Senin, 30 Desember 2013

Hubungan Agama dengan Politik dan Negara



A.      PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang

Puji syukur Alhamdulillah kami haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari segala kemungkaran.Tak lupa Sholawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi محمد Shollallohu’alaihi Wasallam,keluarga dan sahabat Nabi,Allahuma Amin.Tak lupa pula kami ucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang  telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini hingga selesai,lebih-lebih kepada dosen kami Bapak Dr. H.Zulfi Mubaroq M.Ag yang benar-benar sabar membimbing kami dalam menyusun makalah ini dengan benar.
Makalah Sosiologi Agama yang berjudul Hubungan Agama dengan politik dan negara ini berisi tentang pembahasan mengenai seputar agama,politik dan Negara.Seperti yang kita ketahui Selama ini khazanah politik senantiasa menempatkan antara agama dan Negara selalu berbeda-beda secara yuridis,padahal dalam kenyatannya agama selalu hadir dalam ruang publik politik,sehingga memerlukan sebuah konstruksi baru tentang agama dan Negara secara memadai.
Pemisahan secara tegas antara agama dengan Negara hampir tidak dikenal dimana pun di seantero dunia,karena agama selalu hadir dalam Negara dan Negara berkepentingan dengan agama.Dalam suatu masyarakat politik dimana pun tidak ada pembatasan yang jelas antara agama dan Negara,wacana publik bukannya menuntut adanya dominasi politik terhadap agama atau sebaliknya,melainkan menekankan peranan pemerintahan untuk mewujudkan hubungan dan tanggung jawab yang mengikuti tuntutan nilai-nilai yang berlandaskan kehidupan spiritual.Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Sosiologi Agama dan untuk lebih memahami tentang hubungan agama,politik dan Negara.Kami berharap setelah pembaca membaca makalah ini,pembaca dapat menambah pengetahuan yang baru,dan dapat mengaplikannya.


2.        Rumusan Masalah
1.      Apa saja unsur-unsur agama ?
2.      Apa apa pengertian politik dan Negara ?
3.      Apa saja unsur-unsur politik dan Negara ?
4.      Apa hubungan agama dengan politik dan Negara ?

3.      Tujuan
1.      Ingin  memahami unsur-unsur agama.
2.      Ingin memahami pengertian politik dan Negara.
3.      Ingin memahami unsur-unsur politik dan Negara.
4.      Ingin memahami hubungan agam dengan politik dan Negara.

B. PEMBAHASAN

1.    Pengertian dan Unsur – unsur Agama

a.        Pengertian Agama
Secara etimologi agama berasal dari Sansekerta “agama” yang berarti sebagai tradisi dalam bahasa indonesianya berarti “tidak kacau”,dengan kata lain terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan yang mendasari kelakuan”tidak kacau”itu.[1] Pengetahuan dan kepercayaan tersebut menyangkut hal-hal keilahian dan kekudusan.
Kata agama disini konotasinya lebih dekat kepada agama Hindu dan Budha.Akan tetapi setelah digunakan dalam bahasa Indonesia pengertiannya mencakup semua agama.
Dalam bahasa inggris disebut religion atau religi,berasal dari bahasa latin religio atau relegere yang berarti “mengumpulkan”atau “membaca”[2].Dalam hal ini,religion hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia.[3] Dalam Kamus Ilmiah Popular kata Agama berarti keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan.Sedangkan dalam Bahasa Arab disebut Din (دين) yang artinya ajaran atau kepercayaan yang mempercayai satu atau beberapa kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam,manusia dan jalan hidupnya.[4]
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya.
b.      Unsur-unsur Agama
Dalam dïnul-islãm (‘agama Islam’) keempat unsur itu terungkap melalui Hadis Jibril, yang mencakup butir-butir di bawah ini.[5]
1)      Ajaran Allah sebagai konsep hidup
Dalam dialog tentang iman, Rasulullah menegaskan tentang masalah terpenting dari dïnul-islãm, yaitu adanya interaksi antara seorang mu’min dengan ajaran Allah, yang disampaikan (diajarkan) melalui malaikat-malaikatNya, dalam bentuk kitab-kitab, yang diterima rasul-rasulNya, untuk mencapai tujuan akhir (kehidupan yang baik di dunia dan akhirat), dengan menjadikan ajaran Allah sebagai qadar (ukuran; standard; teori nilai) baik-buruk menurutNya.[6]
2)      Îmãn sebagai interaksi
Iman pada hakikatnya adalah interaksi (aksi timbal balik) antara Allah sebagai pemberi konsep hidup dengan mu’min yang menyambut da’wah (ajakan; tawaran) Allah melalui rasulNya. Selanjutnya, interaksi itu berlangsung intensif  melalui penghayatan seorang mu’min terhadap Al-Qurãn, sehingga Al-Qurãn menjadi satu-satunya konsep hidup yang tumbuh subur dalam “organ kesadaran” (al-qalbu)  mu’min, yang selanjut meledak dan membanjir keluar melalui indra pengucapan (al-lisãnu), dan akhirnya menjelma menjadi berbagai bentuk tindakan dan kretifitas (al-‘amalu). Tepat seperti dinyatakan Rasulullah, misalnya dalam hadis riwayat Ibnu Majah:  الإيمان عقد بالفلب و إقرار باللسان و عمل بالأركان .[7]
3)      Ritus (upacara)
Dalam dïnul-islãm ada sejumlah ritus yang dalam Hadis Jibril disebut dengan nama Al-Islãm pula, yaitu:
·         Syahãdah sebagai sumpah setia (bay’ah). Pada masa Rasulullah jelas bahwa syahadat (syahãdah) adalah sebuah ‘upacara’ (ritus) untuk menyatakan sumpah setia seseorang terhadap dïnul-islãm, alias untuk meresmikan rekrutmen seseorang atau sejumlah orang sebagai anggota bun-yãnul-islãm (organisasi Islam).[8]
·         Shalat sebaga sarana pembatinan nilai-nilai Al-Qurãn, sekaligus pembinaan jama’ah/korp Islam. Orang-orang yang menyatakan diri (bersyahadat) sebagai anggota organisasi Islam tentu harus memahami dan menghayati konsep organisasinya, yakni Al-Qurãn. Hal itu dilakukan melalui shalat, yang bacaan pokoknya adalah surat Al-Fãtihan (ummul-qurãn) ditambah dengan surat-surat lain yang terus dipelajarinya. Selain itu, melalui shalat jama’ah, mereka juga belajar untuk membangun sebuah jama’ah atau korp yang rapi dan kompak. [9]
·         Zakat sebagai sistem ekonomi. Zakat, mulai dari zakat harta sampai zakat fitrah, pada hakikatnya melambangkan kesediaan setiap mu’min yang mampu untuk mendanai organisasi dan memperkuat jama’ah. Lebih lanjut, setelah organisasi menjelma menjadi sebuah sistem yang dipercaya untuk menata kehidupan umat (jama’ah mu’min plus komunitas-komunitas lain, seperti terlihat pada Piagam Madinah), maka zakat itu pun dikembangkan menjadi sistem ekonomi masyarakat secara umum.[10]
·         Shaum Ramadhan sebagai pembina ketahanan mental dan fisik dalam menerapkan nilai-nilai Al-Qurãn. Seluruh anggota organisasi jelas membutuhkan pembinaan mental dan fisik, supaya menjadi anggota-anggota yang militan dan tangguh. Shaum Ramadhan adalah sarana yang tepat untuk itu.
·         Haji sebagai sarana pemersatu umat Islam sedunia. Ibadah haji merupakan ritus yang paling istimewa di antara kelima ritus dalam dïnul-islãm. Melalui hajilah umat Islam sedunia berkumpul, menjalin persahabatan, persaudaraan, dan persatuan berdasar kesamaan iman.
4)      Praktik sebagai perwujudan konsep
Dïnul-islãm pada dasarnya adalah agama yang berorientasi pada praktik (amal). Tapi supaya praktinya tidak dilakukan sembarangan, Allah menempatkan rasulNya sebagai tokoh sentral untuk memimpin dan memberikan contoh penerapan setiap aspek ajaran Islam, mulai dari yang bersifat individu sampai pada yang bersifat kemasyarakatan. Tegasnya, pribadi Rasulullah adalah contoh sempurna dari individu mu’min, dan masyarakat yang dibangun beliau bersama jama’ahnya juga, otomatis, merupakan bentuk masyarakat yang ideal. Sebuah masyarakat yang mewakili Al-Qurãn sebagai konsepnya.[11]

