A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Segala
puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan semaksimal mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa
kita ke zaman Dinul Islam. Dalam pembuatan makalah ini, tidak terlepas juga
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, kami dari kelompok 11 mengucapkan
terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. H.Zulfi Mubaroq M.Ag selaku pembimbing mata kuliah Sosiologi Agama, teman-teman dan seluruh pihak yang
telah memberikan bantuan dan dukungan kepada kami. Besar harapan kami semoga makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan kita
untuk mengetahui hubungan agama dengan sekularisasi yang berkembang
dimasyarakat selama ini.
Dalam makalah yang berjudul “Hubungan Agama dengan Sekularisasi” ini, penting untuk dibahas mengingat konsep
sekularisasi mengacu kepada proses pengaruh agama terhadap banyaknya bidang kehidupan
sosial yang secara mantap berkurang, Yang telah menyebabkan agama semakin surut
dari arena kehidupan. Adapun tujuan selanjutnya adalah
untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sosiologi Agama.
Isi
global makalah ini adalah tentang unsur-unsur agama dan pengertian sekularisasi,
hubungan agama dengan sekularisasi serta fenomena sekularisasi yang terjadi.
2.
Tujuan Pembahasan
a.
Memahami
unsur-unsur agama.
b.
Memahami pengertian
sekularisasi secara etimologi dan terminologi
c.
Memahami unsur-unsur sekularisme.
d.
Memahami
hubungan agama dengan sekularisasi.
3.
Rumusan Masalah
a.
Apa saja
unsur-unsur agama?
b.
Apa pengertian
sekularisasi secara etimologi dan terminologi?
c.
Apa saja unsur-unsur sekularisme?
d.
Bagaimana hubungan agama dengan sekularisasi?
B.
POKOK PEMBAHASAN
1. Unsur-unsur Agama
Agama adalah tanggapan manusia terhadap titik kritis di mana dia
bersentuhan dengan kekuatan tertinggi dan sakral.[1]
Agama merupakan rasa takut yang selalu ada dan kerendahan hati yang
secara paradoks berubah menjadi dasar bagi rasa aman, sebab bila rasa takut
yang dikhayalkan ada dalam hati seseorang dan kerendahan hati selamanya tetap
diakui, maka terjaminlah keunggulan-keunggulan kesadaran manusia. Tidak akan
ada rasa takut atau tindakan yang merendahkan hakikat keagamaan yang terdalam,
sebab mereka secara intuisi mengalami kedua emosi tersebut mendahului rasa
permusuhan yang diungkapkan terhadap dunia yang begitu luas, sangat berarti
bagi keinginan manusia. Sadar atau tidak sadar, ia merupakan perburuan terhadap
realitas tertinggi yang mengikuti kekalahan total tetapi diperlukan, merupakan
inti dari agama. [2]
Agama, religi dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanya sesuatu
yang mutlak di luar manusia. Selain itu ia juga merupakan suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap yang Mutlak, juga sebagai sistema norma ‘tata
kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia serta antara manusia
dan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan
itu.
Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa sebuah agama atau aliran kepercayaan menjadi benar atau dibenarkan
keberaadaannya jika memiliki 3 unsur tersebut yaitu:
a. Credo
Yakni suatu agama pastilah memiliki sistem kepercayaan yang percaya akan
adanya Tuhan. Dalam konteks ini, sebuah agama tentu tidak akan dinamakan agama
jika tidak memiliki Tuhan. Ini sesuai dengan pengertian agama dalam pembahasan
di awal tentang agama yang berarti mengikat diri kembali kepada Tuhan.
b. Ritus
Sebuah agama pasti memiliki suatu sistem ritual hubungan antara pemeluk
agama dengan Tuhan yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama. Ritus ini
pasti ada dan berbeda tiap-tiap agama. Dalam agama islam ritual ini bisa berupa
sholat 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, naik haji bagi yang mampu serta
ritual-ritual lainnya yang begitu banyak.
c. Norma
Sistem norma ini mengatur hubungan-hubungan sosial antara pemeluk agama
dengan pemeluk agama lain. Sistem norma inilah yang menciptakan kerukunan antar
umat beragama. Tidak ada satupun agama di dunia ini
yang mempunyai sistem norma yang mengajarkan untuk bermusuhan dengan orang dari
pemeluk agama lain. Sistem norma ini selalu mengajarkan kebaikan kepada para
pemeluk masing-masing agama.[3]
M. Natsir. Agama adalah kepercayaan dan cara hidup yang mengandung
faktor-faktor, antara lain:
a.
percaya
dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari segala sumber hukum dan nilai hidup
b.
percaya
dengan wahyu Tuhan kepada Rasul-Nya;
c.
percaya
dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia atau perseorangan;
d.
percaya
dengan hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari;
e.
percaya
bahwa dengan matinya seorang, kehidupan rohnya tidak berakhir;
f.
percaya
dengan ibadah sebagai cara mengadakan hubungan Tuhan;
g.
percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan
hidup di dunia. Sungguh pun beberapa faktor lagi yang dapat kita sebut, tetapi
sudah cukup untuk melukiskan dengan jelas definisi agama, sehingga kita dapat
melihat bedanya dengan yang lain (“Islam dan Sekularisme”, pidato dalam sidang
pleno kontituante, 12 November 1957). [4]
Ahmad Mukti Ali menyatakan agama adalah
kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hokum yang diwahyukan kepada
utusan-utusan untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ciri-ciri agama adalah
a.
mengakui
adanya Tuhan Yang Maha Esa;
b.
Memiliki
kitab suci dari Tuhan Yang Maha Esa;
c.
Memiliki
Rasul ‘utusan ‘dari Tuhan Yang Maha Esa;
d.
memiliki
hukum sendiri bagi kehidupan para penganutnya berupa perintah-perintah
larangaan-larangan dan petunjuk-petunjuk[5]
Secara umum ruang
lingkup suatu agama meliputi unsur-unsurnya sebagai berikut:[6]
a. Substansi yang disembah
Dalam setiap agama,
esensi dari keagamaan adalah penyembahan pada sesuatu yang dianggap berkuasa.
Substansi yang disembah menjadi pembeda dalam kategorisasi agamanya, ada yang
memusyrikan Allah dan ada yang mentauhidkan Allah.
b. Kitab Suci
Kitab suci merupakan
salah satu ciri khas dari agama. Bila suatu agama tidak memiliki kitab suci,
maka sulit dikatakan sebagai suatu agama.
c. Pembawa Ajaran
Pembawa ajaran suatu
Agama Samawi disebut Nabi (Rasul) yang menerima wahyu dari Allah SWT. untuk
disampaikan kepada masyarakat berdasarkan wahyu yang diterimanya. Dalam Agama
Tabi’i, proses kenabian kadang-kadang melalui proses evaluasi yang dihasilkan
berdasarkan sebuah julukan yang sengaja dikatakan untuk (sebagai) penghormatan
tanpa adanya pengakuan berdasarkan wahyu dari Allah SWT.
d. Pokok-pokok Ajaran
Setiap Agama baik
Samawi maupun Tabi’i mempunyai pokok-pokok ajaran atau prinsip ajaran yang
wajib diyakini bagi pemeluknya. Pokok ajaran ini sering disebut dengan Dogma,
yaitu setiap ajaran baik percaya atau tidak, bagi pemeluknya wajib untuk
mempercayainya.
e. Aliran-aliran
Setiap agama yang
ada di dunia ini baik Samawi maupun Tabi’i memiliki aliran-aliran yang
berkembang pada agama masing-masing yang diakibatkan karena adanya perbedaan
pendapat/pandangan baik perorangan maupun kelompok yang mengakibatkan timbulnya
suatu aliran yang masing-masing kelompok memperkuat paham kelompoknya. Dalam
Islam perbedaan merupakan rahmat, sedangkan dalam agama selain Islam dapat
berubah pada masalah-masalah pokok, seperti berubahnya paham ketuhanan dalam
agama tauhid menjadi agama musyrik ( syirik kepada Allah SWT).
