Selasa, 07 Januari 2014

TOKOH-TOKOH FIQIH, ADABUL KHILAF DAN PERBEDAAN-PERPEDAAN



B. SUBSTANSI KAJIAN
            1.  BIOGRAFI PARA ULAMA FIQIH
a.      IMAM MALIK
Dahulu kala tepatnya tahun 93 H di kota Madinah lahir seorang anak yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Imam Malik. Nama lengkap beliau Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani. Beliau diberi gelar Syaikhul Islam, Hujjatul Ummah, Mufti Al Haramain (Mufti dua tanah suci) dan Imam Daarul Hijrah. Ayah beliau, Anas adalah seorang ulama besar dari kalangan Tabi’in. Ibu beliau bernama ‘Aliyah bintu Syariik Al Adziyyah.Paman-paman beliau bernama Abu Suhail Nafi’, Uwais, Ar Rabi’, An Nadhar, semuanya putra Abu ‘Amr.
Imam Malik tumbuh dalam suasana yang penuh pengawasan dan perhatian kedua orang tuanya, serba berkecukupan, dan beliau memiliki ketabahan hati yang luar biasa.Beliau berperawakan tinggi besar, berambut putih (beruban) dan berjenggot putih lebat.Beliau berwajah tampan dan kulit beliau putih bersih dengan mata jernih kebiru-biruan.Beliau suka sekali memakai baju putih dan beliau selali memakai pakaian yang bersih.
Pada usia belasan tahun Al Imam Malik mulai menuntut ilmu. Ketika berumur 21 tahun beliau mulai mengajar dan berfatwa. Beliau berguru pada ulama terkenal di antaranya Nafi’, Sa’id Al Maqburi, Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu Al Mukandir, Az Zuhri, Abdullah bin Dinaar, dan sederet ulama-ulama besar lainnya.
Murid-murid Al Imam Malik banyak sekali. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abadullah bin Abu Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ayyub bin Habiib Al Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad, dan Al Imam Asy Syafi’i.
Sahabat-sahabat Al Imam Malik diantaranya adalah Ma’mar, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, ‘Amr bin Al Harits, Al Auza’i, Syu’bah, Ats Tsauri, Juwairiyyah bin Asma’, Al Laits, Hammad bin Zaid.
Al Imam Malik mempunyai karya yang besar di bidang hadits, yaitu kitab Al Muwattha, karya beliau lainnya adalah Risalah fi Al Qadar, Risalah fi Al Aqdhiyyah, dan satu juz tentang tafsir. Di samping karya-karya beliau lainnya yang tidak disebutkan di sini.
Pujian-pujian yang datang dari para ulama kepada Al Imam Malik membuktikan tingginya reputasi beliau dalam bidang keilmuan, tidak kurang dari murid beliau, Al Imam Asy Syafi’i yang mengatakan, “Ilmu itu berputar-putar di sekitar tiga orang, Malik, Laits, dan Ibnu ‘Uyainah”. Al Imam Ahmad bin Hanbal menuturkan bahwa Imam Malik ditinjau dari sisi ilmu lebih utama dari Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits, Hammad, dan Al Hakam. Al Qaththan berkata, “Beliau (Al Imam Malik) adalah imam yang patut dijadikan panutan”.
Al Imam Malik adalah seorang tokoh yang gigih menyebarkan dan mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pendapat-pendapat beliau tentang Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tercermin dari ucapan-ucapan beliau diantaranya:
1.      Beliau berkata, “Iman itu ucapan dan perbuatan (maksudnya: iman itu keyakinan di dalam hati yang disertai dengan ucapan lisan dan perbuatan anggota badan, pent), bisa bertambah dan berkurang dan sebagiannya lebih utama dari sebagian yang lain.”
2.      Beliau berkata, “Al Qur’an itu KALAMULLAH (firman Allah). Kalamullah itu berasal dari Allah Subhanahu Wata’ala. Dan apa yang berasal dari Allah Subhanahu Wata’ala itu sekali-kali bukan makhluk”.
3.      Beliau berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, maka dia harus dicambuk dan dipenjara”.
4.      Beliau berpendapat bahwa orang-orang yang beriman akan dapat melihat Allah Subhanahu Wata’ala pada hari kiamat dengan mata kepala mereka.
Berkenaan dengan akhlak yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu Al Imam Malik mengatakan, “Hendaknya seorang penuntut ilmu itu memiliki sifat teguh hati (tabah), tenang pembawaannya (berwibawa), dan Khasyyah (takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala)”. Beliau sendiri dikenal sebagai orang yang sangat takwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, berwibawa, dan sangat disegani sebagaimana dikatakan Mushab bin Abdullah dalam syairnya, Beliau disegani orang kendati bukan penguasa. Al Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’.Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada Imam Malik.


b.      IMAM HANAFI
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi. Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu.Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.


Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
a)      Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b)      Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
c)      Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.


c.       IMAM SYAFI’I
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.
Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:
1.      Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.
2.      Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.
3.      Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.
4.      Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:
·         Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
·         Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri
·         Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
·         Sufyan bin Uyainah
·         Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.
Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:
·         Malik bin Anas
·         Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany
·         Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya
Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;
·         Mutharrif bin Mazin
·         Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.
Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:
·         Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
·         Ismail bin Ulayah.
·         Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
·         Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
·         Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
·         Ishaq bin Rahawaih,
·         Harmalah bin Yahya
·         Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
·         Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat.Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu.Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah.Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya.Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir.Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya.Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran.“Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76).Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda.Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”
d.      IMAM HAMBALI
Ahmad Ibn Hambal adalah pendiri Madzhab Hambali mempunyai nama lengkap Ahmad ibn Muhammad Ibn Hambal bin Hilal Asad al-Syaibani Abu Abdillah al-Marwazi al-Baghdadi. Kata Hambal termasyhur dengan nama datuknya Hambal, dan karena itu orang menyebutnya dengan nama Hambal.
Ayahnya bernama Muhammad.Sedangkan ibunya bernama Syarifah Maimunah binti Abd al-Malik ibn Sawadah ibn Hindun al-Syaibaniy.Jadi baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, Imam Ahmad Ibn Hambal berasal dari keturunan Bani Syaiban salah satu kabilah yang berdomisili di semenanjung Arabia. Keturunan Ahmad Ibn Hambal bertemu dengan keturunan Rasulullah saw pada Mazin ibn Mu’ad ibn Adnan.
Ahmad Ibn Hambal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabi’ul awal tahun 164 H (780 M).ia dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan. Kebetulan pada saat itu Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghafal al-Quran, kemudian belajar bahasa Arab, Hadits, sejarah Nabi dan sahabat serta para tabi’in.
Ahmad Ibn Hambal terkenal seorang yang wara’, zuhud dan sangat kuat berpegang kepada yang haq.Dia hafal al-Quran dan mempelajari bahasa dan juga belajar menulis dan mengarang ketika berusia empat belas tahun.Ahmad Ibn Hambal hidup sebagai seorang yang cinta untuk menuntut ilmu.
Pada mulanya Ahmad Ibn Hambal belajar ilmu fikih pada Abu Yusuf salah seorang murid Abu Hanifah.Kemudian beliau beralih untuk belajar hadits. Karena tidak henti-hentinya dalam belajar hadits, sehingga ia banyak bertemu dengan para Syaikh ahli Hadits. Iamenulis hadits dari guru-gurunya dalam sebuah buku, sehingga ia terkenal sebagai seorang Imam al-Sunnah pada masanya. Dia juga memperdalam ilmu fikih dan berguru pada Imam Syafi’iy, ia termasuk Akbar Talamidz al-Syafi’i al-Baghdadiyin.
