A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Puji syukur Alhamdulillah kami haturkan kepada
Allah Subhanahu Wata’ala, Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari segala
kemungkaran.Tak lupa Sholawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada
Nabi محمد
Shollallohu’alaihi Wasallam,keluarga dan sahabat Nabi,Allahuma
Amin.Tak lupa pula kami ucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu kami dalam
penyusunan makalah ini hingga selesai,lebih-lebih kepada dosen kami Bapak Dr.
H.Zulfi Mubaroq M.Ag yang benar-benar sabar membimbing kami dalam menyusun
makalah ini dengan benar.
Makalah Sosiologi Agama yang berjudul Hubungan
Agama dengan politik dan negara ini berisi tentang pembahasan mengenai seputar
agama,politik dan Negara.Seperti yang kita ketahui Selama ini khazanah politik
senantiasa menempatkan antara agama dan Negara selalu berbeda-beda secara
yuridis,padahal dalam kenyatannya agama selalu hadir dalam ruang publik
politik,sehingga memerlukan sebuah konstruksi baru tentang agama dan Negara
secara memadai.
Pemisahan secara tegas antara agama dengan
Negara hampir tidak dikenal dimana pun di seantero dunia,karena agama selalu
hadir dalam Negara dan Negara berkepentingan dengan agama.Dalam suatu
masyarakat politik dimana pun tidak ada pembatasan yang jelas antara agama dan
Negara,wacana publik bukannya menuntut adanya dominasi politik terhadap agama
atau sebaliknya,melainkan menekankan peranan pemerintahan untuk mewujudkan
hubungan dan tanggung jawab yang mengikuti tuntutan nilai-nilai yang berlandaskan
kehidupan spiritual.Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Sosiologi Agama
dan untuk lebih memahami tentang hubungan agama,politik dan Negara.Kami
berharap setelah pembaca membaca makalah ini,pembaca dapat menambah pengetahuan
yang baru,dan dapat mengaplikannya.
2.
Rumusan Masalah
1. Apa saja
unsur-unsur agama ?
2. Apa apa
pengertian politik dan Negara ?
3. Apa saja unsur-unsur politik dan Negara ?
4. Apa hubungan
agama dengan politik dan Negara ?
3.
Tujuan
1. Ingin memahami unsur-unsur agama.
2. Ingin memahami pengertian
politik dan Negara.
3. Ingin memahami
unsur-unsur politik dan Negara.
4. Ingin memahami
hubungan agam dengan politik dan Negara.
1.
Pengertian dan Unsur – unsur Agama
a.
Pengertian Agama
Secara etimologi agama berasal dari Sansekerta “agama” yang berarti sebagai
tradisi dalam bahasa indonesianya berarti “tidak kacau”,dengan kata lain
terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan
yang mendasari kelakuan”tidak kacau”itu.[1]
Pengetahuan dan kepercayaan tersebut menyangkut hal-hal keilahian dan
kekudusan.
Kata agama disini konotasinya lebih dekat kepada agama Hindu dan Budha.Akan tetapi setelah digunakan dalam bahasa Indonesia pengertiannya mencakup semua agama. Dalam bahasa inggris disebut religion atau religi,berasal dari bahasa latin religio atau relegere yang berarti “mengumpulkan”atau “membaca”[2].Dalam hal ini,religion hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia.[3] Dalam Kamus Ilmiah Popular kata Agama berarti keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan.Sedangkan dalam Bahasa Arab disebut Din (دين) yang artinya ajaran atau kepercayaan yang mempercayai satu atau beberapa kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam,manusia dan jalan hidupnya.[4]
Kata agama disini konotasinya lebih dekat kepada agama Hindu dan Budha.Akan tetapi setelah digunakan dalam bahasa Indonesia pengertiannya mencakup semua agama. Dalam bahasa inggris disebut religion atau religi,berasal dari bahasa latin religio atau relegere yang berarti “mengumpulkan”atau “membaca”[2].Dalam hal ini,religion hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia.[3] Dalam Kamus Ilmiah Popular kata Agama berarti keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan.Sedangkan dalam Bahasa Arab disebut Din (دين) yang artinya ajaran atau kepercayaan yang mempercayai satu atau beberapa kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam,manusia dan jalan hidupnya.[4]
Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia
agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dengan manusia serta lingkungannya.
b.