2. Pengertian Sekularisasi Secara Etimologi
dan Terminologi
a.
Arti
sekularisasi secara etimologi
Sekularisasi dari kata sekularitas atau secular[7]
mempunyai arti keduniawian, sedangkan dalam bahasa arab disebut sebagai
almaniyah.
Kata “sekularisasi” berasal dari bahasa latin “saeculum”, yang berarti “dunia”, yaitu dunia seperti apa adanya
beserta keseluruhan nilai-nilainya yang sering disebut nilai duniawi. Dalam
kontek pemikiran ini, dunia dan nilai duniawi dipisahkan sama sekali dari
agama, dan demikian juga di nilai baik. Jadi bukan hal yang jahat atau tercela.
Dari kata dasar “saeculum” dibentuk kata “saecularis” atau “sekular” yang
diberi arti “serba duniawi” dalam arti yang baik. Lebih lanjut dari kata yang
sama muncul pengertian “sekularisme” dan “sekularisasi”. Yang pertama termasuk
dalam golongan ideologi, dan yang kedua berupa suatu gerakan. [8]
b.
Arti
sekularisasi secara terminologi
Sekularisasi adalah hal yang menduniawi yang selama ini terikat
oleh unsur- unsur kerohanian. Agama tidak punya urusan dengannya[9].
Konsep Sekularisasi mengacu kepada proses dengan mana pengaruh
agama atas banyak bidang kehidupan sosial secara mantap berkurang. Banyak
sosiolog yang menyetujui pandangan bahwa sekularisasi merupakan kecenderungan
pokok dalam masyarakat Barat dalam beberapa abad lalu, atau sekurang-kurangnya
sejak muncul Industrialisasi. Mereka percaya bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan Industralisasi urbanisasi,
rasionalisasi dan modernisasi masyarakat telah menyebabkan agama semakin surut
dari arena kehidupan sosial yang dikuasainya secara tradisional. Versi-versi
tesis sekularisasi yang lebih kuat menegaskan bahwa proses sekularisasi adalah
suatu kekuatan yang tak dapat di cegah, yang akan memuncak pada saat surutnya
agama yang terorganisasi. Versi-versi yang lebih longgar hanya menegaskan bahwa
sekularisasi secara historis mempunyai suatu kecenderungan yang penting dan
tidak haarus memastikan berakhirnya kegiatan agama yang terlembaga.[10]
Secara umum, sekularisasi dicirikan dengan 1) pemisahan pemerintah
dari ideologi-ideologi keagamaan dan struktur-struktur eklesiastik, 2) ekspansi
pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi pengaturan dalam bidang sosial
ekonomi yang semula ditangani struktur-struktur
keagamaan dan 3) penilaian silang (transvaluation) atas kultur
politik guna menekankan tujuan-tujuan dan alasan-alasan keduniaan yang tidak
transenden, sarana-sarana yang pragmatis; itulah nilai-nilai politik sekuler.[11]
Serta 4) kekuasaan pemerintah terhadap kepercayaan dan praktek-praktek
keagamaan, dan struktur eklesiastik. Hal ini mencakup ekspansi pemerintahan ke
dalam apa yang diakui sebagai ruang lingkup yang murni keagamaan untuk
menghancurkan atau secara radikal merubah agama.
Sekularisasi dapat dikatakan terdiri dari dua transformasi yang
saling menyambung dalam fikiran manusia. Yang pertama ialah desakralisasi
sikap terhadap orang dan benda yakni menafikan keterlibatan emosional dalam
menanggapi hal-hal yang religious dan yang suci. Yang kedua adalah rasionalisasi
fikiran yakni mengeluarkan peran serta emosi dalam memahami dunia.[12]
Sejak abad yang lalu hingga dewasa ini terdapat dua macam
sekularisme, yaitu sekularisme ekstrem dan moderat. Akan tetapi, dalam
kenyataan sebagaimana terungkap dalam buku-buku dan beberapa tulisan pengertian
sekularisme hampir selalu diambil dalam arti yang ekstrem atau negatif.
Sekularisme ekstrem ialah pandangan hidup atau ideologi yang mencita-citakan
otonomi nilai duniawi lepas dari campur tangan Tuhan dan pengaruh agama. Dalam
kerangka ini dapat dimasukkan semua pandangan hidup ateis, yang secara
prinsipal metodologis tidak dimasukkan pengertian Tuhan yang trasenden dalam
teori dan praktik. Sedangkan sekularisasi yang moderat ialah
pandangan hidup (ideologi) yang menscita-citakan otonomi nilai duniawi dengan
mengikut sertakan
Tuhan Dan Agama. Maka jenis pandangan hidup yang ateis dapat di masukkan dalam
kategori ini. Apalagi pandangan hidup yang berdasarkan atas ajaran agama. Dua
jenis sekularisme tersebut di jabarkan dalam usaha konkret atau gerakan yang
disebut sekularisasi. Jadi, Sekularisasi lebih menekankan
proses, sementara sekularisme adalah pahamnya atau ideologinya. Jika
sekularisme adalah suatu paham yang mengandung tujuan-tujuan tertentu dan
prosesnya dicapai, sementara sekularisasi adalah suatu proses yang merupakan
perkembangan masyarakat. Sekularisasi lebih
kepada proses, sedangkan sekularisme lebih menyangkut pada prinsip bahwa kita
setuju dengan proses seperti itu. Karena itu, pembedaan antara sekularisasi dan
sekularisme itu tidak ada substansinya.[13]
Jadi, sekularisasi merupakan gerakan (sosial) yang diarahkan kepada
terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi dengan mengikutsertakan agama dan
nilai-nilai keagamaan. Gerakan sekular yang tidak mengikutsertakan Tuhan dan
nilai-nilai keagamaan disebut dengan istilah sekularisme dalam arti peyoratif
(negatif). Maka anggapan umum sekarang ini ialah bahwa sekularisasi mempunyai
arti positif dan dapat di terima, sedangkan sekularisme diberi arti jahat dan
harus ditolak. [14]
c.
Lahirnya
sekularisasi
Sekularisme lahir sebagai reaksi atas
berkuasanya kaum gereja terhadap Negara Kristen yang merupakan risalah
rohaniyah dan ritual illahiyah mempunyai prinsip “berikan hak Kaisar, dan hak
Allah kepada Allah”, akan tetapi suatu ketika dimasa kegelapan Eropa, kaum
gereja menguasai Negara meski tidak terlalu langsung. Kemudian terjadi
penyelewengan-penyelewengan yang berakibat pada kemunculan revolusi yang
menguburkan habis-habis fungsi agama dan mengembalikan Kristen ke gereja[15].
Masa gelap kekuasaan kaum tokrat gereja
agaknya menjadi trauma kaum barat yang selalu mengaggap agama sebagai masalah. Kemudian mereka mulai menjajah dunia Islam, mereka anggap dunia Islam
sedang terkena bencana, yaitu agama. Maka mereka membawa sekularisme sebagi
solving. Padahal sebaliknya, dunia Islam justru berbahaya dengan Islamnya. Oleh
karena itu, syeikh al azhar menyebut propaganda mereka sebagai da’watun ila
hallin laisat lahu musykilah.[16]
Setelah pertarungan kurang lebih 250 tahun, atau yang dikenal
dengan zaman renaissance (abad 15) dan aufklarung (abad 18), para
ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak itulah filsafat barat menjadi sangat
antroposentris, terbebas dari ikatan agama dan system nilai. Disaat itulah
benih sejarah timbulnya “sekularisasi” (dalam artian filosofis) di Barat. Para
ilmuwan tidak lagi percaya pada agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu
pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung
pertumbuhan ilmu dan cara berfikir ilmiah.[17]
Historis, sekularisme sebagaimana juga Marxisme timbul di Barat
sebagai reaksi terhadap kristianisme pada akhir abad pertengahan. Sekularisme
adalah satu isme dalam kultur yang memiliki ciri berikut :
1)
Secara
sadar mengonsentrasikan atau memusatkan perhatian semata-mata kepada masalah
duniawi.
