A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan taufik serta hidayahNya kepada kami hingga makalah ini
dapat kami selesaikan. Makalah ini yang berjudul Hubungan Sosiologi Agama
dengan Sosial Budaya disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama,
kelompok 8, semester 3, kelas B, jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Tarbiyah dengan Dosen Pengampu Dr.
H. Zulfi Mubaraq, M.Ag.
Topik ini sangat penting untuk dibahas, agar mengerti dan
memahami Hubungan Agama dengan Sosial Budaya, menghindari kesalah pahaman, agar
kajian-kajian setelahnya tidak rancu, agar
mengetahui definisi dari hubungan sosiologi agama, dan sosial budaya. Dengan
mempelajari sosiologi agama diharapkan agar kita juga dapat menjadikan dasar
ataupun acuan untuk perilaku kita di kehidupan nyata.
Isi global
dari makalah ini adalah pembahasan tentang pengertian sosiologi, agama dan sosial budaya secara etimologi maupun terminologi.Dalam makalah ini
kami sengaja memisah-misah kata dan mencari pengertiannya yang terdiri dari
pengertian sosiologi, pengertian agama, dan pengertian sosiologi agama itu
sendiri, agar jelas dan dapat dipahami dengan mudah. Dari makalah ini dikaji
secara detail dan terperinci mengenai sosiologi,agama dan sosiologi agama dari
berbagai sumber.
2.
Tujuan Pembahasan
a.
Ingin memahami unsur-unsur agama
b.
Ingin memahami pengertian secara etimologi dan terminologi
sosial dan budaya.
c.
Ingin
memahami unsur-unsur soial budaya
d.
Ingin memahami hubungan agama dengan sosial budaya.
3.
Rumusan Masalah
a.
Apa unsur-unsur agama ?
b.
Apa pengertian secara etimologi dan terminologisosial
dan budaya?
c.
Apa
unsur-unsur sosial
budaya ?
d.
Bagaimana hubungan agama dengan sosial budaya?
B.
POKOK PEMBAHASAN
1.
Unsur-unsur agama
Menurut Sayyid Hossein Nasr, agama itu sangat penting
bagi manusia (M. Fauzi,2007: 25)[1].
Tanpa agama belum menjadi manusia yang utuh. Hanya turut sertanya dalam tradisi
yang berupa petunjuk Tuhan tentang cara hidup dan berfikir yaitu dapat membawa
manusia kepada kesadaran tentang arti dirinya dan hidupnya. Sehingga
masing-masing individu memilki pengalaman keagamaan yang berlainan.Berkaitan
dengan hal ini, menurut Hendropuspito di dalam bukunya Muh.Fuad (2007:73)[2],
agama didefinisikan dengan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang
dipercayainya, dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka
dan masyarakat luas pada umumnya. Maka dari itu, agama meliputi unsur-unsur
sebagai berikut:
1.
Agama disebut jenis
sistem sosial. Ini hendak menjelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial,
suatu peristiwa kemasyarakatan. Suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena
terdiri atas kaidah yang kompleks dan peraturan yang dibuat saling berkaitan
dan terarahkan kepada tujuan tertentu.
2.
Agama berporos pada
kekuatan-kekuatan nonempiris. Ungkapan ini menjelaskan bahwa agama itu khas
berkaitan dengan kekuatan-kekuatan dari ?dunia luar? yang di?huni?oleh
kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan dipercayai
sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi.
3.
Manusia mendayagunakan
kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat
sekitarnya. Yang dimaksud dengan kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di
dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di?dunia lain? yang dimasuki manusia
setelah kematian.[3]
Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Bustanuddin
Agus (2006: 60)[4],
ada lima aspek komponen religi dalam kehidupan beragama yaitu :
1.
Emosi keagaman adalah
suatu tingkah laku dalam kehidupan yang menyatakan kepercayaan dalam kehidupan
2.
Sistem keyakinan adalah
suatu ajaran atau anutan yang di percayai atau di yakini dalam suatu kehidupan
3.
Sitem ritus dan upacara
adalah pengadaan suatu acara yang di adakan di suatu tempat yang di yakini di
dalam suatu kehidupan masyarakat
4.
Peralatan ritus dan
upacara adalah dalam suatu pengadaan acara yang di yakini dalam kehiduapan
terdapat benda- benda yang diyakini sebagai perantara
5.
Umat beragama adalah
suatu masyarakat yang meyakini suatu kepercayaan yang di anut dalam kehidupan
Beberapa pandangan di atas memberikan pemahaman bahwa
agama merupakan sebuah sistem kepercayaan yang di dalamnya syarat dengan
aturan-aturan yang harus ditaati dan doktrin-doktrin dalam sebuah agama
sehingga manusia mengenal Tuhan, alam ghaib lainnya, dan dapat menghubungkannya
dalam alam nyata.[5]
Berlandaskan keyakinan ini manusia tergerak untuk
memenuhi segala aturan agamanya yang diwujudkan dalam perilaku
keberagamaannya.Semuanya dimaksudkan untuk mencapai keselamatan atau
kebahagiaan hidup baik di dunia ataupun akhirat.Sehingga dapat dikatakan bahwa
perilaku keberagamaan merupakan aktualisasi atau perwujudan dari pemahaman dan
keyakinan agama yang dianut oleh seorang pengikut suatu agama.
2.
Pengertian secara etimologi dan terminology sosial dan
budaya
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan
secara dialetik.Ketiganya berdampingan dan berimpitansaling menciptakan dan
meniadakan.Hubungan manusia, masyarakat, dan kebudayaan pun berada dalam
dialektita gamsut.Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi masyarakat,
pada sisi lain, secara bersamaan manusia secara kodrati senantiasa berhadapan
dan berada dalam masyarakatnya, homosocius. Manusia tidak akan eksis bila
terpisah dari masyarakatnya. Dengan kata lain, masyarakat (sebagai kumpulan
dari individu-individu manusia) diciptakan oleh manusia, sedangkan manusia itu
sendiri merupakan produk dari masyarakat. Kedua hal ini menggambarkan adanya
dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan
dialektika social
Pengertian agama dapat melahirkan bermacam-macam definisi atau
arti.Oleh karena itu supaya kita dapat mempunyai pengertian yang luas, perlu
disajikan dari bermacam-macam agama yang berbeda.
