Rabu, 18 Desember 2013

Hubungan Agama, Harmoni dan Integrasi



B.POKOK PEMBAHASAN
1.    Unsur-unsur Agama
Agama adalah tanggapan manusia terhadap titik kritis di mana dia bersentuhan dengan kekuatan tertinggi dan sakral.[1]
Agama merupakan rasa takut yang selalu ada dan kerendahan hati yang secara paradoks berubah menjadi dasar bagi rasa aman, sebab bila rasa takut yang dikhayalkan ada dalam hati seseorang dan kerendahan hati selamanya tetap diakui, maka terjaminlah keunggulan-keunggulan kesadaran manusia. Tidak akan ada rasa takut atau tindakan yang merendahkan hakikat keagamaan yang terdalam, sebab mereka secara intuisi mengalami kedua emosi tersebut mendahului rasa permusuhan yang diungkapkan terhadap dunia yang begitu luas, sangat berarti bagi keinginan manusia. Sadar atau tidak sadar, ia merupakan perburuan terhadap realitas tertinggi yang mengikuti kekalahan total tetapi diperlukan, merupakan inti dari agama. [2]
Agama, religi dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanyasesuatu yang mutlak di luar manusia.Selain itu ia juga merupakan suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap  yang Mutlak, juga sebagai sistema norma ‘tata kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia serta antara manusia dan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan itu.[3]
Sebuah agama atau aliran kepercayaan menjadi benar atau dibenarkan keberaadaannya jika memiliki 3 unsur. Ketiga unsur tersebut adalah :[4]
a.    Credo
Yakni suatu agama pastilah memiliki sistem kepercayaan yang percaya akan adanya Tuhan. Dalam konteks ini, sebuah agama tentu tidak akan dinamakan agama jika tidak memiliki Tuhan. Ini sesuai dengan pengertian agama dalam pembahasan di awal tentang agama yang berarti mengikat diri kembali kepada Tuhan.
b.    Ritus
Sebuah agama pasti memiliki suatu sistem ritual hubungan antara pemeluk agama dengan Tuhan yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama.Ritus ini pasti ada dan berbeda tiap-tiap agama. Dalam agama islam ritual ini bisa berupa sholat 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhannaik haji bagi yang mampu serta ritual-ritual lainnya yang begitu banyak.
c.    Norma (Hukum)
Sistem norma ini mengatur hubungan-hubungan sosial antara pemeluk agama dengan pemeluk agama lain. Sistem norma inilah yang menciptakan kerukunan antar umat beragama. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang mempunyai sistem norma yang mengajarkan untuk bermusuhan dengan orang dari pemeluk agama lain. Sistem norma ini selalu mengajarkan kebaikan kepada para pemeluk masing-masing agama.
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:[5]
a.    Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
M. Natsir. Agama adalah kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor, antara lain 1) percaya dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari segala sumber hukum dan nilai hidup; 2) percaya dengan wahyu Tuhan kepada Rasul-Nya; 3) percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia atau perseorangan; 4) percaya d3engan hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari; 5) percaya bahwa dengan matinya seorang, kehidupan rohnya tidak berakhir; 6) percaya dengan ibadah sebagai cara mengadakan hubungan Tuhan; 7) percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia. Sungguh pun beberapa faktor lagi yang dapat kita sebut, tetapi sudah cukup untuk melukiskan dengan jelas definisi agama, sehingga kita dapat melihat bedanya dengan yang lain (“Islam dan Sekularisme”, pidato dalam sidang pleno kontituante, 12 November 1957).[6]
Ahmad Mukti Ali menyatakan agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukumyang diwahyukan kepada utusan-utusan untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ciri-ciri agama adalah 1) mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa; 2) memiliki kitab suci dari Tuhan Yang Maha Esa; 3) Memiliki Rasul ‘utusan ‘dari Tuhan Yang Maha Esa; 4) memiliki hukum sendiri bagi kehidupan para penganutnya berupa perintah-perintah larangaan-larangan dan petunjuk-petunjuk[7] K.H.E. Abdurrahman. Agama adalah ketetapan ketuhanan karena kebaikan Allah kepada manusia dengan melalui lidah (dengan menyambung) dari antara mereka. Untuk mencapai kerasulan  itu tidak dapat dengan usaha dan tidak pula di buat-buat, dan tidak akan mendapatkan wahyu dengan cara belajar. In Huwwa ila wahuun yuha, yang demikian tidak lain hanya semata-mata wahyu yang diwahyukan kepadanya.
b.    Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c.    Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama.
d.    Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e.    Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.