2.        Pengertian Politik dan Negara
a.      Pengertian politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.[12]
Dalam internet Wikipedia Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara.Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.[13]
Pengertian politik menurut para ahli:
1)        Johan Kaspar Bluntschli dalam buku The Teory of the State: “Ilmu Politik adalah ilmu yang memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan pengertian dan pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya, dalam berbagai bentuk atau manifestasi pembangunannya.” (The sci ence which is concerned with the state, which endeavor to understand and comprehend the state in its conditions, in its essentials nature, in various forms or manifestations its development).[14]
2)        Roger F. Soltau dalam bukunya Introduction to Politics: “Ilmu Politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu; hubungan antara negara dengan warganegaranya serta dengan negara-negara lain.” (Political science is the study of the state, its aims and purposes … the institutions by which these are going to be realized, its relations with its individual members, and other states).[15]
3)        J. Barents dalam bukunya Ilmu Politika: “Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik mempelajari negara-negara itu dalam melaksanakan tugas-tugasnya.”[16]
4)        Joyce Mitchel dalam bukunya Political Analysis and Public Policy: “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk seluruh masyarakat.” (Politics is collective decision making or the making of public policies for an entire society).[17]
5)        Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam buku Power Society: “Ilmu Politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan”, dan dalam buku Who gets What, When and How, Laswell menegaskan bahwa “Politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana.”
6)        Kosasih Djahiri dalam buku Ilmu Politik dan Kenegaraan: “Ilmu politik yang melihat kekuasaan sebagai inti dari politik melahirkan sejumlah teori mengenai cara memperoleh dan melaksanakan kekuasaan. Sebenarnya setiap individu tidak dapat lepas dari kekuasaan, sebab memengaruhi seseorang atau sekelompok orang dapat menampilkan laku seperti yang diinginkan oleh seorang atau pihak yang memengaruhi.”
Dalam literatur  soiologi, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut istilah politik karena sangat menarik, Mac Iver menyebutkan politik sebagai “negara” , sementara Gillin dan Kingsley Davies menyebutnya sebagai “institusi politik” , adapun James W. Vander Zanden menyebutnya sebagai “perilaku politik”.[18]
Konsep sistem politik merupakan suatu istilah yang mengacu kepada semua proses dan institusi yang mengakibatkan pembuatan kebijakan publik. Perjuangan persaingan kelompok untuk menguasai secara politik adalah aspek yang utama dalam suatu sistem politik. Komponen-komponen berikut ini adalah bagian penting dalam suatu sistem politik menyangkut orang-orang diatur, pejabat yang memiliki wewenang / kekuasaan, suatu proses politis (pemilihan), suatu struktur pemerintah, dan suatu prose pembuatan kebijakan. Kekuasaan mungkin secara luas didistribusikan antar lembaga pemerintah yang ada atau mungkin pula dipusatkan atu atau beberapa komponen.[19]
Dengan demikian, secara sederhana dalam setiap sistem politik akan mencangkup: 1). Fungsi intregasi dan adaptasi terhadap masyarakat, baik keluar ataupun kedalam; 2). penempatan nilai-nilai dalam masyarakat berdasarkan kewenangan; 3). Penggunaan kewenangan/kekuasaan, baik secara sah ataupun tidak. Oleh karena itu, berbicara tentang sistem politik  pada hakikatnya sama halnya dengan berbicara tentang kehidupan politik masyarakat (social political life) yang bersifat infrastruktur, dan kehidupan politik pemerintah (govermental political life) yang bersifat supranatural.[20]
Politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proes pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.[21]
Para ilmuwan politik kontemporer berpandangan bahwa politik ialah proses  pembuatan keputusan  dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang mengikat bagi suatu masyarakat. Perilaku politik berarti suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses dan pelaksanaan keputusan politik dan yang  melakukan kegiatan tersebut ialah pemerintah dan masyarakat. Warga negara memang tidak memiliki fungsi menjalankan pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang menjalankan fungsi pemerintah itu.[22]
Politik dalam makna yang lebih luas, menurut Deutsch yang dikutip Suprayugo adalah koordinasi usaha-usaha serta pengharapan-pengharapan manusia yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan mayarakat.[23]Mirip dengan itu, Parson menyatajan politik sebagai perangkat-perangkat tertentu yang bertalian dan diperlukan untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan masyarakat guna mencapai tujuan, atau menentukan tujuan bersama.[24]
Menurut Jamaliddin Kafie dalam pengantar buku politik islam islam konsepsi dan dokumentasi, bahwa politik adalah suatu kebijakan untuk mengatur suatu pemerintahan yang berdaulat atau masyarakat dalam bernegara.[25]
Jalaluddin Rakhmat menandaskan bahwa politik secara sederhana adalah segala hal yang berkaitan dengan permainan kekuasaan. Sebagai seorang politikus, pekerjaannya hanya dua: menghimpun kekuasaan (machtvorming) dan menggunakan kekuasaan (machtaanwending).[26] Ketika seseorang rajin mengunjungi orang-orang yang berpengaruh dan melakukan negosiasi dengan mereka, maka sesungguhnya dia sedang menghimpun kekuasaan. Dan ketika seseorang menyingkirkan lawannya dengan memanipulasi wewenang yang dimilikinya, maka diapun sesungguhnya sedang menggunakan kekuasaannya.[27]
Karakteristikpranata politik adalah sebagai berikut: pertama, adannya suatu komunitas manusia secara sosial bersatu (hidup bersama) atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama. Kedua, adanya asosiasi politik atau pemerintah yang aktif. Ketiga, asosiasi politik tersebut melaksanakan fungsi-fungsi untuk kepentingan umum. Keempat, asosiasi politik tersebut diberi kewenangan yang jangkauannya dibatasi dalam teritorial tertentu.[28]
James W. Vender Zanden menyebutkan pranata politik dimasyarakat manapun pada dasarnya selalu memiliki keempat fungsi, yakni: 1). Fungsi pemaksaan norma 2). Fungi merencanakan dan mengarahkan 3). Fungsi menengahi pertentangan kepentingan 4). Fungsi melindungi masyarakat dari serangan dari luar.