Tetapi kita tidak mengatakan bahwa rumusan atau pengertian agama
tidak perlu, sebab definisi itu mengandung suatu makna yang menjiwai hidup
keagamaan itu. Yang mungkin belum atau tidak perlu ialah rumusan atau definisi
yang berlaku dan diterima oleh semua agama, sebab setiap agama mempunyai sudut
pandang yang berbeda satu sama lain.[6]
a.
Pengertian Agama secara Etimologi
1)
Agama adalah keyakinan dan kepercayaan kepada
Tuhan; akidah din (ul); ajaran/kepercayaan yang mempengaruhi satu atau beberapa
kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam, manusia dan jalan hidupnya.[7]
2)
Agama adalah keyakinan, religi; kepercayaan;
beragama / beriman, memegang kitab, memeluk / menganut agama, keagamaan /
keimanan, religiositas.[8]
3)
Agama adalah segenap kepercayaan (kepada
Tuhan, dewa,dsb) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan itu: misalnya Islam, Buddha, Kristen; kaum,
orang-orang yang beragama memeluk: menjadi orang yang beragama (Islam dsb)
menjalankan, beribadat; melakukan segala sesuatu menurut agama.[9]
4)
Agama adalah bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Sanskerta
yaitu “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”. Jadi “agama”
berarti kacau, dengan pengertian terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai
dengan pengetahuan dan kepercayaan yang mendasari kelakuan “tidak kacau” itu.[10]
5)
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata
lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latinreligio dan
berakar pada kata kerjare-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi,
seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.[11]
b.
Pengertian Agama secara Terminologi
Dalam Islam, agama disebut al-Din (the religion). Al
Din hanya untuk agama Islam sebab hanya ada dalam al-Qur’an. Sedangkan
agama-agama lain disebut adyan (religious) atau din (a
religion).
Elliade mendefiniskan agama sebagai “seperangkat nilai, ide, atau
pengalaman yang berkembang dalam acuan cultural.”Menurut Smith tidak ada
pengertian agama yang altinitif. Ada empat hal yang terkandung dalam pengertian
agama: (1) suatu kesalehan pribadi yang mengacu kepada kualitas kehidupan
keagamaan seseorang; (2) dan (3) terdapat kata yang memperlihatkan suatu system
yang jelas tentang kepercayaan, praktik-praktik dan nilai-nilainya. (4) terdapat “agama” yang disajikan secara
umum, yaitu “agama pada umumnya”. Pengertian pertama membedakan seseorang
dengan orang lain dalam hal mengayatan agamanya; pengertian kedua dan ketiga
membedakannya dengan agama yang lain; dan pengertian keempat membedakan agama
denga aspek kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosial, dan seni. Akibatnya,
diskursus agama dalam negara sudah jelas.[12]
Dalam mendefnisikan agama, para sosiolog
berbeda perspektif antara lain;
1)
Agama sebagai suatu yang tidak akan memberika penilaian
lagi mengenai sumber atau fungsinya yaitu agama sebagai kepercayaan terhadap
adanya wujud-wujud spiritual. Namun ketidakpuasan dikemukakan terhadap definisi
itu terlalu bercorak intelektualitas, dan tidak mengacu pada emosi-emosi
khidmat dan hormat yang secara khusus bicara keagamaan/kepercayaan.
2)
Agama merupakan ekspresi susatu bentuk
ketergantungan pada kekuatan spiritual atau moral dari diri individu. Ekspresi
penting dari rasa ketergantungan ini adalah peribadatan dan kewajiban sosial.
3)
Agama adalah sistem integral dari berbagai
kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda skaral,
benda-benda terpisah dan terlarang.
4)
Agama adalah sistem kepercayaan dan
peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka mengatasi
persoalan-persoalan tertinggi dalam kehidupan. Definisi ini lebih cenderung
kepada definisi fungsional daripada definisi valutatif atau substantif.
5)
Agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan
yang tertinggi.
6)
Agama adalah sistem lambang yang berfungsi menegakkan
berbagai perasaan dan motivasi yang kuat, berjangkauan luas dan abadi pada
manusia dengan merumuskan berbagai konsep tentang keteraturan umum eksistensi
dan dengan menyelubungi konsepsi-konsepsi ini dengan sejenis penampakan secara
faktual sehingga perasaan dan motivasi tersebut secara unik tampak realistik.
7)
Agama adalah kepercayaan yang hadir pada saat
wujud-wujud bukan manusia dipuja-puja dengan cara manusia. Kegiatan-kegiatan
keagamaan tidak hanya praktik pemujaan saja, namun semua prilaku yang ada
kaitannya dengan eksistensi wujud-wujud tersebut.[13]
Dan Jevons berpendapat bahwa kata agama
berasal dari bahasa Inggris “religion” dan berasal dari kata kerja dalam bahasa
Latin “religere” yang berarti ibadat yang berasaskan pada ketundukan, rasa
takut, dan hormat. Namun, gambaran keagamaan seperti ini hanya dapat digunakan
dalam mengartikan agama Samawi (langit). Padahal hasil-hasil studi lapangan
dalam bidang Antropologi menunjukkan bahwa pada bangsa-bangsa primitif ada
pola-pola keberagamaan (pattern og religiousity) berupa ibadat yang tiak
mengandung unsur ketundukan dan rasa takut, bahkan memuat sikap “kurang ajar”
terdapat Tuhan seperti terdapat pada agama-agama berhala, terutama ketika
mendapat kemalangan atau kekalahan. Misalnya sebagian besar bangsa Arab
Jahiliyyah menghantam patung-patung mereka sendiri, apabila mereka mengalami
kekalahan perang.
Cicero (abad 15 SM) pembuat hukum Romawi,
agama adalah anutan yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan. Sementara
Emanuel Kant, mengatakan bahwa agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan
perintah-perintah Tuhan. Herbert Spencer dalam Principles of Sociology, berpendapat
bahwa faktor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan tidak terbatas
atau kekuasaan yang tidak dapat digambanrkan batas waktu atau tempatnya. E. B.