Unsur-unsur Agama
Dalam
dïnul-islãm (‘agama Islam’) keempat unsur itu terungkap melalui Hadis Jibril,
yang mencakup butir-butir di bawah ini.[5]
1)
Ajaran Allah sebagai konsep hidup
Dalam dialog tentang iman, Rasulullah menegaskan tentang masalah
terpenting dari dïnul-islãm, yaitu adanya interaksi antara seorang mu’min
dengan ajaran Allah, yang disampaikan (diajarkan) melalui malaikat-malaikatNya,
dalam bentuk kitab-kitab, yang diterima rasul-rasulNya, untuk mencapai tujuan
akhir (kehidupan yang baik di dunia dan akhirat), dengan menjadikan ajaran
Allah sebagai qadar (ukuran; standard; teori nilai) baik-buruk menurutNya.[6]
2)
Îmãn sebagai interaksi
Iman pada hakikatnya adalah interaksi (aksi timbal balik) antara
Allah sebagai pemberi konsep hidup dengan mu’min yang menyambut da’wah (ajakan;
tawaran) Allah melalui rasulNya. Selanjutnya, interaksi itu berlangsung intensif melalui penghayatan seorang mu’min terhadap
Al-Qurãn, sehingga Al-Qurãn menjadi satu-satunya konsep hidup yang tumbuh subur
dalam “organ kesadaran” (al-qalbu) mu’min, yang selanjut meledak dan membanjir
keluar melalui indra pengucapan (al-lisãnu), dan akhirnya menjelma menjadi
berbagai bentuk tindakan dan kretifitas (al-‘amalu). Tepat seperti dinyatakan
Rasulullah, misalnya dalam hadis riwayat Ibnu Majah: الإيمان عقد بالفلب و إقرار باللسان و عمل بالأركان .[7]
3)
Ritus (upacara)
Dalam dïnul-islãm ada sejumlah ritus yang dalam Hadis Jibril
disebut dengan nama Al-Islãm pula, yaitu:
·
Syahãdah sebagai sumpah setia (bay’ah). Pada masa Rasulullah jelas
bahwa syahadat (syahãdah) adalah sebuah ‘upacara’ (ritus) untuk menyatakan
sumpah setia seseorang terhadap dïnul-islãm, alias untuk meresmikan rekrutmen
seseorang atau sejumlah orang sebagai anggota bun-yãnul-islãm (organisasi
Islam).[8]
·
Shalat sebaga sarana pembatinan nilai-nilai Al-Qurãn, sekaligus
pembinaan jama’ah/korp Islam. Orang-orang yang menyatakan diri (bersyahadat)
sebagai anggota organisasi Islam tentu harus memahami dan menghayati konsep
organisasinya, yakni Al-Qurãn. Hal itu dilakukan melalui shalat, yang bacaan
pokoknya adalah surat Al-Fãtihan (ummul-qurãn) ditambah dengan surat-surat lain
yang terus dipelajarinya. Selain itu, melalui shalat jama’ah, mereka juga
belajar untuk membangun sebuah jama’ah atau korp yang rapi dan kompak. [9]
·
Zakat sebagai sistem ekonomi. Zakat, mulai dari zakat harta sampai
zakat fitrah, pada hakikatnya melambangkan kesediaan setiap mu’min yang mampu
untuk mendanai organisasi dan memperkuat jama’ah. Lebih lanjut, setelah
organisasi menjelma menjadi sebuah sistem yang dipercaya untuk menata kehidupan
umat (jama’ah mu’min plus komunitas-komunitas lain, seperti terlihat pada
Piagam Madinah), maka zakat itu pun dikembangkan menjadi sistem ekonomi
masyarakat secara umum.[10]
·
Shaum Ramadhan sebagai pembina ketahanan mental dan fisik dalam
menerapkan nilai-nilai Al-Qurãn. Seluruh anggota organisasi jelas membutuhkan
pembinaan mental dan fisik, supaya menjadi anggota-anggota yang militan dan
tangguh. Shaum Ramadhan adalah sarana yang tepat untuk itu.
·
Haji sebagai sarana pemersatu umat Islam sedunia. Ibadah haji
merupakan ritus yang paling istimewa di antara kelima ritus dalam dïnul-islãm.
Melalui hajilah umat Islam sedunia berkumpul, menjalin persahabatan,
persaudaraan, dan persatuan berdasar kesamaan iman.
4)
Praktik sebagai perwujudan konsep
Dïnul-islãm pada dasarnya adalah agama yang berorientasi pada
praktik (amal). Tapi supaya praktinya tidak dilakukan sembarangan, Allah
menempatkan rasulNya sebagai tokoh sentral untuk memimpin dan memberikan contoh
penerapan setiap aspek ajaran Islam, mulai dari yang bersifat individu sampai
pada yang bersifat kemasyarakatan. Tegasnya, pribadi Rasulullah adalah contoh
sempurna dari individu mu’min, dan masyarakat yang dibangun beliau bersama
jama’ahnya juga, otomatis, merupakan bentuk masyarakat yang ideal. Sebuah
masyarakat yang mewakili Al-Qurãn sebagai konsepnya.[11]
2.
Pengertian Politik dan Negara
a.
Pengertian politik
Secara etimologis, politik
berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian
arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang
berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti
pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.[12]
Dalam internet Wikipedia Politik adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara.Pengertian ini merupakan
upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik.[13]
Pengertian politik menurut para ahli:
1)
Johan Kaspar
Bluntschli dalam buku The Teory of the State: “Ilmu Politik adalah ilmu yang
memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan pengertian dan pemahaman
tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya, dalam berbagai bentuk atau
manifestasi pembangunannya.” (The sci ence which is concerned with the state,
which endeavor to understand and comprehend the state in its conditions, in its
essentials nature, in various forms or manifestations its development).[14]
2)
Roger F. Soltau
dalam bukunya Introduction to Politics: “Ilmu Politik mempelajari negara,
tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu;
hubungan antara negara dengan warganegaranya serta dengan negara-negara lain.”
(Political science is the study of the state, its aims and purposes … the
institutions by which these are going to be realized, its relations with its
individual members, and other states).[15]
3)
J. Barents dalam bukunya Ilmu Politika: “Ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat, ilmu politik mempelajari negara-negara itu dalam
melaksanakan tugas-tugasnya.”[16]
4)
Joyce Mitchel dalam bukunya Political Analysis and Public Policy: “Politik
adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk
seluruh masyarakat.” (Politics is collective decision making or the making of
public policies for an entire society).[17]
5)
Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam buku Power Society: “Ilmu Politik
mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan”, dan dalam buku Who gets What,
When and How, Laswell menegaskan bahwa “Politik adalah masalah siapa, mendapat
apa, kapan dan bagaimana.”