Sementara itu, Gillin dalam versi lain menyebutkan tiga fungsi pranata politik, yaitu: 1) mengatur hubungan-hubungan didalam masyarakat 2) mengatur dan menyelenggarakan kepentingan serta kebutuhan seluruh anggota masyarakat 3) melindungi warganya dari serangan musuh atau negara lain.[29]
Dari berbagai definisi, pembangunan politik memiliki tiga karakteristik, yakni: 1) tekanan pada deferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan struktur politik; 2) tekanan pada persamaan, teruytama pada ide, yang menyatakan perlunnya keikut sertaan rakyat dalam politik; dan 3) tekanan kemampuan suatu sitem politik yang semakin berkembang dalam menggerakan perubahan sosial dan ekonomi. Berdasarkan pengertian ini, Donald Smith menekankan, diferensiasi sistem harus diikuti oleh sekerelasi politik. Pertama-tama harus disisihkan sistem religio-politik tradisional, yaitu memisahkan struktur politik dan struktur keagamaaan.[30]
Sistem politik keagamaan tradisional ada empat, yaitu: 1) komponen ideologis untuk sistemnya disediakan sepenuhnya oleh agama; tak ada satupun   dari ideologi-ideologi sekuler; 2) masyarakat politik suatu sistem politik keagamaan tradisional identik dengan masyarakat agama dalam teori dan secara subtansial, demikian pila dalm kenyataannya; 3) suatu sistem sosial yang terintegrasi dan terabsahkan secara keagamaan, bukan merupakan aparat pemerintah yang efisien, sehingga membuat penguasa dapat memelihara stabilitas didalam alam pada suatu jangka waktu tertentu yang dapat diperhitungkan; 4) para sepesialisasi agama melaksanakan ritual-ritual esensial yang mengabsahkan kekuasaan kerajaan; 5) fungsi-fungsi keagamaaan bersifat ekstensif; dia adalah tuan besar dari kelas kepemimpinan agama; mengangkat hirarki mereka dan menegakkan disiplin dikalangan mereka sendiri; dia pula yang memanggil majelis-majelis agama bersidang untuk menyatakan kembali doktrin-doktrin agama dan menindas bid’ah-bid’ah.[31]
Ada dua model dasar dari system politik keagamaan tradisional, yaitu :
1)      Model organis, dicirikan oleh sebuah konsepsi penyatuan fungsi-fungsi agama dan politik yang dilaksanakan oleh suatu struktur yang menyatu.
2)      Model gereja, dicirikan oleh persekutuan yang erat antara dua institusi yang berbeda, pemerintah dan kepemimpinan agama dengan saling tukar fungsi-fungsi agama dan politik secara ekstensif. Kedua model di atas haruslah dipahami sebagai tipe-tipe ideal, dan system-sistem politik keagamaan yang ada secara historis tak sempurna.[32]
Politik sebenarnya tidak kotor dan kekuasaan tidak selalu berkaitan dengan politik-kata para psikolog social. Setiap orang terlibat dalam permainan polotik. Ketika seseorang berhubungan dengan orang lain maka dia bersaing dalam menggunakan kekuasaan. Bahkan kekuasaan itu fitrah, kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Manusia itu merindukan dan mencari kekuasaan. David Mc Clelland menyebut tiga kebutuhansosial yang menggerakkan manusia :kebutuhan akan kasih saying, kebutuhan untuk berprestasi dan kebutuhan akan kekuasaan. Tingkat kebutuhan ini pada setiap orang berbeda-beda.[33]
Dalam pembagian jenis kekuasaan, B.H. Raven dalam Sosial Influence and Power. Menyebutkan enam macam kekuasaan.[34]
1)      Ekuasaan koersif. Seseorang memilik kekuasaan ini, jika orang menganggapnya mempunyai kekuatan untuk mendaangkan hukuman dan ganjaran. Untuk menggunakan kekuasaan ini, dia harus selalu mengawasi perilaku orang lain. Raven menyebut kekuasaan ini disebut dengan istilah ”public dependent”.
2)      Kekuasaan informasi. Seseorang berkuasa terhadap orang lain karena dia memiliki informasi yang diperuka orang tersebut. Tetapi begitu informasi itu disampaikan, maka dia akan kehilangan kekuasaan itu.
3)      Kekuasaan referent. Seseorang erkuasa terhadap orang lain, karena orang lain mengidendifikasikan dirinya seperti dia, karena orang tersebut ingin seperti dia, karena dia adalah idolanya. Kekuasaan ini timbul karena rasa hormat (bahasa sunda mempunyai kata yang paling tept untuk ini, yaitu “ajrih”).
4)      Kekuasaan legimate. Seseorang berkuasa karena dia memiliki hak istimewa yang dierikan oleh kovensi, tradisi, atau adat kebiasaan. Secara konvensional, pak lurah mempunyai kekuasaan. Misalnya, dia boleh mengubah batas-batas tanah kita untuk kepentingan pembangunan.
5)      Kekuasaan ahli. Seseorang memiliki kekuasaan terhadap orang lain, karena dia memiliki keahlian yang sangat dibutuhkan oleh orang tersebut untuk mencapai tujuannya. Pada akhirnya dia menjadi sumber bantuan untuk orang lain.
6)      Kekuasaan negative. Kekuasaan yang terakhir ini jarang dicapai tapi sering terjadi. Antoniu memuji Brutus supaya orang-orang menentang Brutus. Dengan kekuasaan negative. Seseorang menganjurkan orang lain untuk melakukan perbuatan yang sebaliknya dari apa yang dia anjurkan. Dia memerintahkan orang tersebut untuk berlaku sederhana, supaya mereka berlomba mengejar kemewahan.
Fenomena berikut ini menunjukkan dinamika hubungan antara agama dan politik yang mengalami pasang-surut sesuai degan situasi dan kondisi masyarakat. Menurut Delia Noer, dalam kalangan islam ada empat golongan yang tercatat dalam islam dan polotik.[35]
1)      Pertama, yang memang aktif disertai, disertai sikap menolak terhadap garis yang dianggap menyimpang. Masyumi dahulu yang berbuat demikian, dan kini ada golongan yag berbuat sama. Mereka tidak ingin menyimpan. Bila perlu mereka berbuat ‘uzlah, menyendiri, tidak ikut berpolitik lagi, namun punya sikap.[36]
2)      Kedua, golongan yang bekerjasama dengan pihak penguasa, apapun yang terjadi. NU, PSII, dan PERTI dimasa Demokrasi Terpimpin mencerminkan hal ini. Sesudah Orde Baru cara ini ada yang melanjutkan, terlepas apakah ia masuk pemerintahan atau tidak, apaka ia di partai atau di organisasi masyarakat. Dalam dunia islam telah lama berkembang paham Al-Ghazali yang lebih melihat kepositifan suatu pemerintahan, termasuk pemerintahan yang zalim, ketimbang tidak adanya pemerintah. Yang terakhir ini lebih menimbulkan bahaya. Itu sebabnya kerjasama juga dilakukan dengan pemerintahan yang zalim, atau di Indonesia dengan pemerintah jajahan (termasuk jadi pegawai pemerintah jajahan), dan dengan Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin walaupun diketahui penyimpangannya. KH. Idham Chalid dalam rangka ini merujuk pada pedoman yang dikatakan berasal dari Imam Syafi’i: dar’u al-masafid muqaddamun’ala jalbi al-mashalih-menghindari yang buruk didahulukan daripada mengusahakan yang baik. Pandangan ini mempermudah kerjasama dengan pihak yang “tidak baik”. Pandangan akhir ini membedakan golongan tersebut dari golongan pertama yang seperti berusaha untuk mencari yang sebaik-baiknya dan tidak segera melepas usaha itu bila timbulkesukaan. Golongan kedua, mudah bersifat akomodatif, bahkan bias seperti kutu loncat, tanpa pendirian, selama ibadah bias dilakukan.[37]
