Senin, 30 Desember 2013

Hubungan Agama dengan Sekularisasi



A.      PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan semaksimal mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita ke zaman Dinul Islam. Dalam pembuatan makalah ini, tidak terlepas juga bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, kami dari kelompok 11 mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. H.Zulfi Mubaroq M.Ag selaku pembimbing mata kuliah Sosiologi Agama, teman-teman dan seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada kami. Besar harapan kami semoga makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan kita untuk mengetahui hubungan agama dengan sekularisasi yang berkembang dimasyarakat selama ini.
Dalam makalah yang berjudul Hubungan Agama dengan Sekularisasiini, penting untuk dibahas mengingat konsep sekularisasi mengacu kepada proses pengaruh agama terhadap banyaknya bidang kehidupan sosial yang secara mantap berkurang, Yang telah menyebabkan agama semakin surut dari arena kehidupan. Adapun tujuan selanjutnya adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sosiologi Agama.
Isi global makalah ini adalah tentang unsur-unsur agama dan pengertian sekularisasi, hubungan agama dengan sekularisasi serta fenomena sekularisasi yang terjadi.

2.        Tujuan Pembahasan
a.         Memahami unsur-unsur agama.
b.        Memahami pengertian sekularisasi secara etimologi dan terminologi
c.         Memahami unsur-unsur sekularisme.
d.        Memahami hubungan agama dengan sekularisasi.

3.        Rumusan Masalah
a.         Apa saja unsur-unsur agama?
b.        Apa pengertian sekularisasi secara etimologi dan terminologi?
c.         Apa saja unsur-unsur sekularisme?
d.        Bagaimana hubungan agama dengan sekularisasi?

B.       POKOK PEMBAHASAN

1.    Unsur-unsur Agama
Agama adalah tanggapan manusia terhadap titik kritis di mana dia bersentuhan dengan kekuatan tertinggi dan sakral.[1]
Agama merupakan rasa takut yang selalu ada dan kerendahan hati yang secara paradoks berubah menjadi dasar bagi rasa aman, sebab bila rasa takut yang dikhayalkan ada dalam hati seseorang dan kerendahan hati selamanya tetap diakui, maka terjaminlah keunggulan-keunggulan kesadaran manusia. Tidak akan ada rasa takut atau tindakan yang merendahkan hakikat keagamaan yang terdalam, sebab mereka secara intuisi mengalami kedua emosi tersebut mendahului rasa permusuhan yang diungkapkan terhadap dunia yang begitu luas, sangat berarti bagi keinginan manusia. Sadar atau tidak sadar, ia merupakan perburuan terhadap realitas tertinggi yang mengikuti kekalahan total tetapi diperlukan, merupakan inti dari agama. [2]
Agama, religi dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia. Selain itu ia juga merupakan suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap  yang Mutlak, juga sebagai sistema norma ‘tata kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia serta antara manusia dan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan itu.
Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah agama atau aliran kepercayaan menjadi benar atau dibenarkan keberaadaannya jika memiliki 3 unsur  tersebut yaitu:

a.         Credo
Yakni suatu agama pastilah memiliki sistem kepercayaan yang percaya akan adanya Tuhan. Dalam konteks ini, sebuah agama tentu tidak akan dinamakan agama jika tidak memiliki Tuhan. Ini sesuai dengan pengertian agama dalam pembahasan di awal tentang agama yang berarti mengikat diri kembali kepada Tuhan.
b.    Ritus
Sebuah agama pasti memiliki suatu sistem ritual hubungan antara pemeluk agama dengan Tuhan yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama. Ritus ini pasti ada dan berbeda tiap-tiap agama. Dalam agama islam ritual ini bisa berupa sholat 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhannaik haji bagi yang mampu serta ritual-ritual lainnya yang begitu banyak.
c.    Norma
Sistem norma ini mengatur hubungan-hubungan sosial antara pemeluk agama dengan pemeluk agama lain. Sistem norma inilah yang menciptakan kerukunan antar umat beragama. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang mempunyai sistem norma yang mengajarkan untuk bermusuhan dengan orang dari pemeluk agama lain. Sistem norma ini selalu mengajarkan kebaikan kepada para pemeluk masing-masing agama.[3]
M. Natsir. Agama adalah kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor, antara lain:
a.         percaya dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari segala sumber hukum dan nilai hidup
b.        percaya dengan wahyu Tuhan kepada Rasul-Nya;
c.         percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia atau perseorangan;
d.        percaya dengan hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari;
e.         percaya bahwa dengan matinya seorang, kehidupan rohnya tidak berakhir;
f.         percaya dengan ibadah sebagai cara mengadakan hubungan Tuhan;
g.         percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia. Sungguh pun beberapa faktor lagi yang dapat kita sebut, tetapi sudah cukup untuk melukiskan dengan jelas definisi agama, sehingga kita dapat melihat bedanya dengan yang lain (“Islam dan Sekularisme”, pidato dalam sidang pleno kontituante, 12 November 1957). [4]
Ahmad Mukti Ali menyatakan agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hokum yang diwahyukan kepada utusan-utusan untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ciri-ciri agama adalah
a.         mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa;
b.        Memiliki kitab suci dari Tuhan Yang Maha Esa;
c.         Memiliki Rasul ‘utusan ‘dari Tuhan Yang Maha Esa;
d.        memiliki hukum sendiri bagi kehidupan para penganutnya berupa perintah-perintah larangaan-larangan dan petunjuk-petunjuk[5]
Secara umum ruang lingkup suatu agama meliputi unsur-unsurnya sebagai berikut:[6]
a.    Substansi yang disembah
Dalam setiap agama, esensi dari keagamaan adalah penyembahan pada sesuatu yang dianggap berkuasa. Substansi yang disembah menjadi pembeda dalam kategorisasi agamanya, ada yang memusyrikan Allah dan ada yang mentauhidkan Allah.
b.    Kitab Suci
Kitab suci merupakan salah satu ciri khas dari agama. Bila suatu agama tidak memiliki kitab suci, maka sulit dikatakan sebagai suatu agama.
c.    Pembawa Ajaran
Pembawa ajaran suatu Agama Samawi disebut Nabi (Rasul) yang menerima wahyu dari Allah SWT. untuk disampaikan kepada masyarakat berdasarkan wahyu yang diterimanya. Dalam Agama Tabi’i, proses kenabian kadang-kadang melalui proses evaluasi yang dihasilkan berdasarkan sebuah julukan yang sengaja dikatakan untuk (sebagai) penghormatan tanpa adanya pengakuan berdasarkan wahyu dari Allah SWT.
d.    Pokok-pokok Ajaran
Setiap Agama baik Samawi maupun Tabi’i mempunyai pokok-pokok ajaran atau prinsip ajaran yang wajib diyakini bagi pemeluknya. Pokok ajaran ini sering disebut dengan Dogma, yaitu setiap ajaran baik percaya atau tidak, bagi pemeluknya wajib untuk mempercayainya.
e.    Aliran-aliran
Setiap agama yang ada di dunia ini baik Samawi maupun Tabi’i memiliki aliran-aliran yang berkembang pada agama masing-masing yang diakibatkan karena adanya perbedaan pendapat/pandangan baik perorangan maupun kelompok yang mengakibatkan timbulnya suatu aliran yang masing-masing kelompok memperkuat paham kelompoknya. Dalam Islam perbedaan merupakan rahmat, sedangkan dalam agama selain Islam dapat berubah pada masalah-masalah pokok, seperti berubahnya paham ketuhanan dalam agama tauhid menjadi agama musyrik ( syirik kepada Allah SWT).


