Minggu, 29 Desember 2013

Hubungan Agama dengan Stratifikasi Sosial



A.  PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami kelompok VII yang beranggotakan Mellyyana Romlatul Munawwaroh, Tsuaibatul Islamiyah, Amalia Khusna R, dan Irma Mei Nursanti kelas IPS B Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan semester III mampu menyelesaikan tugas makalah dengan mata kuliah  Sosiologi Agama dengan judul “Hubungan Agama dengan Stratifikasi Sosial” ini dengan baik dan tepat waktu. Taklupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Dr. H. Zulfi Mubaraq, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Agama.
Pentingnya membahas topik Hubungan Agama dengan Stratifikasi Sosial adalah untuk memberikan pemahaman dan wawasan kepada kita tentang segala hal yang berkaitan dengan Hubungan Agama dengan Stratifikasi Sosial.
Isi global dari makalah ini adalah membahas mengenai unsur-unsur agama menurut beberapa tokoh, unsur-unsur stratifikasi sosial, pengertian stratifikasi sosial baik secara etimologi dan terminologi, dan hubungan antara agama dengan stratifikasi sosial.
1.    Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dari topik di atas adalah:
a.    Untuk memahami unsur-unsur agama.
b.    Untuk memahami pengertian stratifikasi sosial secara etimologi dan terminologi.
c.    Untuk memahami unsur-unsur stratifikasi sosial.
d.   Untuk memahami hubungan antara agama dan stratifikasi sosial.
2.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a.    Apa unsur-unsur agama?
b.    Apa pengertian stratifikasi sosial secara etimologi dan terminologi?
c.    Apa unsur-unsur stratifikasi sosial?
d.   Bagaimana hubungan antara agama dan stratifikasi sosial?
 
B.  POKOK PEMBAHASAN

1.    Unsur-Unsur Agama
Secara sepintas kita telah mengenal beberapa unsur yang sering dianggap sebagai ciri-ciri dari agama, terutama agama dalam arti sempit dan tradisional. Unsur-unsur tersebut ialah: mitos, sesuatu yang dianggap sakral, ritual dan pengalaman keagamaan.
a.    Mitos
Mitos adalah bentuk pengungkapan intelektual premordial dari kepercayaan, sikap keagamaan atau merupakan filsafat primitif, pengungkapan pemikiran yang sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia untuk menjelasakan kehidupan dan kematian, takdir dan hakekat, tuhan dan pemujaan. Mitos juga merupakan pernyataan manusia yang kompleks dan dramatis, yang melibatkan pikiran, perasaan, sikap dan sentimen.[1]
b.    Sakral
Semua agama erat hubungannya dengan sesuatu yang dianggap sakral, yaitu yang mempunyai nilai dan makna istimewa dan menimbulkan rasa hormat. Kesakralan yang dimiliki oleh sesuatu, timul dari keyakinan bahwa sesuatu itu mengandung kekuatan ghaib. Tetapi pecaya kepada kekuatan sakral, belum tentu berarti percaya kepada tuhan atau spirit tertentu.[2]
c.    Ritual
Semua orang mengenal ucapan ritual. Ritual agama tidak hanya membuktikan adanya yang sakral, namun sebaliknya kesakralan dipelihara oleh pelaksanaan ritualisasi. Salah satu ritual menggugah perasaan tertentu. Perasaan keagamaan tergantung kepada hakekat seremoni dan berhubungan sesuatu yang dianggap paling suci oleh masyarakat. Ritual merupakan pengulangan perasaan dan sikap, yang berguna untuk memantapkan solidaritas kelompok.[3]
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
a.    Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
b.    Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c.    Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama.
d.   Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e.    Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.[4]
2.    Pengertian Stratifikasi Sosial
Secara etimologi, stratifikasi adalah pembedaan kelas-kelas masyarakat secara bertingkat.Secara terminologi, stratifikasi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat-masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertigkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise.[5]
Secara etimologi, sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat; peduli terhadap kepentingan umum.[6]Secara terminologi, sosial adalah kemampuan untuk memahami cara-cara penyesuaian diri atau penempatan diri di lingkungan sosial atau kewajiban atas dasar norma tingkah laku lingkungannya.[7]
Stratifikasi sosial terdiri dari dua kata, yaitu stratifikasi dan sosial. Secara bahasa, stratifikasi berasal dari kata stratification atau dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan), jadi stratifikasi sosial adalah pelapisan, pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang rendah. Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.[8]
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Seorang sosiolog terkemuka, yaitu Pitirim A. Sorokin mengemukakan, stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis).
Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Stratifikasi sosial menurut Max Weber adalah stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise. Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut:
a) Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaanpaling banyak ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, model cara berpakaian, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
b) Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
c) Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orangt-orang yang berperilaku dan berbudi luhur.
d) Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik atau profesi yang disandang oleh seseorang.[9]
Seorang ahli filsafat dari Yunani yaitu Aristoteles pernah mengatakan bahwa di dalam tiap-tiap negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang miskin, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Ucapan demikian itusedikit banyaknya membuktikan pada zaman itu orang telah mengakui adanya lapisan-lapisan di masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat-tingkat dari bawah ke atas.
Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya ini anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta dan kelas. Berdasarkan status yang diperoleh ini kita menjumpai berbagai macam stratifikasi. Bentuk konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat tersebut bermacam-macam. Namun pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu: [10]
1) Kelas yang didasarkan pada faktor ekonomis,
2) Kelas yang didasarkan pada faktor politis,
3) Kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat.
Ketiga bentuk tersebut biasanya saling berkaitan satu dengan lainnya. Misalnya, mereka yang termasuk lapisan tertentu atas dasar politis, biasanya menduduki lapisan tertentu pula dalam lapisan atas dasar ekonomis, dan biasanya mereka juga menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat.
Dalam stratifikasi sosial, terdapat sebuah model stratifikasi yang sangat popular, yakni model trikotomik cetusan Clifford Geertz. Model trikotomik Geertz menggolongkan masyarakat Mojokunto, Kediri, yaitu: santri, abangan dan priyayi. Santri berpusat di daerah perdagangan atau pasar.Golongan ini berusaha mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan unsur-unsur kepercayaan lainnya.Abangan, berpusat di daerah pedesaan.Pengalaman keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan Animisme. Priyayi, berpusat di kantor pemerintah. Pengalaman keagamaan mereka banyak dipengaruhi aspek-aspek Hindu.Trikotomik Geertz memang sejak awal membingungkan karena mencampuradukkan aspek keberagamaan dengan stratifikasi sosial dan dalam kenyataan tidak sesederhana itu karena masing-masing terjadi konversi dan perbaruan.Pada akhirnya muncul dugaan, Geertz ingin menciptakan konsepsi untuk memberikan substansi kepada teori kelas menengah.Golongan priyayi menempati posisi teratas, kaum santri di bagian tengah dan golongan abangan berada di bagian bawah.[11]
Contoh stratifikasi sosial dalam Islam adalahIslam pada zaman Nabi masih menggunakan dalam hal mengerjakan pekerjaan yang kasar dan berat, tetapi sistem kerjanya tidak seperti yang ditampakkan pada kasta Sudra yang ada di agama Hindu, budak-budak yang ada di Islam pun bisa di bebaskan dan dapat hidup normal pada sedia kala, budak-budak ini pada umumnya didapatkan pada saat berperang dan tentara lawan yang kalah dalam peperangan pada umumnya dijadikan sebagai budak. Apakah di agama Islam ada yang dinamakan stratifikasi sosial? sangat singkat dan paten Allah SWT berfirman “bahwa setiap manusia dihadapanKu sama dan yang membedakannya adalah kadar ketaqwaannya saja” dalam hal beribadahpun Islam tidak pernah membedakan antara si kaya dan si miskin, si Tua dan si Muda dan lain sebagainya, itu yang ada di dalam agama Islam, tetapi didalam masyarakat Islam stratifikasi sosial tetap ada demi keteraturan suatu wilayah tersebut untuk pembagian kerja menurut proporsi mereka masing-masing.[12]
Islam sangat memperhatikan akhlak atau perilaku yang baik terhadap orang lain. Umat Islam diperintahkan untuk menghormati orang yang mempunyai keutamaan, apakah itu kekuasaan, ilmu, kekayaan, dan kehormatan, bila semua itu dalam konteks ketaqwaan. Penguasa yang adil sangat dimuliakan dalam Islam. Kita harus taat padanya.
