain. Al Qur’an tidak serta merta merubah 360 derajat sebuah keadaan awal.
Al Qur’an lebih memilih jalan bertahap dalam menyampaikan pesannya agar mudah
dilaksanakan oleh umat. Karena syari’at diturunkan dengan tujuan yaitu
kemaslahatan umat. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi SAW secara bertahap
(berangsur-angsur) begitu pula Nabi SAW dalam menyampaikan hal itu kepada para
sahabat. Karenanya sangatlah wajar apabila salah satu metode pendidikan Nabi
SAW adalah graduasi. Hukum islam dibentuk secara gradual atau tadrij.
Hal ini didasarkan pada al-Qur’an
yang diturunkan secara berangsur-angsur. Setiap masyarakat tentu mempunyai adat
kebiasaan atau tradisi, baik tradisi yang baik ataupun tradisi yang
membahayakan mereka sendiri. Di antara tradisi tersebut ada yang telah mengakar
secara mendalam pada suatu masyarakat. Demikian juga dengan bangsa arab. Ketika
Islam datang, mereka mempunyai tradisi dan kesenangan yang sukar untuk
dihilangkan sekaligus, maka dikhawatirkan akan menyebabkan timbul konflik dan
kesulitan-kesulitan.
Prinsip persyari’atan tadarruj ini
yang digunakan oleh Al Qur’an merupakan metode yang diturunkan oleh Allah untuk
menyelesaikan suatu permasalahan. Sebagai contoh menurut Yudian Seseorang yang
lompat ketahap akhir Al Qur’an, tentu akan mengatakan bahwa khamer adalah
haram, titik sebaliknya yang ingin memahami proses tadarruj ini sebagai
kesatuan dinamis tentunya akan menerapkan metode itu secara utuh ketika
berhadapan pada suatu kasus yang mirip. Oleh karena Tadarruj dipandang sebagai
prinsip persyari’atan, maka akan ditemukan kekayaan hukum Islam. Dimana
hukumnya yang selalu flesibel akan selalu sesuai dengan zaman dan keadaan. Dan
yang terpenting adalah terlaksananya dan teraplikasainya hukum-hukum Allah.
Yang jelas tersirat suatu metode penerapan dakwah yaitu suatu tahapan dalam
pembinaan mayarakat.
Pembahasan tadarruj ini dapat kita lihat dalam
sejarah Islam. Ketika dunia Islam telah bebas dari penjajaan Barat dan yang
seterusnya terpecah menjadi negara kebangsaan, dimana masing-masing mengurus
sendiri segala sesuatu mulai dari masalah sosial, ekonomi, hukum, politik dan
kebudaayaan yang beraneka ragam. Dengan segala perbedaan atau prular yang ada dalam
suatu negara, maka ada sesuatu yang telah sesuai dengan syari’at
dan ada sesuatu yang jelas bertentangan. Maka tidak mungkin hukum Islam akan
menggantikan sekaligus hukum-hukum yang ada dan berlaku dalam masayarakat,
karena yang jelas akan terjadi kekagetan yang sangat, disisi lain tidak mungkin
hukum Islam ditinggal seluruhnya.
Oleh sebab itu maka prinsip
persyari’atan tadarruj diperlukan dalam masalah ini, yaitu dengan membiarkan terus
berlakunya hukum yang memenui persyariatan kemaslahatan umat dan mengganti
aturan yang tidak sesuai dengan kebutuhan umat. Oleh karena itu tadarruj disini
tidak hanya sebagai cara untuk membaca penetapan hukum yang terkandung dalam Al
Qur’an, namun juga sebagai metode untuk penetapan suatu hukum atau dapat
dijadikan sebagai kaidah fiqih.
Diantara bidang hukum Islam yang dibentuk berangsur-angsur adalah
sebagai berikut, shalat pada awalnya, pengharam riba, pengharam khamar. Prinsip
tadarruj memberikan jalan kepada kita untuk
melakukan pembaruan karena hidup manusia mengalami pembaruan. Dengan mengingat
faktor tradisi dan ketidak senangan ketika menghadapi perubahan drastis dari
suatu keadaan kepada keadaan lain yang masih asing bagi manusia, maka al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai
dengan peristiwa, kondisi dan situasi yang terjadi. Dengan demikian, hukum yang
diturunkan lebih dapat diterima dan disenangi sehingga menimbulkan keinginan
untuk mentaatinya.
