B.POKOK PEMBAHASAN
1. Unsur-unsur Agama
Agama adalah tanggapan manusia terhadap titik kritis di mana dia
bersentuhan dengan kekuatan tertinggi dan sakral.[1]
Agama merupakan rasa takut yang selalu ada dan kerendahan hati yang
secara paradoks berubah menjadi dasar bagi rasa aman, sebab bila rasa takut
yang dikhayalkan ada dalam hati seseorang dan kerendahan hati selamanya tetap
diakui, maka terjaminlah keunggulan-keunggulan kesadaran manusia. Tidak akan
ada rasa takut atau tindakan yang merendahkan hakikat keagamaan yang terdalam,
sebab mereka secara intuisi mengalami kedua emosi tersebut mendahului rasa
permusuhan yang diungkapkan terhadap dunia yang begitu luas, sangat berarti
bagi keinginan manusia. Sadar atau tidak sadar, ia merupakan perburuan terhadap
realitas tertinggi yang mengikuti kekalahan total tetapi diperlukan, merupakan
inti dari agama. [2]
Agama, religi dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanyasesuatu yang
mutlak di luar manusia.Selain itu ia juga merupakan suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap yang Mutlak, juga sebagai sistema norma ‘tata
kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia serta antara manusia
dan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan
itu.[3]
Sebuah agama atau aliran kepercayaan menjadi benar atau dibenarkan
keberaadaannya jika memiliki 3 unsur. Ketiga unsur tersebut adalah :[4]
a. Credo
Yakni suatu agama pastilah memiliki sistem kepercayaan yang percaya akan
adanya Tuhan. Dalam konteks ini, sebuah agama tentu tidak akan dinamakan agama
jika tidak memiliki Tuhan. Ini sesuai dengan pengertian agama dalam pembahasan
di awal tentang agama yang berarti mengikat diri kembali kepada Tuhan.
b. Ritus
Sebuah agama pasti memiliki suatu sistem ritual hubungan antara pemeluk
agama dengan Tuhan yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama.Ritus ini
pasti ada dan berbeda tiap-tiap agama. Dalam agama islam ritual ini bisa berupa
sholat 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, naik haji bagi yang mampu serta ritual-ritual lainnya yang begitu banyak.
c. Norma (Hukum)
Sistem norma ini mengatur hubungan-hubungan sosial antara pemeluk agama
dengan pemeluk agama lain. Sistem norma inilah yang menciptakan kerukunan antar
umat beragama. Tidak ada satupun agama di dunia ini
yang mempunyai sistem norma yang mengajarkan untuk bermusuhan dengan orang dari
pemeluk agama lain. Sistem norma ini selalu mengajarkan kebaikan kepada para
pemeluk masing-masing agama.
Menurut Leight,
Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:[5]
a. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang
dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
M. Natsir. Agama adalah kepercayaan dan cara hidup yang mengandung
faktor-faktor, antara lain 1) percaya dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari
segala sumber hukum dan nilai hidup; 2) percaya dengan wahyu Tuhan kepada
Rasul-Nya; 3) percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia atau
perseorangan; 4) percaya d3engan hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya
sehari-hari; 5) percaya bahwa dengan matinya seorang, kehidupan rohnya tidak
berakhir; 6) percaya dengan ibadah sebagai cara mengadakan hubungan Tuhan; 7)
percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia. Sungguh pun
beberapa faktor lagi yang dapat kita sebut, tetapi sudah cukup untuk melukiskan
dengan jelas definisi agama, sehingga kita dapat melihat bedanya dengan yang
lain (“Islam dan Sekularisme”, pidato dalam sidang pleno kontituante, 12
November 1957).[6]
Ahmad Mukti Ali menyatakan agama adalah kepercayaan akan adanya
Tuhan Yang Maha Esa dan hukumyang diwahyukan kepada utusan-utusan untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ciri-ciri
agama adalah 1) mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa; 2) memiliki kitab suci
dari Tuhan Yang Maha Esa; 3) Memiliki Rasul ‘utusan ‘dari Tuhan Yang Maha Esa;
4) memiliki hukum sendiri bagi kehidupan para penganutnya berupa
perintah-perintah larangaan-larangan dan petunjuk-petunjuk[7]
K.H.E. Abdurrahman. Agama adalah ketetapan ketuhanan karena kebaikan Allah
kepada manusia dengan melalui lidah (dengan menyambung) dari antara mereka.
Untuk mencapai kerasulan itu tidak dapat
dengan usaha dan tidak pula di buat-buat, dan tidak akan mendapatkan wahyu
dengan cara belajar. In Huwwa ila wahuun
yuha, yang demikian tidak lain hanya semata-mata wahyu yang diwahyukan
kepadanya.
b. Simbol agama, yakni identitas agama yang
dianut umatnya.
c. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal
antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan
antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama.
d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk
pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e. Umat beragama, yakni penganut masing-masing
agama.