6)
Kosasih Djahiri dalam buku Ilmu Politik dan Kenegaraan: “Ilmu politik yang
melihat kekuasaan sebagai inti dari politik melahirkan sejumlah teori mengenai
cara memperoleh dan melaksanakan kekuasaan. Sebenarnya setiap individu tidak
dapat lepas dari kekuasaan, sebab memengaruhi seseorang atau sekelompok orang
dapat menampilkan laku seperti yang diinginkan oleh seorang atau pihak yang
memengaruhi.”
Dalam literatur soiologi, terdapat
beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut istilah
politik karena sangat menarik, Mac Iver menyebutkan politik sebagai “negara” ,
sementara Gillin dan Kingsley Davies menyebutnya sebagai “institusi politik” ,
adapun James W. Vander Zanden menyebutnya sebagai “perilaku politik”.[18]
Konsep sistem politik merupakan suatu istilah yang mengacu kepada semua
proses dan institusi yang mengakibatkan pembuatan kebijakan publik. Perjuangan
persaingan kelompok untuk menguasai secara politik adalah aspek yang utama
dalam suatu sistem politik. Komponen-komponen berikut ini adalah bagian penting
dalam suatu sistem politik menyangkut orang-orang diatur, pejabat yang memiliki
wewenang / kekuasaan, suatu proses politis (pemilihan), suatu struktur
pemerintah, dan suatu prose pembuatan kebijakan. Kekuasaan mungkin secara luas
didistribusikan antar lembaga pemerintah yang ada atau mungkin pula dipusatkan
atu atau beberapa komponen.[19]
Dengan demikian, secara sederhana dalam setiap sistem politik akan
mencangkup: 1). Fungsi intregasi dan adaptasi terhadap masyarakat, baik keluar
ataupun kedalam; 2). penempatan nilai-nilai dalam masyarakat berdasarkan
kewenangan; 3). Penggunaan kewenangan/kekuasaan, baik secara sah ataupun tidak.
Oleh karena itu, berbicara tentang sistem politik pada hakikatnya sama halnya dengan berbicara
tentang kehidupan politik masyarakat (social political life) yang
bersifat infrastruktur, dan kehidupan politik pemerintah (govermental
political life) yang bersifat supranatural.[20]
Politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proes
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama
masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.[21]
Para ilmuwan politik kontemporer berpandangan bahwa politik ialah
proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang
mengikat bagi suatu masyarakat. Perilaku politik berarti suatu kegiatan yang
berkenaan dengan proses dan pelaksanaan keputusan politik dan yang melakukan kegiatan tersebut ialah pemerintah
dan masyarakat. Warga negara memang tidak memiliki fungsi menjalankan
pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang
menjalankan fungsi pemerintah itu.[22]
Politik dalam makna yang lebih luas, menurut Deutsch yang dikutip Suprayugo
adalah koordinasi usaha-usaha serta pengharapan-pengharapan manusia yang dapat
diandalkan untuk mencapai tujuan mayarakat.[23]Mirip
dengan itu, Parson menyatajan politik sebagai perangkat-perangkat tertentu yang
bertalian dan diperlukan untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan masyarakat guna
mencapai tujuan, atau menentukan tujuan bersama.[24]
Menurut Jamaliddin Kafie dalam pengantar buku politik islam islam konsepsi
dan dokumentasi, bahwa politik adalah suatu kebijakan untuk mengatur suatu
pemerintahan yang berdaulat atau masyarakat dalam bernegara.[25]
Jalaluddin Rakhmat menandaskan bahwa politik secara sederhana adalah segala
hal yang berkaitan dengan permainan kekuasaan. Sebagai seorang politikus,
pekerjaannya hanya dua: menghimpun kekuasaan (machtvorming) dan
menggunakan kekuasaan (machtaanwending).[26]
Ketika seseorang rajin mengunjungi orang-orang yang berpengaruh dan
melakukan negosiasi dengan mereka, maka sesungguhnya dia sedang menghimpun
kekuasaan. Dan ketika seseorang menyingkirkan lawannya dengan memanipulasi
wewenang yang dimilikinya, maka diapun sesungguhnya sedang menggunakan kekuasaannya.[27]
Karakteristikpranata politik adalah sebagai berikut: pertama, adannya suatu
komunitas manusia secara sosial bersatu (hidup bersama) atas dasar nilai-nilai
yang disepakati bersama. Kedua, adanya asosiasi politik atau pemerintah yang
aktif. Ketiga, asosiasi politik tersebut melaksanakan fungsi-fungsi untuk
kepentingan umum. Keempat, asosiasi politik tersebut diberi kewenangan yang
jangkauannya dibatasi dalam teritorial tertentu.[28]
James W. Vender Zanden menyebutkan pranata politik dimasyarakat manapun
pada dasarnya selalu memiliki keempat fungsi, yakni: 1). Fungsi pemaksaan norma
2). Fungi merencanakan dan mengarahkan 3). Fungsi menengahi pertentangan
kepentingan 4). Fungsi melindungi masyarakat dari serangan dari luar.