Tylor dalam buku The Primitive Culture, Religion is belief in spiritual
being, agama adalah keyakinan tentang adanya makhluk spiritual. Keyakinan
ini merupakan dasar dari kebudayaan animis. Max Muller berpendapat bahwa agama
adalah suatu untuk menyatakan apa yang mungkin digambarkan. Mengenal Tuhan
merupakan kesempurnaan mutlak yang tiada terbatas atau cinta kepada Tuhan yang
sebenarnya. Emile Burnaof berpendapat bahwa agama adalah ibadah dan ibadah
adalah amaliah campuran. Agama merupakan amalia akal manusia yang mengakui
adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, juga amaliah hati manusia yang berwajjuh
untuk memmohon rahmat dari kekuatan tersebut. James Redfield mengatakan bahwa
agama adalah pengarahan manusia agar tingkah lakunya sesuai dengan perasaan
tentang adanya hubungan dengan jiwanya dengan jiwa yang tersembunyi, yang diakui
kekuasaannya atas dirinya dan atas dirinya sekalian alam, dan dia rela merasa
berhubungan seperti itu. Pandangan Guyao, agama adalah gambaran umum di seluruh
duni tentang bentuk persatuan umat manusia dan perasaan keagamaan adalah
perasaan mengenai keterlibatan kita dengan kehendak-kehendak lain, yang oleh
manusia primitif dipusatkan pada alam.[14]
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial
manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara
berfikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious).
Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam superstruktur: agama terdiri
atas tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana
makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena
agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam
struktur sosial.[15]
Suatu agama adalah suatu system
kepercayaan yang disatukan oleh praktif yang bertalian dengan hal-hal yang
suci, yakni hal-hal yang dibolehkan dan dilarang – kepercayaan dan
praktik-praktik yang mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut gereja,
semua mereka yang terpaut satu sama lain (Durkheim, 1965). Saya merumuskan
agama sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan
manusia dengan kondisi akhir eksistensinya (Bellah, 1964).Jadi agama dapat
dirumuskan sebagai suatu system kepercayaan dan praktik dimana suatu kelompok
manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia (Yinger,
1970).[16]
3.
Unsur-unsur sosial budaya
Betapa pentingnya kebudayaan dapat
disimpulkan dari pendapat-pendapat dua antropolog terkemuka, yaitu :
Melville J. Herkovit dan Brownislaw
yang mnemukakan pengertian Cultural Determinism, yang berarti bahwa
segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh adanya
kebudayaanyang dimiliki oleh masyarakat.[17]
Kemudian Herkovit memandang kebudayaansebagai sesuatu yang super organic,
karena kebudayaan yang berturun-temurun dari generasi ke generasi tetap hidup
terus, meskipun orang-orang yang menjadi anggota anggota masyarakat senantiasal
silih berganti disebabkan oleh kematian dan kelahiran.[18]
1)
Secara etimologi Kata
kebudayaan berasal daribahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata LatinColere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia.[19]Kata
kebudayaan berasal dari Sansekerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak
dari kata “buddi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal
yang bersangkutan dengan budi atau akal.[20]
Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau di
pelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari
segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola berfikir., merasakan, dan
bertindak. Seorang sosiolog mau tidak mauharus menaruh perhatian pada
objek-objek kebudayaan, akan tetapi terutama dia menaruh perhatian pada
perilaku sosial, yaitu pola-pola perilaku yang membentuk struktur sosial dari
masyarakat. Jelas bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh peralatan yang
dihasilkannya serta ilmu pengetahuan yang dimiliki atau yang didapatkannya ,
akan tetapi seorang sosiolog lebih menaruh perhatiannya pada perilaku sosial.[21]
Menurut Clifford Geertz
mendefinisikan kebudayaan adalah sebagai berikut:
a.
Keseluruhan suatu hidup masyarakat
b.
Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya
c.
Suatu cara berfikir, merasa dan percaya
d.
Suatu abstraksi dari tingkah laku
e.
Suatu teori pada pihak antropolok tentang cara suatu kelompok
masyarakat nyatanya bertingkah laku
f.
Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar
g.
Seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah-masalah yang
sedang berlangsung
h.
Tingkah laku yang dipelajari
i.
Suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normatif
j.
Seperangkat teknik untuk menyesuakan diri dengan lingkungan luar maupun
dengan orang lain
2)
Secaraterminologis budaya adalah cara berfikir dan
cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari golongan manusia
yang membentuk kesatuan sosial, dalam suatu ruang dan suatu waktu.[23]
a)
Pengertian budaya menurut
para tokoh
1)
Menurut E.B. Tylor (1817) dalam bukunya Soerjono Soekanto yang
berjudul Sosiologi Suatu Pengantar menyebutkan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurutSelo soemardjan dan soelaeman soemardi
dalam bukunya Soerjono Soekanto merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil
karya, rasa, cipta masyarakat.[24]
2)
Menurut pendapat kuntowijoyo
dalam bukunya budaya dan masyarakat menyebutkan bahwa budaya adalah sebuah sistem
yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku,
mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik,
kepercayaan mempunyai kaitan erat dengannya.
3)
Para pakar antropolog mendefinisikan budaya dalam beberapa segi
diantaranya; menurut (linton 1940)
dalam bukunya Roger M. Keesing dan Samuel Gunawan yang berjudul Antropologi
Budaya bahwa budaya adalah keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan
kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
4)
Menurut (Kluckhohn dan Kelly 1945), dalam bukunya Roger M. Keesing
dan Samuel Gunawan yang berjudul Antropologi Budaya menyebutkan bahwa(semua) rancangan hidup yang tercipta secara
historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, dan
nonrasional, yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang potensial untuk
perilaku manusia.
5)
Menurut (Kroaber 1948),
dalam bukunya Roger M. Keesing dan Samuel Gunawan yang berjudul Antropologi
Budaya bahwa budaya adalahKeseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan
dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan dan perilaku yang
ditimbulkannya.
6)
Menurut (Herskovits 1955), dalam bukunya
Roger M. Keesing dan Samuel Gunawan yang berjudul Antropologi Budaya bahwa
budaya adalahBagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.
7)
Menurut (Kroeber dan Kluckhohn 1952) dalam bukunya Roger M. Keesing
dan Samuel Gunawan yang berjudul Antropologi Budaya bahwa budaya adalahPola, eksplisit dan implisit, tentang dan untuk perilaku yang
dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol, yang merupakan prestasi
khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda budaya.[25]
4.
Hubungan sosiologi agama dengan
sosial budaya
Masalah agama dalam kebudayaan dapat
dihubungkan dalam konteks perubahan.Ketika agama dihubungkan dalam konteks
perubahan. Ketika agama
dihubungkan dalam kontek perubahan-perubahan dalam berbagai cara yang rumit.