3)      Ketiga, lebih melihat islam sebagai ajaran masyarakat yang dirasa kurang atau tidak perlu disertai keterlibatan dalam politik. Mulanya orang seperti Hatta berpendapat demikian, oleh sebab itu dimasa paling aktif, dia mendorong organisasi islam untuk beramal sebanyak-banyaknya ditengah masyarakat agar tercipta suatu lingkungan yang kondusif bagi tegaknya islam. Lingkungan seperti ini akan memprmudah terwujudnya pengertian masyarakat dalam melaksanakan ajaran islam. Tetapi Hatta sendiri pada waktu usaha mendirikan GDII, merasa perlu memberi contoh bagaimana berkecimpung dalam politik dengan ajaran islam-tetapi, seperti dikatakan tadi, maksudnya ini mendapat kendala dari pemerintah. Bila usaha NU untuk kembali ke Khithah 1926 benar-benar terlaksana, dan juga muhammadiyah dengan garisnya tahun 1912, agaknya apa yang diharapkan Hatta semula bias tercipta. Memang tidak mudah bagi kedua organisasi ini untuk bersikap sebagai organisasi kemasyarakatan secara murni, disamping karena ajaran islam menurut yang mereka pahami juga mencakup politik, juga karena pengalama ini memang tidak langsung tetapi pernah dicoba antara lain dengan keanggotaan di parlemen dalam cabinet.[38]
4)      Keempat, menolak sama sekali kaitan islam politik. Mereka berpendapat bahwa islam tidak menyuruh umatnya untuk membentuk Negara (dalam hal ini mereka benar) yang merupakan soal dunia. Menurut mereka, Nabi bukan seorang kepala Negara, termasuk pada mas Madinah. Mereka lebih meliat islam sebagai ajaran moral, dan oleh sebab itu kalaupun ada gerakannya, gerakan itu lebih terletak dibidang budaya. “islam yes,partai islan no” bias mencerminkan sikap ini. Walaupun terbatas, ada persamaan antara pendapat ini dengan pendapat ketiga, bedanya pendapat ketiga lebih bersifat teknis. Pada prinsipnya, kaitan antara islam dan politik tetap diakui.[39]
b.      Pengertian Negara
Negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan dan keberadaannya diakui oleh negara lain, Ketentuan diatas merupakan syarat berdirinya suatu negara menurtt konferenasi Montevideo pada tahun 1933.[40]
Negara merupakan sebuah relasi dimana manusia mendominasi manusia, sebuah relasi yang ditopang oleh sarana kekerasan yang legitimate (atau yang dipandang sebagai legitimate).[41]
3.    Unsur-Unsur Politik
a)      Partai Politik
Menurut Roger F.Soltau Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasi, bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.[42]
Sedangkan menurut Huszar dan Stevenson Partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisasi serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar dapat melaksanakan program-programnya dan menempatkan atau mendudukan anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintahan.[43]
Dari kedua pendapat itu dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak telah terorganisir, dimana anggota-anggotanya memiliki cita-cita, tujuan dan orientasi yang sama. Tujuan dari partai politik ini sendiri adalah memperoleh dan mengendalikan kekuasaan politik atau pemerintahan, dan melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan dengan jalan  menempatkan anggota-anggotanya di dalam jabatan-jabatan politik ataupun pemerintahan.[44]
b)      Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah kelompok yang memiliki tujuan untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik untuk memperoleh keputusan yang menguntungkan dan menghindari keputusan yang merugikan.[45]
Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk memasukkan wakil-wakilnya dalam Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi cukup memengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya, instansi pemerintah, atau ment’ri yang berwenang.
Dengan demikian, kelompok kepentingan memiliki orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik. Selain itu, organisasi kelompok kepentingan lebih longgar daripada partai politik.[46]
c)      Kelompok Penekan
Kedudukan dari kelompok penekan ini dapat memaksa atau mendesak pihak yang berada dalam pemerintahan atau pimpinan agar bergerak ke arah yang diinginkanatau justru berlawanan dengan desakannya.
          Walaupun tujuan akhir dari kelompok penekan ini sama seperti tujuan akhir dari kelompok kepentingan sehingga mereka sering disamakan. Perbedaan dari kelompok penekan dan kelompok kepentingan terdapat pada orientasi mereka.[47]
          Apabila pemerintah membutuhkan pers atau media massa untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat secara cepat dan menyeluruh mengenai peristiwa banjir, maka media massa akan dipergunakan untuk membantu pemerintah dalam menyampaikan hal tersebut.
          Pada kasus tersebut, media massa berfungsi sebagai kelompok kepentingan yang mempunya tugas untuk menyampaikan sesuatu kepada khalayak luas secara menyeluruh dan merata. Orientasi kelompok kepentingan lebih bersifat dari atas ke bawah.[48]
d)     Media Komunikasi
Komunikasi politik pada hakikatnya menggambarkan proses penyampaian informasi-informasi politik, Sebelum membahas komunikasi politik, maka terlebih dahulu kita harus mengenal media komunikasi (media massa). Melalui media massa inilah dapat disampaikan informasi-informasi politik. Adapun media massa yang dikenal antara lain, radio, televisi, pers (surat kabar, majalah). Selain itu, komunikasi politik juga dapat dilakukan melalui kegiatan seperti kampanye, pawai, aksi, rapat terbuka, diskusi, dan seminar.
e)      Tokoh Politik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tokoh adalah seseorang yang menjadi pusat perhatian. Politik sendiri merupakan sebuah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[49]
Dalam suatu negara, orang-orang yang dianggap tokoh politik adalah orang-orang yang berkecimpung dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Umumnya, orang-orang yang bergerak dalam lembaga lainnya seperti lembaga yudikatif (penegakkan hukum dan militer) tidak dianggap sebagai tokoh politik walaupun mereka terlibat dalam tugas pemerintah.[50]
Dari kedua definisi tersebut, tokoh politik adalah seseorang yang menjadi pusat perhatian perhatian di bidang politik dan bergerak dalam dinamika politik yang telah dan sedang berlangsung.[51]