Orang yang berilmu ('alim) sangat dimuliakan dalam Islam. Kita harus menghormatinya. Orang kaya yang dermawan, mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam. Kita harus menghormatinya. Orang yang berjasa kepada masyarakat, mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam. Kita harus menghormatinya.
Itu artinya, adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat merupakan hal yang wajar. Karena anggota masyarakat mempunyai perbedaan kelebihan. Penghormatan kepada orang yang mempunyai kelebihan, dalam konteks ketaqwaan, juga diperintahkan dalam Islam.
Namun, ada tapinya. Bila strata itu dalam konteks kasta, seperti kasta di India, yang menetapkan kasta tertentu lebih tinggi kedudukannya dan ada beberapa aturan yang membeda-bedakan antar kasta, hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Stratifikasi umat Islam berdasarkan ketaqwaan digambarkan Allah sebagai berikut:
1.    Golongan Nabi
2.    Golongan Orang yang Shidiq
Contoh sahabat Nabi yang dapat gelar Ash-Shiddiq: Abu Bakar.
3.    Golongan Orang yang Mati Syahid
4.    Golongan Orang yang Sholih[13]
3.    Unsur-Unsur Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial terdiri dari dua unsur, yaitu kedudukan sosial (status sosial) dan peranan (peran sosial). Kedudukan sosial dan peranan sosial merupakan dua unsur yang memiliki arti penting bagi sistem sosial.
a.    Kedudukan sosial (status sosial)
Setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing-masing. Status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok masyarakatnya.[14]
Ada 3 macam status sosial dalam masyarakat:[15]
1)        Ascribed Status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya. Misalnya, kedudukan seorang anak bangsawan adalah bangsawan pula, seorang kasta Brahmana juga akan memperoleh kedudukan yang sama.
2)        Achieved Status adalah status sosial yang didapat seseorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contoh achieved status yaitu seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll. Status pekerjaan, misalnya sebagai dokter, dosen, buruh, dll, sangat menentukan status seseorang dalam masyarakat. Begitu juga dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuh seseorang. Seorang sarjana tentu dipandang lebih tinggi statusnya dari pada orang yang hanya lulus sekolah dasar. Hal itu merupakan hasil dari usaha keras yang telah dilakukan.
3)        Assigned Status adalah status sosial yang diperoleh seseorang didalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti seorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya. Dalam hal ini, kesalehan seseorang dalam beragama termasuk didalamnya. Jika seseorang memiliki pengetahuan agama yang dalam, maka ia akan memiliki status yang lebih tinggi di masyarakat.
b.    Peranan (Peran sosial)
Sedangkan peran sosial merupakan aspek yang lebih dinamis dibandingkan dengan kedudukan. Status sosial merupakan unsure statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi masyarakat. Peran lebih menjurus pada fungsi seseorang dalam masyarakat. Meskipun demikian, keduanya tak dapat dipisahkan karena satu dengan yang lainnya saling berhubungan.
Berdasarkan cara memperolehnya, peranan dibedakan menjadi dua yaitu:[16]
1)        Peranan bawaan (ascribed roles) : yaitu peranan yang diperoleh secara otomatis, bukan karena usaha, misalnya peranan sebagai nenek, anak ketua RT, dan sebagainya.