Agama dapat berperan dalam penggerak dan penunjang perubahan atau justru
menjadi lawan yang tangguh dan tegar.Agama dapat pula terlibat dalam perubahan
atau posisinya menjadi jauh dari pusat perubahan yang menentukan, atau efeknya
dirasakan jauh kemudian.
Agama adalah unsur sentral
kebudayaan dan fundamental.Kebudayaan dalam arti keseluruhan, isi konkrit yang
ter kandung didalamnya dapat saja menjadi harmonis atau konflik dengan situasi
yang berkembang dalam masyarakat.Asumsi ini dapat membantu kita bahwa dalam
kaitannya hubungan agama dengan kebudayaan itu agama memegang peran penting
bagi manusia.[26]
Gambaran tentang hubungan agama
dengan kebudayaan adalah sebagai berikut :pertama, suatu “rancangan
dramatis” yang berfungsi untuk mendapatkan kembali sense of flux atau
gerak yang sinambung dengan cara menanamkan pesan dan proses serentak dengan
penampilan tujuan, maksud dan bentuk historis. Kedua, agama, seperti
halnya kebudayaan, merupakan transformasi simbolis pengalaman yang bagi orang
beragama sebagai suatu penyelamatan, narural atau super natural, dalam makna
pengalaman yang lebih dalam. Ketiga, agama merupakan “sistem pertahanan”
yaitu kepercayaan dan sikap yang akan melindungi kita melawan kesangsian,
kebimbangan dan agresi yang menjengkelkan. Keempat, agama juga merupakan
suatu “sitem pengarahan” yang tersusun dari unsur-unsur normatif yang membentuk
jawaban dari berbagai tingkat pemikiran, perasaan, dan perbuatan.Kelima,
agama juga mencakup “simbol ekonomi” yang mengalokasikan nilai-nilai simbolis
dalam bobotr yang berbeda-beda.[27]
Dampak dari model hubungan hubungan
antara “agama dan sistem budaya”, diharapkan agama yang ada apapun justru
dituntut menunjukkan kebaikannya, karena semua agama diyakini mengajarkan
kebaikan yang menyibukkan diri dalam mempertinggi dan memperbanyak amalan
langsung atau kongkret sesuai ajaran yang ditawarkan. Mengajak orang yang
berlainan agama diutamakan agar menyampaikan bukti fungsional agama
bersangkutan, bukan hanya sekedar berupa eksposisi epistimologi benar atau
tidaknya ajaran agama, walaupun hal ini tetap perlu. Jika bukti fungsional
agama ini yang menjadi tema besar, maka akan terjaminlah prinsip keselarasan
yang di idamkan masyarakat yang telah bisa menghayati makna “manunggaling
kawula Gusti” dan nilai-nilai leluhurnya dan sekaligus mampu menyumbang
kerukunan hidup beragama secara fungsional. [28]
Dalam kaitannya dengan hubungan
agama dengan sosial budaya, ada metode dalam sosiologi agama yang menggunakan
daerah atau lingkungan kebudayaan sebagai sudut pandangnya. Daerah yang
dimaksud adalah masyarakat, dilihat dari segi kebudayaan, antara lain :
alat-alat, senjata, adat-istiadat, kebiasaan dan cara berfikir dan cara
bertindaknya berkembang melalui tingkatan-tingkatan tertentu. Daerah kebudayaan
tersebut disebut dengan horizon yang terdiri atas lima[29],
yaitu :
1.
Horizon yang pertama adalah, ialah horizon primitif, yaitu suatu
tingkat kebudayaan yang meliputi cara hidup, praktik-praktik keagamaan dan adat
istiadat dari manusia pemangku kebudayaaan mengumpulkan makanan dari bangsa
berburu. Agama yang dikenal oleh pemangku kebudayaan ini adalah perasaan takut,
teka-teki dan memuja benda-benda yang mempunyai mana, yaitu benda-benda
yang menarik perhatian dengan cara-cara tertentu. Kekuatan yang terkandung
didalam benda-benda yang menarik perhatian itu dianggap sebagai suatu zat, mana,
benda-benda rahasia itu memiliki kekuatan yang dapat membahayakan kehidupan
manusia atau menyelamatkannya.
2.
Horizon yang kedua, adalah horizon animisme dengan manusia pemangku
kebudayaan yang sudah tergolong dalam kabilah-kabilah atau kelompok yang tidak
lagi sebagai bangsa pengembara pengumpul makanan dan berburu, tetapi telah muli
bertempattinggal pada desa-desa tertentu, telah memiliki hidup sebagai pengolah
tanah. Mereka telah mulai menggunakan alat sebangsa pacul, tetapi mereka belung
menggunakan bajakdalam mengerjakan tanah perkebunan yang tidak begitu luas.
Agama dari manusia pemangku kebudayaan ini juga disebut animisme
yang berarti kepercayaan terhadap makhluk halus yang tidak
kelihatan.Kadang-kadang tampak seperti hantu, tetapi pada umumnya tidak
terlihat dan hidup pada dunia tersendiri.Kadang-kadang terlihat terlepas dari
tubuh kasar dan pada suatu keadaan juga bertubuh.
3.
Horizan ketiga, ialah horizon pertranian, dengan manusia pemangku
kebudayaan yang sudah mengerjakan tanah yang dapat menghasilkan makanan mereka,
terutama bangsa padi-padian. Pengolahan tanah secara besar-besaran sudah
mengenal yang namanya irigasi dan menggunakan bajak dan memelihara hewan secara
besar-besaran. Tersedianya jumlah makanan yang besar pada khususnya dan perbaikan
kehidupan pada umumnya sebagai akibat dari ditemukannya pertanian dan
peternakan yang mengakibatkan pertumbuhan penduduk dalam jumlah besar. Dengan
demikian marga (clan) berubah menjadi kabilah (tribe)dan kabilah menjadi suku
(hordes) yang tidak lagi terbatas pada suatu daerah yang kecil dan sempit.
Mereka sudah mulai meluaskan daerah tempat tinggalnya dengan jalan
penaklukan-penaklukan. Di daerah-daerah baru itu, mereka menjadi bangsa baru,
membentuk kerajaan-kerajann, kekaisaran-kekaisaran, yang melahirkan kebudayaan
kuno, seperti lembah sungai furat, di lembah sungai nil, indus, dan akhirnya di
yunani dan romawi.[30]
Agama dari manusia pemangku kebudayaan ini ialah
adanya kecenderungan untuk memperorangkan
roh-roh dan makhluq horizon primitif dan animisme.Dengan demikian, roh-roh dan
makhluk itu telah mempunyai bentuk dan kekuasaan dan
ditunjukkan dalam bentuk dewa-dewa dengan suatu daerah kekuasaan.