Ahmad Ibn Hambal suka melakukan perjalanan ke berbagai daerah.Di antara daerah yang pernah dikunjunginya adalah Kuffah, Basrah, Makkah, Madinah, Syam, Yaman dan Arabia untuk mengumpulkan hadits. Karena banyak negeri yang dikunjunginya dalam rangka mengumpulkan hadits, maka ia dijuluki imam rihalah sebagaimana halnya Imam Syafi’iy. Ia berhasil mengumpulkan sejumlah besar hadis Nabi. Kumpulan hadisnya itu disebut dengan musnad Imam Ahmad.Imam Ahmad memperoleh guru-guru hadis terkenal di antaranya Sufyan ibn Uyainah, Ibrahim ibn Sa’ad dan Yahya ibn Qathan.
Imam Ahmad mempunyai daya ingat yang kuat dan itu adalah kemampuan yang umum terdapat pada ahli-ahli hadis.Dia juga sangat sabar dan ulet memiliki keinginan yang kuat dan teguh dalam pendirian.Maka tidak aneh jika dia menentang dengan keras terhadap pendapat yang menyatakan bahwa al-Quran itu adalah makhluk.Ini terjadi pada masa pemerintahan al-Muttasim.
Imam Ahmad Ibn Hambal adalah seorang pemuka Ahlu al-Hadis yang telah disepakati oleh para ulama.Namun sebagai seorang ahli fikih masih diperselisihkan.Imam Ahmad pada dasarnya tidak menulis kitab fikih secara khusus, karena semua masalah fikih yang dikaitkan dengannya sebenarnya berasal dari fatwanya sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang pernah ditanyakan kepadanya.Sedangkan yang menyusunnya hingga menjadi sebuah kitab fikih adalah para pengikutnya.
Imam Ahmad tidak menulis kitab-kitabnya sendiri, meskipun beliau mempunyai banyak catatan tentang hadits. Kitab Musnad Ahmad Ibn Hambal dalam Hadits disusun dan dikumpulkan oleh putranya yang bernama Abdullah bin Ahmad, Abu Bakar al-Asdom, Abdul Malik al-Malmuny, Ibrahim bin Ishak al-Hazbi dan lain-lain. Murid-murid inilah yang menulis risalah-risalah dan melaksanakannya berdasarkan fikih yang diterima dari Imam Ahmad.Adapun yang mengembangkan madzhab Hambali yang terkenal serta pengaruhnya terasa di dunia Islam sekarang adalah muridnya yaitu Ibn Taimiyah.
Imam Ahmad Ibn Hambal adalah seorang yang dihormati dan disegani dan diturut perkataan-perkataannya oleh orang.Bahkan guru-gurunya sendiri memandang hebat dirinya.Ahmad memperoleh muhibah ini dari Allah.al-Qasim ibn Salam berkata,
“Aku pernah duduk di majelis Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan, Yahya ibn Sa’id, Abdurrahman ibn Mahdi.Tak ada yang hebat di mataku seperti kehebatan Ahmad.“Bagaimana tidak bertambah-tambah kehebatannya dia tidak pernah bersenda-gurau, dia selalu berdiam diri, tidak memperkatakan selain ilmu.”
Dalam bidang hadis Imam Ahmad diarahkan oleh Husyin ibn Basyir ibn Abi Hazim, inilah guru Imam Ahmad yang pertama dan utama dalam bidang hadis.Lima tahun lamanya Ahmad Ibn Hambal ditempa oleh Husyin.Dialah boleh dikatakan yang banyak mempengaruhi pola pikir Ahmad.Untuk mendalami cara-cara istinbath dan membina fikih, Ahmad Ibn Hambal berguru kepada asy-Syafi’iy.
Melalui keahlian Imam Ahmad Ibn Hambal dalam bidang hadis, sebenarnya adalah Atsar Ahmad tidak menulis kitab dalam bidang fiqih yang dapat dijadikan pegangan pokok yang merupakan sumber madzhabnya.Risalah-risalahnya yang berkembang dalam masyarakat semuanya merupakan kitab hadits tak ada di dalamnya sesuatu istinbath fikih.Demikian pula kitab-kitab An-Nasikh Wal Mansukh, at-Tarikh, al-Mu qaddam Wal Muakkhar Fii Kitabillahi Ta’ala. Fadla Ilus Shahabah, Al-Manasikhul Kabir, Al-Manasikhus Shaghir, dan kitab Azzud, semuanya dalam bidang hadis.
Musnad Ahmad adalah koleksi terbesar yang mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan Ahmad.Dialah saripati hadis yang diterima Ahmad dan didewankan dengan menyebutkan sanad-sanadnya.Kitab-kitab ini mulai dikumpulkan sejak dia menghadapi hadits pada umur 16 tahun.Musnad ini terdiri dari empat jilid dan memuat lebih dari 40.000 hadits.Para ulama’ Sunnah menetapkan bahwa Ahmad memulai usaha mengumpulkan musnad pada tahun 180 H.
Imam Ahmad Ibn Hambal meninggalkan beberapa karya besar yang menjadi standar dalam madzhab ini. Imam Ahmad selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik, ia juga seorang pengarang. Ia mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Di antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut :

  1. Kitab al-Musnad
  2. Kitab Tafsir al-Quran
  3. Kitab al-Nasikh Wa al-Mansukh.
  4. Kitab al-Muqaddam Wa al-Muakkhar Fi al-Quran.
  5. Kitab Jawabatu al-Quran
  6. Kitab al-Tarikh
  7. Kitab Mansiku al-Kabir
  8. Kitab Manasiku al-Shaghir
  9. Kitab Tha’atu al-Rasul
  10. Kitab al-’Illijh
  11. Kitab al-Shalah
Ulama-ulama besar yang pernah mengambil dari Imam Ahmad ibn Hambal antara lain: Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibn Abi al-Dunya dan Ahmad ibn Abi Hawarimy. Di antara ulama yang telah berjasa mengembangkan madzhabnya adalah: al-Stram Abu Bakar Ahmad ibn Haniy al-Khurazaniy, Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hajjaj al-Marwaniy, ibn Ishaq al-Harby, al-Qasim Umar ibn Abi Ali al-Husein al-Khiraqiy, Abd al-Aziz ibn Ja’far dan sebagai penerus mereka yaitu Muwaffaqu al-Din, Ibn Qudamah dan Syamsu al-Din Ibn Al-Qudamah Al-Maqdisiy.
Ketika Ahmad Ibn Hambal dipanggil untuk ditanya tentang apakah al-Quran itu makhluk atau bukan.Ia tidak menjawab, bahwa al-Quran itu makhluk sebagaimana yang dikehendaki al-Muttasim. Sehingga dia dipukul dan dipenjara.Bertahun-tahun lamanya Imam Ahmad berada dalam penjara.Hukuman tersebut berakhir pada pemerintahan al-Watsiq.Setelah al-Watsiq wafat, jabatan kekhalifahan digantikan oleh al-Mutawakil.Atas kebijakan al-Mutawakil, Imam Ahmad dibebaskan dari penjara.
Ketika dia keluar dari penjara, usianya sudah lanjut dan keadaan tubuhnya yang sering mendapatkan penyiksaan membuat beliau sering jatuh sakit. Kesehatannya semakin hari semakin memburuk dan akhirnya beliau wafat pada hari Jum’at pada tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 241 H/ 855 M dalam usia 77 tahun dan dimakamkan di Baghdad.
                                     


2. ADAB AL-KHILAF
Al-Khilaf (perselisihan pendapat) dalam perkara agama memang jamak terjadi bahkan di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun.Namun demikian hal itu berbeda dengan yang selama ini dipahami banyak orang yang justru menjauh dari upaya mencari kebenaran dengan dalih “ini adalah masalah khilafiyah”.
Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi.Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda.Namun perselisihan masih dalam batas wajar manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat.Meski kita memaklumi kenyataan ini, namun (perlu diingat bahwa) perselisihan pada umumnya bisa menyeret kepada kejelekan dan perpecahan.Oleh karena itu, salah satu tujuan dari syariat Islam yang mudah ini adalah berusaha mempersatukan persepsi umat dan mencegah terjadinya perselisihan yang tercela. Tetapi, karena perselisihan merupakan realita yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan tabiat manusia, Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi masalah yang diperselisihkan, berikut orang-orang yang berselisih, serta mencari cara yang tepat untuk bisa sampai kepada kebenaran yang seyogianya hal ini menjadi tujuan masing-masing pribadi. Para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab di saat khilaf, sehingga tidak menimbulkan perkara yang jelek, karena mereka selalu komitmen dengan adab-adab khilaf. (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)
Adapun macam khilaf adalah sebagai berikut.