Secara umum ruang lingkup suatu agama meliputi unsur-unsurnya sebagai berikut:[8]
a.    Substansi yang disembah
Dalam setiap agama, esensi dari keagamaan adalah penyembahan pada sesuatu yang dianggap berkuasa.Substansi yang disembah menjadi pembeda dalam kategorisasi agamanya, ada yang memusyrikan Allah dan ada yang mentauhidkan Allah.
b.    Kitab Suci
Kitab suci merupakan salah satu ciri khas dari agama.Bila suatu agama tidak memiliki kitab suci, maka sulit dikatakan sebagai suatu agama.
c.    Pembawa Ajaran
Pembawa ajaran suatu Agama Samawi disebut Nabi (Rasul) yang menerima wahyu dari Allah SWT.untuk disampaikan kepada masyarakat berdasarkan wahyu yang diterimanya. Dalam Agama Tabi’i, proses kenabian kadang-kadang melalui proses evaluasi yang dihasilkan berdasarkan sebuah julukan yang sengaja dikatakan untuk (sebagai) penghormatan tanpa adanya pengakuan berdasarkan wahyu dari Allah SWT.


d.    Pokok-pokok Ajaran
Setiap Agama baik Samawi maupun Tabi’i mempunyai pokok-pokok ajaran atau prinsip ajaran yang wajib diyakini bagi pemeluknya.Pokok ajaran ini sering disebut dengan Dogma, yaitu setiap ajaran baik percaya atau tidak, bagi pemeluknya wajib untuk mempercayainya.
e.    Aliran-aliran
Setiap agama yang ada di dunia ini baik Samawi maupun Tabi’i memiliki aliran-aliran yang berkembang pada agama masing-masing yang diakibatkan karena adanya perbedaan pendapat/pandangan baik perorangan maupun kelompok yang mengakibatkan timbulnya suatu aliran yang masing-masing kelompok memperkuat paham kelompoknya. Dalam Islam perbedaan merupakan rahmat, sedangkan dalam agama selain Islam dapat berubah pada masalah-masalah pokok, seperti berubahnya paham ketuhanan dalam agama tauhid menjadi agama musyrik ( syirik kepada Allah SWT).
Unsur-unsur Agama dengan Integrasi dan Harmoni
No
Unsur agama
Unsur Integrasi
Unsur Harmoni
No
Contoh
Keterangan
1
Kepercayaan
Asimilasi
Keselarasan
1.1.2
Puasa ramadan
Aturan dalam bermasyarakat bila mana kita saling menghormati agar tidak terjadi persielisihan
2
Ritual
Akomodasi
Kerukunan
3.2.2.
Bk
Memberikan solusi dengan cara atau aturan-aturan yang akan mempermudah siswa dalam maslah
3
Norma
Kerjasama
Keserasian
5.3.3
Gotong royong
Dalam gotong royong sesama muslim akan menciptakan harmonisasi
4
Aliran-aliran





5
Umat beragama
















2. Harmoni 
Ditinjau dari segi etimologi, harmoni berasal dari bahasa Inggris harmonious yang berarti rukun, seia-sekata; harmonious relationship yang berarti hubungan yang rukun; harmonize yang berarti berpadanan, seimbang, cocok, berpadu; harmonis berarti keselarasan, keserasian, kecocokan, kesesuaian, kerukunan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harmoni adalah keselarasan; selaras. Dalam kamus ilmiah populer diartikan keselarasan, kecocokan, dan keserasian. Ditinjau dari segi terminologi, harmoni adalah keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan yang mendalam dengan sepenuh jiwa melibatkan aspek fisik dan psikis sekaligus. Jadi harmoni yang sebenarnya adalah, jika semua interaksi sosial berjalan secara wajar dan tanpa adanya tekanan-tekanan atau pemaksaan-pemaksaan yang menyumbat jalannya kebebasan. [9]
Setiap individu ingin hidup harmonis dalam artian harmonis-kreatif yang progresif dan dinamis. Progresivitas dan dinamika hidup merupakan tuntutan kehidupan itu sendiri seperti halnya harmoni. Kehidupan tanpa keharmonisan kurang memiliki makna, tetapi keharmonisan tanpa dinamika akan menghilangkan nilai kehidupan.
Harmonitas sosial dicapai jika tidak terjadi konflik-konflik sosial. Bukan berarti dengan adanya perbedaan dan keragaman dimasyarakat itu lalu disebut sebagai konflik, karena keragaman dan keberbedaan merupakan bagian dari syarat terwujud nya keharmonisan social. Tanpa pluralitas atau kemajemukan tidak bisa ditemukan istilah harmonis, rukun, selaras, serasi, bersatu, dan semacamnya. Keberbedaan dan keragaman tersebut akan membentuk keharmonisan jika dikelola dengan baik.[10]
Berkaitan dengan alat untuk mencapai bahagia, Aristoteles mengatakan bahwa rasiolah yang menjadi sarana utamanya, yaitu dengan mempergunakan kekuatan akal tersebut dengan sebaik-baiknya. Sebab jika akal (rasio) telah terlatih secara baik tentu akan dapat memberikan arah bagi kehidupan manusia dalam mencapai keunggulan.[11] Dengan tercapainya keunggulan berarti akan terwujud kebahagiaan.