Secara umum ruang lingkup suatu agama meliputi unsur-unsurnya sebagai berikut:[8]
a. Substansi yang disembah
Dalam setiap agama, esensi dari keagamaan adalah penyembahan pada
sesuatu yang dianggap berkuasa.Substansi yang disembah menjadi pembeda dalam
kategorisasi agamanya, ada yang memusyrikan Allah dan ada yang mentauhidkan Allah.
b. Kitab Suci
Kitab suci merupakan salah satu ciri khas dari agama.Bila suatu agama
tidak memiliki kitab suci, maka sulit dikatakan sebagai suatu agama.
c. Pembawa Ajaran
Pembawa ajaran suatu Agama Samawi disebut Nabi (Rasul) yang menerima
wahyu dari Allah SWT.untuk disampaikan kepada masyarakat berdasarkan wahyu yang
diterimanya. Dalam Agama Tabi’i, proses kenabian kadang-kadang melalui proses
evaluasi yang dihasilkan berdasarkan sebuah julukan yang sengaja dikatakan
untuk (sebagai) penghormatan tanpa adanya pengakuan berdasarkan wahyu dari
Allah SWT.
d. Pokok-pokok Ajaran
Setiap Agama baik Samawi maupun Tabi’i mempunyai pokok-pokok ajaran atau
prinsip ajaran yang wajib diyakini bagi pemeluknya.Pokok ajaran ini sering
disebut dengan Dogma, yaitu setiap ajaran baik percaya atau tidak, bagi
pemeluknya wajib untuk mempercayainya.
e. Aliran-aliran
Setiap agama yang ada di dunia ini baik Samawi maupun Tabi’i memiliki
aliran-aliran yang berkembang pada agama masing-masing yang diakibatkan karena
adanya perbedaan pendapat/pandangan baik perorangan maupun kelompok yang
mengakibatkan timbulnya suatu aliran yang masing-masing kelompok memperkuat
paham kelompoknya. Dalam Islam perbedaan merupakan rahmat, sedangkan dalam
agama selain Islam dapat berubah pada masalah-masalah pokok, seperti berubahnya
paham ketuhanan dalam agama tauhid menjadi agama musyrik ( syirik kepada Allah
SWT).
Unsur-unsur Agama dengan Integrasi dan
Harmoni
No
|
Unsur agama
|
Unsur Integrasi
|
Unsur
Harmoni
|
No
|
Contoh
|
Keterangan
|
1
|
Kepercayaan
|
Asimilasi
|
Keselarasan
|
1.1.2
|
Puasa ramadan
|
Aturan dalam bermasyarakat bila mana kita saling menghormati agar
tidak terjadi persielisihan
|
2
|
Ritual
|
Akomodasi
|
Kerukunan
|
3.2.2.
|
Bk
|
Memberikan
solusi dengan cara atau aturan-aturan yang akan mempermudah siswa dalam
maslah
|
3
|
Norma
|
Kerjasama
|
Keserasian
|
5.3.3
|
Gotong royong
|
Dalam gotong royong sesama muslim akan menciptakan harmonisasi
|
4
|
Aliran-aliran
|
|||||
5
|
Umat beragama
|
2. Harmoni
Ditinjau dari segi
etimologi, harmoni berasal dari bahasa Inggris harmonious yang berarti rukun,
seia-sekata; harmonious relationship yang berarti hubungan yang rukun;
harmonize yang berarti berpadanan, seimbang, cocok, berpadu; harmonis berarti
keselarasan, keserasian, kecocokan, kesesuaian, kerukunan. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, harmoni adalah keselarasan; selaras. Dalam kamus ilmiah
populer diartikan keselarasan, kecocokan, dan keserasian. Ditinjau dari segi
terminologi, harmoni adalah keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan
yang mendalam dengan sepenuh jiwa melibatkan aspek fisik dan psikis sekaligus.
Jadi harmoni yang sebenarnya adalah, jika semua interaksi sosial berjalan
secara wajar dan tanpa adanya tekanan-tekanan atau pemaksaan-pemaksaan yang
menyumbat jalannya kebebasan. [9]
Setiap individu ingin hidup harmonis dalam
artian harmonis-kreatif yang progresif dan dinamis. Progresivitas dan dinamika
hidup merupakan tuntutan kehidupan itu sendiri seperti halnya harmoni.
Kehidupan tanpa keharmonisan kurang memiliki makna, tetapi keharmonisan tanpa
dinamika akan menghilangkan nilai kehidupan.
Harmonitas sosial dicapai jika tidak terjadi
konflik-konflik sosial. Bukan berarti dengan adanya perbedaan dan keragaman
dimasyarakat itu lalu disebut sebagai konflik, karena keragaman dan keberbedaan
merupakan bagian dari syarat terwujud nya keharmonisan social. Tanpa pluralitas
atau kemajemukan tidak bisa ditemukan istilah harmonis, rukun, selaras, serasi,
bersatu, dan semacamnya. Keberbedaan dan keragaman tersebut akan membentuk
keharmonisan jika dikelola dengan baik.[10]
Berkaitan dengan alat untuk mencapai bahagia,
Aristoteles mengatakan bahwa rasiolah yang menjadi sarana utamanya, yaitu
dengan mempergunakan kekuatan akal tersebut dengan sebaik-baiknya. Sebab jika
akal (rasio) telah terlatih secara baik tentu akan dapat memberikan arah bagi
kehidupan manusia dalam mencapai keunggulan.[11]
Dengan tercapainya keunggulan berarti akan terwujud kebahagiaan.