2)
Dengan
sadar pula mau mengasingkan dan menyisihkan peranan agama atau wahyu dan Tuhan dari berbagai segi
kehidupan.[18]
3.
Unsur-unsur
Sekularisme
Menurut Amien Rais, munculnya sekulerisme dan sekulerisasi adalah
bahwa mekarnya modernisasi dan perkembangan politik membuat agama kehilangan
daya tarik dan pengaruhnya atas manusia modern. Dalam perkembangannya,
sekulerisme memiliki dua varian: (1) sekulerisme moderat; agama sebagai urusan-urusan
pribadi sehingga tidak dapat mencampuri urusan publik (seperti politik) dan
dunia material; (2) sekulerisme radikal, memusuhi agama yang dipandang sebagai
perintang kemajuan, seperti dalam komunis. Sekulerisasi dan sekulerisme
memperoleh tempat yang subur di kalangan ilmu-ilmu sosial barat. Akan tetapi,
ketika dihadapkan pada negara-negara dengan mayoritas penduduk Islam, dan
bahkan di Amerika Latin yang beragama Katolik, tesis sekulerisme ini runtuh
dengan sendirinya. Menurut Amien Rais, sekulerisme, baik yang modern apalagi
yang radikal, tidak memperoleh tempat dalam agama Islam.[19]
Jika dilihat dari uraian di atas secara
historis proses sekularisasi terbentuk karena adanya beberapa unsur, di
antaranya:
a.
Rasionalisasi
Merupakan yang di tunjukkan dalam bentuk
penentangan terhadap kekuasaan gereja di Eropa pada abad pertengahan. Seperti
yang diketahui bahwa kelompok intelektual tersebut telah memunculkan era
kebangkitan kembali (renaissance) dan era pencerahan (auklarung) yang kemudian
memunculkan aliran rasionalisme yang sangat besar pengaruhnya terhadap
sekularisasi. Proses sekulerisasi apapun
bentuknya sebagai sosiokultural,
secara historik, sangat dipengaruhi oleh dinamika perkembangan pemikiran
filosofis dan peradaban modern yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi. Sedangkan akibat
dari perkembangan masyarakat modern (modernisasi) itu memunculkan peniruan oleh
masyarakat terhadap kebudayaan-kebudayaaan barat (westernisasi). hal
tersebutlah yang sering kali memunculkan pandangan yang berorientasi
semata-mata kepada kepentingan duniawi dan tidak terikat pada nilai-nilai
keagamaan hal tersebut juga berpengaruh terhadap kemajuan Industrialisasi yang
memproduksi barang-barang dengan gaya kebarat-baratan.[20]
b.
Modernisasi
Modernisasi adalah pemodern (sikap, gaya hidup, cara
pandang, dan sebagainya), Proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[21]
Modernisasi adalah Proses pergeseran sikap dan mentalitas
sebagai sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa
kini.[22]
Menurut Max Weber, modernisasi adalah rasionalisasi yaitu
penerapan pengetahuan saintifik ke semua matra kehidupan sehari-hari,
pengikisan terhadap keyakinan dan praktik magis dan irrasionalitas,
pengembangan ekonomi uang supaya kontribusi dan kebutuhan bisa diukur dengan
cermat, sekularisasi nilai-nilai agama, dan pengabaian terhadap realitas dalam
menyetujui prinsip-prinsip rasional tentang efisiensi dan kalkulasi.
c.
Westernisasi
Merupakan suatu proses peniruan
oleh suatu masyarakat /Negara tentang kebudayaan Negara-negara barat yang
dianggap lebih baikday daripada kebudayaan Negara sndiri. Munculnya westernisasi karena
perkembangan masyarakat modern itu terjadi di dalam kebudayaan barat
d.
Industrialisasi
Merupakan suatu proses semakin berkembangnya Industri
yang semakin maju di berbagai penjuru dunia seiring dengan prkembangan zaman.
e.
Globalisasi
Merupakan suatu proses erubahan dalam
konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon gengam,
televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi
demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa memungkinkan kita
merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.[23]
4. Hubungan Agama dengan Sekularisasi
Agama menjadi atau penting sehubungan dengan unsur-unsur pengalaman
manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan
yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini
fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandang
tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti di
mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna.
Kedua, adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di
luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia
mempertahankan moralnya.[24]
Kemajuan dan teknologi menjadi tertuduh sebagai biang keladi
sekularisasi. Terutama sejak Barat belajar dari masa kejayaan Islam dengan
menyisihkan aspek-aspek religiusnya dan pemisahan gereja dengan negara (berikan
hak kaisar kepada kaisar, berikan hak Tuhan kepada Tuhan) maka semakin jelas
bahwa sekularisasi tidak hanya mendangkalkan nilai-nilai religi, namun juga
membatasi gerak-geriknya.[25]
Jeffrey Hadden menegaskan bahwa tesis sekularisasi telah demikian
luasnya dirangkul oleh para sosiolog sehingga telah menjadi suatu kebenaran
yang tak terhalangi dan diterima sudah demikian. Arah Hadden tidak jauh dari
sasarannya. Akan tetapi, dalam tahun-tahun terakhir berbagai tantangan terhadap
tesis sekularisasi telah muncul. Hadden sendiri menegaskan bahwa tesis ini
secara empiris adalah palsu, dan tesis ini lebih ditopang oleh antagonisme para
sosiolog terhadap agama yang terorganisir bila dibandingkan dengan penyelidikan
bukti yang sistematis. Terhadap tesis sekularisasi itu Hadden memberikan
rangkaian bukti-bukti: pertama, sejak lahirnya Perang Dunia Kedua,
terjadi kebangkitan kembali suatu agama yang umum, sekurang-kurangnya di
Amerika Serikat. Kedua, dalam tahun-tahun terakhir terdapat suatu
pertumbuhan besar dalam tradisi-tradisi keagamaan yang lebih konservatif,
yakni, evanggelis dan fundamentalis. Ketiga, kepercayaan
dan perilaku katolik Amerika telah secara dramatis dipengaruhi oleh Majelis
Vatikan Kedua, dengan akibat bahwa wewenang gereja sekarang lebih kuat dari
pada yang pernah terjadi dalam sejarah Amerika. Keempat, mayoritas orang
Amerika masih menyatakan percaya kepada Tuhan. Kelima, statistic
keanggotaan gereja di Amerika serikat sedikit saja berfluktuasi dalam 40 tahun
lalu, dan malah pengunjung gereja masih tetap stabil. Keenam, kebaktian
keagamaan (misalnya berdoa) juga masih sangat stabil dalam dekade-dekade
terakhir ini.[26]
Dalam pembicaraan Weber mengenai sekularisasi, sanggahannya
tidaklah sampai bahwa “Tuhan itu mati”, tetapi tak lebih bahwa masyarakat
modern menghasilkan banyak dewa yang tidak memiliki kekuatan, baik secara
individu maupun kolektif. Dari segi pengalaman manusia, tidak ada momen-momen
peningkatan semangat kharismatik atau klimaks moral: “Manusia modern malah
hidup di daratan yang tidak terbatas tanpa horizon-horison: sebuah kebakaran
duniawi tanpa arti yang mendasar.”[27]
Di tingkat umum, sekularisasi mengesankan suatu kekosongan moral yang tidak
dapat diisi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak dapat dimiliki kembali
oleh dewa-dewa yang lama.[28]
Jeffrey Hadden (1987) menegaskan bahwa tesis sekularisasi telah
demikian luasnya dirangkul oleh para sosiolog sehingga telah menjadi suatu
kebenaran yang tak terhalangi dan diterima sudah demikian. Arah Hadden tidak
jauh dari sasarannya. Akan tetapi, dalam tahun-tahun terakhir ini berbagai
tantangan terhadap tesis sekularisasi telah muncul. Hadden sendiri menegaskan
bahwa tesis ini secara empiris adalah palsu, dan tesis ini telah lebih ditopang
oleh antagonisme para sosiolog terhadap agama yang terorganisir bila
dibandingkan dengan penyelidikan bukti yang sistematis. Terhadap tesis
sekularisasi itu Hadden memberikan rangkaian bukti-bukti:
a.