2.    Pengertian Sekularisasi Secara Etimologi dan Terminologi
a.         Arti sekularisasi secara etimologi
Sekularisasi dari kata sekularitas atau secular[7] mempunyai arti keduniawian, sedangkan dalam bahasa arab disebut sebagai almaniyah.
Kata “sekularisasi” berasal dari bahasa latin “saeculum”, yang berarti “dunia”, yaitu dunia seperti apa adanya beserta keseluruhan nilai-nilainya yang sering disebut nilai duniawi. Dalam kontek pemikiran ini, dunia dan nilai duniawi dipisahkan sama sekali dari agama, dan demikian juga di nilai baik. Jadi bukan hal yang jahat atau tercela. Dari kata dasar “saeculum  dibentuk kata “saecularis” atau “sekular” yang diberi arti “serba duniawi” dalam arti yang baik. Lebih lanjut dari kata yang sama muncul pengertian “sekularisme” dan “sekularisasi”. Yang pertama termasuk dalam golongan ideologi, dan yang kedua berupa suatu gerakan. [8]
b.        Arti sekularisasi secara terminologi
Sekularisasi adalah hal yang menduniawi yang selama ini terikat oleh unsur- unsur kerohanian. Agama tidak punya urusan dengannya[9].
Konsep Sekularisasi mengacu kepada proses dengan mana pengaruh agama atas banyak bidang kehidupan sosial secara mantap berkurang. Banyak sosiolog yang menyetujui pandangan bahwa sekularisasi merupakan kecenderungan pokok dalam masyarakat Barat dalam beberapa abad lalu, atau sekurang-kurangnya sejak muncul Industrialisasi. Mereka percaya bahwa kemajuan ilmu pengetahuan  Industralisasi urbanisasi, rasionalisasi dan modernisasi masyarakat telah menyebabkan agama semakin surut dari arena kehidupan sosial yang dikuasainya secara tradisional. Versi-versi tesis sekularisasi yang lebih kuat menegaskan bahwa proses sekularisasi adalah suatu kekuatan yang tak dapat di cegah, yang akan memuncak pada saat surutnya agama yang terorganisasi. Versi-versi yang lebih longgar hanya menegaskan bahwa sekularisasi secara historis mempunyai suatu kecenderungan yang penting dan tidak haarus memastikan berakhirnya kegiatan agama yang terlembaga.[10]
Secara umum, sekularisasi dicirikan dengan 1) pemisahan pemerintah dari ideologi-ideologi keagamaan dan struktur-struktur eklesiastik, 2) ekspansi pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi pengaturan dalam bidang sosial ekonomi yang semula ditangani struktur-struktur  keagamaan dan 3) penilaian silang (transvaluation) atas kultur politik guna menekankan tujuan-tujuan dan alasan-alasan keduniaan yang tidak transenden, sarana-sarana yang pragmatis; itulah nilai-nilai politik sekuler.[11] Serta 4) kekuasaan pemerintah terhadap kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan, dan struktur eklesiastik. Hal ini mencakup ekspansi pemerintahan ke dalam apa yang diakui sebagai ruang lingkup yang murni keagamaan untuk menghancurkan atau secara radikal merubah agama.
Sekularisasi dapat dikatakan terdiri dari dua transformasi yang saling menyambung dalam fikiran manusia. Yang pertama ialah desakralisasi sikap terhadap orang dan benda yakni menafikan keterlibatan emosional dalam menanggapi hal-hal yang religious dan yang suci. Yang kedua adalah rasionalisasi fikiran yakni mengeluarkan peran serta emosi dalam memahami dunia.[12]
Sejak abad yang lalu hingga dewasa ini terdapat dua macam sekularisme, yaitu sekularisme ekstrem dan moderat. Akan tetapi, dalam kenyataan sebagaimana terungkap dalam buku-buku dan beberapa tulisan pengertian sekularisme hampir selalu diambil dalam arti yang ekstrem atau negatif. Sekularisme ekstrem ialah pandangan hidup atau ideologi yang mencita-citakan otonomi nilai duniawi lepas dari campur tangan Tuhan dan pengaruh agama. Dalam kerangka ini dapat dimasukkan semua pandangan hidup ateis, yang secara prinsipal metodologis tidak dimasukkan pengertian Tuhan yang trasenden dalam teori dan praktik. Sedangkan sekularisasi yang moderat ialah pandangan hidup (ideologi) yang menscita-citakan otonomi nilai duniawi dengan mengikut sertakan Tuhan Dan Agama. Maka jenis pandangan hidup yang ateis dapat di masukkan dalam kategori ini. Apalagi pandangan hidup yang berdasarkan atas ajaran agama. Dua jenis sekularisme tersebut di jabarkan dalam usaha konkret atau gerakan yang disebut sekularisasi. Jadi, Sekularisasi lebih menekankan proses, sementara sekularisme adalah pahamnya atau ideologinya. Jika sekularisme adalah suatu paham yang mengandung tujuan-tujuan tertentu dan prosesnya dicapai, sementara sekularisasi adalah suatu proses yang merupakan perkembangan masyarakat. Sekularisasi lebih kepada proses, sedangkan sekularisme lebih menyangkut pada prinsip bahwa kita setuju dengan proses seperti itu. Karena itu, pembedaan antara sekularisasi dan sekularisme itu tidak ada substansinya.[13]
Jadi, sekularisasi merupakan gerakan (sosial) yang diarahkan kepada terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi dengan mengikutsertakan agama dan nilai-nilai keagamaan. Gerakan sekular yang tidak mengikutsertakan Tuhan dan nilai-nilai keagamaan disebut dengan istilah sekularisme dalam arti peyoratif (negatif). Maka anggapan umum sekarang ini ialah bahwa sekularisasi mempunyai arti positif dan dapat di terima, sedangkan sekularisme diberi arti jahat dan harus ditolak. [14]