Dengan uraian di atas, terlihat bahwa pada prinsipnya kebahagiaan tidak berada di luar badan, tetapi berada dalam diri manusia yaitu dengan memfungsikan potensi yang dimilikinnya, melalui sarana-sarana yang menjadi objek pikiran. Artinya, untuk tercapainya bahagia sangat tergantung kepada cara manusia itu menyikapi hidup ini, bukan bagaimana hidup memberlakukan manusia. Namun, kebahagiaan yang dikemukakan di atas baru sebatas kebahagiaan duniawi dan definisi bahagia itu sendiri sukar untuk dirumuskan secara utuh karena ia terkait dengan orang atau subjek yang menjelaskannya.[12]
            Kerukunan sendiri belum merupakan nilai terakhir, tetapi baru merupakan suatu sarana yang harus ada sebagai “conditio sine qua non” untuk mencapai tujuan lebih jauh yaitu situasi aman dan damai. Situasi ini amat dibutuhkan semua pihak dalam masyarakat untuk memungkinkan penciptaan nilai-nilai spiritual dan material yang sama-sama dibutuhkan untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi.[13]
            Diseluruh dunia kini telah tumbuh suatu kesadaran yang semakin mendalam bahwa manusia-manusia dari tradisi keagamaan yang berbeda harus bertemu dalam kerukunan dan persaudaraan dari dalam permusuhan. Cita-cita diatas pada intinya memang merupakan ajaran fundamental dari setiap agama. Kiranya hal itu bukanlah sekedar cita-cita tetapi tugas kewajiban yang harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam kenyataan oleh setiap agama. Adanya tugas yang suci  itu ditemukan dalam setiap agama dan dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang berbeda baik kata-kata maupun nuansanya, namun sama hakikatnya. Disini kiranya tidak perlu diturunkan ayat-ayat dari kitab suci setiap agama, untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya salah pilih mengenai bobot dan lengkapnya ayat-ayat yang dikemukakan.[14]
Sekarang ini kita hidup dalam suatu zaman dimana kerukunan tidak dapat dielakkan. Pertama, kita tidak hidup dalam masyarakat tertutup yang dihuni satu golongan pemeluk satu agama yang sama, tetapi dalam masyarakat modern, dimana komunikasi dan hidup bersama dengan golongan beragama lain tidak dapat ditolak demi kelestarian dan kemajuan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, kita hidup dalam masyarakat plural baik kepercayaan maupun kebudayaannya. Kalau keharusan untuk menciptakan masyarakat agama yang berjiwa kerukunan atas desakan dari ajaran agama akan dikesampikan, atau tidak dihiraukan, maka mau tidak mau kita dihadapkan kepada situasi lain. Kita dituntut oleh situasi untuk bekerjasama dengan semua pemeluk agama untuk bersama-sama menjawab tantangan baru yang berukuran nasional dan internasional, antara lain ketidak adilan, terorisme internasional, kemiskinan struktural, sekularisme. Semuanya tidak mungkin diatasi oleh satu golongan agama tertentu, tetapi membutuhkan konsolidasi dari segala kekuatan baik moral, spiritual maupun material dari semua umat beragama. Sekarang ini umat beragama mengalami ujian berat untuk membuktikan kepada dunia bahwa agama-agama masih mempunyai arti yang relavan bagi kepentingan umat manusia dan dunianya.[15]
Usaha-Usaha Dalam Mencapai Kerukunan Antar Umat Beragama Di bawah ini ada beberapa langkah penting dan strategis untuk memupuk jiwa toleransi beragama dan membudayakan hidup rukun antar umat beragama. Langkah-langkah berikut paling tidak akan meminimalkan konflik agama. Kiat-kiat itu adalah sebagai berikut:
1.      Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama, tidak memperdebatkan segi-segi perbedaan dalam agama.
2.      Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda. 
3.      Mengubah orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi pendidikan agama yang berorientasi pada pengembangan aspek universal-rabbaniyah. 
4.      Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlakul karimah. 