1.      Ikhtilaf tanawwu’. Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya. Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.
2.      Ikhtilaf tadhad. Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.
3.      Ikhtilaf afham. Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad. (Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam)
Penyebab Perbedaan Pendapat di antara Ulama
Suatu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada seorang ulama pun –yang tepercaya keilmuan, amanah, dan ketaatannya– sengaja menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena orang yang sejatinya alim, niscaya yang menjadi penunjuk jalannya adalah kebenaran.Namun para ulama bisa saja terjatuh ke dalam kesalahan saat menyebutkan suatu hukum syariat.Kesalahan pasti bisa terjadi, karena manusia pada dasarnya lemah ilmu dan pemahamannya.Pengetahuannya pun terbatas, tidak bisa meliputi seluruh perkara.
Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam suatu hukum sendiri di antaranya sebagai berikut:
1.      Karena dalil belum sampai kepadanya. Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikabarkan kepadanya bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. ‘Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang tadinya tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar di suatu negeri ada tha’un maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah keluar (dari daerah tersebut, red.) untuk lari darinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 5729)
2.      Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya (penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.
3.      Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.
4.      Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya kalimat “أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاء” artinya: Atau kalian menyentuh perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.
5.      Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.
6.      Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma’ (kesepakatan ulama).
7.      Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil.
(Diringkas dari risalah Al-Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan khilaf yang memiliki bobot dan dianggap adalah perbedaan pendapat ulama yang tepercaya secara keilmuan dan ketaatannya.Bukan mereka yang dianggap atau mengaku ulama namun sebenarnya bukan ulama.Bukan pula khilaf antara ahlul bid’ah seperti Khawarij, Syi’ah, dan lainnya dengan Ahlus Sunnah. Sikap kita terhadap perselisihan ulama adalah:
·         Kita yakin bahwa khilaf mereka bukan karena menyengaja menentang dalil, namun karena sebab-sebab yang sudah kita sebutkan di atas serta sebab lain yang belum disebutkan.
·         Kita mengikuti pendapat yang lebih kuat dari sisi dalil. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mewajibkan untuk mengikuti ucapan seseorang kecuali hanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik jiwa ini menyukainya atau tidak. Adapun selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada jaminan terbebas dari kesalahan. Sehingga apa yang sesuai dengan hujjah dari pendapat mereka, itulah yang kita ambil dan ikuti. Sedangkan yang tidak sesuai dengan hujjah maka kita tinggalkan. Sebagaimana wasiat para imam untuk meninggalkan pendapat mereka yang menyelisihi dalil. Di sisi lain, meski kita dapatkan dari mereka adanya pendapat yang salah, ini bukanlah suatu celah untuk menjatuhkan mereka. Usaha untuk sampai kepada kebenaran telah mereka tempuh, namun mereka belum diberi taufiq untuk mendapatkannya. Jika mereka salah dengan pendapatnya –setelah usaha maksimal– maka tidak ada celaan atas mereka. Bahkan mereka mendapatkan satu pahala. Semestinya tertanam dalam jiwa kita sikap hormat dan memuliakan para ulama serta mendoakan rahmat dan ampunan bagi mereka. (Lihat Kitabul ‘Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullahu)
Adab yang harus Diperhatikan untuk Mencegah Perselisihan
Pertama: Niatan yang tulus dan ingin mencari kebenaran. Seorang penuntut ilmu seharusnya bersikap obyektif. Ini mudah secara teori namun susah dalam praktik. Karena tidak sedikit orang yang lahiriahnya seolah menyeru kepada kebenaran, padahal sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya atau membela dirinya dan syaikhnya.Mungkin hal ini yang menjadikan sebagian orang ketika membantah dan berdiskusi tidak bisa ilmiah, namun semata ingin menjatuhkan lawannya (yang menyelisihinya) dengan mengangkat masalah pribadi dan menggunakan bahasa celaan. Hendaklah masing-masing menjadikan Al-Qur`an dan hadits sebagai hakim yang memutuskan di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Kedua: Bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)
Ketiga: Menghindarkan perselisihan beserta penyulutnya semampu mungkin.
Hal ini bisa terwujudkan dengan:
·         Berbaik sangka terhadap ulama dan para penuntut ilmu serta mengutamakan ukhuwah Islamiah di atas segala kepentingan.
·         Apa yang dinyatakan/keluar dari mereka atau disandarkan kepada mereka dibawa kepada kemungkinan yang baik.
·         Bila keluar dari mereka sesuatu yang tidak bisa dibawa kepada penafsiran yang baik maka dicarikan alasan yang paling tepat. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ulama itu ma’shum atau tidak bisa salah, namun sebagai bentuk berbaik sangka kepada ulama.
·         Koreksi diri serta tidak memberanikan diri menyalahkan ulama kecuali setelah penelitian yang mendalam dan kehati-hatian yang panjang.
·         Membuka dada untuk menerima segala kritikan dari saudaramu dan menjadikannya sebagai acuan untuk ke depan yang lebih baik.
·         Menjauhkan diri dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah dan huru-hara.
·         Komitmen dengan adab-adab Islam dalam memilih kata-kata yang bagus serta menjauhkan kata-kata yang tidak pantas.
(Lihat Adabul Khilaf, Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid hal. 44-47 dan An-Nush-hul Amin Asy-Syaikh Muqbil)

1.      PERBEDAAN PENDAPAT MASALAH NIKAH
a.      Persyaratan wali di dalam menikah
Yang menjadi persoalan pokok adalah ijab. Yaitu dapatkah di pandang sah jika di ucapkan oleh si wanita calon istri secara langsung? Atau oleh wanita lain sebagai wakilnya? Atau sebagai wakil dari walinya? Atau oleh lelaki lain sebagai wakil dari calon istri yang sukup dewasa dan cerdik?
Dengan kata lain,adakah kedudukan wali itu (lelaki)menjadi syarat sah akad nikah atau tidak. 

Pendapat pertama
            Memandang bahwa sighot ijab akad nikah yang diucapkan oleh wanita yang dewasa dan cerdik adalah sah secara mutlak. Yang dimaksud dengan mutlak disini yaitu,wanita itu gadis atau janda, sekufu dengan calon suaminya atau tidak,atas izin walinya atau tidak,baik diucapkan langsung atau berwakil dengan wanita lain atau dengan lelaki lain yang bukan walinya.
Demikian menurut imam abu hanifah, abu yusuf, zufar,auza’y, Muhammad bin hasan dari satu riwayat dan imam malik menurut riwayat ibnul qosim bagi wanita yang tidak mempunyai kedudukan.
Alasan yang dipegang oleh golongan ini terdiri atas 3 dalil:
Dalil pertama dari kitabullah:
·         Ayat 230 surat al-baqoqoh:
فإن طـلقها فلا تحل له من بعد حتي تنكح زوجا غيره (البقرة:
Artinya:  “kemudian jika suami menthalaq (sesudah thalaq yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sehingga dia menikahi suami yang lain”
·         Ayat 232 surat al- baqoroh
وإد طلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلو هن أن ينكحن ازوا جهن (البقرة:
Artinya: “ apabila kamu (wahai para suami) menceraikan istri- istrimu kemudian sampai iddahnya, maka janganlah kamu (wahai para suami) menghalang- halangi mereka menikah bakal suami mereka”.
·         Ayat 234 surat al- baqoroh
فإدا بلغن أجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن في أنفسهن با لمعروف(البقرة :
Artinya: “maka apabila isteri-isteri (yang suaminya mati) telah selesai iddah mereka, maka tidak ada dosa atasmu dalam segala sesuatu yang mereka kerjakan mengenai diri mereka dengan baik.”