4.      Hubungan antara agama dan politik
Menurut Jamaliddin Kafie dalam pengantar buku politik islam islam konsepsi dan dokumentasi, bahwa politik adalah suatu kebijakan untuk mengatur suatu pemerintahan yang berdaulat atau masyarakat dalam bernegara.[52]
Jalaluddin Rakhmat menandaskan bahwa politik secara sederhana adalah segala hal yang berkaitan dengan permainan kekuasaan. Sebagai seorang politikus, pekerjaannya hanya dua: menghimpun kekuasaan (machtvorming) dan menggunakan kekuasaan (machtaanwending).[53] Ketika seseorang rajin mengunjungi orang-orang yang berpengaruh dan melakukan negosiasi dengan mereka, maka sesungguhnya dia sedang menghimpun kekuasaan. Dan ketika seseorang menyingkirkan lawannya dengan memanipulasi wewenang yang dimilikinya, maka diapun sesungguhnya sedang menggunakan kekuasaannya.[54]
Karakteristikpranata politik adalah sebagai berikut: pertama, adannya suatu komunitas manusia secara sosial bersatu (hidup bersama) atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama. Kedua, adanya asosiasi politik atau pemerintah yang aktif. Ketiga, asosiasi politik tersebut melaksanakan fungsi-fungsi untuk kepentingan umum. Keempat, asosiasi politik tersebut diberi kewenangan yang jangkauannya dibatasi dalam teritorial tertentu.[55]
Sistem politik keagamaan tradisional ada empat, yaitu: 1) komponen ideologis untuk sistemnya disediakan sepenuhnya oleh agama; tak ada satupun   dari ideologi-ideologi sekuler; 2) masyarakat politik suatu sistem politik keagamaan tradisional identik dengan masyarakat agama dalam teori dan secara subtansial, demikian pila dalm kenyataannya; 3) suatu sistem sosial yang terintegrasi dan terabsahkan secara keagamaan, bukan merupakan aparat pemerintah yang efisien, sehingga membuat penguasa dapat memelihara stabilitas didalam alam pada suatu jangka waktu tertentu yang dapat diperhitungkan; 4) para sepesialisasi agama melaksanakan ritual-ritual esensial yang mengabsahkan kekuasaan kerajaan; 5) fungsi-fungsi keagamaaan bersifat ekstensif; dia adalah tuan besar dari kelas kepemimpinan agama; mengangkat hirarki mereka dan menegakkan disiplin dikalangan mereka sendiri; dia pula yang memanggil majelis-majelis agama bersidang untuk menyatakan kembali doktrin-doktrin agama dan menindas bid’ah-bid’ah.[56]
Ada dua model dasar dari system politik keagamaan tradisional, yaitu :
·         Model organis, dicirikan oleh sebuah konsepsi penyatuan fungsi-fungsi agama dan politik yang dilaksanakan oleh suatu struktur yang menyatu.
·         Model gereja, dicirikan oleh persekutuan yang erat antara dua institusi yang berbeda, pemerintah dan kepemimpinan agama dengan saling tukar fungsi-fungsi agama dan politik secara ekstensif. Kedua model di atas haruslah dipahami sebagai tipe-tipe ideal, dan system-sistem politik keagamaan yang ada secara historis tak sempurna.[57]
Politik sebenarnya tidak kotor dan kekuasaan tidak selalu berkaitan dengan politik-kata para psikolog social. Setiap orang terlibat dalam permainan politik. Ketika seseorang berhubungan dengan orang lain maka dia bersaing dalam menggunakan kekuasaan. Bahkan kekuasaan itu fitrah, kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Manusia itu merindukan dan mencari kekuasaan. David Mc Clelland menyebut tiga kebutuhansosial yang menggerakkan manusia :kebutuhan akan kasih saying, kebutuhan untuk berprestasi dan kebutuhan akan kekuasaan. Tingkat kebutuhan ini pada setiap orang berbeda-beda.[58]
Fenomena berikut ini menunjukkan dinamika hubungan antara agama dan politik yang mengalami pasang-surut sesuai degan situasi dan kondisi masyarakat. Menurut Delia Noer, dalam kalangan islam ada empat golongan yang tercatat dalam islam dan politik.[59]