5.      Menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama sehingga mengklaim diri yang paling benar.[16]

3.   Integrasi 
Ditinjau dari segi etimologi, kata “integrasi” berasal dari bahasa latin integer, yang berarti utuh atau menyeluruh. Dalam bahasa Inggris Integrasi atau "integration" berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh. Dalam Kamus Ilmiah Populer, integrasi berarti penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh, penyautan, penggabungan, pemaduan[17]. Ditinjau dari segi terminologi, integrasi dapat diartikan sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Dalam Sosiologi Agama, integrasi adalah suatu proses pengembangan masyarakat di mana segenap kelompok ras dan etnik mampu berperan serta secara bersama-sama dalam kehidupan budaya dan ekonomi. Adapun yang dimaksud dengan integrasi bangsa adalah proses penyatuan berbagai kelompok sosial dan budaya ke dalam kesatuan wilayah dalam rangka pembentukan suatu identitas nasional. Sedangkan integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. [18]
a.Integrasi Melalui Pendidikan
 Pendidikan di Keluarga harus diakui bahwa kerusuhan sosial yang terjadi di kota Medan, Jakarta, Solo dan Surabaya pada mei tahun 1998, telah menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi warga etnis tianghoa. Kejadian tersebut, merupakan set back atas segala upaya yang telah dilakukan untuk menyembuhkan luka-luka sejarah warga etnis tionghoa sebagai akses peristiwa G30S/PKI yang telah menelan puluhan ribu korban tersebut. Bahakan hal tersebut telah menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar anak-anak muda yang menyebabkan semakin menebalya sekat-sekat psikologis dari generasi muda yang masih polos. Dan sebaliknya bagi etnis asli, perlakuan kasar dan tidak bersahabat tersebut justru memperoleh pembenaran sampai hal tersebut dianggap tidak melanggar norma-norma hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan tersendiri bagi para orang tua warga etnis Tionghoa untuk memberikan” pemahaman yang bijak” atas kajadian-kejadian yang menimpa orang tua, sanak family maupun sesame etnis mereka. Demikian juga sebaliknya para orang tua dari etnis asli harus memberikan pemahaman bahwa tindakan kekerasan terhadap etnis Tionghoa merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[19]
Sekolah dan Perguruan Tinggi. Melalui wadah pendidikan formal proses integrasi antara generasi muda yang berbeda suku, agama, dan budaya serta status ekonomi menemukan tempat yang ideal. Lembaga pendidikan formal tidak saja merupakan sarana pergaulan yang alamiyah, tetapi juga direkayasa dengan berbagai program untuk menunjang kelancaran proses integrasi. Misalnya melalui berbagai kegiatan yang membutuhkan kekompakan kelompok, mengharuska mereka melakuka kerja sama atau belajar bersama. Juga melalui kepentingan kegiatan, kepengurusan OSIS/ senat mahasiswa, kegiatan ekstrakurikuler yang secara sadar komposisinya melibatkan warga dan warga etnis Tionghoa.[20]
b. Integrasi Nasional dan Penguatan Negara
Istilah “integrasi” dan pemakaiannya tidak saja dikenal dikalangan akademis, pemerintah, tetapi juga oleh para praktisi politik dan kalangan jurnalistik. Kepopuleran istilah ini telah membuat kita sadar bahwa kata “integrasi” memiliki arti luas dalam pengertian politik, sosial, kebudayaan yang diinterpretasi sesuai kebutuhannya. Dalam politik integrasi diartikan sebagai proses penyatuan berbagai system politik, budaya, sosial, ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional. Sedangkan integrasi sosial adalah pembauran dari kelompok-kelompok masyarakat, yang asalnya berbeda, menjadi satu kelompok dasar dengan cara melenyapkan perbedaan dan jati diri masing-masing. Dalam arti ini integrasi soaial sama artinya dengan “asimilasi”. Perbedaanya dengan asimilasi adalah bahwa kelompok-kelompok sosial yang bersatu itu, mempunyai kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Sedangkan itegrasi soaial berasumsi bahwa kelompok-kelompok yang berbaur itu berasal dari satu kebudayaan, yang terpisah-pisah karena loyalitas pada golongan masing-masing.[21]
Pengertian integrasi kebudayaan berarti penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan menjadi beberapa unsur-unsur kebudayaan (cultural traits) mereka, yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibetuk menjadi suatu system kebudayaan yang selaras (harmonious). Caranya adalah melalui difusi (diffusion), di mana unsur-unsur kebudayaan baru diserap ke dalam suatu kebudayaan tradisional tertentu. Cara penanggulangan masalah konflik adalah melalui modifikasi dan koordinasi dari unsur-unsur kebudayaan baru dan lama. Inilah yang disebut integrasi kebudayaan.
Untuk mempersatukan penduduk beraneka warna dalam satu kesatuan maka ada empat masalah pokok yaitu:
1.   Masalah mempersatukan aneka suku bangsa
2.   Masalah hubungan antar agama
3.   Masalah hubungan mayoritas-minoritas
4.   Masalah integrasi kebudayaan-kebudayaan di Irian Jaya dan Timor-Timur dengan kebudayaan di Indonesia.[22]
Persoalan mendasar lain yang terkait dengan penguatan nagara dan masalah integrasi merupakan dua sisi yang saling membutuhkan dalam mempertahankan eksistensi dari kehidupan berbangsa. Penguatan negara dalam kajian ini difokuskan pada intitusi nasional, lokal, yang berfungsi untuk melindugi serta mencegah unsur-unsur budaya asing yang berasal dari luar, kondisi ini apabila tidak diantisipasi lebih dini, maka cepat atau lambat proses arus globalisasi akan menerobos masuk pada level nasional maupun di tingkat lokal. Upaya represi dilakukan melalui kebijakan agar intitusi lokal mulai diefektifkan dalam membina serta mengembangkan nilai-nilai budaya sebagai bisnis pada tingkat masyarakat paling bawah. Apabila intitusi tingkat lokal sudah mapan akan memberikan penguatan serta support dalam upaya mengakomodasi berbagai nilai dalam konteks intitusi nasional.[23]
Masalah pokok dari pemikiran Profesor Koentjaraningrat menegenai integrasi nasional dari persepektif sosial budaya patut diakui bahwa belum banyak didiskusikan secara luas antara kalangan akedemis dengan para birokrat maupun pihak keamanan. Hal ini akan berdampak terhadap bagaimana cara memandang mereka dengan masyarakat berlatar pada budaya yang berbeda  dari masyarakat yang satu dengan yang lain. [24]
c. Integrasi keluarga
Yaitu dimana terdapat suatu keluarga yang antara anggota satu dan anggota lainnya memiliki peranan dan fungsi yang berbeda.