Dalil kedua dari sunnah Rosul:
1.      Hadits Ibnu Abbas
عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأدن فى نفسها وأد نها صما تها. وفى رواية لأبى داود و النساء ليس للولي مع الثيب أمر واليتيمه تستأ مر
Artinya: “Dari Ibnu Abbas dia berkata: Bersabda Nabi Saw: perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya. Dan anak gadis diminta izinnya mengenai dirinya sedang izinya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An-nisa: tidakalah ada urusan wali terhadap janda: dan gadis yang tidak mempunyai bapak diminta perintahnya”.
Hadist Ibnu Abbas ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya, Hal ini adalah hak wanita janda. Adapun wanita yang gadis maka di apas pandangan dari segi belum biasanya bergaul dengan laki-laki dan dari segi sifat pemalunya yang membuat ia berat berterus terang untuk menyatakan persetujuannya.
Agama memandang cukup memberikan kelonggaran kepadanya yaitu berupa diamnya sebagai tanda persetujuannya. Kelonggaran yang diberikan oleh agama tersebut tidaklah berarti bahwa agama mencabut haknya untuk melakukan aqad secara langsung, hak mana telah diperolehnya menurut qaidah umum yaitu selagi gadis itu dewasa dan cerdik ia serupa dengan janda dalam urusan pernikahannya.
Perbedaan dalam hadist tersebut adalah pada cara menyatakan persetujuan atau keinginannya. Tegasnya pada kedewasaan dan kecerdasan terletaknya persoalan yang berhubungan dengan pelaksanaan aqad, tidakalah pada kegadisan atau pada kejandaan.
Jelaslah bahwa hadits tersebut memandang cukup untuk mendapat izin dari gadis dengan diamnya sebagai tanda persetujuan yang menjadi syarat syahnya nikah yang dilaksanakan aqadnya oleh walinya, maka alangkah ganjilnya jika aqad tersebut dianggap tidak syah kalau dilaksanakan langsung oleh diri gadis yang bersangkutanbyang mana dia adalah pemegang izin sebagaimana diketahuibdari riwayat yang menerangkan bahwa seorang gadis datang kepada Rosululloh memberitahukan bahwa bapaknya menikahkannya kepada anak pamanya (saudara bapak) maka Rosululloh memerikan hak fasakh kepada gadis itu.
2.      Hadist Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh An-Nasa’I dan Ahmad.
عن أم سلمة أنها لما بعث النبى صلى الله عليه وسلم يخطبها قا لت : ليس أحد من أوليائ شاهدا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس أحد أوليا ئك شاهد ولآ غائب يكره دلك.
Artinya: “Ummu Salamah meriwayatkan bahwa tatkala Rosululloh meminangnya dia berkata: tidak seorang pun diantara wali-waliku hadir. Maka sabda Rosululloh Saw. tidak seorangpun walimu yang hadir atau ghoib (musyafir) menolak perkawinan kita.”
Hadits Ummu Salamah ini menunjukan bahwa dalam perkawinan Rosululloh dengan Ummu Salamah tidak dihadiri oleh walinya dan bahwa wali tidak berhak membantah atau menyanggah terhadap perkawinan yang sekufu dan bahwasannya aqad nikah tidak tergantung kepada wali. Demikian riwayat mengenai Ummu Salamah yang disepakati oleh perowi-perowi hadits.
        Dalil ketiga dari pertimbangan ratio:
Golongan ini berpendirian bahwa perkawinan mempunyai dua tujuan yaitu primer dan skunder.
Tujuan primer hanya dimilki oleh wanita yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak wali, umpamanya urusan persetubuhan, perbalanjaan (nafkah), rumah kediaman dan hak-hak lainnya yang diperoleh wanita sehubungan aqad nikah.
Tujuan skunder ialah wali ikut serta merasakan umpama,”terkaitnya tali persaudaraan antara kedua keluarga” yang oleh karena itu ia ikut mencampuri persoalannya.
Aqad yang bertujuan seperti tersebut adalah wajar jika yang memegang peran dan menentukan adalah yang bersangkutan yang mempunyai tujuan primer itu. Selain dari itu aqad nikah serupa dengan aqad jual beli kalau wanita dibolehkan menjual budak jariyah yang dimilikinya atau menjual harta bendanya, maka sewajarnya dibolehkan pula ia langsung mengenai keselamatan dirinya.
Pendapat Kedua
         Memandang bahwa sighot aqad nikah yang diucapkan oleh wanita hukumnya syah, tapi tergantung kepada izin atau restu wali dan jika tidak direstui oleh wali maka aqad tersebut menjadi batal. Demikian menurut Ibnu Sirin, Qosin bin Muhammad, Muhammad bin Hasan menurut suatu riwayat dan imam ahmad menurut qoul mukharraj.
           Alasan yang dipegang oleh golongan ini adalah sebagai berikut:
1.      Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Imam Ahmad:
عن عا ئسة رضى الله عنها قا لت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أيما امرأة نكحت بغير إدن وليها فنكا حها با طل, فنكا حها با طل. فإن د خل بها فلها ا لمهر بما استحل من فرجها فإن اشتجروافالسلطا ن ولى من لا ولى له.
Artinya: “Dari Aisyah Ra. Ia berkata: Rosululloh bersabda: tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, maka jika wanita itu sudah disetubuhi maka wanita itu mahar mistily karena dianggapnya halal menyetubuhinya. Sebab jika mereka berselisih maka sultan adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali”.
     Hadits Aisyah ini jelas membatalkan nikah tanpa izin wali. Hal mana menunjukkan bahwa kalau sesuatu pernikahan dilangsungkan atas seizin wali, maka hukum pernikahan itu adalah syah. Hadits tersebut tidak menerangkan bahwa izin wali harus diperboleh sebelum berlangsungnya aqad nikah. Hadits tersebut menggantungkan syahnya aqad nikah kepada seizin wali secara umum baik izin tersebut diperoleh sebelum berlangsungnya aqad nikah ataupun sesudahnya. Tegasnya hadits tersebut menunjukkan syahnya aqad nukah tanpa wali asalkan saja ada izinnya.
2.Menurut pertimbangan ratio bahwa kekhawatiran atas kelangsungan aqad nikah tanpa wali adalah disebabkan wanita itu picik pikirannya sehingga dikhawatirkan dia akan tertipu atau akan jatuh kepada perangkap laki-laki yang tidak bermoral, tetapi kekhawatiran ini menjadi hilang karena adanya restu wali. Demikian dalil yang dipegang oleh Ibnu Sirin.
Pendapat Ketiga
Serupa dengan pendapat kedua (Ibnu Sirin) perbedaannya ialah golongan ini memandang bahwa izin wali haruslah diperoleh sebelum berlangsungnya aqad nikah. Ini adalah pendapat Abu Tsaur menurut Al-Muhazzab karangan Abi Ishak As-Syairazy dan Nailul-Authar, sedang menurut Al-Muhalla, Abu Tsaur hanya membolehkan wanita itu dinikahkan oleh lelaki muslim walaupun tidak berderajad wali karena orang-orang mukmin itu bersaudara, di mana mereka sesame mereka saling mewalikan. Jadi menurut Al-Muhalla, Abu Tsaur tidak membenarkan bahwa wanita menikahkan dirinya secara langsung walaupun telah mendapatkan izin dari walinya.
Pendapat keempat
Memandang bahwa pernikahan tanpa wali itu syah hukumnya jika skufu, dan batal jika tidak skufu, demikian menurut As-Sa’bi dan Az-Zuhri.
Alasan yang dipegang oleh golongan ini adalah hadits Ummu Salamah tersebut di atas tadi yaitu sabda Rosul:
ليس أحد من أوليا ئك شا هدأوغا ئب يكره دلك
Artinya: “Tidak ada seorang pun di antara walimu yang hadir ataupun ataupun ghaib (musafir) menolak perkawinan kita.”