1)      Pertama, yang memang aktif disertai, disertai sikap menolak terhadap garis yang dianggap menyimpang. Masyumi dahulu yang berbuat demikian, dan kini ada golongan yag berbuat sama. Mereka tidak ingin menyimpan. Bila perlu mereka berbuat ‘uzlah, menyendiri, tidak ikut berpolitik lagi, namun punya sikap.[60]
2)      Kedua, golongan yang bekerjasama dengan pihak penguasa, apapun yang terjadi. NU, PSII, dan PERTI dimasa Demokrasi Terpimpin mencerminkan hal ini. Sesudah Orde Baru cara ini ada yang melanjutkan, terlepas apakah ia masuk pemerintahan atau tidak, apaka ia di partai atau di organisasi masyarakat. Dalam dunia islam telah lama berkembang paham Al-Ghazali yang lebih melihat kepositifan suatu pemerintahan, termasuk pemerintahan yang zalim, ketimbang tidak adanya pemerintah. Yang terakhir ini lebih menimbulkan bahaya. Itu sebabnya kerjasama juga dilakukan dengan pemerintahan yang zalim, atau di Indonesia dengan pemerintah jajahan (termasuk jadi pegawai pemerintah jajahan), dan dengan Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin walaupun diketahui penyimpangannya. KH. Idham Chalid dalam rangka ini merujuk pada pedoman yang dikatakan berasal dari Imam Syafi’i: dar’u al-masafid muqaddamun’ala jalbi al-mashalih-menghindari yang buruk didahulukan daripada mengusahakan yang baik. Pandangan ini mempermudah kerjasama dengan pihak yang “tidak baik”. Pandangan akhir ini membedakan golongan tersebut dari golongan pertama yang seperti berusaha untuk mencari yang sebaik-baiknya dan tidak segera melepas usaha itu bila timbulkesukaan. Golongan kedua, mudah bersifat akomodatif, bahkan bias seperti kutu loncat, tanpa pendirian, selama ibadah bias dilakukan.[61]
3)      Ketiga, lebih melihat islam sebagai ajaran masyarakat yang dirasa kurang atau tidak perlu disertai keterlibatan dalam politik. Mulanya orang seperti Hatta berpendapat demikian, oleh sebab itu dimasa paling aktif, dia mendorong organisasi islam untuk beramal sebanyak-banyaknya ditengah masyarakat agar tercipta suatu lingkungan yang kondusif bagi tegaknya islam. Lingkungan seperti ini akan memprmudah terwujudnya pengertian masyarakat dalam melaksanakan ajaran islam. Tetapi Hatta sendiri pada waktu usaha mendirikan GDII, merasa perlu memberi contoh bagaimana berkecimpung dalam politik dengan ajaran islam-tetapi, seperti dikatakan tadi, maksudnya ini mendapat kendala dari pemerintah. Bila usaha NU untuk kembali ke Khithah 1926 benar-benar terlaksana, dan juga muhammadiyah dengan garisnya tahun 1912, agaknya apa yang diharapkan Hatta semula bias tercipta. Memang tidak mudah bagi kedua organisasi ini untuk bersikap sebagai organisasi kemasyarakatan secara murni, disamping karena ajaran islam menurut yang mereka pahami juga mencakup politik, juga karena pengalama ini memang tidak langsung tetapi pernah dicoba antara lain dengan keanggotaan di parlemen dalam cabinet.[62]
4)      Keempat, menolak sama sekali kaitan islam politik. Mereka berpendapat bahwa islam tidak menyuruh umatnya untuk membentuk Negara (dalam hal ini mereka benar) yang merupakan soal dunia. Menurut mereka, Nabi bukan seorang kepala Negara, termasuk pada mas Madinah. Mereka lebih meliat islam sebagai ajaran moral, dan oleh sebab itu kalaupun ada gerakannya, gerakan itu lebih terletak dibidang budaya. “islam yes,partai islan no” bias mencerminkan sikap ini. Walaupun terbatas, ada persamaan antara pendapat ini dengan pendapat ketiga, bedanya pendapat ketiga lebih bersifat teknis. Pada prinsipnya, kaitan antara islam dan politik tetap diakui.[63]
Unsur-unsur agama
Unsur-unsur Poliik
Contoh-contoh
1.      Ajaran
a.       Partai Politik
1.e Korupsi
2.      Iman
b.      Kelompok Kepentingan
2.b Politik uang
3.      Ritus (upacara)
c.       Kelompok Penekan
3.c pengeboman gereja
4.      Praktek
d.      Alat Komunikasi
4.c Politik kotor
5.      Nilai/norma
e.       Tokoh Politik
5.aliran sesat