Dengan uraian di atas, terlihat bahwa pada prinsipnya
kebahagiaan tidak berada di luar badan, tetapi berada dalam diri manusia yaitu
dengan memfungsikan potensi yang dimilikinnya, melalui sarana-sarana yang
menjadi objek pikiran. Artinya, untuk tercapainya bahagia sangat tergantung
kepada cara manusia itu menyikapi hidup ini, bukan bagaimana hidup
memberlakukan manusia. Namun, kebahagiaan yang dikemukakan di atas baru sebatas
kebahagiaan duniawi dan definisi bahagia itu sendiri sukar untuk dirumuskan
secara utuh karena ia terkait dengan orang atau subjek yang menjelaskannya.[12]
Kerukunan
sendiri belum merupakan nilai terakhir, tetapi baru merupakan suatu sarana yang
harus ada sebagai “conditio sine qua non” untuk mencapai tujuan lebih jauh
yaitu situasi aman dan damai. Situasi ini amat dibutuhkan semua pihak dalam
masyarakat untuk memungkinkan penciptaan nilai-nilai spiritual dan material
yang sama-sama dibutuhkan untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi.[13]
Diseluruh
dunia kini telah tumbuh suatu kesadaran yang semakin mendalam bahwa
manusia-manusia dari tradisi keagamaan yang berbeda harus bertemu dalam
kerukunan dan persaudaraan dari dalam permusuhan. Cita-cita diatas pada intinya
memang merupakan ajaran fundamental dari setiap agama. Kiranya hal itu bukanlah
sekedar cita-cita tetapi tugas kewajiban yang harus dilaksanakan dan diwujudkan
dalam kenyataan oleh setiap agama. Adanya tugas yang suci itu ditemukan dalam setiap agama dan dirumuskan
dalam kalimat-kalimat yang berbeda baik kata-kata maupun nuansanya, namun sama
hakikatnya. Disini kiranya tidak perlu diturunkan ayat-ayat dari kitab suci
setiap agama, untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya salah pilih mengenai
bobot dan lengkapnya ayat-ayat yang dikemukakan.[14]
Sekarang ini kita hidup dalam suatu zaman dimana
kerukunan tidak dapat dielakkan. Pertama, kita tidak hidup dalam masyarakat
tertutup yang dihuni satu golongan pemeluk satu agama yang sama, tetapi dalam
masyarakat modern, dimana komunikasi dan hidup bersama dengan golongan beragama
lain tidak dapat ditolak demi kelestarian dan kemajuan masyarakat itu sendiri.
Dengan kata lain, kita hidup dalam masyarakat plural baik kepercayaan maupun
kebudayaannya. Kalau keharusan untuk menciptakan masyarakat agama yang berjiwa kerukunan
atas desakan dari ajaran agama akan dikesampikan, atau tidak dihiraukan, maka
mau tidak mau kita dihadapkan kepada situasi lain. Kita dituntut oleh situasi
untuk bekerjasama dengan semua pemeluk agama untuk bersama-sama menjawab
tantangan baru yang berukuran nasional dan internasional, antara lain ketidak
adilan, terorisme internasional, kemiskinan struktural, sekularisme. Semuanya
tidak mungkin diatasi oleh satu golongan agama tertentu, tetapi membutuhkan
konsolidasi dari segala kekuatan baik moral, spiritual maupun material dari
semua umat beragama. Sekarang ini umat beragama mengalami ujian berat untuk
membuktikan kepada dunia bahwa agama-agama masih mempunyai arti yang relavan
bagi kepentingan umat manusia dan dunianya.[15]
Usaha-Usaha Dalam Mencapai Kerukunan Antar Umat Beragama Di bawah ini ada
beberapa langkah penting dan strategis untuk memupuk jiwa toleransi beragama
dan membudayakan hidup rukun antar umat beragama. Langkah-langkah berikut
paling tidak akan meminimalkan konflik agama. Kiat-kiat itu adalah sebagai
berikut:
1. Menonjolkan segi-segi
persamaan dalam agama, tidak memperdebatkan segi-segi perbedaan dalam agama.
2. Melakukan kegiatan
sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
3. Mengubah orientasi
pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi pendidikan
agama yang berorientasi pada pengembangan aspek universal-rabbaniyah.
4. Meningkatkan pembinaan
individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti
yang luhur dan akhlakul karimah.
5. Menghindari jauh-jauh
sikap egoisme dalam beragama sehingga mengklaim diri yang paling benar.[16]
3. Integrasi
Ditinjau dari segi
etimologi, kata “integrasi” berasal dari bahasa latin integer, yang berarti
utuh atau menyeluruh. Dalam bahasa Inggris Integrasi atau "integration"
berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, adalah penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh.
Dalam Kamus Ilmiah Populer, integrasi berarti penyatuan menjadi satu kesatuan yang
utuh, penyautan, penggabungan, pemaduan[17].