2)        Peranan pilihan (achive roles) : yaitu peranan yang diperoleh atas keputusannya sendiri, misalnya seseorang memutuskan untuk memilih Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Berdasarkan pelaksanaanya, peranan sosial dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a)        Peranan yang diharapkan (expected roles) : yaitu cara ideal dalam pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki peranan tersebut dilaksanakan secermat-cermatnya dan tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan seperti yang telah ditentukan. Misalnya, peranan hakim, diplomatic, dan sebagainya.
b)        Peranan yang disesuaikan (actual roles) : yaitu cara bagaimana sebenarnya peranan tersebut dijalankan. Peranan ini pelaksanaannya lebih dinamis, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu.
Menurut Levinson yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, suatu peranan mungkin mencakup 3 aspek yaitu :
(1). Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang di dalam masyarakat.
(2). Merupakan suatu konsep tentang apa saja yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat.
(3). Peranan dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.[17]
c. Kelompok
Kelompok adalah kumpulan orang yang meiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi.
d.   Lembaga
Lembaga adalah suatu sistem norma untuk mencapai tujuan yang dianggap penting oleh masyarakat.[18]
4.Hubungan Agama dengan Stratifikasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, di dalam setiap masyarakat di mana pun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, atau apa pun yang bernilai ekonomis. Di lingkungan masyarakat pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak sering kali dianggap jauh lebih berharga daripada gelar akademis, misalnya. Sementara itu, di lingkungan masyarakat kota yang modern, yang terjadi sering kali sebaliknya.[19]
Pitirim A.Sorokin mengemukakan bahwa sistem pelapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup dengan teratur. Mereka yang memiliki barang atau sesuatu yang berharga dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang yang memiliki dalam jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang rendah.[20]
Bentuk konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu: pertama, kelas yang didasarakan pada faktor ekonomis; kedua, kelas yang didasarkan pada faktor politik; ketiga, kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Ketiga bentuk tersebut biasanya saling berkaitan satu dengan lainnya. Misalnya, mereka yang termasuk lapisan tertentu atas dasar politik, biasanya menduduki lapisan tertentu pula dalam lapisan atas dasar ekonomi, dan biasanya mereka juga menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Oleh karena itu sebagaimana dijelaskan di atas bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu bersifat kumulatif, kendati tidak semua demikian, karena hal itu sangat bergantung pada sistem nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.[21]
Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu:[22]
a.         Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya.
b.        Perbedaan dalam gaya hidup (life style). Seseorang direktur sebuah perusahaan, selain dituntut selalu berpakaian rapi, mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan aksesoris aksesoris lain untuk menunjang kemantapan penampilan.
c.         Perbedaan dalam hak-hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seorang yang tidak menduduki jabatan strategis apa pun tentu hak hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil.
Terjadinya stratifikasi sosial atau sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya artinya tanpa disengaja, dan sistem pelapisan yang terjadi karena dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pertama, lapisan-lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya atau tidak disengaja misalnya, lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin, kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat kepala masyarakat mungkin dalam batas-batas tertentu berdasarkan harta. Kedua, sistem lapisan masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angakatan bersenjata dan sebagainya.[23]
Ada beberapa ciri umum tentang faktor-faktor yang menentukan adanya stratifikasi sosial, yaitu antara lain: pertama, pemilikan atas kekuasaan bernilai ekonomidalam berbagai bnetuk dan ukuran; kedua, status atas dasar fungsi dalam pekerjaan; ketiga, kesalahan seseorang dalam beragama; keempat, status dasar keturunan; kelima, latar belakang rasial dan lamanya sesorang atau sekelompok orang tinggal pada suatu tempat; dan keenam, status atas dasar jenis kelamin dan umur seseorang.[24]
Horton dan Hunt[25]  menegaskan bahwa jika ditanya berapa banyak jumlah kelas sosial, mereka sulit menjawabnya. Barangkali, enam klasifikasi yang diajukan oleh banyak ahli bisa menjadi jawaban, yaitu (1) upper-upper class; (2) lower-upper class; (3) upper-middle class; (4) lower-middle class; (5) upper-lower class; (6) lower-lower class.Klasifikasi sosial di atas, tentu tidak berlaku umum. Sebab, setiap kota ataupun desa masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Pernyataan ini, paling tidak, menggambarkan bagaimana kelas sosial sebenarnya.Maka di sini bisa ditegaskan bahwa kelas sosial merupakan suatu realitas sosial yang penting, bukan sekedar suatu konsep teoritis. Manusia memang mengklasifikasikan orang lain ke dalam kelompok yang sederajat, lebih tinggi, atau lebih rendah. Manakala sejumlah orang menganggap orang-orang tertentu- sebagai anggota masyarakat- mempunyai karakteristik perilaku tertentu pada gilirannya menciptakan kelas sosial.