4.
Horizon keempat iayalah,tingkatan kebudayaan dari bangsa-bangsa
kuno yang sudah berkebangsaan tinggi. Reruntuhan kebudayaan mereka sangat
berkesan bagi manusia modern sekarang ini.
Bangsa-bangsa kuno yang berkebudayaan tinggi itu memiliki suatu kesamaan
sejarah, yaitu bahawa sistem pemerintahan mereka dibentuk berdasarkan kelompok
itu.
Agama dari manusia pemangku kebudayaan ini adalah sistem politik
dan sosial yang dianutnya, dan biasanya politheistis dengan suatu masyarakat
dewa, seperti senat dalam pemerintahan republik, atau kadang-kadang seperti
Mahkamah Agung. Dewa-dewa mereka itu sudah sungguh-sungguh berbentuk orang dan
diwujudkan dengan bentuk cara yang menarik sebagai akibat bertambahnya
kemampuan berfikir dari golongan yang ada dalam masyarakat kuno itu dan juga
sebagai akibat dari golongan pendeta yang makin lama makin dipercaya dalam tugas-tugas
yang berhubungan dengan agama dan yang menentukan cara-cara berhubungan dengan
Tuhan atau dewa-dewa di dalam kuil.
5.
Horizon kelima, erat kaitannya dengan hubungan dan sifat-sifat
terpenting yang dimiliki oleh horizon keagamaan sebelumnya, yitu bertambahnya
kemampuan untuk renungan-renungan yang konseptual dalam bentuk kebudayaan kuno
tersebut, kemudian untuk membentuk konsepsi-konsepsi moral dan agama dari
keadaan-keadaan yang memungkinkan perkembangan tokoh-tokoh besar, seperti para
Nabi, filosof, dana tokoh-tokoh yang mengajarkan akhlaq dan agama, yaitu
kira-kira sejak 2.000 tahun sebelum Masehi sampai zaman berikutnya,
memungkinkan untuk menanamkan horizon ini dengan horizon kenabian.
Horizon ini seolah-olah berkembang
pada satu pihak pada saat-saat tertentu yaitu pada abad ke-9 sampai abad ke-3
sebelum Masehi dan pada daerah-daerah tertentu yang terbentang sejak Mesir
sampai Yunani, melalui palestina sampai mesopotamia sampai ke india dan
tiongkok, muncullah sejumlah guru dan pemikir dengan corak berfikir sebagai
bangsa yang beradab dan berpengaruh besar terhadap agama dan filsafat sampai
pada zaman sekarang ini. Seolah-olah diatur dalam ruang dan waktu yang sempit
itu terdapatlah sejumlah ahli-ahli filsafat dalam zaman keagungan Yunani,
Nabi-nabi bangsa Israel, ahli-ahli filsafat dan tokoh-tokoh Sufi di India kuno,
termasuk Budha dan tokoh-tokoh yang mengajarkan soal-soal akhlaq dan agama di
Tiongkok yang biasanya dihubungkan dengan nama zaman Confusius.
Disaming itu dapat ditambahkan
tokoh-tokoh pemikir yang terdiri dari raja-raja dan pendeta-pendeta di Mesir
dan Metopotamia, seperti pemikir agama yang luar biasa, ialah raja Akhenaton
dan raja pembuat undang-undang Hammurabi.Di Palestina dapat kita sebutkat
Rasul-rasul Bani Israil, ialah Ibrahim dan Musa.Di Iran dan Persia dapat kita
sebutkan Zoroaster.Zoroaster adalah seorang nabi bagi bangsa Indo Iran dan
Persia.Zoroaster membawa kabar gembira pada suatu bangsa yang sedang mengerjaka
suatu daerah pertanian secara besar-besaran dan ajarannya adalah monoteisme.
Akibat lainnya dari perkembangan individu dalam kebudayaan kuno itu, ialah
munculnya agama yang diajarkan oleh tokoh-tokoh besar seperti Zoroaster, Budha,
Muhammad, Musa, dan beberapa nabi bangsa Hebrew dan Yesus Kristus.
Ajaran Islam yang demikian telah mendorong umatnya
untuk mengerahkan segala daya dan upaya bagi kebaikan dan kesejahteraan umat
manusia, termasuk dalam pengembangan kebudayaan.Upaya-upaya tersebut kemudian
telah menghasilkan suatu prestasi peradaban baru yang tinggi yang dikenal
dengan “peradaban Islam” yang dalam sejarahnya telah memberikan andil yang
cukup besar bagi kemajuan peradaban dunia.Ayat-ayat Alquran memang banyak
memberikan dorongan kepada umat manusia bagi pengembangan kebudayaan.[31]
Sifat akomodatif Islam terhadap
budaya tidak berarti bahwa Islam menerima begitu saja segala wujud kebudayaan
yang ada.Karena jika demikian Islam seolah-olah dipahami tidak memiliki
nilai-nilai dasar bagi pengembangan kebudayaan.
Motivasi yang diberikan Alquran dan hadis nabi dalam
hal pengembangan budaya dalam sejarah Islam terbukti telah menghasilkan pretasi
budaya yang luar biasa.Puncaknya sebagaimana terlihat pada masa Abbasiah yang
kemudian dikenal dengan kebudayaan Islam.Prestasi demikian didukung oleh peran
penguasa Islam (khalifah), yang memberikan perhatian terhadap pengembangan
budaya. Para ilmuwan sangat dilindungi, diberikan perhatian yang istimewa oleh
para penguasa tanpa memandang latar belakang ilmuwan tersebut: apakah beragama
Islam atau tidak, bangsa Arab atau tidak. Tidak hanya itu, orang-orang yang
kaya yang memiliki harta berlimpah juga umumnya sangat menaruh perhatian yang
cukup besar dalam hal pengembangan budaya. Sebagian harta mereka digunakan untuk
pengembangan budaya Dengan kata lain segenap elemen masyarakat terlibat dan
mendukung dalam hal pengembangan ilmu dan budaya. Kondisi demikianlah yang
menyebabkan umat Islam berhasil menjadi bangsa yang besar bangsa yang memiliki
prestasi luar biasa dalam melahirkan budaya, yang dikenal dengan kebudayaan
Islam.Kebudayaan ini sesungguhnya lahir dari kemampuan umat Islam dalam
mengembangkan berbagai budaya yang telah berkembang dan mapan pada masa
sebelumnya, terutama kebudayaan Romawi, dan Persia.