Ditinjau dari segi terminologi, integrasi dapat diartikan sebagai pembauran
hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
Dalam Sosiologi Agama,
integrasi adalah suatu proses pengembangan masyarakat di mana segenap kelompok
ras dan etnik mampu berperan serta secara bersama-sama dalam kehidupan budaya
dan ekonomi. Adapun yang dimaksud dengan integrasi bangsa adalah proses
penyatuan berbagai kelompok sosial dan budaya ke dalam kesatuan wilayah dalam
rangka pembentukan suatu identitas nasional. Sedangkan integrasi sosial
dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda
dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang
memilki keserasian fungsi. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat
tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik
maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. [18]
a.Integrasi
Melalui Pendidikan
Pendidikan di Keluarga harus diakui bahwa
kerusuhan sosial yang terjadi di kota Medan, Jakarta, Solo dan Surabaya pada
mei tahun 1998, telah menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi warga etnis
tianghoa. Kejadian tersebut, merupakan set back atas segala upaya yang
telah dilakukan untuk menyembuhkan luka-luka sejarah warga etnis tionghoa
sebagai akses peristiwa G30S/PKI yang telah menelan puluhan ribu korban
tersebut. Bahakan hal tersebut telah menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar
anak-anak muda yang menyebabkan semakin menebalya sekat-sekat psikologis dari
generasi muda yang masih polos. Dan sebaliknya bagi etnis asli, perlakuan kasar
dan tidak bersahabat tersebut justru memperoleh pembenaran sampai hal tersebut
dianggap tidak melanggar norma-norma hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan
kearifan tersendiri bagi para orang tua warga etnis Tionghoa untuk memberikan”
pemahaman yang bijak” atas kajadian-kejadian yang menimpa orang tua, sanak
family maupun sesame etnis mereka. Demikian juga sebaliknya para orang tua dari
etnis asli harus memberikan pemahaman bahwa tindakan kekerasan terhadap etnis
Tionghoa merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[19]
Sekolah dan
Perguruan Tinggi. Melalui wadah pendidikan formal proses integrasi antara
generasi muda yang berbeda suku, agama, dan budaya serta status ekonomi
menemukan tempat yang ideal. Lembaga pendidikan formal tidak saja merupakan
sarana pergaulan yang alamiyah, tetapi juga direkayasa dengan berbagai program
untuk menunjang kelancaran proses integrasi. Misalnya melalui berbagai kegiatan
yang membutuhkan kekompakan kelompok, mengharuska mereka melakuka kerja sama
atau belajar bersama. Juga melalui kepentingan kegiatan, kepengurusan OSIS/
senat mahasiswa, kegiatan ekstrakurikuler yang secara sadar komposisinya
melibatkan warga dan warga etnis Tionghoa.[20]
b. Integrasi Nasional dan Penguatan Negara
Istilah “integrasi” dan pemakaiannya tidak saja dikenal dikalangan
akademis, pemerintah, tetapi juga oleh para praktisi politik dan kalangan
jurnalistik. Kepopuleran istilah ini telah membuat kita sadar bahwa kata
“integrasi” memiliki arti luas dalam pengertian politik, sosial, kebudayaan
yang diinterpretasi sesuai kebutuhannya. Dalam politik integrasi diartikan
sebagai proses penyatuan berbagai system politik, budaya, sosial, ke dalam
kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional. Sedangkan integrasi sosial
adalah pembauran dari kelompok-kelompok masyarakat, yang asalnya berbeda,
menjadi satu kelompok dasar dengan cara melenyapkan perbedaan dan jati diri masing-masing.
Dalam arti ini integrasi soaial sama artinya dengan “asimilasi”. Perbedaanya
dengan asimilasi adalah bahwa kelompok-kelompok sosial yang bersatu itu,
mempunyai kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Sedangkan itegrasi soaial
berasumsi bahwa kelompok-kelompok yang berbaur itu berasal dari satu
kebudayaan, yang terpisah-pisah karena loyalitas pada golongan masing-masing.[21]
Pengertian integrasi kebudayaan berarti penyesuaian antar dua atau
lebih kebudayaan menjadi beberapa unsur-unsur kebudayaan (cultural traits)
mereka, yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibetuk menjadi suatu system
kebudayaan yang selaras (harmonious). Caranya adalah melalui difusi (diffusion),
di mana unsur-unsur kebudayaan baru diserap ke dalam suatu kebudayaan tradisional
tertentu. Cara penanggulangan masalah konflik adalah melalui modifikasi dan
koordinasi dari unsur-unsur kebudayaan baru dan lama. Inilah yang disebut
integrasi kebudayaan.
Untuk mempersatukan penduduk beraneka warna dalam satu kesatuan
maka ada empat masalah pokok yaitu:
1.
Masalah mempersatukan aneka suku bangsa
2.
Masalah hubungan antar agama
3.
Masalah hubungan mayoritas-minoritas
4.
Masalah integrasi kebudayaan-kebudayaan di Irian Jaya dan
Timor-Timur dengan kebudayaan di Indonesia.[22]
Persoalan mendasar lain yang terkait dengan penguatan nagara dan
masalah integrasi merupakan dua sisi yang saling membutuhkan dalam
mempertahankan eksistensi dari kehidupan berbangsa. Penguatan negara dalam
kajian ini difokuskan pada intitusi nasional, lokal, yang berfungsi untuk melindugi
serta mencegah unsur-unsur budaya asing yang berasal dari luar, kondisi ini
apabila tidak diantisipasi lebih dini, maka cepat atau lambat proses arus
globalisasi akan menerobos masuk pada level nasional maupun di tingkat lokal.
Upaya represi dilakukan melalui kebijakan agar intitusi lokal mulai
diefektifkan dalam membina serta mengembangkan nilai-nilai budaya sebagai
bisnis pada tingkat masyarakat paling bawah. Apabila intitusi tingkat lokal
sudah mapan akan memberikan penguatan serta support dalam upaya mengakomodasi
berbagai nilai dalam konteks intitusi nasional.[23]
Masalah pokok dari pemikiran Profesor Koentjaraningrat menegenai
integrasi nasional dari persepektif sosial budaya patut diakui bahwa belum
banyak didiskusikan secara luas antara kalangan akedemis dengan para birokrat
maupun pihak keamanan. Hal ini akan berdampak terhadap bagaimana cara memandang
mereka dengan masyarakat berlatar pada budaya yang berbeda dari masyarakat yang satu dengan yang lain. [24]
c. Integrasi keluarga
Yaitu dimana
terdapat suatu keluarga yang antara anggota satu dan anggota lainnya memiliki
peranan dan fungsi yang berbeda.
a.