Dalam
tahun-tahun terakhir terdapat suatu pertumbuhan besar dalam tradisi-tradisi
keagamaan yang lebih konservatif, yakni, evanggelis
dan fundamentalis
b.
Kepercayaan
dan perilaku Katolik Amerika telah secara dramatis dipengaruhi oleh Majelis
Vatikan kedua, dengan akibat bahwa wewenang gereja sekarang lebih kuat daripada
yang pernah terjadi dalam sejarah Amerika.
c.
Mayoritas
orang Amerika masih menyatakan percaya kepada tuhan
d.
Statistik
keanggotaan gereja di Amerika Serikat sedikit saja berfluktuasi dalam 40 tahun
lalu, dan malah pengunjung gereja masih sangat stabil dalam dekade-dekade
terakhir ini.[29]
Timothy Crippen (1988) juga menyerang tesis sekularisasi itu. Ia
melanjutkan suatu garis berpikir yang telah menjadi umum di kalangan penentang
tesis ini, yang menandaskan bahwa agama dalam masyarakat modern sedang
mengalami transformasi tetapi bukan menurun. “Agama tradisional mungkin saja
sedang menyusut”,tandasnya, tetapi “kesadaran keagamaan tetap kuat dan
memanifestasikan diri dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual baru yang
sesuai dengan bentuk-bentuk organisasi modern yang unngul dan tukar-menukar”
(1988). Crippen percaya bahwa Tuhan-Tuhan baru” sedang bangkit untuk
menggantikan “Tuhan-Tuhan yang lama”, dan tuhan-tuhan yang baru itu banyak
bersangkutan dengan kepercayaan dan ritual baru yang disucikan yang
melambangkan kedaulatan negara-negara dan integritas moral individu” (1988).
Jenis “Agama” yang baru yang dibicarakan oleh Crippen ialah apa yang pernah
disebut oleh Robert Bellah (1967) “Agama Sipil”.[30]
Menurut pandangan Sanderson, posisi Bellah tak dapat dipertahankan
karena posisi itu seluruhnya bersandar pada suatu definisi agama yang secara
klasik adalah inklusivis. Meskipun Crippen secara Eksplisit menyukai definisi
demikian, ia siap mengakui bahwa dari sudut pandang inklusivis meman terdapat
sekularisasi yang ekstensif dalam kehidupan sosial dalam abad terakhir ini.
Lalu bagaimana dengan Argumen Hadden? , meskipun kecenderungan-kecenderungan
agama yang dimaksudkannya itu kurang atau lebih dapat diidentifikasi secara
akura, masalahnya ialah bahwa argumennya itu kekurangan perspektif historis
maupun fundasi komparatif. Hadden membaahas hanya satu masyarakat yakni Amerika
Serikat, dan analisisnya mencakup hanya suatu periode yang singkat. Ini jelas tidak
memadai.Telah diketahui bahwa Amerika Serikat, dalam banyak hal, adalah paling
religius bila dibanding dengan semua masyarakat industri Barat, dan banyak
sosiolog telah berbicara mengenai “pengecualian Amerika” (Zeitlin, 1984). Orang
tidak secara sah menggunakan satu masyarakat saja, meskipun suatu masyarakat
yang luar biasa, untuk menolak suatu teori umum yang dimaksudkan untuk
diberlakukan terhadap banyak masyarakat. [31]
Alasan tandingan dari Hadden dan Crippen, dan juga dari para
sosiolog yang sebagian besar sepakat dengan mereka, tidak banyak merusakkan
tesis sekularisasi itu, sekurang-kurangnya dalam bentuknya yang lebih lemah.
Seorang pembela tesis ini yang setia ialah sosiolog agama Inngris yang terkenal
yakni Bryan Wilson (1982). Wilson mengemukakan bahwa tesis sekularisasi itu
bergantung pada pengertian bahwa bentuk-bentuk masyarakat masa lalu pada
umumnya memberi arti sosial yang mencolok kepada agama. Ini memang benar, kata
Wilson, dengan menandaskan bahwa “kebudayaan-kebudayaan yang lebih sederhana,
masyarakat-masyarakat tradisional, dan komunitas-komunitas masa lalu ternyta
telah secara mendalam diliputi oleh pikiran tentang supranatural” (1982). [32]
Berdasarkan pengalaman umum baik dari masa lampau atau sekarang
gerakan sekularisasi yang wajar perlu menghindari dua ujung yang penuh bahaya,
yaitu; humanisme ateis dan spiritualisme irrealis. Humanisme
ateistis (termasuk sekularisme) menghasilkan nilai-nilai semu manusiawi seperti
misalnya martabat manusia, kebebasan, dan otonominya. Dikatakan “semu” bahkan
palsu, karena nilai-nilai tersebut kehilangan hakekat otentiknya, bila dilepas
dari sumbernya, yaitu Tuhan yang transenden. Demikianlah kepercayaan manusia
beragama. Di ujung lain,spiritualisme irrealis (kosong) akan membuahkan rasa
frustasi dan sikap benci (bahkan anti) terhadap apa saja yang bersifat rohani,
termasuk agama. Sikap berat sebelah yang hanya menitikberatkan tercapainya
kepuasan rohani, lepas dari kewajiban mengusahakan kebutuhan duniawi adalah
sikap mental yang tidak berpijak atas landasan yang nyata. Dari uraian di atas
dapat di tarik kesimpulan singkat, bahwa tujuan yang hendak dicapai
sekularisasi pada dasarnya adalah manusia yang otonom (berdaulat). Sedangkan
tujuan agama adalah sama seperti yang hendak dicapai sekularisasi yaitu
memanusiakan manusia sebagai pribadi yang berdaulat. Namun, berdasarkan
pengamatan dan pengalaman yang sudah umum, khususnya para peneliti dalam
masalah ini, harus dikatakan bahwa terdapat perbedaan dalam cara bekerja.
Sekularisasi menggunakan tenaga empiris semata-mata yang tersedia di dunia ini.