Kebudayaan yang dikembangkan oleh umat Islam
tersebut meliputi berbagai bidang keilmuwan, seperti Medis, Astronomi, Fisika,
Matematika, arsitektur, dan ilmu-ilmu lain di samping ilmu agama.
Ilmuwan-ilmuwan yang sangat berjasa dalam pengembangan ilmu tersebut di
antaranya adalah Ibn Rusyd, Al-Farabi, Al-Kindi (Filosof), Ibn Sina
(kedokteran), Al-Mawardi (tata negara), Al-Biruni (Fisika), Al-Khawarizmi, Umar
Khayyam (matematika), dan lain-lain.
Kebudayaan Islam pada masa itu dianggap
sebagai yang spektakuler’ sungguh prestasi budaya yang sangat tinggi di saat
kebudayaan lain,khususnya Eropa masih dalam tahap kemunduran .[32]
Hubungan yang terjalin di antar agama dan kebudayan
dapat dilakukan dengan mengenal secara utuh esensi, tujuan dan peran agama dan
kebudayaan dalam masyarakat.
Meski sebagian orang mengingkari adanya hubungan
antara agama dan kebudayaan namun sejatinya pandangan ini tidak memiliki dasar
dan pijakan.Adapun perkara bahwa sebagian unsur dari kebudayaan lantaran tidak
sejalan dengan tujuan-tujuan transedental agama samawi yaitu sampainya manusia
kepada kesempurnaan, bertolak belakang dengan agama atas alasan ini tidak
diterima oleh agama, merupakan perkara yang jelas.Akan tetapi banyak unsur
kebudayaan yang sejalan dengan program dan agenda agama.Dan adalah suatu hal
yang wajar apabila mendapatkan sokongan agama. Dari sisi yang lain, banyak hal
dari kebudayaan yang disuguhkan dalam tataran nilai-nilai yang
dimunculkan dari agama.
Ø
Dalil-dalil dalam Al-Qur’an
Manusia adalah makhluk sosial yang
tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya.Semua itu adalah dalam
rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat.Orang kaya tidak dapat hidup
tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya.Demikian
pula orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan
mengupahnya.Demikianlah seterusnya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَهُمْيَقْسِمُوْنَرَحْمَةَرَبِّكَنَحْنُقَسَمْنَابَيْنَهُمْمَعِيْشَتَهُمْفِيالْحَيَاةِالدُّنْيَاوَرَفَعْنَابَعْضَهُمْفَوْقَبَعْضٍدَرَجَاتٍلِيَتَّخِذَبَعْضُهُمْبَعْضًاسُخْرِيًّاوَرَحْمَةُرَبِّكَخَيْرٌمِمَّايَجْمَعُوْنَ
Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Kebutuhan untuk berkelompok ini
merupakan naluri yang alamiah, sehingga kemudian muncullah ikatan-ikatan –
bahkan pada manusia purba sekalipun.Kita mengenal adanya ikatan keluarga,
ikatan kesukuan, dan pada manusia modern adanya ikatan profesi, ikatan negara,
ikatan bangsa, hingga ikatan peradaban dan ikatan agama.[33]
TABEL HUBUNGAN AGAMA DENGAN SOSIAL
BUDAYA
No.
|
Agama
|
No.
|
Sosial budaya
|
contoh
|
keterangan
|
1.
|
Sitem social
|
1.
|
Keseluruhan
|
Keyakinan adat istiadat
|
Warisan yang diturunkan
|
2.
|
Kekuatan-kekuatan neonpiris
|
2.
|
Warisan social
|
Perayaan maulid nabi
|
Menjadi maulidan
|
3.
|
Kepentingan atau keselamatan
|
3.
|
Cara berfikir
|
Menjauhi petir ketika hujan
|
Keyakinan diberikan kepada masyarakat
|
4.
|
Emosi keagamaan
|
4.
|
Abstraksi dari tingkah laku
|
Egois dalam keagamaan
|
Terlalu fanatic dalam agama
|
5.
|
System keyakinan
|
5.
|
Teori pada pihak antropolog
|
Interaksi sosial
|
sosialisasi
|
6.
|
System ritus dan upacara
|
6.
|
Gudang hasil belajar
|
pancasila
|
Kepercayaan dalam kehidupan sosisal
|
7.
|
Peralatan ritus dan upacara
|
7.
|
Seperangkat orientai-orientasi standar
|
Sesajen
|
Benda yang diyakini
|
8.
|
Umat beragama
|
8.
|
Tingkah laku
|
Tahlilan (agama islam)
|
Kebiasaan yang dilakukan
|
C.
ANALISIS DAN DISKUSI
1.
Analisis
Menurut
pendapat kelompok kami sebelum kita mengetahui arti tentang sosiologi agama, kita
harus mengetahui terlebih dahulu tentang sosiologi, dan lanjut ke pengertian
agama, langkah yang terakhir adalah kita bisa menyimpulkan sendiri apa itu yang
dimaksud dengan sosiologi agama secara etimologi maupun terminologi.
Sosiologi adalah suatu
ilmu yang mempelajari tentang kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam
masyarakat terdapat individu, keluarga, kelompok, organisasi, aturan-aturan dan
lembaga-lembaga, yang kesemuanya itu merupakan suatu kebulatan yang utuh.Dalam
hal ini sosiologi ingin mengetahui kehidupan bersama dalam masyarakat, baik
yang menyangkut latar belakang, permasalahan dan sebabmusababnya.Untuk
mengetahui kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu teori.
Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan
bersama dalam masyarakat akan senantiasa berkembang terus, terutama apabila
masyarakat menghadapi ancaman terhadap pedoman yang pada masanya telah mereka
gunakan. Krisis yang demikian cepat atau lambat akan melahirkan pemikiran
sosiologis.