Integrasi
kekerabatan
Adalah hubungan
social yang diikat oleh pertalian darah dan hubungan perkawinan sehingga
menghasilkan nilai-nilai, norma-norma, kedudukan serta peranan social yang
diakui dan ditaati bersama oleh seluruh anggota kekerabatan yang ada.[25]
b.
Integrasi
asosiasi ( perkumpulan )
Adalah satuan
social yang ditandai oleh adanya kesamaan kepentingan, atau dengan lain
perkataan dapat dikatakan bahwa asosiasi merupakan perkumpulan yang didirikan
oleh orang-orang yang memiliki kesamaan minat, tujuan, kepentingan, dan
kegemaran.[26]
c.
Integrasi
masyarakat
J.P. Gillin dan
J.L. Gillin dalam bukunya cultural sociology
mendefinisikan masyarakat sebagai “ the
largest grouping in which common customs, traditions, attitudes, and feeling of
unity are aperative”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
masyarakat adalah :
1). sekelompok
manusia yang menempati wilayah tertentu.
2). bertempat
tinggal dalam waktu yang relative lama .
3). terdapat
aturan hidup seperti adat, kebiasaan, sikap, dan perasaan kesatuan.
4). rasa
identitas di antara para warganya.
Dalam
Al-Qur’an, firman Allah yang menjelaskan tentang kerukunan antar umat beragama
terdapat pada Surat Al-Kaafiruun ayat 1-6 yang berbunyi:
قُلْ يَا اَ يُّها
اْلكَفِرُوْنَ ( ) لاَاَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ ( ) وَلَااَ نْتُمْ عَبِدُوْ نَ
مَا اَ عْبُدُ ( ) وَلاَ اَنَا عَا بِدُ مَّا عَبَدْ تُّمْ ( ) وَلاَ اَنْتُمْ عَبِدُ
وْنَ مَا اَعْبُدُ ( ) لَكُمْ دِ يْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ( )
Artinya:
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku”.” (QS. Al-Kaafiruun: 1-6)[27]
Sesungguhnya tawaran bertoleransi dalam agama sudah ada sejak permulaan Islam
selalu ditawarkan kepada penganut agama lain.
1. Hubungan Agama dengan Harmoni dan Integrasi
Agama sebagai salah satu jenis ikatan primordial, selain mengajarkan tata
nilai dan norma-norma ketentraman hidup, juga berusaha menanamkan keyakinan
"kebenaran mutlak" atau absolutisasi ajaran yang dibawanya kepada
pemeluknya masing-masing. Pandangan setiap agama tersebut, jika dilihat dari
kepentingan eksistensi masing-masing agama sendiri memang sudah semestinya,
mengingat : Pertama, agama adalah menyangkut kualitas hidup dan pilihan
rohani manusia. Kedua, agama mampu mempertahankan kemurnian ajaran dan identitasnya
masing-masing.[28]
Berkaitan dengan hal ini, jika dilihat dari sudut pandang yang lain bahwa
akibat dari rasa keyakinan ini adalah munculnya sikap "fanatisme"dari
masing-masing pemeluk agama yang tidak
saja mempercayai "kebenaran mutlak" ajaran agama yang dipilihnya,
melainkan juga merasa menanggung "tugas suci", bagaimana harus
meyakinkan orang lain akan "kebenaran mutlak" ajaran agama tersebut.
Sikap semacam ini hampir rata pada setiap pemeluk agama, sekalipun dalam kadar yang
berbeda-beda. Sebab utama, mengapa kadang-kadang tampak hubungan sosial yang
kurang serasi dan seringkali justru menjadi tegang antara pemeluk agama yang
satu dengan yang lain, diduga adalah faktor "fanatisme" ini,
sekalipun harus diakui pula kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang ikut
mendorong terjadinya konflik.[29]
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan
harmoni sosial saja dalam masyarakat, tetapi juga peranan memecah dan dengan
begitu mencerminkan perimbangan antara kekuatan integratif dan disintegratif
yang ada dalam sistem sosial, tergantung apakah konflik itu kemudian diperkecil
atau diubah menjadi keuntungan sosial yang positif.[30]
Di Indonesia, kerukunan antar umat beragama pernah dirumuskan dan
diterapkan oleh Pemerintah Orde Baru dengan melibatkan semua tokoh-tokoh agama
yang ada di Indonesia. Selama orde baru, relatif tidak ada konflik antar
pemeluk agama yang bebeda. Mungkin orang akan mengira bahwa itu merupakan
keberhasilan menerapkan konsep kerukunan. Namun, ketika Ambon, Kupang, Aceh dan
di berbagai daerah lainnya terjadi berbagai kerusuhan dan tindakan kekerasan
yang berbau agama, konsep kerukunan antar umat beragama kembali dipertanyakan.