Agama mendayagunakan kekuatan supra-empiris yang datang dari dunia lain. [33]
Sekularisasi kebudayaan meliputi penyusutan hal yang sakral dan
peningkatan rasionalitas fikiran manusia. Dua-duanya merupakan perubahan bentuk
pemikiran dan transformasi masyarakat; karena menyangkut perubahan dalam cara
berfikir dan kegiatan utama manusia, maka ia juga melahirkan perubahan dalam
struktur social masyarakat. Masyarakat perkotaan yang sibuk dengan kegiatan
keduniawian ini berkembang sebagai dasar structural perubahan-perubahan bentuk
dan cara berfikir. Evolusi masyarakat perkotaan, yang mula-mula terbentuk di
atas sistem perdagangan dan kemudian di atas sistem industri, sebenarnya
merupakan suatu perkembangan anti tradisionalis. Tampilnya kebudayaan sekuler
pada dasarnya merupakan suatu perkembangan anti agama atau paling tidak
“kontra-agama”. Kehidupan kota sering kembali menjadi tradisional; agama sering
membantu sekularisasi dan bertumpu pada aspek sudut pandangnya. Sebenarnya,
seperti yang telah kita lihat, tidak semua agama menentang seluruh aspek
sekularisasi. Kebanyakan agama dunia telah mengalami rasionalisasi sampai suatu
tingkat tertentu dan karena itu mempercepat proses sekularisasi. Agama
alkitabiah yang tidak memandang dunia sebagai hal yang suci merupakan factor
penting dalam sekularisasi fikiran Barat. Oleh karena itu dalam cara ringkasan
tidak mungkin menggeneralisir terlalu jauh hubungan antara agama dan
sekularisasi. Yang perlu dilakukan ialah menelaah agama tertentu dan reaksinya
terhadap aspek tertentu dari proses sekularisasi.[34]
Jika dilihat secara umum semua agama dengan berbagai macam dan
bentuknya dewasa ini telah mengalami perkembangan, atau lebih tepatnya
perubahan radikal yang mengancam eksistensi dan jati dirinya sendiri.
Perkembangan ini mungkin yang bisa disebut ”sekularisasi internal” (yakni di
dalam agama sendiri) dan ”sekularisasi eksternal” (yakni pengaruh-pengaruhnya
terhadap sistem sosio-kultural yang lain). Model keberagamaan seperti ini bersifat
umum dan dominan di seluruh masyarakat manusia dewasa ini, termasuk sayang
sekali masyarakat Muslim.[35]
a. Islam dan Sekularisasi
Islam adalah agama dunia dan agama akhirat, yaitu agama yang
membawa kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, material dan spiritual, di dunia
dan akhirat. Setiap aktivitas muslim di segala bidang kehidupan, baik material
maupun spiritual, merupakan ibadah atau pengabdian kepada Allah Swt.. Oleh
karena itu setiap bidang kehidupan dan penghidupan manusia muslim merupakan
arena ibadah atau pengabdian kepada Allah., maka bagi setiap muslim tidak ada
satu bidang pun yang lepas dari kegiatan beragama (melaksanakan ajaran agama),
dari wahyu, dan dari peranan pengawasan dan penguasaan Allah swt.[36]
Ambiguisitas sekularisasi dan Islamisasi serta benturan ( konflik)
antara konsep Islam dan sekuler mengenai tatanan moral dan politik melahirkan
kontinuitas struktur institusional masyarakat muslim. pola kontemporer hubungan
antara institusi Negara dan institusi agama di Turki, negeri Arab , Afrika
utara, Pakistan , Indonesia, Malaysia, Senegal dan beberapa negeri lainnya
merupakan variasi yang sah atas pola sejarah hubungan antara institusi agama
dan institusi Negara dalam masyarakat muslim di sejumlah wilayah tersebut.
Sementara elite politik berusaha mempertahankan singkretisme antara bentuk-
bentuk kultur islam dan kultur cosmopolitan, kebangkitan islam justru
menumbuhkan warisan identitas keagamaan personal dan tanggung jawab komunal.
Konflik ini mencerminkan konflik abad Sembilan belas yang serupa antara elite
sekuler dan elite agama, dan mengulang kembali struktur masyarakat muslim pra
modern abad delapan belas. Hal ini agaknya dapat dirujukkan kembali pada
pemisahan antara institusi Negara dan agama abad ke 19 di dalam imperium islam
pada awal, yang pada ujung- ujungnya bersandar pada pola pemisahan masa yang
lebih silang anatara kehidupan politik dan agama yang merupakan karakteristik
seluruh masyrakayt timur tengah dan masyrakat diwilayah laut tengah sejak masa
silam. Bahakan peradaban masyarakat Mesopotamia yang paling awal ada millennium
ketiga sebelum masehi telah menjadi pemisahan antara institusi kuil dan Negara.[37]
Islam menolak sekularisasi sebab ajaran Islam mencakup seluruh
bidang kehidupan manusia termasuk dalam bidang kenegaran. Dalam Islam tidak ada
pemisahan antara urusan agama dan urusan politik, pengertiannya , politik
sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka system nilai islam. Namun
demikian, Al qur’an dan Sunnah Rasulullah tidak membatasi pengaturan kenegaraan
tersebut secara kaku. Hal tersebut diserahkan kepada umatnya melalui ijtihad
islam bukan ideologi tetapi dapat menjadi ideologi. Akan tetapi, apabila yang
terakhir ini terjadi, maka terjadi pula “penyempitan” Islam. Karena sebagai
nilai etik yang seharusnya mendasari semua bangunan struktur,setelah menjadi
ideologi berubah fungsi hanya sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan. Islam
yang menjadi ideology akan mereduksi Islam sederajat dengan karya filsafat
manusia.[38]
Di dunia Islam, sekulerisme merupakan masalah yang sangat peka (sensitive).
Oleh karena itu, dalam membicarakan masalah ini diperlukan penaganan yang
ekstra hati-hati agar tidak muncul sikap apriori di kalangan kaum muslim.[39]
Sekulerisme tidak dapat diperbincangkan secara tepat, tanpa penguasaan memadai
atas teori-teori tentang keramat, spiritual dan transenden yang telah
disalahtafsirkan oleh penguasa, serta tanpa keberanian untuk mendobrak
kesadaran yang salah, dogmatisme dan fanatisme yang telah berkembang selama
berabad-abad.[40]
Islam sebagai agama dunia akhirat, sangat memperhatikan masalah
duniawi. Akan tetapi masalah duniawi ini tidak dapat dilepaskan dari masalah
ukhrawi, tak dapat dipisahkan dari agama atau wahyu dan Tuhan. Islam dapat
berjalan dengan sekularisme dalam hal sama-sama memperhatikan masalah duniawi.
Akan tetapi, Islam secara prinsip menolak sekularisme karena yang terakhir ini
dalam rangka memusatkan perhatiannya kepada masalah dunia itu, telah secara
sadar memalingkan muka dari agama atau wahyu dan Tuhan dalam kehidupan
sehari-hari. Umat Islam menentang sekularisasi karena sekularisasi adalah
proses yang membawa orang, golongan, atau masyarakat semata-mata berhaluan
duniawi, kian lama kian memalingkan muka dari nilai-nilai norma-norma Ilahi
yang abadi, kian lama kian memalingkan muka dari agama atau wahyu dan Tuhan. Di
sisi lain, Islam adalah agama harmoni, agama keseimbangan antara dunia akhirat.[41]
Hubungan Agaama dengan Sekularisasi
No.
|
Unsur-unsur
Agama
|
No.
|
Unsur-unsur
Sekularisasi
|
Hub
|
Keterangan
|
1
|
Credo
(Kepercayaan)
|
1
|
Westernisasi
|
1.2
|
Atheis (tidak
mengenal adanya Tuhan) karena kemajuan sains dan teknologi (Modernisasi).
|
2
|
Ritus
(Ritual)
|
2
|
Modernisasi
|
3.1
|
Dalam hukum Islam perbuatan ini tergolong haram dan mendapat cemooh dari warga yaitu pergaulan bebas (diskotik, miras, hamil di luar
nikah) namun
masih dilanggar karena westernisasi.
|
3
|
Norma (Hukum)
|
3
|
Rasionalisasi
|
2.3
|
Ritual-ritual tradisional seperti membuat sesajen
seiring perkembangan zaman dan cara berfikir (logis) manusia ritual-ritual
tersebut mulai sirna.