Sementara itu, Gillin dalam versi lain menyebutkan tiga fungsi pranata
politik, yaitu: 1) mengatur hubungan-hubungan didalam masyarakat 2) mengatur
dan menyelenggarakan kepentingan serta kebutuhan seluruh anggota masyarakat 3)
melindungi warganya dari serangan musuh atau negara lain.[29]
Dari berbagai definisi, pembangunan politik memiliki tiga karakteristik,
yakni: 1) tekanan pada deferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan
struktur politik; 2) tekanan pada persamaan, teruytama pada ide, yang
menyatakan perlunnya keikut sertaan rakyat dalam politik; dan 3) tekanan
kemampuan suatu sitem politik yang semakin berkembang dalam menggerakan
perubahan sosial dan ekonomi. Berdasarkan pengertian ini, Donald Smith
menekankan, diferensiasi sistem harus diikuti oleh sekerelasi politik. Pertama-tama
harus disisihkan sistem religio-politik tradisional, yaitu memisahkan struktur
politik dan struktur keagamaaan.[30]
Sistem politik keagamaan tradisional ada empat, yaitu: 1) komponen
ideologis untuk sistemnya disediakan sepenuhnya oleh agama; tak ada satupun dari ideologi-ideologi sekuler; 2)
masyarakat politik suatu sistem politik keagamaan tradisional identik dengan
masyarakat agama dalam teori dan secara subtansial, demikian pila dalm
kenyataannya; 3) suatu sistem sosial yang terintegrasi dan terabsahkan secara
keagamaan, bukan merupakan aparat pemerintah yang efisien, sehingga membuat
penguasa dapat memelihara stabilitas didalam alam pada suatu jangka waktu
tertentu yang dapat diperhitungkan; 4) para sepesialisasi agama melaksanakan
ritual-ritual esensial yang mengabsahkan kekuasaan kerajaan; 5) fungsi-fungsi
keagamaaan bersifat ekstensif; dia adalah tuan besar dari kelas kepemimpinan
agama; mengangkat hirarki mereka dan menegakkan disiplin dikalangan mereka
sendiri; dia pula yang memanggil majelis-majelis agama bersidang untuk
menyatakan kembali doktrin-doktrin agama dan menindas bid’ah-bid’ah.[31]
Ada dua model dasar dari system politik keagamaan tradisional, yaitu :
1) Model organis, dicirikan oleh sebuah konsepsi penyatuan fungsi-fungsi agama
dan politik yang dilaksanakan oleh suatu struktur yang menyatu.
2) Model gereja, dicirikan oleh persekutuan yang erat antara dua institusi
yang berbeda, pemerintah dan kepemimpinan agama dengan saling tukar
fungsi-fungsi agama dan politik secara ekstensif. Kedua model di atas haruslah
dipahami sebagai tipe-tipe ideal, dan system-sistem politik keagamaan yang ada
secara historis tak sempurna.[32]
Politik sebenarnya tidak kotor dan kekuasaan
tidak selalu berkaitan dengan politik-kata para psikolog social. Setiap orang
terlibat dalam permainan polotik. Ketika seseorang berhubungan dengan orang
lain maka dia bersaing dalam menggunakan kekuasaan. Bahkan kekuasaan itu
fitrah, kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Manusia itu merindukan dan
mencari kekuasaan. David Mc Clelland menyebut tiga kebutuhansosial yang
menggerakkan manusia :kebutuhan akan kasih saying, kebutuhan untuk berprestasi
dan kebutuhan akan kekuasaan. Tingkat kebutuhan ini pada setiap orang
berbeda-beda.[33]
Dalam pembagian jenis kekuasaan, B.H. Raven
dalam Sosial Influence and Power.
Menyebutkan enam macam kekuasaan.[34]
1) Ekuasaan koersif. Seseorang memilik kekuasaan ini, jika orang menganggapnya
mempunyai kekuatan untuk mendaangkan hukuman dan ganjaran. Untuk menggunakan
kekuasaan ini, dia harus selalu mengawasi perilaku orang lain. Raven menyebut
kekuasaan ini disebut dengan istilah ”public
dependent”.
2) Kekuasaan informasi. Seseorang berkuasa terhadap orang lain karena dia
memiliki informasi yang diperuka orang tersebut. Tetapi begitu informasi itu
disampaikan, maka dia akan kehilangan kekuasaan itu.
3) Kekuasaan referent. Seseorang erkuasa terhadap orang lain, karena orang
lain mengidendifikasikan dirinya seperti dia, karena orang tersebut ingin
seperti dia, karena dia adalah idolanya. Kekuasaan ini timbul karena rasa
hormat (bahasa sunda mempunyai kata yang paling tept untuk ini, yaitu “ajrih”).
4) Kekuasaan legimate. Seseorang berkuasa karena dia memiliki hak istimewa
yang dierikan oleh kovensi, tradisi, atau adat kebiasaan. Secara konvensional,
pak lurah mempunyai kekuasaan. Misalnya, dia boleh mengubah batas-batas tanah
kita untuk kepentingan pembangunan.
5) Kekuasaan ahli. Seseorang memiliki kekuasaan terhadap orang lain, karena
dia memiliki keahlian yang sangat dibutuhkan oleh orang tersebut untuk mencapai
tujuannya. Pada akhirnya dia menjadi sumber bantuan untuk orang lain.
6) Kekuasaan negative. Kekuasaan yang terakhir ini jarang dicapai tapi sering
terjadi. Antoniu memuji Brutus supaya orang-orang menentang Brutus. Dengan
kekuasaan negative. Seseorang menganjurkan orang lain untuk melakukan perbuatan
yang sebaliknya dari apa yang dia anjurkan. Dia memerintahkan orang tersebut
untuk berlaku sederhana, supaya mereka berlomba mengejar kemewahan.
Fenomena berikut ini menunjukkan dinamika hubungan antara agama dan politik
yang mengalami pasang-surut sesuai degan situasi dan kondisi masyarakat.