Hadits Ummu Salamah tersebut menunjukkan syahnya aqad nikah tanpa wali kalau disetujui oleh disebabkan sekufu. Jadi kalau tidak sekufu tentulah ditolak si wali yang oleh karenanya aqad nikah tersebut menjadi batal.
Pendapat Kelima
Memandang bahwa aqad nikah tanpa wali hukumnya syah bagi wanita janda dan tidak syah bagi wanita yang masih gadis, demikian menurut Daud Az-Zahiry. Alasan yang dipegang oleh golongan ini ialah Hadits Ibnu Abbas yang berbunyi sebagai berikut:
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأ د ن فى نفسها وإد نها صما تها.
Artinya: “Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan gadis meminta izinnya mengenai dirinya dan izinnya adalah diamnya.”
           Hadits Ibnu Abbas ini membedakan antara status janda dan gadis. Si janda dapat menikah tanpa wali karena ia lebih berhak dari walinya, malahan dari suatu riwayat Ibnu Abbas menerangkan bahwa si wali tidak mempunyai hak sedikitpun terhadap janda. Si gadis tidak boleh langsungmenikahkan dirinya kepada aqad nikahnya harus langsung oleh orang tang ketiga atas izinnya. Orang yang ketiga itu tidak lain adalah walinya.
Pendapat Keenam
Memandang batalnya aqad nikah yang shigot ijabnya diucapkan oleh wanita baik gadis atau janda, skufu atau tidak, dengan izin wali atau tidak, secara langsung untuk dirinya, atau selaku wakil.
Demikian menurut Imam Syafi’I, Imam Malik dari riwayat Asyhab, Ibnu Subrumah, Ibnu Abi Laila, Sufyan Tsauri, Ishaq bin Rawahih, Ibnu Mubarak dan Ibnu Hazm.
Oleh karena banyaknya Imam-Imam yang mendukung pendapat ini, bailah kita tegaskan bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama. Alasan yang dipegang oleh golongan Jumhur ini ialah sebagai berikut:
Ø  Ayat 32 surat An-Nur
وانكحوا الآيامى منكم.
Artinya: “Nikahkanlah kamu orang-orang yang tidak bersuami/tidak beristri dari padamu.”
Ø  Ayat 221 surat Al-Baqoroh
ولا تنكحواالمشركين حتى يؤ منوا
Artinya: “Janganlah kamu menikahkan orang-orang musrik sehingga mereka beriman.”
Ayat pertama ditujukan kepada wali dimana mereka diminta supaya menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau orang-orang yang belum beristri. Ini menunjukkan bahwa urusan pernikahan adalah urusan wali.
Ayat kedua juga ditujukan kepada wali supaya mereka tidak menikahkan wanita-wanita islam kepada orang-orang musyrik. Andaikata wanita itu mempunyai hak secara langsung menikahkan dirinya tanpa wali, maka tidak ada artinya khitob ayat tersebut ditukan kepada wali dan semestinyalah ditujukan kepada wanita. Tetapi oleh karena aqad nikah dalam urusan wali, maka larangan tersebut ditujukan kepada wali, tidak kepada wanita. Ini menunjukkan bahwa urusan nikah terletak pada wali, dan kalau tidak demikian, maka tentulah larangan tersebut tidak ditujukan kepada para wali.
Atas dasar ini jelas pula bahwa khitob larangan menikahkan orang-orang musyrik tidak dapat dikatakan bahwa ia ditujukan kepada seluruh kaum muslimin sebagai pensyari’tan umum karena bertentangan dengan syarat taklif  yaitu perbuatan yaitu perbuatan yang ditaklifkan itu (berupa larangan untuk  orang-orang musyrik) hendaknya yang dapat dikerjakan. Dan pastilah tidak mungkin seseorang mencegah wanita yang bukan dalam kekuasaannya yang hendak menikah dengan orang musyrik.
Ø  Ayat 232 surat Al-Baqoroh
وإداطلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلو هن أن ينكحن أزواجهن.
Artinya: “(wahai para suami) apabila kamu menceraikan istri-istrimu kemudian selesai iddah mereka, maka janganlah kamu (wahai para wali) menghalangi mereka bekas isrtri-istri tersebut untuk menikah denga lelaki lain (calon suami mereka).
Inilah satu-satunya ayat yang menunjukkan kekuatan status wali, demikian kata Imam Syafi’i. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah larangan dalam ayat tersebut tidak ada artinya dan tidak ada gunanya mencegah para wali menggunakan hak mereka dalam melakukan adlal. Ayat ini turunnya pada Ma’qil bin Yasar yang telah menikahkan saudaranya yang perempuan, kemudian diceraikan oleh suaminya ( thalaq ra’ji) dan ditinggalkannya sampai selesai iddahnya kemudian dia bermaksut ingin menikahinya lagi. Ma’qil berkata: “pada peristiwa sayalah turunnya ayat ini.”
Riwayat ini diriwayatkan oleh Al-Bukhori, Abu Daud manambahkan riwayat ini lagi yaitu: “kata Ma’qil, maka aku membayar kifarat sumpahku dan lantas aku nikahkan saudara perempuanku kepada bekas suaminya setelah aku diperintahkan oleh Rusul.”
Jadi kalau kirannya saudara perempuan Ma’qil berhak menikahkan dirinya, maka tentulah tidak turun ayat yang mencerca Ma’qil, malahan semestinya diturunkan ayat yang menerangkan bahwa saudara perempuan Ma’qil dapat langsung menikahkan dirinya tanpa wali. Selanjutnya kalau ayat tersebut tidak menunjukkan kekuasaan wali, maka tentulah Rosululloh tidak membiarkan Ma’qil membayar kifarat sumpah dan tidak memerintahkan Ma’qil supaya menikahkan saudaranya itu.
Jelaslah peristiwa Ma’qil tersebut menjadi sebab nuzul ayat ini, sedangkan pengertian sesuatu ayat sangat tergantung kepada sebab nuzulnya.
Dalil kedua dari sunnah Rosul:
1.      Hadits Abi Musa Al-Asy’ary yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah :
عن أبى مو سى الأشعرى قا ل : قا ل رسول الله صلى ا لله عليه وسلم : لا نكا ح إلا بولى.
Artinya: “Tidak menikah melainkan dengan wali.”
Hadits nabi musa ini pada dhohirnya menafikan (meniadakan) aqad nikah yang berlangsung tanpa wali. Timbullah pertanyaan kita, dapatkah sesuatu fakta dinafikan? Tentu tidak. Jadi kalau demikian, maka yang dinafikan itu adalah salah satu diantara dua perkara, yaitu sempurna atau syah. Untuk mendekatkan kepada menafikan fakta ialah dengan jalan manafikan syahnya.
Di atas dasar ini hadits Abi Musa tersebut adalah menafikan syah nikah tanpa wali bukan manafikan sempurna nikah tanpa wali. Demikian menurut golongan ini.
2.      Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.
عن عا ئشة رضى الله عنها قا لت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أيما امرأة نكحت بغيرإد ن وليها فنكا حها با طل, فنكا حها باطل. فإن دخل بها فلها المحر بماا ستحل من فر جها. فإن اشتجروا فا لتا طان ولى له.
Artinya: “Dari Aisyah ra. Ia berkata: Rosululloh bersabda: tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal (3x) maka jika wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita itu mahar mistily karena dianggapnya halal menyetubuhinya. Sebabnya mereka berselisih maka sulthan adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.”
Hadits Aisyah ini menerangkan:
a.       Aqad nikah yang berlangsung tanpa izin wali batal hukumya.
b.      Melakukan persetubuhan atas dasar anggapan halalnya, mewajibkan kepada laki-laki pelaku membayar mahar mistil.
c.       Wanita yang tidak mempunyai wali disebabkan karena berselisih dengan wali atau karena wali ghaib atau memang karena tidak ada walinya, maka dalam keadaan tersebut yang menjadi wali adalah sulthan atau wali hakim.