Ada dua pendekatan dalam melihat seberapa penting dan dibutuhkannya stratifikasi sosial, yaitu Fungsional dan Konflik. Pertama, Pendekatan Fungsional[26]  yang dipelopori oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Menurut kedua pakar ini stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan berbagai macam jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan-pekerjaan yang yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal. Kedua, Pendekatan Konflik[27]  yang berasumsi berhadapan secara diametral dengan pendekatan Davis dan Moore. Dengan dipelopori oleh Karl Marx, pendekatan konflik berpandangan bahwa bukan kegunaan fungsional yang menciptakan stratifikasi sosial, melainkan dominasi kekuasaan. Artinya, menurut pendekatan konflik, adanya pelapisan sosial bukan dipandang sebagai hasil konsensus karena semua anggota masyarakat menyetujui dan membutuhkan hal itu tetapi lebih dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus menerima adanya perbedaan itu sebab mereka tidak memiliki kemampuan untuk menentangnya.
Adapun menurut Zanden, di dalam sosiologi dikenal tiga pendekatan untuk mempelajari stratifikasi sosial, yaitu: Objektif, Subjektif dan Reputasional.
1)        Pendekatan Objektif, artinya usaha untuk memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan dilakukan menurut ukuran-ukuran yang objektif berupa variabel yang mudah diukur secara kuantitatif. Misalnya, masyarakat dibagi menurut kategori umur, tingkat pendidikan, atau perbedaan besar penghasilan. Pihak yang dikategorikan menurut pendekatan objektif mungkin saja mereka tidak menyadari atau menolak termasuk ke dalam kategori yang dibuat secara onjektif oleh pakar tersebut.
2)        Pendekatan Subjektif, artinya munculnya pelapisan sosial dalam masyarakat tidak diukur dengan kriteria-kriteria yang objektif, melainkan dipilih menurut kesadaran subjektif warga masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan pendekatan objektif dimana peneliti bisa menyusun kategori statistik, untuk pendekatan subjektif yang tersusun adalah kategori sosial yang ditandai oleh kesadaran jenis. Seseorang yang menurut kriteria onjektif termasuk miskin, menurut pendekatan subjektif ini bisa saja dianggap tidak miskin kalau ia sendiri memang merasa bukan termasuk masyarakat miskin.
3)        Pendekatan Reputasional, artinya pelapisan sosial disusun dengan cara subjek penelitian diminta menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut ke dalam suatu skala tertentu, misalnya siapa yang paling kaya.[28]
Antara agama dan stratifikasi sosial memiliki hubungan yang mengandung multi-interpretasi. Hubungan lain dari keduanya adalah konversi atau beralih agama dari agama tertentu ke agama yang lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang pindah agama, antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial.[29]
Hubungan antara tingkat keberagamaan dan kedudukan dalam masyarakat dan struktur sosial, dan antara sifat keyakinan keagamaan dan kedudukan kelas sosial, telah dibicarakan secara intensif dan diperdalam selama ratusan tahun.[30] Agama dan pelapisan sosial merupakan dua hal yang berbeda, walaupun demikian, membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topik tetap akan mempunyai aspek-aspek positif dalam kajian akademis.