Untuk menghilangkan
kebiasaan-kebiasaan yang buruk, al-Qur’an menempuh metode yang sangat
bijaksana. Mula-mula mereka dilarang melakukan dosa-dosa besar, kemudian
dilarang melakukan dosa-dosa kecil terhadap sesuatu yang menjadikesukaan
mereka, baru disusul larangan terhadap sesuatu yang telah menjadi kecintaan
mereka, seperti arak, riba, dan perjudian. Dengan demikian maka kejahatan dan
kerusakan akan benar-benar dapat tercabut dari akarnya secara sempurna.[26]
Prinsip penetapan hukum secara
berangsur-angsur nampak sekali dalam proses pewahyuan hukum-hukum syara’. Allah
melalui Rasul-Nya tidak menetapkan hukum sekaligus, tetapi melalui tahapan yang
mehabiskan waktu hampir 23 tahun. Ayat-ayat hukum diturunkan, begitu juga
kemunculan hadis Nabi, umumnya, sejalan dengan adanya kejadian atau peristiwa
yang membutuhkan jawaban hukum.
Karena demikian, setiap ketentuan
hukum memiliki latar belakang kelahirannya yang khas. Pentahapan Al Qur’an
dalam menetapkaan hukum-hukumnya yang berkaitan dengan tuntutan dan larangan
mengerjakan sesuatu, berbeda dengan tuntutan dan larangan yang berkaitan dengan
aqidah atau kepercayaan. Dalam hal aqidah dan prinsip-prinsip moral, Al Qur’an
tidak mengenal pentahapan. Sejak dini Al-Qur’an telah mengajarkan tauhid,
kebenaran, keadilan, hormat kepada orang tua dan sebagainya.
Di bawah ini akan dikemukakan suatu
contoh terapan metode tadarruj yang digunakan oleh syaree’ untuk menetapkan
suatu hukum sesuatu hal. Dan yang dimaksud oleh syaree’ adalah hukum final dari
suatu rangkaian tadarruj, namun di sini kita akan mencoba untuk memahapi proses
dari penetapan hukum itu sendiri. Dan contoh yang paling sering kita ambil
adalah contoh penetapan hukum khamer bagi bangsa Arab yang nota bene bangsa
yang gemar meminum khamer ketika zaman penurunan syari’at ini.
Kita dapat melihat ada empat tahapan ayat dalam menetapkan
hukum khamer:[27]
1) Tahapan
pertama yaitu ayat QS. An Nahl (16):67. yang berbunyi :
ومن ثمرا ت ا لنخيل وا لا عتا ب
تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا
Artinya “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman
yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda bagi orang yang memikirkan”.[28]
Dalam ayat ini disebutkan tentang karunia Allah. Predikat
baik dalam ayat ini ditujukan untuk semua yang dapat di makan dari kedua pohon
itu yaitu kurma dan kismis, bukan sukar (arak).[29]
2)
Tahapan kedua yaitu ayat QS. Al
Baqoroh [2]:219. yang berbunyi:
يساء لو نك عن ا لخمر والميسر قل
فيهما اثم ومنا فع للناس و اثمهما اكبر من نفعهما و يساء لو نك ما ذا ينفقون قل
العفو كذا لك يبين الله لكم الا يا ت لعلكم تتفكرون
Artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa’at bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya”. Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka. nafkahkan. Katakanlah: ” Yang lebih dari keperluan.”
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.[30]
Manfaat yang dimaksud, oleh ayat ini
adalah keuntungan materi yang merupakan laba dalam jual beli arak. Mereka
membelinya di Syam dengan harga yang murah dan menjualnya di Hijaz dengan harga
yang tinggi. Pada tingkat ini al-Qur’an belum secara tegas menyuruh orang
meninggalkan minum khamr dan main judi sekaligus, karena masyarakat Arab ketika
itu masih sangat gemar minum arak dan main judi.[31]
Setelah Allah memberi tahu bahwa
minuman dibagi menjadi dua: ada yang baik dan ada buruk, selanjutnya Allah
memberitahu bahwasanya khamer dan judi merupakan hal yang buruk, dan
keburukkannya lebih besar daripada manfaat yangditimbulkannya.