a.       Integrasi kekerabatan
Adalah hubungan social yang diikat oleh pertalian darah dan hubungan perkawinan sehingga menghasilkan nilai-nilai, norma-norma, kedudukan serta peranan social yang diakui dan ditaati bersama oleh seluruh anggota kekerabatan yang ada.[25]
b.   Integrasi asosiasi ( perkumpulan )
Adalah satuan social yang ditandai oleh adanya kesamaan kepentingan, atau dengan lain perkataan dapat dikatakan bahwa asosiasi merupakan perkumpulan yang didirikan oleh orang-orang yang memiliki kesamaan minat, tujuan, kepentingan, dan kegemaran.[26]
c.    Integrasi masyarakat
J.P. Gillin dan J.L. Gillin dalam bukunya cultural sociology mendefinisikan masyarakat sebagai “ the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes, and feeling of unity are aperative”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah :
1). sekelompok manusia yang menempati wilayah tertentu.
2). bertempat tinggal dalam waktu yang relative lama .
3). terdapat aturan hidup seperti adat, kebiasaan, sikap, dan perasaan kesatuan.
4). rasa identitas di antara para warganya.
Dalam Al-Qur’an, firman Allah yang menjelaskan tentang kerukunan antar umat beragama terdapat pada Surat Al-Kaafiruun ayat 1-6 yang berbunyi:
قُلْ يَا اَ يُّها اْلكَفِرُوْنَ ( ) لاَاَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ ( ) وَلَااَ نْتُمْ عَبِدُوْ نَ مَا اَ عْبُدُ ( ) وَلاَ اَنَا عَا بِدُ مَّا عَبَدْ تُّمْ ( ) وَلاَ اَنْتُمْ عَبِدُ وْنَ مَا اَعْبُدُ ( ) لَكُمْ دِ يْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ( )
Artinya: “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.” (QS. Al-Kaafiruun: 1-6)[27] Sesungguhnya tawaran bertoleransi dalam agama sudah ada sejak permulaan Islam selalu ditawarkan kepada penganut agama lain.
1.   Hubungan Agama dengan Harmoni dan Integrasi
Agama sebagai salah satu jenis ikatan primordial, selain mengajarkan tata nilai dan norma-norma ketentraman hidup, juga berusaha menanamkan keyakinan "kebenaran mutlak" atau absolutisasi ajaran yang dibawanya kepada pemeluknya masing-masing. Pandangan setiap agama tersebut, jika dilihat dari kepentingan eksistensi masing-masing agama sendiri memang sudah semestinya, mengingat : Pertama, agama adalah menyangkut kualitas hidup dan pilihan rohani manusia. Kedua, agama mampu mempertahankan kemurnian ajaran dan identitasnya masing-masing.[28]
Berkaitan dengan hal ini, jika dilihat dari sudut pandang yang lain bahwa akibat dari rasa keyakinan ini adalah munculnya sikap "fanatisme"dari masing-masing  pemeluk agama yang tidak saja mempercayai "kebenaran mutlak" ajaran agama yang dipilihnya, melainkan juga merasa menanggung "tugas suci", bagaimana harus meyakinkan orang lain akan "kebenaran mutlak" ajaran agama tersebut. Sikap semacam ini hampir rata pada setiap pemeluk agama, sekalipun dalam kadar yang berbeda-beda. Sebab utama, mengapa kadang-kadang tampak hubungan sosial yang kurang serasi dan seringkali justru menjadi tegang antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain, diduga adalah faktor "fanatisme" ini, sekalipun harus diakui pula kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang ikut mendorong terjadinya konflik.[29]
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial saja dalam masyarakat, tetapi juga peranan memecah dan dengan begitu mencerminkan perimbangan antara kekuatan integratif dan disintegratif yang ada dalam sistem sosial, tergantung apakah konflik itu kemudian diperkecil atau diubah menjadi keuntungan sosial yang positif.[30]
Di Indonesia, kerukunan antar umat beragama pernah dirumuskan dan diterapkan oleh Pemerintah Orde Baru dengan melibatkan semua tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia. Selama orde baru, relatif tidak ada konflik antar pemeluk agama yang bebeda. Mungkin orang akan mengira bahwa itu merupakan keberhasilan menerapkan konsep kerukunan. Namun, ketika Ambon, Kupang, Aceh dan di berbagai daerah lainnya terjadi berbagai kerusuhan dan tindakan kekerasan yang berbau agama, konsep kerukunan antar umat beragama kembali dipertanyakan. Bisa saja kita menduga-duga bahwa keberhasilan menerapkan kerukunan umat beragama di Indonesia semasa orde baru sejalan dengan kebijakan politis penguasa pada waktu itu, yakni stabilitas nasional demi berlangsungnya proses pembangunan nasional yang lebih menekankan pada pendekatan keamanan (security approach). Sama halnya, pendekatan ini digunakan pula terhadap pelaksanaan kerukunan antar umat beragama.[31]
Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antarumat beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Ia tidak lagi hanya sebagai bungkus formal dari kenyataan pluralitas agama di Indonesia, tetapi harus menjadi motivator bagi terbentuknya kesadaran beragama dan berteologi di Indonesia. Jika tidak, maka konflik antaragama tidak bisa terhindarkan, akan selalu meledak. Bila terjadi, hal ini akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik aspek politis, ekonomi maupun sosial budaya.[32]