c.         Lahirnya sekularisasi
Sekularisme lahir sebagai reaksi atas berkuasanya kaum gereja terhadap Negara Kristen yang merupakan risalah rohaniyah dan ritual illahiyah mempunyai prinsip “berikan hak Kaisar, dan hak Allah kepada Allah”, akan tetapi suatu ketika dimasa kegelapan Eropa, kaum gereja menguasai Negara meski tidak terlalu langsung. Kemudian terjadi penyelewengan-penyelewengan yang berakibat pada kemunculan revolusi yang menguburkan habis-habis fungsi agama dan mengembalikan Kristen ke gereja[15].
Masa gelap kekuasaan kaum tokrat gereja agaknya menjadi trauma kaum barat yang selalu mengaggap agama sebagai masalah. Kemudian mereka mulai menjajah dunia Islam, mereka anggap dunia Islam sedang terkena bencana, yaitu agama. Maka mereka membawa sekularisme sebagi solving. Padahal sebaliknya, dunia Islam justru berbahaya dengan Islamnya. Oleh karena itu, syeikh al azhar menyebut propaganda mereka sebagai da’watun ila hallin laisat lahu musykilah.[16]
Setelah pertarungan kurang lebih 250 tahun, atau yang dikenal dengan zaman renaissance (abad 15) dan aufklarung (abad 18), para ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak itulah filsafat barat menjadi sangat antroposentris, terbebas dari ikatan agama dan system nilai. Disaat itulah benih sejarah timbulnya “sekularisasi” (dalam artian filosofis) di Barat. Para ilmuwan tidak lagi percaya pada agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berfikir ilmiah.[17]
Historis, sekularisme sebagaimana juga Marxisme timbul di Barat sebagai reaksi terhadap kristianisme pada akhir abad pertengahan. Sekularisme adalah satu isme dalam kultur yang memiliki ciri berikut :
1)        Secara sadar mengonsentrasikan atau memusatkan perhatian semata-mata kepada masalah duniawi.
2)        Dengan sadar pula mau mengasingkan dan menyisihkan peranan agama    atau wahyu dan Tuhan dari berbagai segi kehidupan.[18]
3.        Unsur-unsur Sekularisme
Menurut Amien Rais, munculnya sekulerisme dan sekulerisasi adalah bahwa mekarnya modernisasi dan perkembangan politik membuat agama kehilangan daya tarik dan pengaruhnya atas manusia modern. Dalam perkembangannya, sekulerisme memiliki dua varian: (1) sekulerisme moderat; agama sebagai urusan-urusan pribadi sehingga tidak dapat mencampuri urusan publik (seperti politik) dan dunia material; (2) sekulerisme radikal, memusuhi agama yang dipandang sebagai perintang kemajuan, seperti dalam komunis. Sekulerisasi dan sekulerisme memperoleh tempat yang subur di kalangan ilmu-ilmu sosial barat. Akan tetapi, ketika dihadapkan pada negara-negara dengan mayoritas penduduk Islam, dan bahkan di Amerika Latin yang beragama Katolik, tesis sekulerisme ini runtuh dengan sendirinya. Menurut Amien Rais, sekulerisme, baik yang modern apalagi yang radikal, tidak memperoleh tempat dalam agama Islam.[19]
Jika dilihat dari uraian di atas secara historis proses sekularisasi terbentuk karena adanya beberapa unsur, di antaranya:
a.         Rasionalisasi
Merupakan yang di tunjukkan dalam bentuk penentangan terhadap kekuasaan gereja di Eropa pada abad pertengahan. Seperti yang diketahui bahwa kelompok intelektual tersebut telah memunculkan era kebangkitan kembali (renaissance) dan era pencerahan (auklarung) yang kemudian memunculkan aliran rasionalisme yang sangat besar pengaruhnya terhadap sekularisasi. Proses sekulerisasi apapun bentuknya sebagai sosiokultural, secara historik, sangat dipengaruhi oleh dinamika perkembangan pemikiran filosofis dan peradaban modern yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sedangkan akibat dari perkembangan masyarakat modern (modernisasi) itu memunculkan peniruan oleh masyarakat terhadap kebudayaan-kebudayaaan barat (westernisasi). hal tersebutlah yang sering kali memunculkan pandangan yang berorientasi semata-mata kepada kepentingan duniawi dan tidak terikat pada nilai-nilai keagamaan hal tersebut juga berpengaruh terhadap kemajuan Industrialisasi yang memproduksi barang-barang dengan gaya kebarat-baratan.[20]
b.        Modernisasi
Modernisasi adalah pemodern (sikap, gaya hidup, cara pandang, dan sebagainya), Proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[21]
Modernisasi adalah Proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[22]
Menurut Max Weber, modernisasi adalah rasionalisasi yaitu penerapan pengetahuan saintifik ke semua matra kehidupan sehari-hari, pengikisan terhadap keyakinan dan praktik magis dan irrasionalitas, pengembangan ekonomi uang supaya kontribusi dan kebutuhan bisa diukur dengan cermat, sekularisasi nilai-nilai agama, dan pengabaian terhadap realitas dalam menyetujui prinsip-prinsip rasional tentang efisiensi dan kalkulasi.
c.         Westernisasi
Merupakan suatu proses peniruan oleh suatu masyarakat /Negara tentang kebudayaan Negara-negara barat yang dianggap lebih baikday daripada kebudayaan Negara sndiri. Munculnya westernisasi karena perkembangan masyarakat modern itu terjadi di dalam kebudayaan barat
d.        Industrialisasi
Merupakan suatu proses semakin berkembangnya Industri yang semakin maju di berbagai penjuru dunia seiring dengan prkembangan zaman.
e.         Globalisasi