Menurut Delia Noer, dalam kalangan islam ada empat golongan yang tercatat dalam
islam dan polotik.[35]
1)
Pertama, yang memang aktif disertai, disertai
sikap menolak terhadap garis yang dianggap menyimpang. Masyumi dahulu yang
berbuat demikian, dan kini ada golongan yag berbuat sama. Mereka tidak ingin
menyimpan. Bila perlu mereka berbuat ‘uzlah, menyendiri, tidak ikut berpolitik
lagi, namun punya sikap.[36]
2)
Kedua, golongan yang bekerjasama dengan pihak
penguasa, apapun yang terjadi. NU, PSII, dan PERTI dimasa Demokrasi Terpimpin
mencerminkan hal ini. Sesudah Orde Baru cara ini ada yang melanjutkan, terlepas
apakah ia masuk pemerintahan atau tidak, apaka ia di partai atau di organisasi
masyarakat. Dalam dunia islam telah lama berkembang paham Al-Ghazali yang lebih
melihat kepositifan suatu pemerintahan, termasuk pemerintahan yang zalim,
ketimbang tidak adanya pemerintah. Yang terakhir ini lebih menimbulkan bahaya.
Itu sebabnya kerjasama juga dilakukan dengan pemerintahan yang zalim, atau di
Indonesia dengan pemerintah jajahan (termasuk jadi pegawai pemerintah jajahan),
dan dengan Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin walaupun diketahui
penyimpangannya. KH. Idham Chalid dalam rangka ini merujuk pada pedoman yang
dikatakan berasal dari Imam Syafi’i: dar’u al-masafid muqaddamun’ala jalbi
al-mashalih-menghindari yang buruk didahulukan daripada mengusahakan yang baik.
Pandangan ini mempermudah kerjasama dengan pihak yang “tidak baik”. Pandangan
akhir ini membedakan golongan tersebut dari golongan pertama yang seperti
berusaha untuk mencari yang sebaik-baiknya dan tidak segera melepas usaha itu
bila timbulkesukaan. Golongan kedua, mudah bersifat akomodatif, bahkan bias
seperti kutu loncat, tanpa pendirian, selama ibadah bias dilakukan.[37]
3) Ketiga, lebih melihat islam sebagai ajaran masyarakat yang dirasa kurang
atau tidak perlu disertai keterlibatan dalam politik. Mulanya orang seperti
Hatta berpendapat demikian, oleh sebab itu dimasa paling aktif, dia mendorong
organisasi islam untuk beramal sebanyak-banyaknya ditengah masyarakat agar
tercipta suatu lingkungan yang kondusif bagi tegaknya islam. Lingkungan seperti
ini akan memprmudah terwujudnya pengertian masyarakat dalam melaksanakan ajaran
islam. Tetapi Hatta sendiri pada waktu usaha mendirikan GDII, merasa perlu
memberi contoh bagaimana berkecimpung dalam politik dengan ajaran islam-tetapi,
seperti dikatakan tadi, maksudnya ini mendapat kendala dari pemerintah. Bila
usaha NU untuk kembali ke Khithah 1926 benar-benar terlaksana, dan juga
muhammadiyah dengan garisnya tahun 1912, agaknya apa yang diharapkan Hatta
semula bias tercipta. Memang tidak mudah bagi kedua organisasi ini untuk
bersikap sebagai organisasi kemasyarakatan secara murni, disamping karena ajaran
islam menurut yang mereka pahami juga mencakup politik, juga karena pengalama
ini memang tidak langsung tetapi pernah dicoba antara lain dengan keanggotaan
di parlemen dalam cabinet.[38]
4)
Keempat, menolak sama sekali kaitan islam
politik. Mereka berpendapat bahwa islam tidak menyuruh umatnya untuk membentuk
Negara (dalam hal ini mereka benar) yang merupakan soal dunia. Menurut mereka,
Nabi bukan seorang kepala Negara, termasuk pada mas Madinah. Mereka lebih
meliat islam sebagai ajaran moral, dan oleh sebab itu kalaupun ada gerakannya,
gerakan itu lebih terletak dibidang budaya. “islam yes,partai islan no” bias
mencerminkan sikap ini. Walaupun terbatas, ada persamaan antara pendapat ini
dengan pendapat ketiga, bedanya pendapat ketiga lebih bersifat teknis. Pada
prinsipnya, kaitan antara islam dan politik tetap diakui.[39]
b.
Pengertian
Negara
Negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah
penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan
pemerintahan dan keberadaannya diakui oleh negara lain, Ketentuan diatas merupakan syarat
berdirinya suatu negara menurtt konferenasi Montevideo pada tahun 1933.[40]
Negara merupakan sebuah relasi dimana manusia
mendominasi manusia, sebuah relasi yang ditopang oleh sarana kekerasan yang
legitimate (atau yang dipandang sebagai legitimate).[41]
3.
Unsur-Unsur
Politik
a) Partai Politik
Menurut Roger
F.Soltau Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak
terorganisasi, bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang bertujuan
menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.[42]
Sedangkan menurut Huszar dan
Stevenson Partai politik adalah
sekelompok orang yang terorganisasi serta berusaha untuk mengendalikan
pemerintahan agar dapat melaksanakan program-programnya dan menempatkan atau
mendudukan anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintahan.[43]
Dari kedua pendapat itu dapat disimpulkan bahwa
partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak telah
terorganisir, dimana anggota-anggotanya memiliki cita-cita, tujuan dan
orientasi yang sama. Tujuan dari partai politik ini sendiri adalah memperoleh
dan mengendalikan kekuasaan politik atau pemerintahan, dan melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan dengan jalan menempatkan anggota-anggotanya
di dalam jabatan-jabatan politik ataupun pemerintahan.[44]
b)
Kelompok
Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah kelompok yang
memiliki tujuan untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan dan mempengaruhi
lembaga-lembaga politik untuk memperoleh keputusan yang menguntungkan dan
menghindari keputusan yang merugikan.[45]
Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk
memasukkan wakil-wakilnya dalam Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi cukup
memengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya, instansi pemerintah, atau
ment’ri yang berwenang.