Motivasi agar kerukunan hidup antarumat beragama menjadi etika dalam pergaulan kehidupan beragama, Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris, yang ahli teologi Islam, mengingatkan demi kerukunan antarumat beragama, harus dihindari penggunaan "standar ganda" (double standart). Orang-orang Kristen maupun Islam, misalnya, selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang ditunjukkan bersifat ideal dan normatif. Sedangkan terhadap agama lain, mereka memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antraumat beragama. Ada tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh dari penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim kebenaran dari suatu agama atas agama lain.[33]
Ternyata yang tampak ke permukaan, berkaitan dengan terjadinya konflik antar agama, bisa sebagai akibat kesenjangan ekonomi (kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis. Akhirnya, konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan sering menjadi alasan pembenaran atas penindasan kemanusiaan. Hal ini pun bisa terjadi ketika kepentingan pembangunan dan ekonomi, atas nama kepentingan umum, sering menjadi pembenaran atas tindak kekerasan. Ditambah dengan klaim kebenaran (truth claim) dan watak misioner dari setiap agama, peluang terjadinya benturan dan kesalahmengertian antarpenganut agama pun terbuka lebar, sehingga menyebabkan retaknya hubungan antarumat beragama. Demi terciptanya hubungan eksternal agama-agama, diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang lebih menyentuh kemanusiaan yang universal. Dalam buku ini, peran tokoh agama (ulama) mesti lebih dikedepankan.[34]
Dorongan terhadap agama Islam bisa memerankan fungsinya menjadi dialektis konstruksitif, sebagaimana telah diulas di atas, perlu dikembangkan program reinterpretasi pesan-pesan agama. Dalil-dalil normatif yang ada dalam Al Quran dan Al Hadist harus di break down dalam bentuk tepri-teori sosial yang dapat diaplikasikan. Atau, lebih tepatnya harus dikonstektualisasikan agar berfungsi historis, kekinian, dan membumi. Di sini, para ulama atau para pemuka agama sangat dibutuhkan dalam melakukan reinterpretasi agama, sehingga pesan-pesan agama menjadi fungsional serta keadilan, toleransi, dan cinta kasih yang terkandung di dalam agama menjadi implementatif dan integratif dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.[35]
Dengan demikian, agama selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarahkan, artinya, memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis. Dalam perspektif ini, agam tidak hanyut dan tenggelam dalam politik, dan politik pun tidak memperalat agama. Fungsi interpretatif dan fungsi etis hanya mungkin dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampur adukkan. Dalam situasi seperti itu, interaksi antaragama dan politik menekan kan dinamisme dan perubahan yang dituju, sehingga kehidupan bersama akan lebih manusiawi karena lebih merdeka dan lebih adil. Tanpa dua fungsi ini, agama akan mudah menjadi legitimasi atau diperalat oleh praktek politik atau praktek ekonomi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.[36]
Dalam konteks pembinaan kerukunan antaumat beragama, setidaknya pesan-pesan Al Quran yang berkaitan dengan hubungan antaragama harus dipahami dan dicermati dengan hati-hati. Misalnya ayat Al Quran yang berbunyi : "Perangilah orang-orang  yang tidak beriman kepada Allah,....." (Q.S. 9:29). Jika dipahami secara tekstual, ayat ini bisa membahakan kerukunan antarumat beragama. Mengenai ayat ini, Sayyid Qutb berkomentar: "Ayat ini berlaku temporal dan periodik." Artinya, dalam era damai ia harus disandingkan dengan ayat-ayat yang menganjurkan kasih sayang dan tolong menolong.[37]
Salah satu bagian dari kerukunan antarumat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antaragama. Agar komunikatif dan terhindar dari perdebatan teologis antarpemeluk (tokoh) agama, maka pesan-pesan agama yang sudah direinterpretasi selaras dengan universalitas kemanusiaan menjadi modal terciptanya dialog yang harmonis. Jika tidak, proses dialog akan berisi perdebatan dan adu argumentasi antara berbagai pemeluk agama sehingga ada yang menang dan ada yang kalah. Dialog antaragama, menurut A. Mukti Ali, justru membiarkan hak setiap orang untuk mengamalkan keyakinan dan menyampaikan kepada orang lain. Dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama yang bertujuan mencapai kebenaran dan kerjasama dengan masalah-masalah yang dihadapi bersama.[38]
Perhatian terhadap tema ini, tidak harus hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, terutama pada lingkungan tokoh agama. Oleh karena itu, sejak 1967 hingga sekarang, dialog antaragama gencar dilaksanakan. Bahkan, pada masa natara 1972 sampau denga 1977, tercatat 23 kali pemerintah menyelenggarakan dialog yang berlangsung di 21 kota. Padatnya frekuensi dialog ini menunjukkan betapa pentingnya jalinan hubungan yang harmonis antar penganut agama.[39]