Bicara mengenai sosiologi, langsung atau tidak
langsung membicarakan diri kita sendiri, membicarakan keluarga dan lingkungan
kita.Dan ternyata, pembicaraan ini tidak pernah ada ujungnya, karena seiring
dengan perubahan zaman dan kemajuan technologi, sikap dan perilaku manusia juga
ikut berubah. Intinya saya mau tanya, kira kira siapa yang dianggap ahli
sosiologi pada zaman sekarang ini. Kalau memang ada, kita harapkan beliau bisa
merumuskan dengan tepat sehingga bisa dijadikan bahan pendekatan dan
peyelesaian masalah bangsa kita pada saat ini, terutama bagaimana dengan ilmu
sosiologi bisa menghilangkan korupsi di Indonesia. Artinya, Pakar Sosiologi
jangan hanya mempelajari atau menganalisa yang sudah atau sedang terjadi,
bagaimana kalau mengadakan kajian bagaimana sifat bangsa Indonesia dalam kurun
waktu satu atau dua dekade mendatang, sehingga dengan kajian tersebut bisa
mengeleminasi kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
Agama adalah kehidupan manusia sebagai
individu berfungsi sebagai suatu system nilai yang memuat norma-norma
tertentu.Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap
dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya.Sebagai
system nilai agama memiliki arti khusus dalam kehidupan individu serta
dipertahankan sebagai bentuk cirri khas. Menurut Mc. Guire, diri manusia memiliki bentuk system nilai
tertentu. System nilai ini merupakan suatu yang dianggap bermakna bagi dirinya.
System ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat system
ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, institusi pendidikan dan masyarakat luas.
Menurut kelompok kami agama adalah idiologi, cara pandang seseorang bagaimana
orang itu menentukan arah hidupnya di dunia ini. Jika seseorang tidak memiliki
agama sama saja dengan orang itu tidak punya dasar atau pandangan hidup, dan
akan mengalami kesusahan karena tidak tahu tujuan hidup sesungguhnya. Agama
memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari, agama mempengaruhi pola
piker dan perilaku seseorang.
Sedangakan sosiologi agama adalah hubungan timbal balik
antara agama dan seluruh masyarakat, bagaimana masyarakat itu sendiri
mengaplikasikan, karena agama dimasyarakat tidak hanya satu tapi ada beberapa
agama. Jadi setiap agama berbeda-beda pespektif bagaimana mengartikan sosiologi agama. Kenapa bisa berbeda? Karena dalam pandangan
tersebut terdapat unsur agamanya, jelas sekali agama yang satu dengan agama
yang lain berbeda pula cara menafsirkan tentang sosiologi agama.
Akan tetapi dalam artian yang lebih umum, bahwa
pengertian sosiologi agama adalah suatu ilmu budaya empiris, profane, dan
positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari
struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan, dan
gejala-gejala kekelompokan keagamaan.Kami setuju
dengan pendapat Drs. D. Hendropuspito, O.C dalam bukunya "Sosiologi
Agama" menerangkan bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi
umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai
keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu
sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Karena
Sosiologi agama merupakan ilmu agama yang dipandang dari segi sosial dimana
seseorang diharapkan mampu menempatkan segala sikap, perilaku serta cara
berpakaian dimanapun tempatnya agar seseorang itu dapat menyatu dan
menyesuaikan dirinya di lingkungan manapun, dalam artian masyarakat diperboleh
menentukan segala sesuatu sesuai dengan situasi, kondisi dan lingkungan sekitar
tanpa mengabaikan nilai dan dasar agama. Dengan begitu kita tidak akan merasa
aneh dengan orang-orang sekitar, tetapi kita juga masih dalam taraf wajar
sesuai dengan ketentuan agama yang kita anut atau yakini.
2.
Diskusi
D. KESIMPULAN
Unsur-unsur agama
1.
Agama disebut jenis
sistem sosial. Ini hendak menjelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial,
suatu peristiwa kemasyarakatan. Suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena
terdiri atas kaidah yang kompleks dan peraturan yang dibuat saling berkaitan
dan terarahkan kepada tujuan tertentu.
2.
Agama berporos pada
kekuatan-kekuatan nonempiris. Ungkapan ini menjelaskan bahwa agama itu khas
berkaitan dengan kekuatan-kekuatan dari ?dunia luar? yang di?huni?oleh
kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan dipercayai
sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi.
3.
Manusia mendayagunakan
kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat
sekitarnya. Yang dimaksud dengan kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di
dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di?dunia lain? yang dimasuki manusia
setelah kematian.
4.
Emosi keagaman adalah
suatu tingkah laku dalam kehidupan yang menyatakan kepercayaan dalam kehidupan
5.
Sistem keyakinan adalah
suatu ajaran atau anutan yang di percayai atau di yakini dalam suatu kehidupan
6.
Sitem ritus dan upacara
adalah pengadaan suatu acara yang di adakan di suatu tempat yang di yakini di
dalam suatu kehidupan masyarakat
7.
Peralatan ritus dan
upacara adalah dalam suatu pengadaan acara yang di yakini dalam kehiduapan
terdapat benda- benda yang diyakini sebagai perantara
8.
Umat beragama adalah
suatu masyarakat yang meyakini suatu kepercayaan yang di anut dalam kehidupan
Pengertian secara etimologi dan
terminologi sosial dan budaya
Pengertian Agama secara Etimologi
1.
Agama adalah keyakinan dan kepercayaan kepada
Tuhan; akidah din (ul); ajaran/kepercayaan yang mempengaruhi satu atau beberapa
kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam, manusia dan jalan hidupnya.
2.
Agama adalah keyakinan, religi; kepercayaan;
beragama / beriman, memegang kitab, memeluk / menganut agama, keagamaan /
keimanan, religiositas.
3.
Agama adalah segenap kepercayaan (kepada
Tuhan, dewa,dsb) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan itu: misalnya Islam, Buddha, Kristen; kaum,
orang-orang yang beragama memeluk: menjadi orang yang beragama (Islam dsb)
menjalankan, beribadat; melakukan segala sesuatu menurut agama.
4.
Agama adalah bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Sanskerta
yaitu “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”. Jadi “agama”
berarti kacau, dengan pengertian terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai
dengan pengetahuan dan kepercayaan yang mendasari kelakuan “tidak kacau” itu.
5.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata
lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latinreligio dan
berakar pada kata kerjare-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Pengertian Agama secara Terminologi
Dalam Islam, agama disebut al-Din (the religion). Al
Din hanya untuk agama Islam sebab hanya ada dalam al-Qur’an. Sedangkan
agama-agama lain disebut adyan (religious) atau din (a
religion).