Dengan demikian, kelompok kepentingan memiliki
orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik. Selain itu,
organisasi kelompok kepentingan lebih longgar daripada partai politik.[46]
c)
Kelompok
Penekan
Kedudukan dari
kelompok penekan ini dapat memaksa atau mendesak pihak yang berada dalam
pemerintahan atau pimpinan agar bergerak ke arah yang diinginkanatau justru
berlawanan dengan desakannya.
Walaupun tujuan akhir dari kelompok penekan ini sama seperti tujuan akhir dari
kelompok kepentingan sehingga mereka sering disamakan. Perbedaan dari kelompok
penekan dan kelompok kepentingan terdapat pada orientasi mereka.[47]
Apabila pemerintah membutuhkan pers atau media massa untuk menyampaikan informasi
kepada masyarakat secara cepat dan menyeluruh mengenai peristiwa banjir, maka
media massa akan dipergunakan untuk membantu pemerintah dalam menyampaikan hal
tersebut.
Pada kasus tersebut, media massa berfungsi sebagai kelompok kepentingan yang
mempunya tugas untuk menyampaikan sesuatu kepada khalayak luas secara
menyeluruh dan merata. Orientasi kelompok kepentingan lebih bersifat dari atas
ke bawah.[48]
d)
Media
Komunikasi
Komunikasi
politik pada hakikatnya menggambarkan proses penyampaian informasi-informasi
politik, Sebelum membahas komunikasi politik, maka terlebih dahulu kita harus
mengenal media komunikasi (media massa). Melalui media massa inilah dapat
disampaikan informasi-informasi politik. Adapun media massa yang dikenal antara
lain, radio, televisi, pers (surat kabar, majalah). Selain itu, komunikasi
politik juga dapat dilakukan melalui kegiatan seperti kampanye, pawai, aksi,
rapat terbuka, diskusi, dan seminar.
e)
Tokoh Politik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tokoh
adalah seseorang yang menjadi pusat perhatian. Politik sendiri merupakan sebuah
proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain
berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[49]
Dalam suatu negara, orang-orang yang dianggap
tokoh politik adalah orang-orang yang berkecimpung dalam lembaga eksekutif dan
legislatif. Umumnya, orang-orang yang bergerak dalam lembaga lainnya seperti
lembaga yudikatif (penegakkan hukum dan militer) tidak dianggap sebagai tokoh
politik walaupun mereka terlibat dalam tugas pemerintah.[50]
Dari kedua definisi tersebut, tokoh politik
adalah seseorang yang menjadi pusat perhatian perhatian di bidang politik dan
bergerak dalam dinamika politik yang telah dan sedang berlangsung.[51]
4.
Hubungan antara agama dan politik
Menurut Jamaliddin Kafie dalam pengantar buku politik islam islam konsepsi
dan dokumentasi, bahwa politik adalah suatu kebijakan untuk mengatur suatu
pemerintahan yang berdaulat atau masyarakat dalam bernegara.[52]
Jalaluddin Rakhmat menandaskan bahwa politik secara sederhana adalah segala
hal yang berkaitan dengan permainan kekuasaan. Sebagai seorang politikus,
pekerjaannya hanya dua: menghimpun kekuasaan (machtvorming) dan
menggunakan kekuasaan (machtaanwending).[53]
Ketika seseorang rajin mengunjungi orang-orang yang berpengaruh dan
melakukan negosiasi dengan mereka, maka sesungguhnya dia sedang menghimpun
kekuasaan. Dan ketika seseorang menyingkirkan lawannya dengan memanipulasi
wewenang yang dimilikinya, maka diapun sesungguhnya sedang menggunakan kekuasaannya.[54]
Karakteristikpranata politik adalah sebagai berikut: pertama, adannya suatu
komunitas manusia secara sosial bersatu (hidup bersama) atas dasar nilai-nilai
yang disepakati bersama. Kedua, adanya asosiasi politik atau pemerintah yang
aktif. Ketiga, asosiasi politik tersebut melaksanakan fungsi-fungsi untuk
kepentingan umum. Keempat, asosiasi politik tersebut diberi kewenangan yang
jangkauannya dibatasi dalam teritorial tertentu.[55]
Sistem politik keagamaan tradisional ada empat, yaitu: 1) komponen
ideologis untuk sistemnya disediakan sepenuhnya oleh agama; tak ada
satupun dari ideologi-ideologi sekuler;
2) masyarakat politik suatu sistem politik keagamaan tradisional identik dengan
masyarakat agama dalam teori dan secara subtansial, demikian pila dalm
kenyataannya; 3) suatu sistem sosial yang terintegrasi dan terabsahkan secara
keagamaan, bukan merupakan aparat pemerintah yang efisien, sehingga membuat
penguasa dapat memelihara stabilitas didalam alam pada suatu jangka waktu
tertentu yang dapat diperhitungkan; 4) para sepesialisasi agama melaksanakan
ritual-ritual esensial yang mengabsahkan kekuasaan kerajaan; 5) fungsi-fungsi
keagamaaan bersifat ekstensif; dia adalah tuan besar dari kelas kepemimpinan
agama; mengangkat hirarki mereka dan menegakkan disiplin dikalangan mereka
sendiri; dia pula yang memanggil majelis-majelis agama bersidang untuk
menyatakan kembali doktrin-doktrin agama dan menindas bid’ah-bid’ah.[56]
Ada dua model dasar dari system politik keagamaan tradisional, yaitu :
·
Model organis, dicirikan oleh sebuah konsepsi
penyatuan fungsi-fungsi agama dan politik yang dilaksanakan oleh suatu struktur
yang menyatu.