Menurut Ignas Kleden, dialog antaragama tampaknya hanya bisa dimulai dengan adanya keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Keterbuakaan ini bisa dilihat daari beberapa sisi. Pertama, segi-segi dimana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuaka terhadap agama lain, pada tingkat dimana keterbukaan itu dapat ditolerir dan juga dalam modus yang bagaimana keterbukaan itu dapat dilaksanakan. Kedua, bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau kelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain.[40]
Berdasarkan itu, maka persoalan keagamaan yang seringkali muncul terletak pada problem penafsiran, bukan pada benar tidaknya agama dan wahyu Tuhan itu. Sehingga, masalah beragama harus menjadi wacana sosiologis dengan menempatkan doktrin keagamaan sebagai dasar pengembangan pemuliaan kemanusiaan.[41]
Sementara itu, melihat kondisi kehidupan beragama sekarang ini, konflik antarumat beragama, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa-peristiwa seperti itu tidak hanya terjadi atas dasar perbedaan agama, tetapi juga terjadi antara orang atau kelompok-kelompok dengan agama yang sama maka kerukunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antaragama, melainkan juga kerukunan atar orang atau kelompok dalam agama yang sama. Oleh karena itu, tidak heran jika Masdar F. Mas'udi, Direktur Pelaksana Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dalam sebuah diskusi panel, pernah berkata, "Saya lebih suka hidup dengan orang yang berbeda agama tetapi tidak tertekan daripada hidup bersama dengan orang yang sama agama tapi tertekan." mungkin ia terinspirasi oleh pernyataan Ibn Taymiyyah yang mengatakan bahwa pemerintah orang kafir yang baik lebih utama dibandingkan pemerintah orang (yang mengaku) Muslim tap zalim.[42]
Dalam kehidupan agama di Indonesia yang pluralistis, sebagaimana diungkapkan di atas, Nurcholis Madjid melihat bahwa nilai tinggi yang dipilih adalah "kebebasan" atau "kemerdekaan", suatu nilai yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Persoalan muncul ketika terjadi konflik antaragama adalah adakah nilai kebebasan dan nilai kemerdekaan ditegakkan di sekitar konflik tersebut. Sebab, ternyata kemerdekaan menyangkut rasa keadilan yang juga melindungi keluhuran martabat manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bersama.[43]
Dengan memperhatikan persoalan di atas, tampaknya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi, atau sosial budayanya.
Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia, yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin mendalam rasa keagamaan, makin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan.[44] Memang harus dipahami bahwa agama itu dikategorikan menjadi dua, yaitu: Pertama, Agama Skriptual ialah agama sebagaimana dijelaskan dalam kitab sucinya. Kedua, Agama Sosial atau Historik ialah agama sebagaimana dipahami, dihayati dan diamalkan oleh penganutnya dan tampil dalam sejarah.[45]

Kesimpulan
a.    Agama, religi dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanyasesuatu yang mutlak di luar manusia.Selain itu ia juga merupakan suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap  yang Mutlak, juga sebagai sistema norma ‘tata kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia serta antara manusia dan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan itu
b.   Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harmoni adalah keselarasan; selaras. Dalam kamus ilmiah populer diartikan keselarasan, kecocokan, dan keserasian. Ditinjau dari segi terminologi, harmoni adalah keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan yang mendalam dengan sepenuh jiwa melibatkan aspek fisik dan psikis sekaligus. Jadi harmoni yang sebenarnya adalah, jika semua interaksi sosial berjalan secara wajar dan tanpa adanya tekanan-tekanan atau pemaksaan-pemaksaan yang menyumbat jalannya kebebasan.
c.    Integrasi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh. Dalam Kamus Ilmiah Populer, integrasi berarti penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh, penyautan, penggabungan, pemaduan. Ditinjau dari segi terminologi, integrasi dapat diartikan sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Dalam Sosiologi Agama, integrasi adalah suatu proses pengembangan masyarakat di mana segenap kelompok ras dan etnik mampu berperan serta secara bersama-sama dalam kehidupan budaya dan ekonomi.
d.   Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial saja dalam masyarakat, tetapi juga peranan memecah dan dengan begitu mencerminkan perimbangan antara kekuatan integratif dan disintegratif yang ada dalam sistem sosial, tergantung apakah konflik itu kemudian diperkecil atau diubah menjadi keuntungan sosial yang positif.