|
4
|
Simbol Agama
|
4
|
Industrialisasi
|
5.2
|
Puasa Ramadhan, seiring dengan perkembangan Zaman
banyaknya anak muda yang mulai mengabaikan puasa wajib.
|
5
|
Praktik
Keagamaan
|
5
|
Globalisasi
|
12.2
|
Berubahnya paham
ketuhanan dalam agama tauhid menjadi agama musyrik ( syirik kepada Allah SWT).
|
6
|
Pengalaman
Keagamaan
|
|
|
11.4
|
Islam
mengajarkan wanita menutup aurat, namun berkembangnya idustri yang semakin
maju & pengaruh westernisasi, gaya berpakaian terbuka.
|
7
|
Umat Beragama
|
|
|
4.3
|
Seiring dengan perkembangan rasionalis (berfikir logis) banyak pembawa
ajaran yang membangun simbol agama (masjid) sebagai sarana ibadah meskipun
terkadang ditentang keberadaannya contohnya adalah K.H ahmad dahlan.
|
8
|
Substansi
yang disembah
|
|
|
8.3
|
Seiring dengan perkembangan cara berfikir secara rasional maka umat
manusia mulai megalami perbedaan substansi yang disembah yang dulunya ada
yang menyembah patung dan matahari.
|
9
|
Kitab Suci
|
|
|
9.4
|
Seiring dengan perkembangan Industrialisasi makin banyaknya pabrik-pabrik
itulah yang membuat semakin cepatnya
persebaran kitab suci.
|
10
|
Pembawa
Ajaran
|
|
|
10.2
|
Seiring dengan perkembangan zaman. Para mubalig biasanya menggunakan
media seperti laptop dan yang lainnya.
|
11
|
Pokok-pokok
Ajaran
|
|
|
11.3
|
Pokok-pokok ajaran islam adalah Al Quran dan al hadis namun dalam menghadapi
masalah yang ada di zaman modern sekarang dibutuhkan nya pemikiran yang
rasional (logis) contoh ijma’ dan Qiyas
|
12
|
Aliran-aliran
|
|
|
12.2
|
Di zaman modern ssekarang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran baru dan
aliran-aliran baru. Seperti para pengikut aliran Lia Edden yang menyesatkan
|
b. Fenomena Sekularisasi Agama dan Pengaruhnya
Sebenarnya, fenomena sekularisasi telah mulai menarik perhatian
yang cukup besar dari para sosiolog dan menjadi topik hangat kajian dan tesis
utama mereka sejak tahun lima puluhan dari abad ke-20 yang lalu.[42]
Pada abad ketujuh belas sains dan sekularisasi pemikiran mengambil
dimensi-dimensi besar. Bahkan pada awal abad itu di Paris sebuah kota yang
berpenduduk 300.000 jiwa diperkirakan terdapat sekitar 50.000 etis. Pada abad
kedelapan belas, kelas atas Eropa Barat menjadi semakin sekuler. Kombinasi
mobilitas social kelompok kelas menegah bawah yang tetap beragama, dan
gerakan-geraakan didalam kristianitaas (seperti Wesleyanisme yang dianut
kalangan kelas pekerja) mengaakibatkan posisi agama semakin baik di abad
kesembilan belas. “tetapi dewasa ini, semakin pendidikan modern telah
merembeskan ide-ide ilmu pengetahuan modern dan kepraktisan baru kedalam
fikiran orang-orang biasa, dan ketika pertama kali dalam sejarah Negara-negara
kuat bahkan telah melakukan serangan terbuka terhadap agama. Maka dewasa ini
agama benar-benar dalam keadaan kritis”. Sejak perang dunia II, di Amerika dan
Eropa timbul gerakan kebangkitan agama baik di tingkat rakyat maupun di tingkat
cendekiawan. Terdapat pula pengakuan dari kalangan pimpinan keagamaa bahwa
agama sedang terancam karena dinilai tidak relevan dengan dinamika masyarakat
dewasa ini, yang mengandalkan seluruh gerak produksi dan komunikasi pada laju
revolusi teknologi. Paus John XXIII, dalam Dewan Vatican II dan dalam rangka
memprakarsai program memperbarui gereja Katolik, menawarkan contoh yang paling
dramatis dari pengakuan ini. Ancaman sekularisasi memang masih dilihat oleh
sebagian besar pemimpin agama di Barat sebagai suatu ancaman yang mematikan,
dan ketegangan antara agama dan sekularisasi tetap merupakan salah satu sumber
konflik yang cukup mempengaruhi jalannya agama di dunia Barat dewasa ini.[43]
Di kota renaissance Italia yang telah makmur dan lebih maju telah
lahir semangat sekuler di kalangan atas secara mencolok. Kelas-kelas ini
“secara sadar dan rasional bersibuk diri dengan usaha mengejar harta duniawi”.
Kemakmuran “memungkinkan mereka menikmati kesenangan dunia” dan mereka bergeser
“dari assetik keduniawian lain yang dulu begitu kuat diciptakan oleh ideology
monastic sebagai unsur dalam agama abad pertengahan”. Mereka tidak lagi
merasakan dunia sebagai “mayapada” dan menjadi “enggan membiarkan pengurus
gereja melakukan apa yang dianggap agak baik untuk mereka, atau membiarkan
gereja mengendalikan kegiatan ekonomi dan social yang mereka rasa dapat mereka
tangani denagn cara yang lebih memuaskan melalui penanganan sendiri” walaupun
keyakinan agama tetap kuat, tetapi periode renaissance telah menjuruskan
peningkatan sekularisasi yang begitu hebat dalam kehidupan dan pemikiraan. Apa
yang berlangsung di Italia segera menjalar ke berbagai negeri di Utara.[44]
Fenomena sekularisasi yang tengah melanda seluruh masyarakat
manusia di seluruh dunia merupakan bentuk ekspresi sosial paham pluralisme
agama yang paling fasih, nyata dan artikulatif. Bryan Wilson, seorang sosiolog
inggris, dalam paragraf pertama yang membuka makalahnya “Secularization”:
Religion in the Modern World[45]
menyatakan :
“Dari perspektif agama, satu-satunya karakter dunia modern yang
paling penting adalah sekularitasnya. Para sosiolog masalah-masalah kontemporer
selalu merujuk pada abad sekular ini [sebagai] ‘masyarakat sekular’ dan ’proses
sekularisasi’, dan pemuka agama Kristen dan Judaisme (sebagai kaum professional
keagamaan dari tradisi-tradisi agama yang dominan di negara-negara Barat yang
maju) sering mengakui meratanya sekularitas yang telah menggerogoti
jemaat-jemaat pengikut mereka dan mengikis pengaruh sosial mereka. [46]
Dalam proses sosial dan
perubahan masyarakat dapat ditemukan satu jenis proses dan perubahan sosial
yang mempunyai warna dan nada tersendiri, yang disebut sekularisasi. Studi yang
lebih khusus mengenai sekularisasi menerangkan bahwa istilah sekularisasi dan
isi yang terkandung di dalamnya mengalami perkembangan. Pada abad ke 18
pengertian sekularisasi dikaitkan dengan masalah kekuasaan dan kekayaan duniawi
yang dimiliki para rohaniwan, kemudian dalam abad ke-19 pengertian sekularisasi
adalah “penyerahan kekuasaan dan hak milik gereja kepada negara atau yayasan
duniawi”. Dalam abad ke-20 ini pengertian sekularisasi cukup mantap. Sementara
itu menjadi jelas bahwa di antara banyak arti yang berbeda itu terdapat satu
aspek yang sama, ialah dua variabel yang saling dipertentangkan, urusan agama
dan urusan duniawian, atau dengan kata lain, yang sakral dan yang profan.