Bisa saja kita menduga-duga bahwa keberhasilan menerapkan kerukunan umat
beragama di Indonesia semasa orde baru sejalan dengan kebijakan politis
penguasa pada waktu itu, yakni stabilitas nasional demi berlangsungnya proses
pembangunan nasional yang lebih menekankan pada pendekatan keamanan (security
approach). Sama halnya, pendekatan ini digunakan pula terhadap pelaksanaan
kerukunan antar umat beragama.[31]
Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan
antarumat beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Ia tidak lagi hanya
sebagai bungkus formal dari kenyataan pluralitas agama di Indonesia, tetapi
harus menjadi motivator bagi terbentuknya kesadaran beragama dan berteologi di
Indonesia. Jika tidak, maka konflik antaragama tidak bisa terhindarkan, akan
selalu meledak. Bila terjadi, hal ini akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik aspek politis, ekonomi maupun sosial budaya.[32]
Motivasi agar kerukunan hidup antarumat beragama menjadi etika dalam
pergaulan kehidupan beragama, Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris, yang
ahli teologi Islam, mengingatkan demi kerukunan antarumat beragama, harus
dihindari penggunaan "standar ganda" (double standart).
Orang-orang Kristen maupun Islam, misalnya, selalu menerapkan standar-standar
yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang ditunjukkan bersifat ideal
dan normatif. Sedangkan terhadap agama lain, mereka memakai standar lain yang
lebih bersifat realistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul
prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan
antraumat beragama. Ada tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali
ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama
sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain
hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh dari penggunaan standar ganda
itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama
lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui
standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim kebenaran dari suatu
agama atas agama lain.[33]
Ternyata yang tampak ke permukaan, berkaitan dengan terjadinya konflik
antar agama, bisa sebagai akibat kesenjangan ekonomi (kesejahteraan), perbedaan
kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis. Akhirnya, konsep kebenaran dan
kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan sering menjadi
alasan pembenaran atas penindasan kemanusiaan. Hal ini pun bisa terjadi ketika
kepentingan pembangunan dan ekonomi, atas nama kepentingan umum, sering menjadi
pembenaran atas tindak kekerasan. Ditambah dengan klaim kebenaran (truth
claim) dan watak misioner dari setiap agama, peluang terjadinya benturan
dan kesalahmengertian antarpenganut agama pun terbuka lebar, sehingga
menyebabkan retaknya hubungan antarumat beragama. Demi terciptanya hubungan
eksternal agama-agama, diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang lebih
menyentuh kemanusiaan yang universal. Dalam buku ini, peran tokoh agama (ulama)
mesti lebih dikedepankan.[34]
Dorongan terhadap agama Islam bisa memerankan fungsinya menjadi dialektis
konstruksitif, sebagaimana telah diulas di atas, perlu dikembangkan program
reinterpretasi pesan-pesan agama. Dalil-dalil normatif yang ada dalam Al Quran
dan Al Hadist harus di break down dalam bentuk tepri-teori sosial yang
dapat diaplikasikan. Atau, lebih tepatnya harus dikonstektualisasikan agar
berfungsi historis, kekinian, dan membumi. Di sini, para ulama atau para pemuka
agama sangat dibutuhkan dalam melakukan reinterpretasi agama, sehingga
pesan-pesan agama menjadi fungsional serta keadilan, toleransi, dan cinta kasih
yang terkandung di dalam agama menjadi implementatif dan integratif dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.[35]
Dengan demikian, agama selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup
dan mengarahkan, artinya, memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis. Dalam
perspektif ini, agam tidak hanyut dan tenggelam dalam politik, dan politik pun
tidak memperalat agama. Fungsi interpretatif dan fungsi etis hanya mungkin
dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampur adukkan. Dalam situasi seperti itu, interaksi antaragama dan
politik menekan kan dinamisme dan perubahan yang dituju, sehingga kehidupan
bersama akan lebih manusiawi karena lebih merdeka dan lebih adil. Tanpa dua
fungsi ini, agama akan mudah menjadi legitimasi atau diperalat oleh praktek
politik atau praktek ekonomi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.[36]
Dalam konteks pembinaan kerukunan antaumat beragama, setidaknya
pesan-pesan Al Quran yang berkaitan dengan hubungan antaragama harus dipahami
dan dicermati dengan hati-hati. Misalnya ayat Al Quran yang berbunyi : "Perangilah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah,....." (Q.S. 9:29). Jika dipahami secara tekstual, ayat ini bisa membahakan kerukunan antarumat beragama.
Mengenai ayat ini, Sayyid Qutb berkomentar: "Ayat ini berlaku temporal dan
periodik." Artinya, dalam era damai ia harus disandingkan dengan ayat-ayat
yang menganjurkan kasih sayang dan tolong menolong.[37]
Salah satu bagian dari kerukunan antarumat beragama adalah perlu
dilakukannya dialog antaragama. Agar komunikatif dan terhindar dari perdebatan
teologis antarpemeluk (tokoh) agama, maka pesan-pesan agama yang sudah
direinterpretasi selaras dengan universalitas kemanusiaan menjadi modal
terciptanya dialog yang harmonis. Jika tidak, proses dialog akan berisi perdebatan
dan adu argumentasi antara berbagai pemeluk agama sehingga ada yang menang dan
ada yang kalah. Dialog antaragama, menurut A. Mukti Ali, justru membiarkan hak
setiap orang untuk mengamalkan keyakinan dan menyampaikan kepada orang lain.
Dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama
yang bertujuan mencapai kebenaran dan kerjasama dengan masalah-masalah yang
dihadapi bersama.[38]
Perhatian terhadap tema ini, tidak harus hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, terutama pada
lingkungan tokoh agama. Oleh karena itu, sejak 1967 hingga sekarang, dialog
antaragama gencar dilaksanakan. Bahkan, pada masa natara 1972 sampau denga
1977, tercatat 23 kali pemerintah menyelenggarakan dialog yang berlangsung di
21 kota. Padatnya frekuensi dialog ini menunjukkan betapa pentingnya jalinan
hubungan yang harmonis antar penganut agama.[39]
Menurut Ignas Kleden, dialog antaragama tampaknya hanya bisa dimulai
dengan adanya keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Keterbuakaan ini
bisa dilihat daari beberapa sisi. Pertama, segi-segi dimana dari suatu
agama yang memungkinkannya terbuaka terhadap agama lain, pada tingkat dimana
keterbukaan itu dapat ditolerir dan juga dalam modus yang bagaimana keterbukaan
itu dapat dilaksanakan. Kedua, bagaimana agama menjadi jalan dan sebab
seseorang atau kelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain.[40]
Berdasarkan itu, maka persoalan keagamaan yang seringkali muncul terletak
pada problem penafsiran, bukan pada benar tidaknya agama dan wahyu Tuhan itu.
Sehingga, masalah beragama harus menjadi wacana sosiologis dengan menempatkan
doktrin keagamaan sebagai dasar pengembangan pemuliaan kemanusiaan.[41]
Sementara itu, melihat kondisi kehidupan beragama sekarang ini, konflik
antarumat beragama, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika
kehidupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa-peristiwa seperti itu tidak hanya
terjadi atas dasar perbedaan agama, tetapi juga terjadi antara orang atau kelompok-kelompok
dengan agama yang sama maka kerukunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan
antaragama, melainkan juga kerukunan atar orang atau kelompok dalam agama yang
sama. Oleh karena itu, tidak heran jika Masdar F. Mas'udi, Direktur Pelaksana
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dalam sebuah diskusi panel, pernah
berkata, "Saya lebih suka hidup dengan orang yang berbeda agama tetapi
tidak tertekan daripada hidup bersama dengan orang yang sama agama tapi
tertekan." mungkin ia terinspirasi oleh pernyataan Ibn Taymiyyah yang
mengatakan bahwa pemerintah orang kafir yang baik lebih utama dibandingkan
pemerintah orang (yang mengaku) Muslim tap zalim.[42]
Dalam kehidupan agama di Indonesia yang pluralistis, sebagaimana
diungkapkan di atas, Nurcholis Madjid melihat bahwa nilai tinggi yang dipilih
adalah "kebebasan" atau "kemerdekaan", suatu nilai yang
menyentuh keluhuran martabat manusia. Persoalan muncul ketika terjadi konflik
antaragama adalah adakah nilai kebebasan dan nilai kemerdekaan ditegakkan di sekitar
konflik tersebut. Sebab, ternyata kemerdekaan menyangkut rasa keadilan yang
juga melindungi keluhuran martabat manusia dalam menyelenggarakan kehidupan
bersama.[43]
Dengan memperhatikan persoalan di atas, tampaknya konflik berwajah agama
perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi, atau sosial budayanya.
Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah
kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan,
kebebasan, dan hak asasi manusia, yang menyentuh keluhuran martabat manusia.
Makin mendalam rasa keagamaan, makin mendalam pula rasa keadilan dan
kemanusiaan.[44] Memang harus
dipahami bahwa agama itu dikategorikan menjadi dua, yaitu: Pertama,
Agama Skriptual ialah agama sebagaimana dijelaskan dalam kitab sucinya. Kedua,
Agama Sosial atau Historik ialah agama sebagaimana dipahami, dihayati dan
diamalkan oleh penganutnya dan tampil dalam sejarah.[45]
Kesimpulan
a.
Agama, religi dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanyasesuatu yang
mutlak di luar manusia.Selain itu ia juga merupakan suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap yang Mutlak, juga sebagai sistema norma ‘tata
kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia serta antara manusia
dan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan
itu
b. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, harmoni adalah keselarasan; selaras. Dalam kamus ilmiah populer
diartikan keselarasan, kecocokan, dan keserasian. Ditinjau dari segi
terminologi, harmoni adalah keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan
yang mendalam dengan sepenuh jiwa melibatkan aspek fisik dan psikis sekaligus.
Jadi harmoni yang sebenarnya adalah, jika semua interaksi sosial berjalan
secara wajar dan tanpa adanya tekanan-tekanan atau pemaksaan-pemaksaan yang
menyumbat jalannya kebebasan.
c. Integrasi dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, adalah penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau
menjadi utuh. Dalam Kamus Ilmiah Populer, integrasi berarti penyatuan menjadi
satu kesatuan yang utuh, penyautan, penggabungan, pemaduan. Ditinjau dari segi
terminologi, integrasi dapat diartikan sebagai pembauran hingga menjadi
kesatuan yang utuh atau bulat. Dalam Sosiologi Agama, integrasi adalah suatu
proses pengembangan masyarakat di mana segenap kelompok ras dan etnik mampu
berperan serta secara bersama-sama dalam kehidupan budaya dan ekonomi.
d. Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan
harmoni sosial saja dalam masyarakat, tetapi juga peranan memecah dan dengan
begitu mencerminkan perimbangan antara kekuatan integratif dan disintegratif
yang ada dalam sistem sosial, tergantung apakah konflik itu kemudian diperkecil
atau diubah menjadi keuntungan sosial yang positif.
DAFTAR RUJUKAN
Mubaraq, Zulfi.