Merupakan suatu proses erubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon gengam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.[23]
4.    Hubungan Agama dengan Sekularisasi
Agama menjadi atau penting sehubungan dengan unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Kedua, adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya.[24]
Kemajuan dan teknologi menjadi tertuduh sebagai biang keladi sekularisasi. Terutama sejak Barat belajar dari masa kejayaan Islam dengan menyisihkan aspek-aspek religiusnya dan pemisahan gereja dengan negara (berikan hak kaisar kepada kaisar, berikan hak Tuhan kepada Tuhan) maka semakin jelas bahwa sekularisasi tidak hanya mendangkalkan nilai-nilai religi, namun juga membatasi gerak-geriknya.[25]
Jeffrey Hadden menegaskan bahwa tesis sekularisasi telah demikian luasnya dirangkul oleh para sosiolog sehingga telah menjadi suatu kebenaran yang tak terhalangi dan diterima sudah demikian. Arah Hadden tidak jauh dari sasarannya. Akan tetapi, dalam tahun-tahun terakhir berbagai tantangan terhadap tesis sekularisasi telah muncul. Hadden sendiri menegaskan bahwa tesis ini secara empiris adalah palsu, dan tesis ini lebih ditopang oleh antagonisme para sosiolog terhadap agama yang terorganisir bila dibandingkan dengan penyelidikan bukti yang sistematis. Terhadap tesis sekularisasi itu Hadden memberikan rangkaian bukti-bukti: pertama, sejak lahirnya Perang Dunia Kedua, terjadi kebangkitan kembali suatu agama yang umum, sekurang-kurangnya di Amerika Serikat. Kedua, dalam tahun-tahun terakhir terdapat suatu pertumbuhan besar dalam tradisi-tradisi keagamaan yang lebih konservatif, yakni, evanggelis dan fundamentalis. Ketiga, kepercayaan dan perilaku katolik Amerika telah secara dramatis dipengaruhi oleh Majelis Vatikan Kedua, dengan akibat bahwa wewenang gereja sekarang lebih kuat dari pada yang pernah terjadi dalam sejarah Amerika. Keempat, mayoritas orang Amerika masih menyatakan percaya kepada Tuhan. Kelima, statistic keanggotaan gereja di Amerika serikat sedikit saja berfluktuasi dalam 40 tahun lalu, dan malah pengunjung gereja masih tetap stabil. Keenam, kebaktian keagamaan (misalnya berdoa) juga masih sangat stabil dalam dekade-dekade terakhir ini.[26]
Dalam pembicaraan Weber mengenai sekularisasi, sanggahannya tidaklah sampai bahwa “Tuhan itu mati”, tetapi tak lebih bahwa masyarakat modern menghasilkan banyak dewa yang tidak memiliki kekuatan, baik secara individu maupun kolektif. Dari segi pengalaman manusia, tidak ada momen-momen peningkatan semangat kharismatik atau klimaks moral: “Manusia modern malah hidup di daratan yang tidak terbatas tanpa horizon-horison: sebuah kebakaran duniawi tanpa arti yang mendasar.”[27] Di tingkat umum, sekularisasi mengesankan suatu kekosongan moral yang tidak dapat diisi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak dapat dimiliki kembali oleh dewa-dewa yang lama.[28]
Jeffrey Hadden (1987) menegaskan bahwa tesis sekularisasi telah demikian luasnya dirangkul oleh para sosiolog sehingga telah menjadi suatu kebenaran yang tak terhalangi dan diterima sudah demikian. Arah Hadden tidak jauh dari sasarannya. Akan tetapi, dalam tahun-tahun terakhir ini berbagai tantangan terhadap tesis sekularisasi telah muncul. Hadden sendiri menegaskan bahwa tesis ini secara empiris adalah palsu, dan tesis ini telah lebih ditopang oleh antagonisme para sosiolog terhadap agama yang terorganisir bila dibandingkan dengan penyelidikan bukti yang sistematis. Terhadap tesis sekularisasi itu Hadden memberikan rangkaian bukti-bukti:
a.         Dalam tahun-tahun terakhir terdapat suatu pertumbuhan besar dalam tradisi-tradisi keagamaan yang lebih konservatif, yakni, evanggelis dan  fundamentalis
b.        Kepercayaan dan perilaku Katolik Amerika telah secara dramatis dipengaruhi oleh Majelis Vatikan kedua, dengan akibat bahwa wewenang gereja sekarang lebih kuat daripada yang pernah terjadi dalam sejarah Amerika.
c.         Mayoritas orang Amerika masih menyatakan percaya kepada tuhan
d.        Statistik keanggotaan gereja di Amerika Serikat sedikit saja berfluktuasi dalam 40 tahun lalu, dan malah pengunjung gereja masih sangat stabil dalam dekade-dekade terakhir ini.[29]
Timothy Crippen (1988) juga menyerang tesis sekularisasi itu. Ia melanjutkan suatu garis berpikir yang telah menjadi umum di kalangan penentang tesis ini, yang menandaskan bahwa agama dalam masyarakat modern sedang mengalami transformasi tetapi bukan menurun. “Agama tradisional mungkin saja sedang menyusut”,tandasnya, tetapi “kesadaran keagamaan tetap kuat dan memanifestasikan diri dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual baru yang sesuai dengan bentuk-bentuk organisasi modern yang unngul dan tukar-menukar” (1988). Crippen percaya bahwa Tuhan-Tuhan baru” sedang bangkit untuk menggantikan “Tuhan-Tuhan yang lama”, dan tuhan-tuhan yang baru itu banyak bersangkutan dengan kepercayaan dan ritual baru yang disucikan yang melambangkan kedaulatan negara-negara dan integritas moral individu” (1988). Jenis “Agama” yang baru yang dibicarakan oleh Crippen ialah apa yang pernah disebut oleh Robert Bellah (1967) “Agama Sipil”.[30]
Menurut pandangan Sanderson, posisi Bellah tak dapat dipertahankan karena posisi itu seluruhnya bersandar pada suatu definisi agama yang secara klasik adalah inklusivis. Meskipun Crippen secara Eksplisit menyukai definisi demikian, ia siap mengakui bahwa dari sudut pandang inklusivis meman terdapat sekularisasi yang ekstensif dalam kehidupan sosial dalam abad terakhir ini. Lalu bagaimana dengan Argumen Hadden? , meskipun kecenderungan-kecenderungan agama yang dimaksudkannya itu kurang atau lebih dapat diidentifikasi secara akura, masalahnya ialah bahwa argumennya itu kekurangan perspektif historis maupun fundasi komparatif. Hadden membaahas hanya satu masyarakat yakni Amerika Serikat, dan analisisnya mencakup hanya suatu periode yang singkat. Ini jelas tidak memadai.Telah diketahui bahwa Amerika Serikat, dalam banyak hal, adalah paling religius bila dibanding dengan semua masyarakat industri Barat, dan banyak sosiolog telah berbicara mengenai “pengecualian Amerika” (Zeitlin, 1984). Orang tidak secara sah menggunakan satu masyarakat saja, meskipun suatu masyarakat yang luar biasa, untuk menolak suatu teori umum yang dimaksudkan untuk diberlakukan terhadap banyak masyarakat. [31]
Alasan tandingan dari Hadden dan Crippen, dan juga dari para sosiolog yang sebagian besar sepakat dengan mereka, tidak banyak merusakkan tesis sekularisasi itu, sekurang-kurangnya dalam bentuknya yang lebih lemah. Seorang pembela tesis ini yang setia ialah sosiolog agama Inngris yang terkenal yakni Bryan Wilson (1982). Wilson mengemukakan bahwa tesis sekularisasi itu bergantung pada pengertian bahwa bentuk-bentuk masyarakat masa lalu pada umumnya memberi arti sosial yang mencolok kepada agama. Ini memang benar, kata Wilson, dengan menandaskan bahwa “kebudayaan-kebudayaan yang lebih sederhana, masyarakat-masyarakat tradisional, dan komunitas-komunitas masa lalu ternyta telah secara mendalam diliputi oleh pikiran tentang supranatural” (1982). [32]
Berdasarkan pengalaman umum baik dari masa lampau atau sekarang gerakan sekularisasi yang wajar perlu menghindari dua ujung yang penuh bahaya, yaitu; humanisme ateis dan spiritualisme irrealis. Humanisme ateistis (termasuk sekularisme) menghasilkan nilai-nilai semu manusiawi seperti misalnya martabat manusia, kebebasan, dan otonominya. Dikatakan “semu” bahkan palsu, karena nilai-nilai tersebut kehilangan hakekat otentiknya, bila dilepas dari sumbernya, yaitu Tuhan yang transenden. Demikianlah kepercayaan manusia beragama. Di ujung lain,spiritualisme irrealis (kosong) akan membuahkan rasa frustasi dan sikap benci (bahkan anti) terhadap apa saja yang bersifat rohani, termasuk agama. Sikap berat sebelah yang hanya menitikberatkan tercapainya kepuasan rohani, lepas dari kewajiban mengusahakan kebutuhan duniawi adalah sikap mental yang tidak berpijak atas landasan yang nyata. Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan singkat, bahwa tujuan yang hendak dicapai sekularisasi pada dasarnya adalah manusia yang otonom (berdaulat). Sedangkan tujuan agama adalah sama seperti yang hendak dicapai sekularisasi yaitu memanusiakan manusia sebagai pribadi yang berdaulat. Namun, berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sudah umum, khususnya para peneliti dalam masalah ini, harus dikatakan bahwa terdapat perbedaan dalam cara bekerja. Sekularisasi menggunakan tenaga empiris semata-mata yang tersedia di dunia ini. Agama mendayagunakan kekuatan supra-empiris yang datang dari dunia lain. [33]