Maksudnya, kedua urusan yang berlainan tidak boleh ddicampur-baurkan;
masing-masing harus ditangani sendiri-sendiri.[47]
Sekularisasi Negara-negara muslim menimbulkan dampak ganda pada
asosiasi muslim. Pertama, ia acap kali memperkokoh kecenderungan timbal balik
yang inheren dalam orientasi asosiasi kegamaan Islam., memusatkan perhatian
pada kebutuhan keagamaan yang bersifat individual, komunal, dan local. Meskipun
bentuk- bentuk organisasi sufi dan kesukuan lama telah dihilangkan di Afrika
Barat, mesir, Indonesia dan Malaysia, sejumlah asosiasi ernis, perkumpulan
keagamaan muslim dan sejumlah klub yang melengkapi pemenuhan kebutuhan akan
peribadatan pendidikan dan amal secara kolektif dan kebutuhan akan diskusi dan
pergaulan yang bersahaja.[48]
Di tengah masyarakat yang semakin sekuler terdapat kecendrungan
kuat untuk mereduksi Islam menjadi agama praktik adat kolektif, dan lebih jauh
lagi sekedar agama pencarian dan komitmen individual. Lantaran agama
menjalankan peranan yang lebih kecil dalam kehidupan public atau dalam
menjelaskan sifat alam semesta ini, Islam berusaha memenuhi kebutuhan etik dan
psikologis. Kemunduran seremonial sufi dan praktek pemujaan makam suci juga
menyokong pola etika agama dan intelektual yang lebih bersifat umum.
Perkembangan agama yang bersifat pribadi di Indonesia, Turki, Uni soviet, dan
pada masyarakat lainnya yang sukaler memperlihatkan perkembangan Islam sebagai
sebuah pencarian tanpa implikasi politik. Akhirnya, dalam banyak hal, Islam
dimasukkan sebagai satu aspek dari
identitas nasional tanpa menyertakan ma’na keagamaan. Sejumlah masyarakat
adalah “muslim” namun bukan sebagai mukmin. Mereka sebagai muslim dengan
patriotism dalam komunitas daripada disebabkan kesakeahan pribadi. Islam
sebagai keyakinan pribadi dan sebagi identitas social telah terpisahkan dari
institusi politik dan komunal yang di dalamnya keyakinan dan itentas tersebut
tertanam.[49]
Sebaliknya, sekularisasi sejumlah Negara dan masyarakat muslim juga
telah menimbulkan reaksi kontemporer dan sejumlah kecenderungan baru untuk
mengembalikan agama kewilayah politik. Di banyak negeri muslim terdapat gerakan
pembaharuan Negara dan reformasi Politik yang mendukung Islam “cetak biru” yang
komprehensif bagi kehidupan modern dan menyerukan pembentukan- pembentukan
Negara Islam untuk memberlakukan moralitas Negara Islam. [50]
C. ANALISIS DAN DISKUSI
1. Analisis
Dari pembahasan diatas dapat dianalisis sebagai berikut:
a. Dalam unsur-unsur agama dapat dikatakan
sebuah agama jika memiliki unsur-unsur: Credo, yaitu kepercayaan agama yang
mana suatu prinsip dianggap benar tanpa ada keraguan lagi. Ritus, yaitu praktik
keagamaan, Norma, Pokok-pokok ajaran, Kitab suci, Subtansi yang disembah dan
Umat beragama. Sekularisasi adalah terpisahkannya antara agama dan kehidupan
duniawi karena agama hanya berhak mengatur hubungan kita dengan Tuhan sedangkan
tidak pantas jika kita mencampuradukkan agama dengan kehidupan kita. Agama
disini hanyalah sebagai pedoman di luar itu semua maka dari itu harus
dipisahkan.
b. Dari berbagai pengertian
sekularisasi diatas, dapat dianalisis pengertian dari sekularisasi adalah suatu
paham atau gerakan yang mementingkan kehidupan dunia dan hanya menggunakan
agama sebatas pedoman saja, sehingga untuk urusan diluar agama seperti Negara,
politik, pendidikan dan yang lainnya agama dipisahkan.
c. Sekularisasi erat
kaitannya dengan agama. Munculnya sekularisasi disebabkan beberapa Unsur diantaranya mekarnya modernisasi, rasionalisasi dan westernisasi. Zaman modernisasi , orang
tidak lagi percaya dengan Tuhan dan selalu berpandangan materialisme yang
memandang sesuatu berdasarkan materialis yang dapat di indera maka akan
mengingkari ketuhanan dan agama dan yang akan timbul adalah ateisme semakin
subur karena berawal dari sekularisasi tersebut.
d. Dalam hubungan agama dengan sekularisasi
terjadi berbagai fenomena seperti dikaitkan dengan masalah kekuasaan dan
kekayaan duniawi. Di negeri Islam terlihat contoh yang konkrit di Turki, dimana
Kemal Attaturk setelah dia berkuasa dia melakukan sekularisasi, yaitu
melepaskan ajaran atau kebiasaan agama Islam di dalam semua kegiatan
pemerintah. Di dalam masyarakat modern susah untuk kita mempertahankan agama yang
dianggap sebagai takhayul karena jika kita memahami agama secara hanya sekedar
mengimani agama tanpa mengetahui alasan rasional yang menyebabkan nya maka yang
akan timbul sifat takhayul ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan karena
kita telah mengetahui segala sebab terjadinya fenomena-fenomena alam dan
kehidupan.
2. Diskusi
D. KESIMPULAN
1. Berdasarkan pembahasan
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur agama ialah suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanya sesuatu
yang mutlak di luar manusia, suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada
sesuatu yang dianggap yang Mutlak dan
sistem norma ‘tata kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan alam
lainnya. Sekularisasi merupakan gerakan (sosial) yang diarahkan kepada
terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi dengan mengikutsertakan agama dan
nilai-nilai keagamaan.
2. Pengertian sekularisasi
secara etimologi dan terminology. Secara etimologi sekularisasi dari kata
sekularitas atau secular mempunyai arti keduniawian, sedangkan dalam bahasa
arab disebut sebagai almaniyah. Kata “sekularisasi” berasal dari bahasa latin “saeculum”, yang berarti “dunia”, yaitu
dunia seperti apa adanya beserta keseluruhan nilai-nilainya yang sering disebut
nilai duniawi. Secara terminologi sekularisasi merupakan gerakan (sosial) yang
diarahkan kepada terwujudnya otonomi dunia dan nilai duniawi dengan
mengikutsertakan agama dan nilai-nilai keagamaan.
3. Adapun unsur-unsur
sekularisme diantaranya: Westernisasi, Modernisasi, Rasionalisasi,
Industrialisasi dan Urbanisasi.
4. Hubungan agama tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan dunia (sekularisasi) karena agama mempunyai
fungsi-fungsi dan hakikat dari agama yaitu diterapkannya ajaran-ajaran yang ada
didalam agama untuk diterapkan dalam kehidupan sehingga jika dipisahkan
diantara keduanya maka akan hilang fungsi agama terhadap kehidupan masyarakat
dan akan hilang pula peranan agama untuk kehidupan masyarakat. Sekularisasi dan sekulerisme memperoleh tempat
yang subur dikalangan ilmu-ilmu social barat. Akan tetapi, ketika dihadapkan pada
Negara-negara dengan mayoritas penduduk Islam, dan bahkan di Amerika Latin yang
beragama Katolik, tesis sekulerisme ini rutuh dengan sendirinya. Menurut Amin Rais, sekulerisme, baik yang modern
apalagi yang radikal, tidak memperoleh tempat dalam agama Islam.
DAFTAR RUJUKAN
Anshari, Saifuddin Endang .
2004. Wawasan Islam. Jakarta: Gema
Insani.
Azis Thaba, Abdul. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde
Baru. Jakarta: Gema Insani Press.