Agama dan masyarakat adalah dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial. Memang tidak mudah untuk dapat menentukan jumlah kelas sosial yang ada di masyarakat. Namun beberapa ahli menyimpulkan bahwa ada enam pembagian kelas sosial di masyarakat, yaitu: upper-upper class, lower-upper class, upper-middle class, lower-middle class, upper-lower class, dan lower-lower class. Klasifikasi di atas tentu tidak berlaku secara umum di semua masyarakat. Sebab setiap kota ataupun desa masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Manusia sering tidak sengaja dan tanpa sadar mengklasifikasikan orang lain ke dalam suatu kelas sosial, dan yang paling sering dijadikan patokan adalah status ia sendiri sebagai anggota masyarakat. Misalnya menilai seseorang sederajat, lebih tinggi atau lebih rendah darinya.Selain itu sejumlah orang menganggap orang-orang tertentu memiliki karakteristik perilaku tertentu yang pada gilirannya menciptakan kelas sosial.[31]
Di Amerika sekalipun yang sering dijadikan contoh Negara paling demokratis, hubungan antara agama dan kelas sosial tetap signifikan.Maksudnya karena tidak ada gereja Negara sebagai pemersatu agama mudah merembes ke dalam kelas-kelas sosial, sebagaimana dikemukakan Demmerath bahwa kegerejaan mencerminkan pengaruh sosial.Lebih lanjut dia memberi contoh bahwa agama di Amerika, khususnya Protetanisme secara umum dilihat sebagai kegiatan masyarakat kelas atas atau menengah.Terdapat tiga indikator yang mendukung pernyataan diatas, yaitu keanggotaan gereja, kehadiran dalam acara peribadatan gereja, dan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan resmi gereja.Dalam setiap unsur tadi, orang-orang yang berstatus tinggi tampaknya lebih dalam keterlibatannya daripada yang berstatus rendah.[32]
Demikian pula hasil penelitian Contril. Ia menemukan bahwa anggota-anggota Protestan pada umumnya mempunyai status yang lebih tinggi, meskipun perbedaan ini tidak terlalu besar di wilayah Amerika selatan dimana fundamentalisme Protestanisme kuat antara kelas-kelas bawah. Kelas sosial dengan kehadiran di gereja juga sangat besar hubungannya, kalangan bisnis tingkat kehadirannya di gereja lebih tinggi daripada kelas pekerja.[33]
Terlepas dari hasil penelitian di atas, yang jelas antara agama dan stratifikasi sosial memiliki hubungan yang mengandung multi interpretasi. Penelitian Weber misalnya menyatakan bahwa kelas menengah rendah dianggap memiliki peranan strategis dalam sejarah agama Kristen. Weber menyimpulkan bahwa staratifikasi sosial dianggap sebagai faktor yang menentukan kecenderungan-kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Tak heran jika Weber menyimpulkan bahwa kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti para budak dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-panji agama tertentu.[34]
Hubungan lain dari agama dan stratifikasi sosial adalah konversi, atau beralih agama, dari agama tertentu kepada agama lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang pindah agama, antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial. Ernest Troeltsch mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama Kristen berasal dari kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota besar, yang menikmati peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu.
Menurut Max Weber, stratifikasi sosial merupakan faktor yang menentukan kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Bagi Weber kelas-kelas yang secara ekonomis setidaknya mampu, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa agama-agama tertentu. Sedangkan menurut Ernest Troeltsch, stratifikasi sosial juga mempengaruhi konversi atau beralihnya agama. Penelitian yang ia lakukan membuktikan bahwa sebagian yang beralih ke agama kristen berasal dari kelas menengah ke bawah yang hidup di kota-kota besar yang menikmati peralihan peningkatan ekonomi yang terjadi secara lambat laun dari waktu ke waktu.[35]
Max Weber,[36] menghubungkan agama dengan stratifikasi sosial dengan ilustrasi sebagai berikut:
1)        Para pedagang kecil dan pengrajin di perkotaan lebih renggang hubungannya dengan alam dibandingkan dengan petani, kehidupan ekonominya lebih rasional, sangat mendambakan kejujuran, percaya bahwa setiap kerja ada imbalan yang seimbang karenanya mereka mempunyai pandangan dunia yang rasional yang dijiwai oleh etika pembalasan.