Sekularisasi kebudayaan meliputi penyusutan hal yang sakral dan peningkatan rasionalitas fikiran manusia. Dua-duanya merupakan perubahan bentuk pemikiran dan transformasi masyarakat; karena menyangkut perubahan dalam cara berfikir dan kegiatan utama manusia, maka ia juga melahirkan perubahan dalam struktur social masyarakat. Masyarakat perkotaan yang sibuk dengan kegiatan keduniawian ini berkembang sebagai dasar structural perubahan-perubahan bentuk dan cara berfikir. Evolusi masyarakat perkotaan, yang mula-mula terbentuk di atas sistem perdagangan dan kemudian di atas sistem industri, sebenarnya merupakan suatu perkembangan anti tradisionalis. Tampilnya kebudayaan sekuler pada dasarnya merupakan suatu perkembangan anti agama atau paling tidak “kontra-agama”. Kehidupan kota sering kembali menjadi tradisional; agama sering membantu sekularisasi dan bertumpu pada aspek sudut pandangnya. Sebenarnya, seperti yang telah kita lihat, tidak semua agama menentang seluruh aspek sekularisasi. Kebanyakan agama dunia telah mengalami rasionalisasi sampai suatu tingkat tertentu dan karena itu mempercepat proses sekularisasi. Agama alkitabiah yang tidak memandang dunia sebagai hal yang suci merupakan factor penting dalam sekularisasi fikiran Barat. Oleh karena itu dalam cara ringkasan tidak mungkin menggeneralisir terlalu jauh hubungan antara agama dan sekularisasi. Yang perlu dilakukan ialah menelaah agama tertentu dan reaksinya terhadap aspek tertentu dari proses sekularisasi.[34]
Jika dilihat secara umum semua agama dengan berbagai macam dan bentuknya dewasa ini telah mengalami perkembangan, atau lebih tepatnya perubahan radikal yang mengancam eksistensi dan jati dirinya sendiri. Perkembangan ini mungkin yang bisa disebut ”sekularisasi internal” (yakni di dalam agama sendiri) dan ”sekularisasi eksternal” (yakni pengaruh-pengaruhnya terhadap sistem sosio-kultural yang lain). Model keberagamaan seperti ini bersifat umum dan dominan di seluruh masyarakat manusia dewasa ini, termasuk sayang sekali masyarakat Muslim.[35]
a.    Islam dan Sekularisasi
Islam adalah agama dunia dan agama akhirat, yaitu agama yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, material dan spiritual, di dunia dan akhirat. Setiap aktivitas muslim di segala bidang kehidupan, baik material maupun spiritual, merupakan ibadah atau pengabdian kepada Allah Swt.. Oleh karena itu setiap bidang kehidupan dan penghidupan manusia muslim merupakan arena ibadah atau pengabdian kepada Allah., maka bagi setiap muslim tidak ada satu bidang pun yang lepas dari kegiatan beragama (melaksanakan ajaran agama), dari wahyu, dan dari peranan pengawasan dan penguasaan Allah swt.[36]
Ambiguisitas sekularisasi dan Islamisasi serta benturan ( konflik) antara konsep Islam dan sekuler mengenai tatanan moral dan politik melahirkan kontinuitas struktur institusional masyarakat muslim. pola kontemporer hubungan antara institusi Negara dan institusi agama di Turki, negeri Arab , Afrika utara, Pakistan , Indonesia, Malaysia, Senegal dan beberapa negeri lainnya merupakan variasi yang sah atas pola sejarah hubungan antara institusi agama dan institusi Negara dalam masyarakat muslim di sejumlah wilayah tersebut. Sementara elite politik berusaha mempertahankan singkretisme antara bentuk- bentuk kultur islam dan kultur cosmopolitan, kebangkitan islam justru menumbuhkan warisan identitas keagamaan personal dan tanggung jawab komunal. Konflik ini mencerminkan konflik abad Sembilan belas yang serupa antara elite sekuler dan elite agama, dan mengulang kembali struktur masyarakat muslim pra modern abad delapan belas. Hal ini agaknya dapat dirujukkan kembali pada pemisahan antara institusi Negara dan agama abad ke 19 di dalam imperium islam pada awal, yang pada ujung- ujungnya bersandar pada pola pemisahan masa yang lebih silang anatara kehidupan politik dan agama yang merupakan karakteristik seluruh masyrakayt timur tengah dan masyrakat diwilayah laut tengah sejak masa silam. Bahakan peradaban masyarakat Mesopotamia yang paling awal ada millennium ketiga sebelum masehi telah menjadi pemisahan antara institusi kuil dan Negara.[37]
Islam menolak sekularisasi sebab ajaran Islam mencakup seluruh bidang kehidupan manusia termasuk dalam bidang kenegaran. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan politik, pengertiannya , politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka system nilai islam. Namun demikian, Al qur’an dan Sunnah Rasulullah tidak membatasi pengaturan kenegaraan tersebut secara kaku. Hal tersebut diserahkan kepada umatnya melalui ijtihad islam bukan ideologi tetapi dapat menjadi ideologi. Akan tetapi, apabila yang terakhir ini terjadi, maka terjadi pula “penyempitan” Islam. Karena sebagai nilai etik yang seharusnya mendasari semua bangunan struktur,setelah menjadi ideologi berubah fungsi hanya sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan. Islam yang menjadi ideology akan mereduksi Islam sederajat dengan karya filsafat manusia.[38]
Di dunia Islam, sekulerisme merupakan masalah yang sangat peka (sensitive). Oleh karena itu, dalam membicarakan masalah ini diperlukan penaganan yang ekstra hati-hati agar tidak muncul sikap apriori di kalangan kaum muslim.[39] Sekulerisme tidak dapat diperbincangkan secara tepat, tanpa penguasaan memadai atas teori-teori tentang keramat, spiritual dan transenden yang telah disalahtafsirkan oleh penguasa, serta tanpa keberanian untuk mendobrak kesadaran yang salah, dogmatisme dan fanatisme yang telah berkembang selama berabad-abad.[40]
Islam sebagai agama dunia akhirat, sangat memperhatikan masalah duniawi. Akan tetapi masalah duniawi ini tidak dapat dilepaskan dari masalah ukhrawi, tak dapat dipisahkan dari agama atau wahyu dan Tuhan. Islam dapat berjalan dengan sekularisme dalam hal sama-sama memperhatikan masalah duniawi. Akan tetapi, Islam secara prinsip menolak sekularisme karena yang terakhir ini dalam rangka memusatkan perhatiannya kepada masalah dunia itu, telah secara sadar memalingkan muka dari agama atau wahyu dan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam menentang sekularisasi karena sekularisasi adalah proses yang membawa orang, golongan, atau masyarakat semata-mata berhaluan duniawi, kian lama kian memalingkan muka dari nilai-nilai norma-norma Ilahi yang abadi, kian lama kian memalingkan muka dari agama atau wahyu dan Tuhan. Di sisi lain, Islam adalah agama harmoni, agama keseimbangan antara dunia akhirat.[41]
Hubungan Agaama dengan Sekularisasi
No.
Unsur-unsur Agama
No.
Unsur-unsur Sekularisasi
Hub
Keterangan
1
Credo (Kepercayaan)
1
Westernisasi
1.2
Atheis (tidak mengenal adanya Tuhan) karena kemajuan sains dan teknologi (Modernisasi).
2
Ritus (Ritual)
2
Modernisasi
3.1
Dalam hukum Islam perbuatan ini tergolong haram dan mendapat cemooh dari warga yaitu pergaulan bebas (diskotik, miras, hamil di luar nikah) namun masih dilanggar karena westernisasi.
3
Norma (Hukum)
3
Rasionalisasi
2.3
Ritual-ritual tradisional seperti membuat sesajen seiring perkembangan zaman dan cara berfikir (logis) manusia ritual-ritual tersebut mulai sirna.
4
Simbol Agama
4
Industrialisasi
5.2
Puasa Ramadhan, seiring dengan perkembangan Zaman banyaknya anak muda yang mulai mengabaikan puasa wajib.
5
Praktik Keagamaan
5
Globalisasi
12.2
Berubahnya paham ketuhanan dalam agama tauhid menjadi agama musyrik ( syirik kepada Allah SWT).
6
Pengalaman Keagamaan