DAFTAR RUJUKAN
Mubaraq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. Malang: UIN-MALIKI PRESS.
Rahz, Hidayat.1999. Menuju Masyarakat Terbuka. Yogyakarta: insist.
Roqib, Muhammad. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa ( Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bambang, Widianto dan MeuliaPirous, Iwan.2009.Perspektif Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.
Kamus Ilmiah Populer
Hendropuspito, D. Sosiologi Agama.
Departemen Agama Republik Indonesia .1989.Al-Qur’an dan Terjemahnya.Surabaya: Mahkota.




[1] Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 50.
[2]Ibid., 48. Lihat Edward Sapir, culture, language and personalit, (Berkeley: University of California Press, 1960), hal. 122-123.
[3] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 30. Lihat: John R. Bennet, Religion  dalam Encyclopedia Americana volume 29, New York, hlm.324,”Religion...may broadly bedefined as acceptanceof obligation toward powers higher than man himself’ (Religi....dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri).
[4] Anonim, Pengertian, Jenis dan Unsur Agama, http://kaazima.blogspot.com/2012/10/pengertian-jenis-dan-unsur-agama.html, (Diakses pada tanggal 11 November 2013).
[5] Aang Dwidra, Pendidikan Agama, http://aangkunefidwidra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/unsur-agama.html, (Diakses pada tanggal 11 November 2013).
[6]Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 34.
[7] Ibid, 42.Lihat: “Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional”, Al-Jami’ah Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam No.1, Tahun 1, Januari 1962. 

[8] Anonim, Dienul Islam, http://tatangjm.wordpress.com/dienul-islam/, (Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013).
[10] Roqib, Muhammad. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa ( Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.a

[11]Muktafi Sahal, “Kebahagiaan dalam Perspektif Filsafat Moral”, dalam Akademika Vol. 15, No.1, edisi September 2004, IAIN Sunan Ampel Surabaya, hlm. 129.
[13] Hendropuspito.D,Sosiologi Agama,bpk, 170
[14] Ibid.
[15] Ibid. hlm.171
[17] Kamus Ilmiah Populer

[19] Rahz, Hidayat, Menuju Masyarakat Terbuka. Yogyakarta: insist,1999
[20] Ibid,.
[21]Bambang Widianto dan Iwan Meulia Pirous, Perspektif Budaya Jakarta: Rajawali Pers, 2009, 95
[22] Ibid., 96.
[23] Ibid., 96-97.
[24] Koentjaraningrat. Kebudayaan, mentalitet dan pembangunan.( Jakarta. Gramedia 1974)
[26] Ibid,.
[27] Departemen Agama Republik Indonesia,. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota,1989),1112.
[28] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN Maliki press,2010),125.lihat Moeslim Abdurrahman, "Posisi Berbeda Agama dalam Kehidupan Sosial di Pedesaan" dalam Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan Sinar Harapan, 1982), 138
[29] Ibid., 139
[30] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN Maliki press,2010),126.lihat Clifford Geertz, Agama Jawa: Terjemahan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), 475.
[31] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN Maliki press,2010),127 .lihat Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), 175.
[32] Ibid. Lihat Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), 305.
[33] Ibid.
[34] Ibid.,176.
[35] Ibid.Lihat J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana, 2007),203-205.
[36] Ibid.
[37] Ibid.Lihat Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Zhilal al Quran (Solo:Era Intermedia,2001).
[38] Ibid. Lihat Narwoko dan Suyanto, Sosiologi, 205-206.
[39] Ibid, 178. Lihat Lihat Narwoko dan Suyanto, Sosiologi, 201-203.
[40] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN Maliki press,2010), 130.lihat Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1986).
[41] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN Maliki press,2010),130.lihat Kahmad, Sosiologi Agama, 178.
[42] Ibid.Lihat Masdar F. Mas'udi, Agama Keadilan (jakarta:Pustaka Firdaus, 1991).
[43] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN Maliki press,2010),131 .lihat Kahmad, Sosiologi Agama, 179. Lihat Nurcholis Madjid, Islam:Doktrin dan Peradaban (Jakarta:Paramadina,1992);idem, "Agama dan Masyarakat" dalam Manusia Indonesia:Individu, Keluarga dan Masyarakat (Jakarta:Kademika Presindo,198617Kahmad, Sosiologi Agama, 179.
[44] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN Maliki press,2010),132 .lihat Kahmad, Sosiologi Agama, 179.
[45] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang: UIN Maliki press,2010),132 .lihat Betty R. Scarf, Sosiologi Agama, Terjemahan (Jakarta:Kencana, 2004), 6.




0 komentar:

Posting Komentar