Perkataan “tanpa izin wali maka nikahnya batal”, tidak ada mahfun muskhalafnya yaitu “aqad nikah dengan izin wali maka nikahnya syah”, karena dalam hadits tersebut telah diterangkan sebab terjadinya pernikahan tanpa izin wali itu yaitu disebabkan adanya perselisihan antara wali dan wanitanya. Hal mana dalam keadaan seperti ini sulthanlah yang menjadi walinya. Dengan demikian tidak ada mahfum mukhalafnya. Malahan yang ada ialah mahfun muwafawahnya yaitu: “pernikan tanpa izin wali disebabkan dalam keadaan adanya perselisihan dengan walinya, nikah tersebut hukumnya tidak syah”, apalagi dalam keadaan tidak adanya perselisihan (walaupun dengan izin walinya), sudah semestinya aqad nikah tersebut tidak syah.
Andikata hadits tersebut mangandung mafhum mukhafalah dengan arti kata bahwa aqad nikah dengan izin wali syah hukumnya, maka andaikata demikian mafhum perkataan “dengan izin wali”, mempunyai kemungkinan arti bahwa aqad wanita itu dilangsungkan oleh:
a)      Laki-laki, atau
b)      Wanita lain, atau
c)      Dirinya sendiri.
Mengenai arti pada huruf b dan c diatas jelaslah tidak mungkin, karena bertentangan dengan manthuq hadits Abu Hurairah yang akan dijelaskan nanti pada dalil bagian c. jadi arti yang sebagaimana pada huruf a di atas hal mana bisa terjadi dalam istilah yang popular “wakil wali”. Tegasnya hadits tersebut tidak membenarkan ijab aqad nikah yang diucapkan oleh wanita secara mutlaq.
3.      Hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ad-Daruquthny dan Al-Baihaqy.
عن أبى هريرة قال : قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم :لاتزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها فإن الزانية هى التى تزوج نفسها
Artinya: “Dari Abu Hurairah dia berkata: Rosululloh bersabda: Tidaklah wanita melainkan wanita dan tidaklah wanita menikahkan dirinya, bahwasannya wanita yang berzina itu adalah yang menikahkan dirinya”.
Menurut riwayat dari Ad-Daruquthny bahwa perkataan “bahwasannya wanita yang berzina itu adalah yang menikahkan dirinya” bukanlah termasuk sabda Rosul, tetapi adalah ucapan Abu Hurairah dengan katanya:
كنا نقول : التى تزوج نفسها هى الزا نية
Artinya: “kami mengatakan bahwa wanita yang menikahkan dirinya ialah wanita yang berzina.”
Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut adalah khobariyah lafdzan insyaiyah ma’nan yakni lafadnya khabariyah sedang pengertiannya insyaiyah.
Jadi hadits ini melarang wanita mengucapkan sighot ijab dalam aqad nikah. Larangan ialah menunjukkan batalnya pekerjaan yang dilarang. Hadits ini menjelaskan bahwa wanita yang menikahkan dirinya adalah wanita yang berzina. Ucapan ini baik termasuk dalam sabda Rosul atau tidak, namun segi kekuatan hukumnya tidak ada perobahan Karena kalau termasuk dalam sabda Rosul sebagai diriwayatkan oleh Ibnu Majah maka ucapannya tersebut adalah nash, dan kalau tidak termasuk dengan arti kata ia adalah ucapan Abu Hurairah, maka sekurang-kurangnya ia adalah ijma’ sahabat jika dapat dianggap sebagai hadits marfu’.
Jelasnya hadits Abi Musa Al-Asy’ary dan hadits Aisyah serta ditambah dengan hadits Abu Hurairah ini masing-masing saling isi mengisi pengertian yang tegasnya bahwa tidak syah aqad nikah yang shigot ijabnya diucpakan oleh wanita atau oleh laki-laki yang tidak mewakili walinya.
Dalil ketiga dari pertimbangan Ratio:
Pada umumnya bahwa tujuan pernikahan adalah untuk membentuk masyarakat rumah tangga. Masyarakat rumah tangga tidak dapat dibina sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara pihak suami dan keluarga pihak istri.
Wanita dianggap kurang cakap dalam memilih calon suaminya karena wanita itu adalah manusia yang cepat merasa dan sering terpengaruh kepada perasaan (emisionil), sedang cinta itu buta, hal mana dikhawatirkan akan terjadi salah pilih, dan jika kurang teliti bukan saja bisa terpilih laki-laki yang tidak bermoral, tetapi mungkin terjadi bahwa laki-laki yang dipilihnya itu adalah orang yang mempunyai sejarah buruk terhadap keluarga wanita itu sendiri. Dan supaya jangan sampai terjadi demikian, maka agama melarang wanita menikahkan dirinya sendiri, demikian menurut jumhur ulama.
A.    Thalaq sunny dan Thalaq Bid’iy
Dalam bidang ini para ulama telah sepakat mengenai hal-hal sebagai berikut:
1.      Menjatuhkan satu thalaq terhadap istri yang telah serumah dalam keadaan suci yang tidak disentuh dalam suci itu dan selama dalam iddah tidak diikuti dengan thalaq kedua adalah sunny.
2.      Menjatuhkan thalaq dalam keadaan haidh atau nifas atau dalam keadaan suci yang sudah disentuhnya dalam suci itu adalah bid’iy apabila istri itu tidak hamil.
3.      Menjatuhkan thalaq terhadap istri yang belum serumah adalah tidak sunny dan tidak bid’iy ditinjau dari segi waktu, kecuali ada riwayat dari Zufar yang berpendapat bahwa kalau jatuh dalam keadaan haidh juga bid’iy sebagai juga wanita yang sudah serumah.
Adapun hal-hal yang mereka berbeda pendapat dalam bidang ini ialah:
a.       Thalaq itu sunny dan bid’iy ditinjau dari segi bilangan. Ulama salafi’iyah berpendapat: tidak ada bid’ah mengumpulkan thalaq dan tidak ada sunnat memisah-misahkannya. Istri itu baik sudah ataupun belum serumah sama saja. Akan tetapi Ibnu Rusyd menuklikan dari Syafi’I bahwa thalaq tiga denga satu lafad adalah thalaq sunny.
Berkata Ulama Salafiyah Ulama Malikiyah bahwa menjatuhkan tiga thalaq atau dua thalaq sekaligus atau berpisah-pisah dalam satu masa suci adalah bid’iy baik istri itu sudah serumah atau belum.
Ulama Hanafiyah mengenai thalaq tiga ada dua riwayat. Yang pertama tidak bid’iy. Pendapat ini dipilih oleh Al-Kharqy. Pendapat kedua, itu termasuk bid’iy. Ini dipilih oleh Abu Bakar dan Abu Hafash. Adapun thalaq dua sekaligus satu berpisah-pisah dalam satu masa suci adalah sunny mengenai istri yang sudah serumah. Adapun mengenai istri yang belum serumah, maka bukan sunny dan bukan bid’iy, baik waktu maupun bilangan.
b.      Mengenai thalaq terhadap istri yang sudah serumah yang telah disepakati mengenai sunnynya, kemudian dalam masa iddah diiringi dengan thalaq yang lain, maka ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah berpendapat itu menjadi bid’iy, sedang ulama Hanafiyah berpendapat sunny apabila thalaq-thalaq tambahan itu dijatuhkan dalam masa suci yang berbeda.
c.       Mengenai thalaq terhadap istri yang sudah tidak haidh lagi atau terhadap istri yang di bawah umur, ulama Hanafiyah berpendapat tetap ada sunny dan bid’iynya ditinjau dari segi waktu. Yang sunny ialah kalau dijatuhkan thalaq satu atau lebih dengan syarat diselangkan antara kedua thalaq itu selama satu bulan. Tiga Imam lainnya berpendapat tidak ada sunny dan tidak ada bid’iy ditinjau dari segi waktu.
d.      Mengenai thalaq tehadap istri yang hamil, Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat sama hukumnya dengan istri yang sudah tidak ada masa haidh lagi atau istri dibawah umur, yaitu menjadi sunny apabila thalaqnya satu atau tiga dalam masa tiga bulan. Berkata Muhammad dan Zufar: tidak menjadi sunny kecuali dengan thalaq satu. Berkata tiga Imam lainnya: itu tidak dinamakan sunny dan tidak juga bid’iy.