11.4
Islam mengajarkan wanita menutup aurat, namun berkembangnya idustri yang semakin maju & pengaruh westernisasi, gaya berpakaian terbuka.
7
Umat Beragama


4.3
Seiring dengan perkembangan rasionalis (berfikir logis) banyak pembawa ajaran yang membangun simbol agama (masjid) sebagai sarana ibadah meskipun terkadang ditentang keberadaannya contohnya adalah K.H ahmad dahlan.
8
Substansi yang disembah


8.3
Seiring dengan perkembangan cara berfikir secara rasional maka umat manusia mulai megalami perbedaan substansi yang disembah yang dulunya ada yang  menyembah patung dan matahari.
9
Kitab Suci


9.4
Seiring dengan perkembangan Industrialisasi makin banyaknya pabrik-pabrik itulah yang  membuat semakin cepatnya persebaran kitab suci.
10
Pembawa Ajaran


10.2
Seiring dengan perkembangan zaman. Para mubalig biasanya menggunakan media seperti laptop dan yang lainnya.
11
Pokok-pokok Ajaran


11.3
Pokok-pokok ajaran islam adalah Al Quran dan al hadis namun dalam menghadapi masalah yang ada di zaman modern sekarang dibutuhkan nya pemikiran yang rasional (logis) contoh ijma’ dan Qiyas
12
Aliran-aliran


12.2
Di zaman modern ssekarang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran baru dan aliran-aliran baru. Seperti para pengikut aliran Lia Edden yang menyesatkan



b.    Fenomena Sekularisasi Agama dan Pengaruhnya
Sebenarnya, fenomena sekularisasi telah mulai menarik perhatian yang cukup besar dari para sosiolog dan menjadi topik hangat kajian dan tesis utama mereka sejak tahun lima puluhan dari abad ke-20 yang lalu.[42]
Pada abad ketujuh belas sains dan sekularisasi pemikiran mengambil dimensi-dimensi besar. Bahkan pada awal abad itu di Paris sebuah kota yang berpenduduk 300.000 jiwa diperkirakan terdapat sekitar 50.000 etis. Pada abad kedelapan belas, kelas atas Eropa Barat menjadi semakin sekuler. Kombinasi mobilitas social kelompok kelas menegah bawah yang tetap beragama, dan gerakan-geraakan didalam kristianitaas (seperti Wesleyanisme yang dianut kalangan kelas pekerja) mengaakibatkan posisi agama semakin baik di abad kesembilan belas. “tetapi dewasa ini, semakin pendidikan modern telah merembeskan ide-ide ilmu pengetahuan modern dan kepraktisan baru kedalam fikiran orang-orang biasa, dan ketika pertama kali dalam sejarah Negara-negara kuat bahkan telah melakukan serangan terbuka terhadap agama. Maka dewasa ini agama benar-benar dalam keadaan kritis”. Sejak perang dunia II, di Amerika dan Eropa timbul gerakan kebangkitan agama baik di tingkat rakyat maupun di tingkat cendekiawan. Terdapat pula pengakuan dari kalangan pimpinan keagamaa bahwa agama sedang terancam karena dinilai tidak relevan dengan dinamika masyarakat dewasa ini, yang mengandalkan seluruh gerak produksi dan komunikasi pada laju revolusi teknologi. Paus John XXIII, dalam Dewan Vatican II dan dalam rangka memprakarsai program memperbarui gereja Katolik, menawarkan contoh yang paling dramatis dari pengakuan ini. Ancaman sekularisasi memang masih dilihat oleh sebagian besar pemimpin agama di Barat sebagai suatu ancaman yang mematikan, dan ketegangan antara agama dan sekularisasi tetap merupakan salah satu sumber konflik yang cukup mempengaruhi jalannya agama di dunia Barat dewasa ini.[43]
Di kota renaissance Italia yang telah makmur dan lebih maju telah lahir semangat sekuler di kalangan atas secara mencolok. Kelas-kelas ini “secara sadar dan rasional bersibuk diri dengan usaha mengejar harta duniawi”. Kemakmuran “memungkinkan mereka menikmati kesenangan dunia” dan mereka bergeser “dari assetik keduniawian lain yang dulu begitu kuat diciptakan oleh ideology monastic sebagai unsur dalam agama abad pertengahan”. Mereka tidak lagi merasakan dunia sebagai “mayapada” dan menjadi “enggan membiarkan pengurus gereja melakukan apa yang dianggap agak baik untuk mereka, atau membiarkan gereja mengendalikan kegiatan ekonomi dan social yang mereka rasa dapat mereka tangani denagn cara yang lebih memuaskan melalui penanganan sendiri” walaupun keyakinan agama tetap kuat, tetapi periode renaissance telah menjuruskan peningkatan sekularisasi yang begitu hebat dalam kehidupan dan pemikiraan. Apa yang berlangsung di Italia segera menjalar ke berbagai negeri di Utara.[44]
Fenomena sekularisasi yang tengah melanda seluruh masyarakat manusia di seluruh dunia merupakan bentuk ekspresi sosial paham pluralisme agama yang paling fasih, nyata dan artikulatif. Bryan Wilson, seorang sosiolog inggris, dalam paragraf pertama yang membuka makalahnya “Secularization”: Religion in the Modern World[45] menyatakan :
“Dari perspektif agama, satu-satunya karakter dunia modern yang paling penting adalah sekularitasnya. Para sosiolog masalah-masalah kontemporer selalu merujuk pada abad sekular ini [sebagai] ‘masyarakat sekular’ dan ’proses sekularisasi’, dan pemuka agama Kristen dan Judaisme (sebagai kaum professional keagamaan dari tradisi-tradisi agama yang dominan di negara-negara Barat yang maju) sering mengakui meratanya sekularitas yang telah menggerogoti jemaat-jemaat pengikut mereka dan mengikis pengaruh sosial mereka. [46]
Dalam proses sosial  dan perubahan masyarakat dapat ditemukan satu jenis proses dan perubahan sosial yang mempunyai warna dan nada tersendiri, yang disebut sekularisasi. Studi yang lebih khusus mengenai sekularisasi menerangkan bahwa istilah sekularisasi dan isi yang terkandung di dalamnya mengalami perkembangan. Pada abad ke 18 pengertian sekularisasi dikaitkan dengan masalah kekuasaan dan kekayaan duniawi yang dimiliki para rohaniwan, kemudian dalam abad ke-19 pengertian sekularisasi adalah “penyerahan kekuasaan dan hak milik gereja kepada negara atau yayasan duniawi”. Dalam abad ke-20 ini pengertian sekularisasi cukup mantap. Sementara itu menjadi jelas bahwa di antara banyak arti yang berbeda itu terdapat satu aspek yang sama, ialah dua variabel yang saling dipertentangkan, urusan agama dan urusan duniawian, atau dengan kata lain, yang sakral dan yang profan. Maksudnya, kedua urusan yang berlainan tidak boleh ddicampur-baurkan; masing-masing harus ditangani sendiri-sendiri.[47]
Sekularisasi Negara-negara muslim menimbulkan dampak ganda pada asosiasi muslim. Pertama, ia acap kali memperkokoh kecenderungan timbal balik yang inheren dalam orientasi asosiasi kegamaan Islam., memusatkan perhatian pada kebutuhan keagamaan yang bersifat individual, komunal, dan local. Meskipun bentuk- bentuk organisasi sufi dan kesukuan lama telah dihilangkan di Afrika Barat, mesir, Indonesia dan Malaysia, sejumlah asosiasi ernis, perkumpulan keagamaan muslim dan sejumlah klub yang melengkapi pemenuhan kebutuhan akan peribadatan pendidikan dan amal secara kolektif dan kebutuhan akan diskusi dan pergaulan yang bersahaja.[48]
Di tengah masyarakat yang semakin sekuler terdapat kecendrungan kuat untuk mereduksi Islam menjadi agama praktik adat kolektif, dan lebih jauh lagi sekedar agama pencarian dan komitmen individual. Lantaran agama menjalankan peranan yang lebih kecil dalam kehidupan public atau dalam menjelaskan sifat alam semesta ini, Islam berusaha memenuhi kebutuhan etik dan psikologis. Kemunduran seremonial sufi dan praktek pemujaan makam suci juga menyokong pola etika agama dan intelektual yang lebih bersifat umum. Perkembangan agama yang bersifat pribadi di Indonesia, Turki, Uni soviet, dan pada masyarakat lainnya yang sukaler memperlihatkan perkembangan Islam sebagai sebuah pencarian tanpa implikasi politik. Akhirnya, dalam banyak hal, Islam dimasukkan sebagai satu  aspek dari identitas nasional tanpa menyertakan ma’na keagamaan. Sejumlah masyarakat adalah “muslim” namun bukan sebagai mukmin. Mereka sebagai muslim dengan patriotism dalam komunitas daripada disebabkan kesakeahan pribadi. Islam sebagai keyakinan pribadi dan sebagi identitas social telah terpisahkan dari institusi politik dan komunal yang di dalamnya keyakinan dan itentas tersebut tertanam.[49]
Sebaliknya, sekularisasi sejumlah Negara dan masyarakat muslim juga telah menimbulkan reaksi kontemporer dan sejumlah kecenderungan baru untuk mengembalikan agama kewilayah politik. Di banyak negeri muslim terdapat gerakan pembaharuan Negara dan reformasi Politik yang mendukung Islam “cetak biru” yang komprehensif bagi kehidupan modern dan menyerukan pembentukan- pembentukan Negara Islam untuk memberlakukan moralitas Negara Islam. [50]