Penjelasan
1.      Tidak sedikit dari tokoh politik yang melakukan tindak kriminal dengan menyalahgunakan kepercayaan masyarakat dengan begitu bebas melakukan hal apa saja termasuk tindak kriminal seperti korupsi.
2.      Para kelompok kepentingan dalam politik seperti para calon partai melakukan tindakan yang melanggar nilai/norma agama seperti adanya adanya partai politik yang melakukan sogok menyogok agar dapat berhasil dalam misinya
3.      Para kelompok penekan adalah suatu kelompok yang sering menekan kelompok agama lain karena menganggap bahwa ajaran agamanya paling benar, dan agama lain salah.
4.      Para kelompok penekan yaitu para pemegang kekuasaan menggunakan kekuasaannya untuk menghalalkan segala cara agar terlihat seperti orang patuh kepada agama dengan menjaga kesucian agama agar masyarakat dapat terus berpihak kepadanya.
5.      Tokoh politik ialah adalah sesorang yg mengemban suatu kepercayaan dari masyarakat/rakyat untuk membawa pembaharuan dan kesejahteraan ke arah tatanan yg lebih baik menurut sistem Negara.

C.    ANALISIS DAN DISKUSI
  1. Analisis
a.      Agama adalah cara  yang dipakai manusia dalam menghidupkan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan diatas jangkauan manusia yaitu kekuatan ghaib dan pada kekuatan tersebutlah kepercayaan manusia menggantungkan harapannya. Agama adalah petunjuk bagi manusia untuk membedakan baik dengan buruk, benar dengan salah, indah dengan jelek, kemudian petunjuk itu dianggap berasal dari Tuhan yang dapat dibuktikan keberadaannya secara etika, logika dan estetika.
b.      Politik adalah pengetahuan yang memiliki obyek, subyek, metodologi, system, terminology, ciri, teori yang khas dan spesifik serta diterima di seluruh dunia disamping dapat diajarkan dan dipelajari oleh banyak orang.
c.       Negara adalah suatu alat organisasi kedaerahan dan kewilayahan yang memilki system politik yang melembaga dari rakyat, keluarga, desa dan pemerintah yang lebih tinggi. Selanjutnya organisasi ini memiliki kewenangan untuk membuat rakyatnya tentram, aman, teratur, terkendali disatu pihak dan dilain pihak dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama.