Kesimpulan
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa thalaq itu mungkin sunny dan mungkin bid’iy ditinjau dari segi waktu dan bilangan mengenai istri yang dudah serumah, dan mengenai istri yang belum serumah, ditinjau dari segi bilangan thalaq saja, sedang menegenai waktu tidak ada sunny dan tidak ada bid’iy.
Ulama Salafi’iyah berpendapat tidak ada sunny dan tidak ada bid’iy sama sekali dalam bilangan thalaq. Adapun dalam segi waktu mereka berpendapat bahwa thalaq terhadap istri di bawah umur, yang sudah tidak haidh lagi, yang hamil, yang belum serumah, yang minta khulu’, thalaq yang dijatuhkan oleh hak bain, yang dijatuhkan oleh hakim terhadap maula atas permintaannya sendiri dan thalaq terhadap mutahiriyah, itu tidak ada sunny dan tidak ada bid’iy. Selain dari itu mungkin sunny dan mungkin bid’iy.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa menceraikan istri yang sudah tidak haidh lagi, istri di bawah umur, istri yang sedang hamil dan istri yang belum dikumpuli. Itu tidak disifatkan dengan sunny atau bid’iy hanya mengenai waktu, sedang mengenai bilangan mungkin sunny dan mungkin bid’iy.
Inilah pendapat para imam mengenai thalaq sunny dan thalaq bid’iy. Dasar hukum mengenai thalaq sunny dan bid’iy yang mereka sepakati ialah firman Allah SWT. “wahai Nabi, apabila anda menceraikan istri, maka ceraikanlah mereka untuk iddah mereka dan perhitungkanlah iddah.”
Dan sabda Nabi kepada Umar waktu anaknya Abdullah Ibnu Umar menceraikan istrinya dalam waktu haidh :
مره فليراجعها ثم ليطلقها طا هرا أوحاملا
Artinya: “suruhlah dia merujuknya atau ia menceraikan dalam waktu suci atau hamil.”
Maka ayat tersebut ialah perintah menceraikan isteri dalam masa ia menghadapi iddah. Kemudian penjelasannya telah diberikan oleh sabda Nabi dalam hadits Ibnu Umar. Kalau ia menceraikannya sebelum disentuhnya, maka itulah masa yang diperintahkan Allah menceraikan istri kalau ada keinginan untuk menceraikannya. Dan dari sinilah para ulama mengambil dalil bahwa thalaq yang menyebabkan panjang iddah atau yang meragu-ragukan tentang iddah atau terjadi dalam masa orang tidak suka kepada wanita, adalah bid’iy. Pengertian itu terdapat semuanya mengenai thalaq-thalaq  yang yang mereka sepakati bid’iynya tetapi pengetian ini satu pun tidak terdapat mengenai yang mereka sepakati tentang sunnynya. Oleh karena kegemaran orang kepada wanita yang belum dikumpuli masih utuh dan ia tidak mempunyai iddah, maka istri yang demikian boleh diceraikan baik dalam waktu haidh dan thalaq yang demikian tidak ada sunny dan tidak ada bid’iynya ditinjau dari segi waktu, hanya Zufar yang berpendapat bahwa waktu  haidh sendiri merupakan masa yang akan harus dijauhi, maka thalaqnya pun sama dengan thalaq isteri yang sudah dikumpuli. Akan tetapi pendapat jumhur adalah lebih tepat.

Dalil-dalil mengenai hal yang disepakati
Ulama Syafi’iyah mengambil dalil mengenai masalah pertama dengan nash-nash yang meng-ithlaqkan thalaq seperti firma Allah:
لاجناح عليكم إن طلقتم النساء.
Artinya: “Tidak mengapa jika anda menceraikan istri.”
ياايها النبى إداطلقتم النساء.   
Artinya: “wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri.”
Nash-nash itu mengkaitkan dengan bilangantertentu. Juga mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Said ia berkata: Tatkala saudara Bani Ajlan berli’an dengan isrterinya ia berkata: “wahai Rosululloh saya dusta kepadanya jika aku menahannya, maka aku ceraikan dia dengan thalaq tiga.” Lalu Nabi tidak membantah hal itu.
Juga dengan hadits yang datang pada setengah riwayat Hadits Fathimah binti Qais.
طلقنى زوجى ثلاثا فلم يجعل لى رسول الله صلى الله عليه وسلم نفقة ولا سكنى ولم ينكر عليه أيضا.
Artinya: “suamiku menthalaqku dengan thalaq tiga, maka Rosululloh tidak menetapkan bagiku nafakahn dan perumahan dan tidak pula ia membantah hal itu.”
Juga berdalil dengan kejadian bahwa Abdurrahman bin Auf menthalaq Tumedlir dengan thalaq tiga dalam waktu sakitnya. Juga dengan kejadian bahwa Hasan bin Ali ra. Menceraikan istrinya Syahba’ ketika isterinya mengucapkan selamat kepadanya untuk menjadi khalifah sesudah ayahnya meninggal.
Kemudian mereka berkata: bahwa thalaq itu disyareatkan. Sesuatau yang disyariatkan tidak berkumpul dengan larangan. Adapun haram thalaq dalam waktu haidh atau dalam waktu suci yang sudah disentuhnya, itu adalah karena member melarat kepada isteri atau karena meragukan wajah iddah. Dan mereka itu mengatakan: kalau seseorang menceraikan empat orang isteri sekaligus adlah sunny secara disepakati oleh para ulama. Maka demikian pula kalau ia mengumpulkan tiga thalaq untuk seseorang isteri.
Ulama Malikiyah dan Ulama Hanafiyah mengambil dalil dengan kitab, sunnah dan logika.
Adapun dalil dari kitab, ialah firman Allah SWT:
الطلاق مرتان فإمساك بمعرف أوتسريح بإحسان.....إلى قوله : فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره.
Artinya: “Thalaq itu dua kali, lalu ada kalanya menahan dengan cara yang baik, atau melepaskan dengan cara yang baik pula….sampai kepada firmnaNya: maka jika ia menceraikannya lagi sesudah itu, maka tidak halal lagi baginya sampai bekas istrinya itu menikah dengan suami yang lain.”
Berkata Al-Kamal: ayat ini menunjukan bahwa tidak ada thalaq yang disyariatkan kecuali yang tersebut dalam ayat itu, karena tidak ada suatu pun di belakang jinis itu dan ini termasuk salah satu jalan hasher, maka tidak di syariatkan thalaq tiga denga suatu kalimat.
Adapun dalil dari sunnah:
1.      Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata kepada orang yang telah menceraikan isterinya dengan thalaq tiga: Ashaita Rabbaka wa faraqta imraataka (anda telah mendurhakai Tuhan anda dan telah menceraikan isteri anda).
2.      Hadits Ubbadah bin Shaamit bahwa Nabi SAW bersabda:
با نت بثلاث فى معصية الله.
Artinya: “wanita itu sudah ba0in dengan thalaq tiga pada ma’siat Allah”.
3.      Hadits yang diriwayatkan oleh Nasaaiy dan Mahmud bin Lubay ia berkata: Diberitakan kepada Rosulullah mengenai seorang laki-laki yang telah menceraikan istrinya dengan thalaq tiga sekaligus, maka beliau berdiri sambil marah dan bersabda:
أيلعب بكتاب الله عز وجل وأنا بين أظهركم.
Artinya: “Apakah patut ia bermain-main dengan kitab Allah, sadng saya masih berada di antara anda sekalian.”