Dari ayat ini Allah telah melangkah satu
tingkat lebih berani. Dari awalnya yang hanya memberitahu bahwa khamer buruk,
dan mempertegas lagi bahwa keburukkannya lebih besar dari kebaikkannya
Keburukkan yang dimaksud adalah segala sesuatu ayag dari akibat khamer dan judi
telah merusak tatanan kemaslahatan umat. Sedangkan kebaikkannya adalah
kenikmatan dan kepuasan jiwa yang diperoleh dari judi dan khamerMenurut Qurai
Shihab ayat ini belum dengan tegas melarang, sehingga hanyalah orang yang
tinggi kesadaranya yang menghindari perjudian dan khamer.
3)
Tahapan ketiga yaitu turunnya ayat QS. An
Nisa’[4]:43. yang berbunyi:
يا ايها الذين امنوا ر تقربوا ا لصلاة
و انتم سكا رى حتى تعلموا ما تقولون
Artinya
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,…….”.[32]
Pada
tingkatan ini mabuk pun belum dilarang secara mutlak, sifat pelarangannya masih
bersifat temporal yaitu ketika shalat.[33]
Asbabun Nuzul dari ayat ini adalah
suatu ketika Ibnu Auf dan Anas meminum khamer bersama orang banyak, kemudian
mereka melaksanakan sholat dan imamnya membaca surat dan salah karena dalam
keadaan mabuk, yaitu ‘ “Katakan hai orang-orang kafir aku menyembah apa yang
kamu sembah” suatu penyimpangan yang menyesatkan.
Mengutip Qurais Shihab, bahwa dalam ayat ini telah
menjelaskan larangan minium khamer namun dalam waktu-waktu tertentu saja. bagi
yang terbiasa minum seakan-akan masih dibolehkan meminum khamer asalkan jauh
dari waktu sholat, karena kekhawatiran akan rusaknya bacaan dalam sholat saja.
4)
Tahap yang keempat adalh turunnya
ayat QS. Al-Maidah [5]:90-91’ yang berbunyi:
يأ يها الذ ين امنوا انما الخمر و الميسر و الانصا ب و الا زلا
م رجس من عمل الشيطا ن(90) ان يو قع بينكم العدوا ة و البغضاء فى الخمر و الميسر و
يصد كم عن ذكر الله و عن الصلواة فهل انتم منتهو ن(91)
Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar,
berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
(90). Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu” (91).[34]
Dalam suatu riwayat diceritakan
bahwa Umar bin Khottob mengharapkan kepada Allah untuk menjelaskan secara
sempurna dan tuntas tentang khamer. Sehingga turunlah ayat ini.
Riwayat lain menceritakan bahwa
ketika suatu hari Sa’ad bin Abi Waqqash meminum khamer bersama sahabat Ansar,
dan mendendangkan sya’ir-sya’ir dengan berbangga ria, kemudian Sa’ad bin Abi
Waqqash bersenandung sebuah sya’ir yang mencela kaum Ansor. Maka salah seorang
diantara merekatiba-tiba memukul dan kemudian mengadu kepada Rosulullah.
Kenudian Rosulullah berdoa: “ Ya Allah ya Tuhan kami, jelaskanlah khamer kepada
kami dengan penjelasan yang menyembuhkan”. Maka turunlah ayat QS. Al Maidah
ayat 90.
Dari dua ayat inilah didapat
kesimpulan final tentang keharaman khamer untuk selamanya. Allah dengan tegas
menetapkan bahwa hukum khamer adalah sesuatu yang harus dijauhi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa khamer hukumnya haram sepanjang waktu. Dari sni tuntaslah
penetapan hukum khamer. Hukum yang tidak serta merta melarang denagn hukum
haram, namun denagn cara pentahapan atau tadarruj. Dan yang paling urgen dari
penetapan ini adalah keberhasilan menuntaskan masalah sosial tanpa adanya syok
dan berhasil menghentikan para pecandu minuman keras.
4. Sejalan Dengan Kemaslahatan Ummat
(Muthobiqun Li Mashalihil Ummah)
Maslahat
berasal dari kata as-sulh atau al-islah yang berarti damai dan
tenteram. Damai berorientasi pada fisik, sedangkan tenteram berorientasi pada
psikis. Adapun yang dimaskud maslahat secara terminologi adalah perolehan
manfaat dan penolakan terhadap kesulitan. Maslahat adalah dasar semua kaidah
yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki landasan yang kuat dalam al-Quran.