C.   ANALISIS DAN DISKUSI
1.    Analisis
Dari pembahasan diatas dapat dianalisis sebagai berikut:
a.   Dalam unsur-unsur agama dapat dikatakan sebuah agama jika memiliki unsur-unsur: Credo, yaitu kepercayaan agama yang mana suatu prinsip dianggap benar tanpa ada keraguan lagi. Ritus, yaitu praktik keagamaan, Norma, Pokok-pokok ajaran, Kitab suci, Subtansi yang disembah dan Umat beragama. Sekularisasi adalah terpisahkannya antara agama dan kehidupan duniawi karena agama hanya berhak mengatur hubungan kita dengan Tuhan sedangkan tidak pantas jika kita mencampuradukkan agama dengan kehidupan kita. Agama disini hanyalah sebagai pedoman di luar itu semua maka dari itu harus dipisahkan.
b.   Dari berbagai pengertian sekularisasi diatas, dapat dianalisis pengertian dari sekularisasi adalah suatu paham atau gerakan yang mementingkan kehidupan dunia dan hanya menggunakan agama sebatas pedoman saja, sehingga untuk urusan diluar agama seperti Negara, politik, pendidikan dan yang lainnya agama dipisahkan.
c.   Sekularisasi erat kaitannya dengan agama. Munculnya sekularisasi disebabkan beberapa Unsur diantaranya  mekarnya modernisasi, rasionalisasi dan westernisasi. Zaman modernisasi , orang tidak lagi percaya dengan Tuhan dan selalu berpandangan materialisme yang memandang sesuatu berdasarkan materialis yang dapat di indera maka akan mengingkari ketuhanan dan agama dan yang akan timbul adalah ateisme semakin subur karena berawal dari sekularisasi tersebut.
d.  Dalam hubungan agama dengan sekularisasi terjadi berbagai fenomena seperti dikaitkan dengan masalah kekuasaan dan kekayaan duniawi. Di negeri Islam terlihat contoh yang konkrit di Turki, dimana Kemal Attaturk setelah dia berkuasa dia melakukan sekularisasi, yaitu melepaskan ajaran atau kebiasaan agama Islam di dalam semua kegiatan pemerintah. Di dalam masyarakat modern susah untuk kita mempertahankan agama yang dianggap sebagai takhayul karena jika kita memahami agama secara hanya sekedar mengimani agama tanpa mengetahui alasan rasional yang menyebabkan nya maka yang akan timbul sifat takhayul ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan karena kita telah mengetahui segala sebab terjadinya fenomena-fenomena alam dan kehidupan.
2.    Diskusi
      
D.   KESIMPULAN
1.    Berdasarkan pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur agama ialah suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap  yang Mutlak dan sistem norma ‘tata kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan alam lainnya. Sekularisasi merupakan gerakan (sosial) yang diarahkan kepada terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi dengan mengikutsertakan agama dan nilai-nilai keagamaan.
2.    Pengertian sekularisasi secara etimologi dan terminology. Secara etimologi sekularisasi dari kata sekularitas atau secular mempunyai arti keduniawian, sedangkan dalam bahasa arab disebut sebagai almaniyah. Kata “sekularisasi” berasal dari bahasa latin “saeculum”, yang berarti “dunia”, yaitu dunia seperti apa adanya beserta keseluruhan nilai-nilainya yang sering disebut nilai duniawi. Secara terminologi sekularisasi merupakan gerakan (sosial) yang diarahkan kepada terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi dengan mengikutsertakan agama dan nilai-nilai keagamaan.
3.    Adapun unsur-unsur sekularisme diantaranya: Westernisasi, Modernisasi, Rasionalisasi, Industrialisasi dan Urbanisasi.
4.    Hubungan agama tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan dunia (sekularisasi) karena agama mempunyai fungsi-fungsi dan hakikat dari agama yaitu diterapkannya ajaran-ajaran yang ada didalam agama untuk diterapkan dalam kehidupan sehingga jika dipisahkan diantara keduanya maka akan hilang fungsi agama terhadap kehidupan masyarakat dan akan hilang pula peranan agama untuk kehidupan masyarakat. Sekularisasi dan sekulerisme memperoleh tempat yang subur dikalangan ilmu-ilmu social barat. Akan tetapi, ketika dihadapkan pada Negara-negara dengan mayoritas penduduk Islam, dan bahkan di Amerika Latin yang beragama Katolik, tesis sekulerisme ini rutuh dengan sendirinya. Menurut Amin Rais, sekulerisme, baik yang modern apalagi yang radikal, tidak memperoleh tempat dalam agama Islam.