Lalu berdiri seorang laki-laki dan berkata: wahai Rosulullah, apakah saya bunuh dia? Adapun dalil secara logika mereka mengatakan: yang asal pada thalaq itu dilarang, karean dengan thalaq itu terputus kemaslahatan Agama dan dunia jugamengingkari nikmat perkawinan, dan tidak keluar dari asal ini kecuali ketika ada kebutuhan. Sesuatu yang disyari’atkan karena kebutuhan adalahdibatasi seperlunya saja. Untuk memenuhi hajat mengenai thalaq, cukuplah satu thalaq saja atau memisahkan dalam beberapa kali waktu suci. Mengumpulkan beberapa thalaq, selain itu memang berkelebihan, juga itu menghilangkan nikmat yang maksudnya oleh syari’ dari dibaginya thalaq sampai tiga, yaitu untuk dapat rujuk lagi dikala terjadi penjelasan.
Dan dengan keterangan ini tertolaklah pendapat ulama’ Syafi’iyah bahwa asal pada thalaq adalah mubah dan mubah itu tidak dapat berkumpul dengan dilarang.
Adapun ayat-ayat yang mutlak, maka itu sudah dikaitkan denganayat yang telah kami sebutkan.adapun tidak ada bantahan terhadap Uwaimir, maka itu disebabkan karena perceraian di sana bukan karena thalaq melainkan karena li’an. Adapun hadits-hadits yang lain, maka tidak kejadian pengumpulan tiga thalaq di hadapan Nabi sehingga berarti beliau  menyetujuinya dan juga orang yang menthalaq itu tidak pernah datang menghadap Nabi sehingga beliau membantahnya, tambahan pula bahwa hadits Fatimah bahwa Nabi telah mengutus kepadanya dengan satu thalaq yang masih tinggal. Dan Muhammad Ibnu Sirin telah meriwayatkan dari Ah-Karrma llahu wajhah bahwa beliau berkata:
لوأن الناس أخدوابما أمرالله من الطلاق مايتبع رجل نفسه امرأة أبدا يطليقة ثم يد عها ما بينها وبين أن تحيض ثلاثا فمتى شاءراجعها.
Artinya: “kalaulah orang-orang berpegang kepada, apa yang diperintahkan oleh Allah mengenai thalaq, tentulahtidak ada orang yang menyesali dirinya mengenai wanita, yaitu menceraikannya satu thalaq, kamudian ia meninggalkannya antara waktu tiga haidh, kemudian kalau ia mau ia rujk lagi.”
Ulama Malikiyah mengambil dalil mengenai madzhab mereka dalam masalah memisahkan beberapa thalaq dalam waktu suci yang berbeda, karena asal pada thalaq adalah dilarang sebagaimana yang telah tetap pada masalah yang terdahulu, sedang dibolehkannya hanyalah karena kebutuhan, dan kebutuhan itu sudah terpenuhi dengan satu thalaq saja.
Ulama Hanafiyah berdalil dengan sabda Nabi SAW. dalam peristiwa Ibnu Umar yang ingin menyusuk satu thalaq yang telah dijatuhkannya dalam masa haidh dengan dua thalaq lain dalam dua masa suci yaitu:
ياابن عمرما هكداأمرك الله قد أخطأ ت السنة. السنة أن تستقبل الظهر فتطلق لكل قرء.
Kata Ibnu Umar: beliau memerintahkan saya rujuk, maka saya rujuk, kemudian beliau bersabda:
إدهي طهرت فطلق عند دلك أوأمسك.
Artinya: “apabila ia sudah suci, maka thalaqlah dia atau pegang tetus dia.”
Adapun pendapat bahwa asal pada thalaq adalah dilarang dan hanya dibolehkan karena kebutuhan. Tetapi kita tidak dapat menerima bahwa kebutuhan itu sudah terpenuhi dengan satu thalaq saja dalam semua hal, karena kadang-kadang membutuhkan kepada memisahkan diri dari isteri itu dengan cara yang aman dari datangnya penjelasan. Maka apabila ia kembali menceraikan dalam masa suci, yaitu masa pembaharuan kesukaan, maka itu menunjukkan kemungkinan kebutuhan itu dari dirinya sendiri.
Dan tidak tersembunyi bahwa pendapat ulama Malikiyah dalam masalah ini adalah lebih jelas dan tidak ada dalil dari hadits, karena hadits tersebut merupakan hukumyang umum yang tidak khusus dengan peristiwa tersebut dengan dalil.
Sabda Nabi:
إدهي طهرت فطلق عند دلك أوأمسك.
Tambahan lagi bahwa mengurutkan thalaq itu berarti mengulang-ulang atau menambah menyakitkan tanpa sebab. Memisahkan dari seseorang dengan azimahnya lebih baik dari memisahkan dengan disertai menyakiti wanita.
Adapun perbedaan pendapat mengenai dua masalah yang terakhir, maka disamping didasarkan kepada khilafiyah yang kedua, maka soalnya mudah, karena mereka sepakat bahwa menthalaq satu-satu tidaklah bid’iy.
kesimpulan
Pada zaman dahulu terdapat para pemikir  yang membahas  tentang adabul khilafah, dalam kalangan umat islam mereka disebut dengan 4 madzhab . mereka adalah, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi’Idan Imam Hanafi.
Al Imam Malik adalah seorang tokoh yang gigih menyebarkan dan mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pujian-pujian yang datang dari para ulama kepada Al Imam Malik membuktikan tingginya reputasi beliau dalam bidang keilmuan, tidak kurang dari murid beliau, Al Imam Asy Syafi’i yang mengatakan, “Ilmu itu berputar-putar di sekitar tiga orang, Malik, Laits, dan Ibnu ‘Uyainah”.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya.
Imam Ahmad Ibn Hambal adalah seorang pemuka Ahlu al-Hadis yang telah disepakati oleh para ulama.Namun sebagai seorang ahli fikih masih diperselisihkan.Imam Ahmad pada dasarnya tidak menulis kitab fikih secara khusus, karena semua masalah fikih yang dikaitkan dengannya sebenarnya berasal dari fatwanya sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang pernah ditanyakan kepadanya.Sedangkan yang menyusunnya hingga menjadi sebuah kitab fikih adalah para pengikutnya.
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa thalaq itu mungkin sunny dan mungkin bid’iy ditinjau dari segi waktu dan bilangan mengenai istri yang dudah serumah, dan mengenai istri yang belum serumah, ditinjau dari segi bilangan thalaq saja, sedang menegenai waktu tidak ada sunny dan tidak ada bid’iy.
Ulama Salafi’iyah berpendapat tidak ada sunny dan tidak ada bid’iy sama sekali dalam bilangan thalaq. Adapun dalam segi waktu mereka berpendapat bahwa thalaq terhadap istri di bawah umur, yang sudah tidak haidh lagi, yang hamil, yang belum serumah, yang minta khulu’, thalaq yang dijatuhkan oleh hak bain, yang dijatuhkan oleh hakim terhadap maula atas permintaannya sendiri dan thalaq terhadap mutahiriyah, itu tidak ada sunny dan tidak ada bid’iy. Selain dari itu mungkin sunny dan mungkin bid’iy.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa menceraikan istri yang sudah tidak haidh lagi, istri di bawah umur, istri yang sedang hamil dan istri yang belum dikumpuli. Itu tidak disifatkan dengan sunny atau bid’iy hanya mengenai waktu, sedang mengenai bilangan mungkin sunny dan mungkin bid’iy.


Daftar pustaka

Rifai, Muhammad. 1978, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putera.
Zuhri, Saifudin. 2011, ushul fiqh: akal sebagai sumber hokum islam. Pustaka pelajar.
Hasanuddin, Nur, 2006, Fiqih Sunnah Jilid 4: Pena Pundi Aksara.
Syaltout, Mahmud, 1989. Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqih: PT. Midas Surya Grafindo.
Wahhab khallaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dima Utama Semarang, 1994)
Hamdani Yusuf, M, Perbandingan madz-hab (Semarang: Aksara indah)


0 komentar:

Posting Komentar