Tujuan
syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat dalam dua
bidang; dunia dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam, tidak ada
satu bidang keyakinan atau aktivitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali
ada pembahasannya dalam syariat Islam, dikaji dengan segala cara pandang yang
luas dan mendalam.[35]
Semua ketentuan dalam syari’at Islam
sangat memerhatikan kemaslahatan manusia. Tidak mengherankan jika selama masa
Nabi diturunkan aturan-aturan hukum yang sewaktu-waktu aturan itu ada aturan
yang dibatalkan apabila keadaan menghendaki demikian dan diganti dengan aturan
baru. Seperti perubahan arah qiblat dari masjid al-aqsha ke masjid al-haram.
Adanya penghapusan dan penggantian hukum, merupakan suatu buktii bahwa syari’at
Islam menghendaki adanya kemaslahatan bagi manusia. Mengomentari hal ini, Anwar
Harjono berpendapat bahwa ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum
tidak pernah meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan.[36]
Ibn Qayyim juga mengatakan:
ان الشريعة
مبنا ها و اسا سها على الحكم و مصا لح العبا د فى المعا ش و المعا د
“Sesungguhnya
syari’at itu fondasi (dasar) dan asasnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi
para hamba, baik dalam kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat.”[37]
Perubahan
hukum (syari’ah), memang hanya terjadi pada masa Nabi, yakni pada fase
pembentukan dasar-dasar hukum yang lengkap. Sesudah Nabi Muhammad SAW wafat,
dan dasar-dasar syari’ah telah lengkap, tidak ada lagi pembatalan materi
syari’ah Islam, akan tetapi Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) telah banyak
menjelaskan ‘illat – ‘illat hukum, agar dapat diketahui bahwa ada hukum yang
mengikuti ‘illatnya, sehingga dapat berubah menurut perubahan ‘illatnya.
Perubahan yang terakhir ini sebenarnya hanyalah dalam penerapannya saja, bukan
dalam arti perubahan materi syari’ah.[38]
Maslahah itu sendiri
berasal dari kata اصلح atau صلا ح yang dapat berarti damai dan tenteram. Damai berorientasi
pada fisik sedangkan tenteram berorientasi pada psikis. Adapun pengertian maslahah
secara terminologi adalah : جلب النفع
الضرر (“perolehan manfaat dan penolakan
terhadap kesulitan”).[39]
Maslahat adalah dasar
semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki landasan yang
kuat dalam al-Qur’an, misalnya firman Allah dalam surat al-Anbiya’ [21]: 107.[40]
وما ار سلنك
الا ر حمة للعلمين
“Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmad bagi semesta alam”
Dan hadis Rasululloh, misalnya لا ضر
ر و لا ضرار (“tidak boleh memberi mudharat kepada orang lain, dan tidak pula
boleh diberi mudharat oleh yang lainnya”).[41]
Dalam kerangka hukum Islam, secara
umum maslahah dapat dibagi menjadi tiga yaitu: maslahah mu’tabarah, maslahah
mulghah dan maslakhah mursalah.[42]
Maslahah mu’tabarah adalah maslahah yang diperhatikan syara’
berdasarkan nash dan menjadi tujuan dalam penetapan hukum, yaitu untuk
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan, dan harta. Maslahah
mu’tabarah ini diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu: dharuri (primer),
Hajji (sekunder), dan tahsini (tersier) uraian tentang maslahah jenis ini telah
dijelaskan pada pembahasan tentang tujuan hukum islam.[43]
Maslahah mulghah adalah maslahah
yang ditolak. Yaitu suatu kemaslahatan yang dianggap baik oleh akal, tetapi ada
petunjuk syara’ yang menolaknya. Misalnya pada kasus fatwa Yahya ibn Yahya
al-Laits mengenai raja Andalusia yang berjimak pada siang harii di bulan
Ramadhan. Berdasarkan pertimbangan akal, maka raja tersebut dikenakan kewajiban
kaffarat berpuasa dua bulan berturut-turut. Keputusan tersebut tidak boleh
diterapkan, karena bertentangan dengan ketentuan nash yang menyebutkan secara
jelas urutan kaffarat bagi yang berjimak pada siang hari di bulan Ramadan
yaitu: memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-urut atau memberi makan
60 fakir miskin, dengan tidak membedakan apakah yang melakukan pelanggaran itu
seorang raja atau orang miskin.[44]
Maslahah mursalah adalah sesuatu
yang bermanfaat namun tidak didukung maupun disangkal oleh bukti nash. Maslahah
ini dikatakan mursalah karena ia mursal, artinya terlepas dari dalil yang
mengesahkan atau membatalkannya. Misalnya, agar perceraian bukan merupakan
suatu yang dianggap mudah, maka perceraian itu harus dilakukan di hadapan hakim