2010. Sosiologi Agama. Malang: UIN-MALIKI PRESS.
Rahz,
Hidayat.1999. Menuju Masyarakat Terbuka. Yogyakarta: insist.
Roqib, Muhammad. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa ( Dimensi
Edukasi dan Keadilan Gender). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bambang, Widianto dan MeuliaPirous, Iwan.2009.Perspektif Budaya.
Jakarta: Rajawali Pers.
Kamus Ilmiah
Populer
Hendropuspito,
D. Sosiologi Agama.
Departemen
Agama Republik Indonesia .1989.Al-Qur’an dan Terjemahnya.Surabaya: Mahkota.
[1]
Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta:
Rajawali, 1987), 50.
[2]Ibid.,
48. Lihat Edward Sapir, culture, language and personalit, (Berkeley:
University of California Press, 1960), hal. 122-123.
[3]
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), 30. Lihat: John R. Bennet, Religion dalam Encyclopedia Americana volume 29, New
York, hlm.324,”Religion...may broadly bedefined as acceptanceof obligation
toward powers higher than man himself’ (Religi....dalam arti luas dapat
didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang
lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri).
[4]
Anonim, Pengertian, Jenis dan Unsur Agama, http://kaazima.blogspot.com/2012/10/pengertian-jenis-dan-unsur-agama.html,
(Diakses pada tanggal 11 November 2013).
[5] Aang
Dwidra, Pendidikan Agama, http://aangkunefidwidra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/unsur-agama.html,
(Diakses pada tanggal 11 November 2013).
[6]Endang
Saifuddin Anshari, Wawasan Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), 34.
[7] Ibid, 42.Lihat: “Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian
Nasional”, Al-Jami’ah Majalah Ilmu
Pengetahuan Agama Islam No.1, Tahun 1, Januari 1962.
[8] Anonim,
Dienul Islam, http://tatangjm.wordpress.com/dienul-islam/,
(Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013).
[9] http://fenyzami.blogspot.com/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni
( diakses pada tanggal 25 september 2013)
[10] Roqib, Muhammad. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa ( Dimensi Edukasi
dan Keadilan Gender). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.a
[11]Muktafi Sahal, “Kebahagiaan dalam Perspektif Filsafat Moral”, dalam Akademika Vol.
15, No.1, edisi September 2004, IAIN Sunan Ampel Surabaya, hlm. 129.
[12] http://fenyzami.blogspot.com/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni ( diakses pada tanggal 25 september
2013)
[15] Ibid. hlm.171
[16] http://fenyzami.blogspot.com/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni (
diakses pada tanggal 25 september 2013)
[17] Kamus Ilmiah Populer
[18] http://fenyzami.blogspot.com/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni (
diakses pada tanggal 25 september 2013)
[19] Rahz, Hidayat, Menuju Masyarakat Terbuka. Yogyakarta:
insist,1999
[20] Ibid,.
[21]Bambang Widianto dan Iwan Meulia Pirous, Perspektif Budaya Jakarta:
Rajawali Pers, 2009, 95
[22] Ibid., 96.
[23] Ibid., 96-97.
[25] http://fenyzami.blogspot.com/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni (
diakses pada tanggal 25 september 2013)
[27] Departemen Agama Republik Indonesia,. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota,1989),1112.
[28] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang:
UIN Maliki press,2010),125.lihat Moeslim
Abdurrahman, "Posisi Berbeda Agama dalam Kehidupan Sosial di
Pedesaan" dalam Penelitian Agama:
Masalah dan Pemikiran (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan Sinar Harapan,
1982), 138
[29] Ibid., 139
[30] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang:
UIN Maliki press,2010),126.lihat Clifford
Geertz, Agama Jawa: Terjemahan
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), 475.
[31] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang:
UIN Maliki press,2010),127 .lihat Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
2000), 175.
[32] Ibid. Lihat Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), 305.
[33] Ibid.
[34] Ibid.,176.
[35] Ibid.Lihat J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto,
Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan
(Jakarta: Kencana, 2007),203-205.
[36] Ibid.
[37] Ibid.Lihat Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi
Zhilal al Quran (Solo:Era Intermedia,2001).
[38] Ibid. Lihat Narwoko dan Suyanto, Sosiologi, 205-206.
[39] Ibid, 178. Lihat Lihat Narwoko dan Suyanto, Sosiologi, 201-203.
[40] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang:
UIN Maliki press,2010), 130.lihat Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan
Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1986).
[41] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang:
UIN Maliki press,2010),130.lihat Kahmad,
Sosiologi Agama, 178.
[42] Ibid.Lihat Masdar F. Mas'udi, Agama Keadilan (jakarta:Pustaka Firdaus,
1991).
[43] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang:
UIN Maliki press,2010),131 .lihat Kahmad, Sosiologi Agama, 179.
Lihat Nurcholis Madjid, Islam:Doktrin dan
Peradaban (Jakarta:Paramadina,1992);idem, "Agama dan Masyarakat"
dalam Manusia Indonesia:Individu,
Keluarga dan Masyarakat (Jakarta:Kademika Presindo,198617Kahmad, Sosiologi Agama,
179.
[44] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang:
UIN Maliki press,2010),132 .lihat Kahmad, Sosiologi Agama, 179.
[45] ZulfiMubaraq, Sisiologi Agama, (Malang:
UIN Maliki press,2010),132 .lihat Betty R. Scarf, Sosiologi Agama,
Terjemahan (Jakarta:Kencana, 2004), 6.
0 komentar:
Posting Komentar