DAFTAR RUJUKAN
Anshari, Saifuddin  Endang . 2004. Wawasan Islam. Jakarta: Gema Insani.
Azis Thaba, Abdul. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press.
Dahlan M., Y. Albarry., L. Lya Sofyan Yacub. 2003. Kamus Induk Istilah Imiah. Surabaya: Target Press.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mubaraq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. Malang: UIN Maliki Press.                       
Mubaraq, Zulfi. 2006. Sosiologi Agama: Tafsir Sosial Fenomena Multi-Regelius Kontemporer. Malang: UIN Maliki Press.
O’DEA, F. Thomas. 1987.  Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: Rajawali.
Thoha, Malik Anis. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Kelompok Gema Insani.
Turner, Bryan S. 2008. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Zainuddin, M. 2011.  Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Yogyakarta: Naila Pustaka.
Aang Dwidra, Pendidikan Agama.
Anonim. Pengertian, Jenis dan Unsur Agama.
Anonim, Dienul Islam.
http://tatangjm.wordpress.com/dienul-islam/, (Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013).


[1] Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 50.
[2] Ibid., 48. Lihat Edward Sapir, culture, language and personalit, (Berkeley: University of California Press, 1960), hal. 122-123.
[3] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 30. Lihat: John R. Bennet, Religion  dalam Encyclopedia Americana volume 29, New York, hlm.324,”Religion...may broadly bedefined as acceptanceof obligation toward powers higher than man himself’ (Religi....dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri).
[4] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 34.
[5] Ibid, 42.Lihat: “Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional”, Al-Jami’ah Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam No.1, Tahun 1, Januari 1962. 
[6] Anonim, Dienul Islam, http://tatangjm.wordpress.com/dienul-islam/, (Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013).
[7]M. Dahlan al barry, Kamus Ilmiah Popular, hal 699.
[8] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), 64-65.
[9] Ibid., Lihat, H. Zulfi , sosiologi agama tafsir social………….. hal 28
[10] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002),61.
[11] Zulfi  Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 95. Lihat Donal Eguene Smith, Agama di Tengah Sekularisasi Politik (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), 91.
[12] Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 156.
[13] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), 64.
[14] Ibid, 65.
[15]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama : Tafsir Sosial Fenomena Multi-Regelius Kontemporer (Malang : UIN Press, 2006). Hal. 28
[16] Zulfi Mubaraq, sosiologi agama tafsir social, fenomena…..,hal 28.Lihat Syaikh al azhar, jal al haq ali  jad al haq. (kairo:tt), hal 50.
[17] Zainuddin, MA. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam  (Yogyakarta: Naila Pustaka, 2011), 76.
[18] Endang Saifuddin Anshari, wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani,2004),183.Lihat: Osman Raliby, Kamus Internasional, Jakarta, 1956, hlm. 403-404. Secular, (Ing.dari Lat. Secularis dan Saeculum, ‘Iabad’,’dunia’), bersifat keduniaan atau kefanaan(temporal) sebagai lawan daripada keakhiratan atau keabadian (eternal);dimaksudkan:tidak di bawah pengawasan gereja.
[19] Zulfi  Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 96. Lihat Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: PT Ghalia Indonesia-UUM Press, 2002), 87.
[20] Zainuddin, MA. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam  (Yogyakarta: Naila Pustaka, 2011).
[21] M.Dahlan.Y.Al-Barry., L.Lya Sofyan Yacub. 2003. Kamus Induk Istilah Imiah. (Surabaya: Target Press)Hal. 518
[22] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Hal.589
[23] Bryan S. Turner. 2008. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 299-300.
[24] Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 25.
[25] Zulfi  Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 97. Lihat Peter Glasner, Sosiologi Sekularisasi: Sebuah Kritik Konsep. Terjemahan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), v.
[26] Zulfi  Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 98.  Lihat Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, 62.
[27] Ibid., 99. Lihat Bryan S. Turner, Sosiologi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 291. (lihat Richard K.Fenn, “Max Weber mengenai Sekuler: Sebuah Tipologi”, Review of Religious Research, 1969, vol. 10, 161).
[28] Ibid., 99 (lihat Gerth dan Mills, From Max Weber, Essays in Sosiologi, London, 1961, 155).
[29] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), 99 .Lihat Gerth dan Mills, From Max Weber, Essays in Sosiologi, (London, 1961), 61. 
[30] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), 62.
[31] Ibid., 62.
[32] Ibid., 63.
[33] Ibid., 63-64.
[34] Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 166.
[35] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Kelompok Gema Insani,2005),139.Lihat: Dinukil dalam: Jeffner,Anders,’Atheism and Agnosticism,’in Sutherland, Stewart, dan Clarke, Peter (eds.),op.cit.,hlm.59.
[36] Endang Saifuddin Anshari, wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani,2004),183.Lihat: Osman Raliby, Kamus Internasional, Jakarta, 1956, hlm. 403-404. Secular, (Ing.dari Lat. Secularis dan Saeculum, ‘Iabad’,’dunia’), bersifat keduniaan atau kefanaan(temporal) sebagai lawan daripada keakhiratan atau keabadian (eternal);dimaksudkan:tidak di bawah pengawasan gereja.
[37] Zulfi mubaraq, sosiologi agama tafsir social, fenomena…..,hal 28.Lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic Society. Terjemahan gufron A. Masadi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal . 563.  

[38] Abdul Aziz, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani, 1996), hal 40.
[39] Zulfi  Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 98. Lihat Suadi Putro, Muhammad Arkoun: Islam dan Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), 74.
[40] Ibid., 98
[41] Endang Saifuddin Anshari, wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani,2004), 184. Lihat T.S.G. Mulia dan K.H. Hidding, Ensiklopedia indonesia, artikel sedularisasi: sekularisasi  (dari bah.Latin).
[42] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Kelompok Gema Insani,2005),137.Lihat: Marty, Martin E., op. Cit., hlm. 15-6.
[43] Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 172.
[44] Ibid., 168
[45] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Kelompok Gema Insani,2005),137. Lihat: Artikel ini dipublikasikan dalam sebuah bunga rampai yang diedit oleh: Sutherland,Stewart, dan Clarke, Peter (eds), The Study of Religion, Traditional and New Religion (London: Routledge, [1988]1991), hlm. 195-208.
[46] Ibid., 137. Lihat: Wilson, Bryan, “Secularization”: Religion in the Modern World, hlm.195.
[47] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), 64.
[48] Zulfi Mubarag, sosiologi agama tafsir social, fenomena…..,hal 31.Lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic Society. Terjemahan gufron A. Masadi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 524.
[49] Ibid., 526
[50] Zulfi Mubaraq, M. Ag., Sosilogi Agama: tafsir social, fenomena multi religious, kontemporer, hal 32.

0 komentar:

Posting Komentar