·
Model gereja, dicirikan oleh persekutuan yang
erat antara dua institusi yang berbeda, pemerintah dan kepemimpinan agama
dengan saling tukar fungsi-fungsi agama dan politik secara ekstensif. Kedua
model di atas haruslah dipahami sebagai tipe-tipe ideal, dan system-sistem
politik keagamaan yang ada secara historis tak sempurna.[57]
Politik sebenarnya tidak kotor dan kekuasaan
tidak selalu berkaitan dengan politik-kata para psikolog social. Setiap orang
terlibat dalam permainan politik. Ketika seseorang berhubungan dengan orang lain maka dia bersaing dalam
menggunakan kekuasaan. Bahkan kekuasaan itu fitrah, kebutuhan manusia yang
harus dipenuhi. Manusia itu merindukan dan mencari kekuasaan. David Mc Clelland
menyebut tiga kebutuhansosial yang menggerakkan manusia :kebutuhan akan kasih
saying, kebutuhan untuk berprestasi dan kebutuhan akan kekuasaan. Tingkat
kebutuhan ini pada setiap orang berbeda-beda.[58]
Fenomena berikut ini menunjukkan dinamika
hubungan antara agama dan politik yang mengalami pasang-surut sesuai degan
situasi dan kondisi masyarakat. Menurut Delia Noer, dalam kalangan islam ada
empat golongan yang tercatat dalam islam dan politik.[59]
1)
Pertama, yang memang aktif disertai, disertai
sikap menolak terhadap garis yang dianggap menyimpang. Masyumi dahulu yang
berbuat demikian, dan kini ada golongan yag berbuat sama. Mereka tidak ingin
menyimpan. Bila perlu mereka berbuat ‘uzlah, menyendiri, tidak ikut berpolitik
lagi, namun punya sikap.[60]
2)
Kedua, golongan yang bekerjasama dengan pihak
penguasa, apapun yang terjadi. NU, PSII, dan PERTI dimasa Demokrasi Terpimpin
mencerminkan hal ini. Sesudah Orde Baru cara ini ada yang melanjutkan, terlepas
apakah ia masuk pemerintahan atau tidak, apaka ia di partai atau di organisasi
masyarakat. Dalam dunia islam telah lama berkembang paham Al-Ghazali yang lebih
melihat kepositifan suatu pemerintahan, termasuk pemerintahan yang zalim,
ketimbang tidak adanya pemerintah. Yang terakhir ini lebih menimbulkan bahaya.
Itu sebabnya kerjasama juga dilakukan dengan pemerintahan yang zalim, atau di
Indonesia dengan pemerintah jajahan (termasuk jadi pegawai pemerintah jajahan),
dan dengan Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin walaupun diketahui
penyimpangannya. KH. Idham Chalid dalam rangka ini merujuk pada pedoman yang
dikatakan berasal dari Imam Syafi’i: dar’u al-masafid muqaddamun’ala jalbi al-mashalih-menghindari
yang buruk didahulukan daripada mengusahakan yang baik. Pandangan ini
mempermudah kerjasama dengan pihak yang “tidak baik”. Pandangan akhir ini
membedakan golongan tersebut dari golongan pertama yang seperti berusaha untuk
mencari yang sebaik-baiknya dan tidak segera melepas usaha itu bila
timbulkesukaan. Golongan kedua, mudah bersifat akomodatif, bahkan bias seperti
kutu loncat, tanpa pendirian, selama ibadah bias dilakukan.[61]
3) Ketiga, lebih melihat islam sebagai ajaran masyarakat yang dirasa kurang
atau tidak perlu disertai keterlibatan dalam politik. Mulanya orang seperti
Hatta berpendapat demikian, oleh sebab itu dimasa paling aktif, dia mendorong
organisasi islam untuk beramal sebanyak-banyaknya ditengah masyarakat agar
tercipta suatu lingkungan yang kondusif bagi tegaknya islam. Lingkungan seperti
ini akan memprmudah terwujudnya pengertian masyarakat dalam melaksanakan ajaran
islam. Tetapi Hatta sendiri pada waktu usaha mendirikan GDII, merasa perlu
memberi contoh bagaimana berkecimpung dalam politik dengan ajaran islam-tetapi,
seperti dikatakan tadi, maksudnya ini mendapat kendala dari pemerintah. Bila
usaha NU untuk kembali ke Khithah 1926 benar-benar terlaksana, dan juga
muhammadiyah dengan garisnya tahun 1912, agaknya apa yang diharapkan Hatta
semula bias tercipta. Memang tidak mudah bagi kedua organisasi ini untuk
bersikap sebagai organisasi kemasyarakatan secara murni, disamping karena
ajaran islam menurut yang mereka pahami juga mencakup politik, juga karena
pengalama ini memang tidak langsung tetapi pernah dicoba antara lain dengan
keanggotaan di parlemen dalam cabinet.[62]
4)
Keempat, menolak sama sekali kaitan islam
politik. Mereka berpendapat bahwa islam tidak menyuruh umatnya untuk membentuk
Negara (dalam hal ini mereka benar) yang merupakan soal dunia. Menurut mereka,
Nabi bukan seorang kepala Negara, termasuk pada mas Madinah. Mereka lebih
meliat islam sebagai ajaran moral, dan oleh sebab itu kalaupun ada gerakannya,
gerakan itu lebih terletak dibidang budaya. “islam yes,partai islan no” bias
mencerminkan sikap ini. Walaupun terbatas, ada persamaan antara pendapat ini
dengan pendapat ketiga, bedanya pendapat ketiga lebih bersifat teknis. Pada
prinsipnya, kaitan antara islam dan politik tetap diakui.[63]
Unsur-unsur agama
|
Unsur-unsur Poliik
|
Contoh-contoh
|
1.
Ajaran
|
a.
Partai Politik
|
1.e Korupsi
|
2.