2)        Para petani terlibat langsung dengan proses peristiwa alam yang tidak dapat mereka perhitungkan untuk mempengaruhi kekuatan kosmos, cenderung tergantung kepada magis. Tidak terikat oleh kekuatan ekonomi pasar yang rasional. Mereka kurang kecenderungannya pada ide-ide pembalasan yang adil. Menurut Weber, kelas sosial petani kurang aktif dalam penyebaran agama.
3)        Kelas pedagang kaya tidak mempercayai etika pembalasan, teguh kepada orientasi keduniawian, ada kecenderungan menghindari ajaran etik agama. Akhirnya Weber menyimpulkan, semakin kurang untuk mengembangkan agama “dunia lain” atau other worldly religion.
4)        Buruh industri besar Eropa menunjukkan pradisposisi bagi doktrin keselamatan, tetapi lebih sering bersifat agama semu. Dalam lingkungan proletar umumnya agama digantikan oleh ideologi lainnya. Marxisme menjadi ajaran penyelamat sekuler bagi sebagian besar kelas buruh pada pertengahan abad 19 dan perang dunia II.
5)        Kelas elit politik jauh dari ide-ide keselamatan dan dosa. Dikatakan oleh Weber kelas-kelas yang mempunyai status sosial tinggi dan memiliki prevelese ekonomi, kurang mengembangkan ide keselamatan, dan cenderung menggunakan agama sebagai alat legitimasi pada kehidupan mereka di dunia.Dari contoh tersebut dapat tampak kondisi kehidupan mempengaruhi orientasi keagamaan. Dengan kata lain kondisi kehidupan dan stratifikasi sosial berkolerasi dengan kepercayaan, dan pengamalan keagamaan.[37]
Dua kesimpulan penting berkenaan dengan hubungan antara agama dan stratifikasi sosial diperoleh dari hasil penelitian Max Weber tentang agama-agama dunia: yang pertama terdapat dalam sejarah agama Kristen, Yahudi, Islam, Hinduisme, Budha, Konfusianisme, dan Taoisme. Suatu hubungan yang jelas dan dapat diamati di antara posisi sosial dengan kecenderungan menerima pandangan keagamaan yang berbeda. Yang kedu, ini bukanlah suatu penentuan yang tepat tentang pandangan keagamaan oleh stratifikasi sosial. Sebagai misal, kelas menengah rendah, yang dianggap Weber memainkan peranan strategis dalam sejarah agam Kristen, melihatkan “suatu kecenderungan yang pasti ke arah “congregational religion”, ke arah agama keselamatan, dan akhirnya ke arah agama etika rasional”. Ini berbeda sekali dengan kecenderungan keagamaan kaum petani. Tetapi Weber menegaskan bahwa hal ini “jauh dari setiap determinisme yang serupa”. Dia menegaskan bahwa “dalam kelas menengah rendah, dan khususnya di kalangan pengrajin, terdapat perbedaan besar yang saling berdampingan”, dan bahwa para pengrajin ini memperlihatkan “suatu diversifikasi yang sangat nyata”.[38]
Kita akan memperoleh pandangan yang lebih konkrit tentang apa yang terdapat dalam hubungan agama dengan stratifikasi sosial jika kita memperlihatkan apa yang harus dikaitkan Weber tentang agama dari berbagai kelas yang diamatinya. Sekarang marilah kita meneruskan pembahasan ini dengan kelas menengah rendah, khususnya kaum pengrajin perkotaan dan para pedagang kecil. Weber melihat kelompok ini dengan alam, jauh lebih renggang dibanding dengan petani dan jauh lebih terlibat dalam kehidupan yang bertolak dari pertimbangan ekonomis yang rasional. Karena itu, cara mereka menangani situasi kehidupan memberi kemungkinan berupa kemampuan memperhitungkan dan manipulasi secara sengaja. Disamping itu dia menemukan bahwa kejujuran merupakan cara berperilaku yang diandalkan kelompok ini, dan mereka cenderung percaya bahwa bekerja dan kewajiban bekerja sama akan menghasilkan suatu imbalan yang seimbang “karena alasan-alasan ini, para pedagang kecil dan kaum pengrajin bersedia menerima suatu pandangan dunia yang rasional dijiwai oleh etika pembalasan”.[39]