Elliade mendefiniskan agama sebagai
“seperangkat nilai, ide, atau pengalaman yang berkembang dalam acuan
cultural.”Menurut Smith tidak ada pengertian agama yang altinitif. Ada empat
hal yang terkandung dalam pengertian agama: (1) suatu kesalehan pribadi yang
mengacu kepada kualitas kehidupan keagamaan seseorang; (2) dan (3) terdapat
kata yang memperlihatkan suatu system yang jelas tentang kepercayaan,
praktik-praktik dan nilai-nilainya. (4) terdapat “agama” yang disajikan secara
umum, yaitu “agama pada umumnya”. Pengertian pertama membedakan seseorang
dengan orang lain dalam hal mengayatan agamanya; pengertian kedua dan ketiga
membedakannya dengan agama yang lain; dan pengertian keempat membedakan agama
denga aspek kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosial, dan seni. Akibatnya,
diskursus agama dalam negara sudah jelas.
unsur-unsur sosial budaya
b.
Keseluruhan suatu hidup masyarakat
c.
Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya
d.
Suatu cara berfikir, merasa dan percaya
e.
Suatu abstraksi dari tingkah laku
f.
Suatu teori pada pihak antropolok tentang cara suatu kelompok
masyarakat nyatanya bertingkah laku
g.
Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar
h.
Seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah-masalah yang
sedang berlangsung
i.
Tingkah laku yang dipelajari
j.
Suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normative
k.
Seperangkat teknik untuk menyesuakan diri dengan lingkungan luar
maupun dengan orang lain
l.
Suatu endapan sejarah.
Hubungan agama
dengan sosial budaya
Agama adalah unsur sentral
kebudayaan dan fundamental.Kebudayaan dalam arti keseluruhan, isi konkrit yang
ter kandung didalamnya dapat saja menjadi harmonis atau konflik dengan situasi
yang berkembang dalam masyarakat.Asumsi ini dapat membantu kita bahwa dalam
kaitannya hubungan agama dengan kebudayaan itu agama memegang peran penting
bagi manusia. Gambaran
tentang hubungan agama dengan kebudayaan adalah sebagai berikut :pertama,
suatu “rancangan dramatis” yang berfungsi untuk mendapatkan kembali sense of
flux atau gerak yang sinambung dengan cara menanamkan pesan dan proses
serentak dengan penampilan tujuan, maksud dan bentuk historis. Kedua,
agama, seperti halnya kebudayaan, merupakan transformasi simbolis pengalaman
yang bagi orang beragama sebagai suatu penyelamatan, narural atau super
natural, dalam makna pengalaman yang lebih dalam. Ketiga, agama
merupakan “sistem pertahanan” yaitu kepercayaan dan sikap yang akan melindungi kita
melawan kesangsian, kebimbangan dan agresi yang menjengkelkan. Keempat,
agama juga merupakan suatu “sitem pengarahan” yang tersusun dari unsur-unsur
normatif yang membentuk jawaban dari berbagai tingkat pemikiran, perasaan, dan
perbuatan.Kelima, agama juga mencakup “simbol ekonomi” yang
mengalokasikan nilai-nilai simbolis dalam bobotr yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Mubaraq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. Malang: UIN-MALIKI PRESS
Manaf, Mudjahid Abdul. 1996. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PTRajaGrafindoPersada
Tim Gama Press.2010.Kamus Ilmiah Populer edisi Lengkap.
Jakarta: Penerbit Gama
Press
Shadily. Hassan. 1973 Ensiklopedia Umum.
Jakarta: Penerbit Jajasan Kanisius
Ishomuddin. 2002. Sosiologi Agama. Jakarta Selatan: Ghalia Indonesia
Sidi gazalba, kebudayaaan sebagai ilmu.Jakarta:
Pustaka Antara
At-Tirmidzi dalam
Sunan-nya 4/465, cet. Musthafa Al-Babi, Mesir, cet. II
Kahmad.
Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama. Bandung:
CV PUSTAKA SETIA
[1]M. Fauzi,2007: 25
[2]Muh. Fuad (2007:73)
[3]Dadang
kahamad,
[4]Bustanuddin Agus (2006:
60)
[5]Ibid, dadang kahamad.
[6]
Drs. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, 1997, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, hal 1
[7]Tim Gama Press, Kamus Ilmiah Populer edisi Lengkap, 2010: Penerbit
Gama Press, hal 21
[8]Ibid, hal 9
[10]
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, 2010, Malang: UIN-Maliki Press, hal 2.
Lihat Narwoko dan Suyanto, sosiologi, 3
[11]
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
[12]Ibid hal 3. Lihat Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, 2002,
Jakarta: PT Ghalia Indonesia, hal 84
[14]Ibid, hal 6. Lihat Kahmad, Sosiologi Agama, 16-17
[15]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, 2002, Jakarta: PT Ghalia
Indonesia, hal 29
[16]
Ibid, hal 30
[17]
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, 2010, Malang: UIN-Maliki Press, hal 70. Lihat Soerjono Soekanto,
Sosiologi:suatu pengantar hal 153-154
[18]
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, 2010, Malang: UIN-Maliki Press, hal 70. Lihat Soekanto, sosiologi,
hal 154
[19]http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
[21]
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, 2010, Malang: UIN-Maliki Press, hal 71. Lihat Soekanto, sosiologi
hal 154-155
[22]
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, 2010, Malang: UIN-Maliki Press, hal 71. Lihat Clifford Geertz, Tafsir
Kebudayaan hal 4-5
[24]Lihat,
Soerjono soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada) hal.150,151
[25]Lihat, Soerjono
soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada) hal.150,133
[26] Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, 2010, Malang: UIN-Maliki Press, hal 72. Lihat
Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama Suatu
Pengantar Awal hal 216
[27]Ibid.,
hal 72
[28] Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, 2010, Malang: UIN-Maliki Press, hal 73. Lihat
Mohammad Damami, Makna Agama dalam
Masyarakat Jawa hal 91-92
[29] Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, 2010, Malang: UIN-Maliki Press, hal 73. Lihat
Syamsudin Abdullah, Agama dan Masyarakat :
Pendekatan Sosiologi Agama hal 20-25
[30] Zulfi Mubaraq, Sosiologi
Agama, 2010, Malang: UIN-Maliki Press, hal 73. Lihat
Syamsudin Abdullah, Agama dan Masyarakat :
Pendekatan Sosiologi Agama hal 20-25
[33]Shahih,
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 4/465, cet. Musthafa Al-Babi,
Mesir, cet. II
0 komentar:
Posting Komentar