di pengadilan Agama. Pernyataan dalam contoh di atas, tidak diatur di dalam
nash walau ternyata bermanfaat untuk mencegah tindakan yang memudah-mudahkan
thalak.[45]
Manusia adalah obyek dan subyek
legislasi hukum al-Qur’an. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran
diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai
jiwa, akal, keturunan, agama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga
penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di
situlah terdapat syariat Islam. Maslahat bisa diartikan dengan mengambil
manfaat dan menolak kemadaratan atau sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
Apabila kemaslahatan dikatakan
sebagai prinsip hukum, maka hukum harus memberikan kemaslahatan (kebaikan) bagi
si pemakai hukum. Dalam konteks hukum Islam dan pembinaannya, teori maslahat
menduduki peranan penting, bahkan menurut para pakar hukum Islam, semisal
al-Syâthibî, maslahah (kebaikan dan kesejahteraan manusia) dipandang sebagai
tujuan akhir dari pensyariatan hukum-hukum. setidaknya, dalam rangka
memperhatikan kemaslahatan inilah, dalam sejarah pembentukan hukum Islam, suatu
kasus bisa saja berubah ketentuan hukumnya apabila ‘illatnya (maslahat atau
madarat) telah hilang. Begitu juga sesuatu yang pada dasarnya boleh (tidak
dilarang), tapi dalam waktu atau kondisi tertentu bisa saja ditetapkan hukumnya
terlarang (haram) apabila mendatangkan kemadaratan seperti kasus berziarah ke
kuburan yang telah disebutkan.
Tidak diragukan, untuk tujuan memelihara
kemaslahatan ini jugalah, kenapa sejumlah ijtihad Umar bin al-Khattab, bukan
saja kontroversial dengan pendapat para sahabat Nabi di masanya, bahkan berbeda
dengan praktek yang berlaku di zaman Rasulullah SAW. Salah satu di antara
ijtihad Umar yang kontroversial itu ialah tentang muallaf yang tidak mendapat
bagian dari pembagian zakat.
Dalam surat al-Taubah ayat 60, Allah menerangkan bahwa di
antara golongan yang berhakmenerima zakat ialah muallaf. Allah berfirman:
إنّما الصدقات للفقرآء والمساكين … والمؤلفة قلوبهم
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, miskin, … para muallaf yang dibujuk hatinya(al-Taubah: 60).[46]
Berdasarkan fakta sejarah, kategori
muallaf dapat digolongkan kepada orang-orang Islam yang masih lemah imannya dan
orang-orang kafir (non-Islam) yang diharapkan sesuatu daripadanya. Untuk
kategori yang disebut terakhir, oleh Rasyid Ridha, dibagi lagi menjadi dua
macam. Pertama, orang-orang yang diharapkan akan beriman dan memperkuat Islam
dengan adanya bagian muallaf yang diberikan kepada mereka. Kedua, orang-orang
yang dikhawatirkan tindakan kejahatannya terhadap umat Islam. Maka bagian yang
diberikan kepada mereka, diharapkan dapat melunakkan hati mereka dan menahan
diri dari melakukan kejahatan.
5. Menghendaki adanya rasa keadilan
(Tahqiq al-‘Adalah)
Keadilan memiliki beberapa arti.
Secara bahasa, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’
al-syai’ fi mahallihi). Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah memiliki
corak yang generalistik, datang untuk semua manusia untuk menyatukan urusan
dalam ruang lingkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan. Dalam beberapa
ayat al-Quran dijumpai perintah untuk berlaku adil, diantaranya sebagai
berikut:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُوۡنُوۡا قَوَّا امِيۡنَ
لِلّٰهِ شُهَدَآءَ بِالۡقِسۡطِ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَاٰنُ قَوۡمٍ عَلٰٓى اَ
لَّا تَعۡدِلُوۡا ؕ اِعۡدِلُوۡا
هُوَ اَقۡرَبُ لِلتَّقۡوٰى وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ
خَبِيۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu
menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong
kamu untuk tidak adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada
taqa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya allah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah:)[47]
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ
وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ
وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl: 90).[48]
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ
فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman
itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
Al-Hujarat: 9).[49]
Persamaan hak di muka adalah salah
satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah.
Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatapi juga bagi
seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran
masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum
sesuai hukum Islam.
D. KESIMPULAN
Tarikh al-tasyri’ al-islam merupakan
pembahasan tentang segala aktivitas manusia dalam pembentukan perundang-undanganan
Islam dimasa lampau. Dalam
menetapkan hukum, Allah SWT senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan
memperhitungkan manfaat dan madharat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekuensi logis fari pelaksanannya.
Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan: “Allah membuat undang-undang
syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa dampak negatif
(madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfaat). Taqlil al-takalif adalah menyedikitkan tuntutan Allah untuk
berbuat; mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Allah mewajibkan melakukan
ibadah haji hanya
sekali saja seumur hidup. Dan itupun untuk orang yang mampu saja. Dalam kaitan
ini Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar jangan banyak bertanya
tentang suatu ketentuan hukum, yang apabila diterangkan justru akan
memberatkan. Maslahat meruapakan
dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki
landasan yang kuat dalam al-Quran. Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat
dalam dua bidang; dunia dan akhirat. Keadilan adalah meletakkan sesuatu
pada tempatnya (wadl’ al-syai’ fi mahallihi). Dalam beberapa ayat al-Quran dijumpai
perintah untuk berlaku
DAFTAR PUSTAKA
Wahab Khalaf, Abdul, Sejarah Pembentukan
dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan
Hukum Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Roibin, Dr, Penetapan Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Hasan Khalil, Rasyad, Tarikh
Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Khatimah, Dra. Husnul, Penerapan
Syari’ah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007.
Al-Qur’an Al-Karim.
Muhammad Ath-Thariqy, Abdullah, Fikih Darurat, Jakarta : Pustaka Azzam,
2001.
Mudjib, Abdul, Hikmatut Tasyri’, Malang : UIN Malang, 1984.
Rasyada, Dede, Hukum islam dan pranata sosial, Jakarta : PT. Grafindo Persada,
1996.
[2] Abdul Wahab Khalaf, Searah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Hal., 1.
[3] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam, Banung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, hal. 3.
[6] Rasyad Hasan Khalil, hal. 28.
[7] Husnul Khatimah,
Penerapan Syari’ah Islam, 89.
[8] Ibid, 90
[9] Ibid, 90
[10] Ibid, 90-91
[11] Al-Qur’an,Al-baqarah:
286
[20] Husnul Khatimah, Penerapan
Syari’ah Islam, 91
[21] Al-Qur’an,Al-Maidah:101.
[22] Husnul Khatimah, Penerapan
Syari’at Islam, 91.
[23] Al-Qur’an,.Al-Qaf:39
[24] Ibid,Al-Mu’min:55
[25] Al-Qur’an, Al-Maidah:6
[27] Husnul Khatimah, Penerapan
Syari’at Islam, 93.
[28] Al-Qur’an,An-Nahl:67
[29] Husnul Khatimah, Penerapan
Syari’at Islam, 93.
[30] Ibid,Al-Baqarah:219
[31] Husnul Khatimah, Penerapan
Syari’at Islam, 94.
[32] Al-Qur’an,An-Nisa’:43
[33] Husnul Khotimah, Penerapan
Syariat Islam, 94.
[34]
Al-Qur’an,Al-Maidah:90-91
[35] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sejarah
Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009, hal 22.
[37] Ibid, 87.
[38] Husnul Khotimah, Penerapan
Syari’at Islam, 88.
[39] Ibid, 88.
[40] Ibid, 88.
[41] Ibid, 88.
[42] Ibid, 88.
[43] Ibid, 88.
[44] Husnul Khatimah,
Penerapan Syari’at Islam, 88-89.
[45] Ibid, 89.
[46] Al-Qur’an,At-Taubah:60
[48] Ibid,An-Nahl:90
[49] Ibid,Al-Hujurot:9
0 komentar:
Posting Komentar