Dahlan M., Y. Albarry., L. Lya Sofyan Yacub.
2003. Kamus Induk Istilah Imiah. Surabaya: Target Press.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi
Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mubaraq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. Malang: UIN Maliki
Press.
Mubaraq, Zulfi. 2006. Sosiologi Agama: Tafsir Sosial Fenomena
Multi-Regelius Kontemporer. Malang:
UIN Maliki Press.
O’DEA, F. Thomas. 1987. Sosiologi
Agama: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: Rajawali.
Thoha, Malik Anis. 2005. Tren
Pluralisme Agama. Jakarta: Kelompok Gema Insani.
Turner, Bryan S. 2008. Runtuhnya
Universalitas Sosiologi Barat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Zainuddin, M. 2011. Filsafat
Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Yogyakarta: Naila Pustaka.
Aang Dwidra, Pendidikan Agama.
Anonim. Pengertian, Jenis dan Unsur Agama.
http://kaazima.blogspot.com/2012/10/pengertian-jenis-dan-unsur-agama.html, (Diakses pada tanggal 11 November 2013).
Anonim, Dienul Islam.
http://tatangjm.wordpress.com/dienul-islam/, (Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013).
[1]
Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta:
Rajawali, 1987), 50.
[2]
Ibid., 48. Lihat Edward Sapir, culture, language and personalit,
(Berkeley: University of California Press, 1960), hal. 122-123.
[3]
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), 30. Lihat: John R. Bennet, Religion dalam Encyclopedia Americana volume 29, New
York, hlm.324,”Religion...may broadly bedefined as acceptanceof obligation
toward powers higher than man himself’ (Religi....dalam arti luas dapat
didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang
lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri).
[4]
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), 34.
[5]
Ibid, 42.Lihat: “Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional”, Al-Jami’ah Majalah Ilmu Pengetahuan Agama
Islam No.1, Tahun 1, Januari 1962.
[6]
Anonim, Dienul Islam, http://tatangjm.wordpress.com/dienul-islam/,
(Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013).
[7]M. Dahlan al
barry, Kamus Ilmiah Popular, hal 699.
[9]
Ibid., Lihat, H. Zulfi , sosiologi agama
tafsir social………….. hal 28
[10]
Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta:
Ghalia Indonesia,2002),61.
[11]
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama,
(Malang: UIN Maliki Press, 2010), 95. Lihat Donal Eguene Smith, Agama di
Tengah Sekularisasi Politik (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), 91.
[12] Thomas F.
O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987),
156.
[13]
Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta:
Ghalia Indonesia,2002), 64.
[14] Ibid,
65.
[15]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama : Tafsir
Sosial Fenomena Multi-Regelius Kontemporer (Malang : UIN Press, 2006). Hal.
28
[16] Zulfi
Mubaraq, sosiologi agama tafsir social, fenomena…..,hal 28.Lihat Syaikh al
azhar, jal al haq ali jad al haq.
(kairo:tt), hal 50.
[17] Zainuddin, MA.
Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam (Yogyakarta: Naila Pustaka, 2011), 76.
[18]
Endang
Saifuddin Anshari, wawasan Islam,
(Jakarta: Gema Insani,2004),183.Lihat: Osman Raliby, Kamus Internasional, Jakarta, 1956, hlm. 403-404. Secular,
(Ing.dari Lat. Secularis dan Saeculum, ‘Iabad’,’dunia’), bersifat
keduniaan atau kefanaan(temporal) sebagai lawan daripada keakhiratan atau keabadian
(eternal);dimaksudkan:tidak di bawah pengawasan gereja.
[19]
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama,
(Malang: UIN Maliki Press, 2010), 96. Lihat Ishomuddin, Pengantar Sosiologi
Agama (Jakarta: PT Ghalia Indonesia-UUM Press, 2002), 87.
[21] M.Dahlan.Y.Al-Barry., L.Lya Sofyan Yacub. 2003. Kamus Induk Istilah
Imiah. (Surabaya: Target Press)Hal. 518
[23]
Bryan S. Turner. 2008. Runtuhnya Universalitas
Sosiologi Barat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 299-300.
[24] Thomas F.
O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali,
1987), 25.
[25] Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki Press, 2010), 97. Lihat Peter Glasner, Sosiologi Sekularisasi: Sebuah
Kritik Konsep. Terjemahan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), v.
[26] Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki Press, 2010), 98. Lihat
Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, 62.
[27] Ibid., 99.
Lihat Bryan S. Turner, Sosiologi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), 291. (lihat Richard K.Fenn, “Max Weber mengenai Sekuler: Sebuah
Tipologi”, Review of Religious Research, 1969, vol. 10, 161).
[28] Ibid., 99
(lihat Gerth dan Mills, From Max Weber, Essays in Sosiologi, London,
1961, 155).
[29] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), 99 .Lihat
Gerth dan Mills, From Max Weber, Essays in Sosiologi, (London, 1961),
61.
[30] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta:
Ghalia Indonesia,2002), 62.
[31] Ibid., 62.
[32] Ibid., 63.
[33] Ibid., 63-64.
[34]
Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta:
Rajawali, 1987), 166.
[35] Anis Malik
Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta:
Kelompok Gema Insani,2005),139.Lihat: Dinukil dalam:
Jeffner,Anders,’Atheism and Agnosticism,’in Sutherland, Stewart, dan Clarke,
Peter (eds.),op.cit.,hlm.59.
[36]
Endang Saifuddin Anshari, wawasan Islam, (Jakarta: Gema
Insani,2004),183.Lihat: Osman Raliby, Kamus
Internasional, Jakarta, 1956, hlm. 403-404. Secular, (Ing.dari Lat. Secularis dan Saeculum, ‘Iabad’,’dunia’), bersifat keduniaan atau
kefanaan(temporal) sebagai lawan daripada keakhiratan atau keabadian
(eternal);dimaksudkan:tidak di bawah pengawasan gereja.
[37] Zulfi mubaraq,
sosiologi agama tafsir social,
fenomena…..,hal 28.Lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic Society.
Terjemahan gufron A. Masadi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal . 563.
[38] Abdul Aziz, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru
(Jakarta: Gema Insani, 1996), hal 40.
[39] Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN
Maliki Press, 2010), 98. Lihat Suadi Putro, Muhammad Arkoun: Islam dan
Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), 74.
[40]
Ibid., 98
[41] Endang Saifuddin
Anshari, wawasan Islam, (Jakarta:
Gema Insani,2004), 184. Lihat T.S.G. Mulia dan K.H. Hidding, Ensiklopedia indonesia, artikel sedularisasi:
sekularisasi (dari bah.Latin).
[42]
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta:
Kelompok Gema Insani,2005),137.Lihat: Marty, Martin E., op. Cit., hlm. 15-6.
[43] Thomas F.
O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali,
1987), 172.
[44]
Ibid., 168
[45]
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta:
Kelompok Gema Insani,2005),137. Lihat: Artikel ini dipublikasikan dalam sebuah
bunga rampai yang diedit oleh: Sutherland,Stewart, dan Clarke, Peter (eds), The Study of Religion, Traditional and New
Religion (London: Routledge, [1988]1991), hlm. 195-208.
[46]
Ibid., 137. Lihat: Wilson, Bryan, “Secularization”: Religion in the Modern
World, hlm.195.
[47] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta:
Ghalia Indonesia,2002), 64.
[48] Zulfi Mubarag,
sosiologi agama tafsir social,
fenomena…..,hal 31.Lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic Society.
Terjemahan gufron A. Masadi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 524.
[49] Ibid., 526
[50] Zulfi Mubaraq,
M. Ag., Sosilogi Agama: tafsir social, fenomena multi religious, kontemporer,
hal 32.
0 komentar:
Posting Komentar