  1. Diskusi
D. KESIMPULAN

1.      Unsur-unsur agama ialah: (1)ajaran, (2)iman, (3)ritus atau upacara, (4)praktek, (5)nilai/norma.
2.      Agama ialah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah.
Terdapat beberapa unsur dalam agama yaitu Ajaran Allah sebagai konsep hidup, iman sebagai interaksi, Ritus (upacara), praktek,nilai/norma
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara.Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Negara merupakan sebuah relasi dimana manusia mendominasi manusia, sebuah relasi yang ditopang oleh sarana kekerasan yang legitimate (atau yang dipandang sebagai legitimate).
3.      Unsur-unsur politik adalah : (1)partai politik, (2)kelompok kepentingan, (3)kelompok penekan, (4)alat komunikasi, (5)aliran sesat.
4.      Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Daftar Rujukan

Mubaraq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. Malang. UIN Maliki Press.
Echol, John M. 2005. kamus Indonesia Inggris. Jakarta: PT.Gramedia.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia-UMM Press.
Tim Gama press. 2010. Kamus Ilmiaah Populer. Jakarta: Gama Press.
Weber, Max. 2006. Soiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Ramlan Subarki,Memahami Ilmu Politik (Jakarta:Grasindo,1992),
http://id.wikipedia.org/wiki/politik (diakses pada 29 September 2013)
Supardan, Dadang. 2009. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.
Riddle, Donald H. and Robert S. 1965. Cleary,Political Science in the social studies. Washington: National Council for the social studies.
Qardhawi, Yusuf. 1997. Daurul Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishad al-Islami (Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam), terj. Didin Hafidhuddin dkk., Jakarta, Robbani Press



[1]  Ishomuddin,Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta:Penerbit Ghalia Indonesia-UMM Press,2002)
[2] John M.Echol,kamus Indonesia Inggris(Jakarta:PT.Gramedia 2005)
[3] Ishomuddin,Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta:Penerbit Ghalia Indonesia-UMM Press,2002)hal.84
[4] Tim Gama press,Kamus Ilmiaah Populer(jakarta:Penerbit Gama Press,2010)
[5] http://ruthmichellee.wordpress.com/2013/04/04/pengertian-tentang-partai-politik//
[6] ibid
[7] Ishomuddin,Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta:Penerbit Ghalia Indonesia-UMM Press,2002)
[8] http://ruthmichellee.wordpress.com/2013/04/04/pengertian-tentang-partai-politik//
[9] ibid
[10]  Ishomuddin,Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta:Penerbit Ghalia Indonesia-UMM Press,2002)

[11]  http://ruthmichellee.wordpress.com/2013/04/04/pengertian-tentang-partai-politik//
[12] Max weber,Soiologi(Jakarta:Pustaka Pelajar,2006)57.
[13]  http://id.wikipedia.org/wiki/politik (diakses pada 29 September 2013)
[14] DR.H.Inu Kencana,MSi,Ilmu Politik(Jakarta:PT rineka Cipta 2010)
[15] Ibid 45
[16] DR.H.Inu Kencana,MSi,Ilmu Politik(Jakarta:PT rineka Cipta 2010) hal,46
[17] Ibid 46
[18] Zulfi Mubaraq,Sosiologi agama (Malang:Uin-Maliki Press ,2010),87
[19] Zulfi mubaraq,sosiologi agama,hal:87.
[20] Ibid,88.                                                                                               
[21] ibid,88
[22] Ibid,88                                             
[23] Imam Suprayogo,”Kiai dan Politik di Pedesaan:Sebuah Kajian Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai”dalam Jurnal STAIN (Malang:LP3M.1998),63
[24] Zulfi  Mubaraq, Sisiologi Agama, 88.
[25] Ibid,89
[26] Rahmat,Islam Aktual:Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim(Bandung:Mizan,1992),112
[27] Zulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 89
[28] Zulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 89.
[29] Ibid,90
[30] Ishomuddin,Pengantar sosiologi Agama (Jakarta :PT.Ghalia Indonesia-UMM Press,2002),86    
[31] Zulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 91
[32]  Ibid,91
[33]Z ulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 91.
[34]Ibid,91

[35] . Deliar Noer,”Islam dan Politik”dalam prisma:Jurnal ilmu social dan politik .(Jakarta:LP3ES,1988)  ,19-21.
[36]Zulfi Mubaraq, Konspirasi Politik Elit Tradisional di era Reformasi (Yogyakarta:Aditya Media,2006),6-8
[37] Ibid, 6-8
[38] Ibid, 6-8
[39] Z ulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 93.
[40] Ibid,74                                                                          
[41] Max weber,sosiologi, 93
[42] Ramlan Subarki,Memahami Ilmu Politik (Jakarta:Grasindo,1992) hal 12
[43] Ibid,13
[44] Ibid,14
                                                                                
[47]  ibid                                                            
[48] ibid
[49] Ramlan Subarki,Memahami Ilmu Politik (Jakarta:Grasindo,1992),hal 13
[50] Ibid,15
[51] Ibid,16
[52] Ibid,89
[53] Rahmat,Islam Aktual:Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim(Bandung:Mizan,1992),112
[54] Zulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 89
[55] Zulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 89.
[56] Zulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 91
[57]  Ibid,91
[58]Z ulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 91.
[59] . Deliar Noer,”Islam dan Politik”dalam prisma:Jurnal ilmu social dan politik .(Jakarta:LP3ES,1988)  ,19-21.
[60]Zulfi Mubaraq, Konspirasi Politik Elit Tradisional di era Reformasi (Yogyakarta:Aditya Media,2006),6-8
[61] Ibid, 6-8
[62] Ibid, 6-8
[63] Z ulfi, Mubaraq, Sisiologi Agama, 93.

0 komentar:

Posting Komentar