Iman
|
b.
Kelompok Kepentingan
|
2.b Politik
uang
|
3.
Ritus (upacara)
|
c.
Kelompok Penekan
|
3.c pengeboman
gereja
|
4.
Praktek
|
d.
Alat Komunikasi
|
4.c Politik
kotor
|
5.
Nilai/norma
|
e.
Tokoh Politik
|
5.aliran sesat
|
Penjelasan
|
1.
Tidak sedikit dari tokoh politik yang melakukan tindak kriminal
dengan menyalahgunakan kepercayaan masyarakat dengan begitu bebas melakukan
hal apa saja termasuk tindak kriminal seperti korupsi.
|
2.
Para kelompok kepentingan dalam politik seperti para calon partai
melakukan tindakan yang melanggar nilai/norma agama seperti adanya adanya
partai politik yang melakukan sogok menyogok agar dapat berhasil dalam
misinya
|
3.
Para kelompok penekan adalah suatu kelompok yang sering menekan
kelompok agama lain karena menganggap bahwa ajaran agamanya paling benar, dan
agama lain salah.
|
4.
Para kelompok penekan yaitu para pemegang kekuasaan menggunakan
kekuasaannya untuk menghalalkan segala cara agar terlihat seperti orang patuh
kepada agama dengan menjaga kesucian agama agar masyarakat dapat terus
berpihak kepadanya.
|
5.
Tokoh politik ialah adalah sesorang yg mengemban suatu
kepercayaan dari masyarakat/rakyat untuk membawa pembaharuan dan
kesejahteraan ke arah tatanan yg lebih baik menurut sistem Negara.
|
- Analisis
a. Agama adalah cara yang
dipakai manusia dalam menghidupkan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan diatas
jangkauan manusia yaitu kekuatan ghaib dan pada kekuatan tersebutlah
kepercayaan manusia menggantungkan harapannya. Agama adalah petunjuk bagi
manusia untuk membedakan baik dengan buruk, benar dengan salah, indah dengan
jelek, kemudian petunjuk itu dianggap berasal dari Tuhan yang dapat dibuktikan
keberadaannya secara etika, logika dan estetika.
b.
Politik adalah pengetahuan yang memiliki obyek, subyek, metodologi,
system, terminology, ciri, teori yang khas dan spesifik serta diterima di
seluruh dunia disamping dapat diajarkan dan dipelajari oleh banyak orang.
c.
Negara adalah suatu alat organisasi kedaerahan dan kewilayahan yang
memilki system politik yang melembaga dari rakyat, keluarga, desa dan
pemerintah yang lebih tinggi. Selanjutnya organisasi ini memiliki kewenangan
untuk membuat rakyatnya tentram, aman, teratur, terkendali disatu pihak dan
dilain pihak dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama.
- Diskusi
1. Unsur-unsur agama ialah: (1)ajaran, (2)iman, (3)ritus atau upacara,
(4)praktek, (5)nilai/norma.
2. Agama ialah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin
berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah.
Terdapat beberapa unsur
dalam agama yaitu Ajaran Allah sebagai konsep hidup, iman sebagai interaksi,
Ritus (upacara), praktek,nilai/norma
Politik adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara.Pengertian ini merupakan
upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Negara merupakan sebuah relasi dimana manusia
mendominasi manusia, sebuah relasi yang ditopang oleh sarana kekerasan yang
legitimate (atau yang dipandang sebagai legitimate).
3.
Unsur-unsur
politik adalah : (1)partai politik, (2)kelompok kepentingan, (3)kelompok
penekan, (4)alat komunikasi, (5)aliran sesat.
4. Hubungan politik dengan
agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil
pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Daftar Rujukan
Mubaraq, Zulfi.
2010. Sosiologi Agama. Malang. UIN
Maliki Press.
Echol, John M.
2005. kamus Indonesia Inggris.
Jakarta: PT.Gramedia.
Ishomuddin.
2002. Pengantar Sosiologi Agama.
Jakarta: Ghalia Indonesia-UMM Press.
Tim Gama press.
2010. Kamus Ilmiaah Populer. Jakarta:
Gama Press.
Weber, Max.
2006. Soiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Qodir, Zuly.
2011. Sosiologi Agama. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Ramlan Subarki,Memahami
Ilmu Politik (Jakarta:Grasindo,1992),
http://id.wikipedia.org/wiki/politik (diakses pada 29 September 2013)
Supardan, Dadang. 2009. Pengantar Ilmu
Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.
Riddle,
Donald H. and Robert S. 1965. Cleary,Political
Science in the social studies. Washington: National Council for the social
studies.
Qardhawi, Yusuf. 1997. Daurul
Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishad al-Islami (Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam), terj. Didin Hafidhuddin dkk., Jakarta, Robbani Press
[23] Imam Suprayogo,”Kiai dan Politik di
Pedesaan:Sebuah Kajian Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik
Kiai”dalam Jurnal STAIN (Malang:LP3M.1998),63
[34]Ibid,91
[35] . Deliar Noer,”Islam dan Politik”dalam
prisma:Jurnal ilmu social dan politik .(Jakarta:LP3ES,1988) ,19-21.
[36]Zulfi Mubaraq, Konspirasi Politik Elit Tradisional di
era Reformasi (Yogyakarta:Aditya Media,2006),6-8
[59] . Deliar Noer,”Islam dan Politik”dalam
prisma:Jurnal ilmu social dan politik .(Jakarta:LP3ES,1988) ,19-21.
[60]Zulfi Mubaraq, Konspirasi Politik Elit Tradisional di
era Reformasi (Yogyakarta:Aditya Media,2006),6-8
0 komentar:
Posting Komentar