Sebaliknya para petani terlibat dalam proses organik dari berbagai peristiwa alam yang tidak dapat mereka perhitungkan. Dalam masyarakat tradisional, mereka tidak erat terintegrasi ke dalam ekonomi pasar yang rasional. Karena itu mereka cenderung tergantung pada magis untuk mempengaruhi kekuatan-kekuatan kosmos yang tidak rasional dan tidak bisa diramalkan. Mereka tidak begitu mudah cenderung pada ide-ide pembalasan yang adil, kecuali bila kekuatan magis telah dilumpuhkan, suatu proses dimana para pengrajin mungkin sekali memainkan peran penting, bukannya para petani itu sendiri. Menurut Weber petani sebagai kelas sosial tidak begitu sudi menjadi penyebar agama yang aktif kecuali kalau tidak diancam perbudakan atau dirampas harta miliknya. Sementara di awal tahap perkembangan kerajinan, kaum pengrajin juga terlibat intens dengan magis, tetapi gaya hidupnya berkembang ke arah rasional. Hal ini tidak dijumpai di kalangan petani kecuali mereka dirembesi oleh pengaruh luar yang sangat kuat.[40]
Weber menyadari bahwa kelas pedagang kaya sangat tidak mempercayai etika pembalasan, tidak seperti kelas menengah rendah, dan “sepanjang periode sejarah” tetap teguh pada “orientasi keduniawian” yang sangat berguna “menghindari kecenderungan-kecenderungan yang ada terhadap risalat agama dan etis”. Sesungguhnya mereka tidak pernah menjadi “penyandang panji-panji agama-etis atau agama penyelamat”. Menurut Weber, semakin tinggi posisi privilese kelas tersebut, semakin kurang kemungkinan mereka untuk mengembangkan agama keduniawian lainnya.[41]
Disamping itu para kesatria berada dalam kehidupan yang tidak menunjukkan afinitas dengan tuntutan etika yang sistematis tehadap hubungan transenden dengan Tuhan, atau dengan ide-ide seperti dosa-dosa, keselamatan dan kerendahan hati dalam pengertian keagamaan. Para kesatria ini menghadapi kematian, atau unsur-unsur yang tidak rasional dan tidak bisa diramalkan dalam eksistensi manusia sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari saja. Ia hanya tertarik pada penghargaan dan kebutuhannya pada agama hanya sebagai pelindung dari roh jahat, berdo’a demi kemenangan, atau keyakinan bahwa nanti ada surga bagi kaum kesatria. Etika pembalasan bukanlah merupakan ide yang ditemukan Weber sedang marak dalam konteks pengalaman kesatria. Petualangan dan kesempatan melayani keduniawian ini sampai tingkat tertentu telah menjauhkan perhatiannya sari aspek agama keduniawian lainnya.
Weber sangat tertarik mengkaji birokrasi di masyarakat Barat dan di dunia peradaban lainnya. Dia melihat kecenderungan agama di kalangan birokrat yang “secara klasik dirumuskan dalam faham Kong Hu Cu (Confucianism)”. Akibatnya, walaupun menarik secara estetika, adalah sikap opportunistis dan utilitarian. Ini merupakan badan konvensi yang memperlihatkan “tidak adanya perasaan butuh bagi keselamatan atau bagi setiap penempatan transenden bagi etika”. Agam personal yang sifatnya emosional cenderung dihilangkan. Menurut Weber di Cina pejabat menjunjung tinggi upacara menghormati (ritus) arwah leluhur dan orang-orang tua demi: terpeliharanya tertib sosial, tetapi sungguh dirasakan adanya jarak tertentu dari roh”.[42]
Weber menemukan kelas buruh industri modern di Eropa memperlihatkan pra-disposisi bagi doktrin keselamatan, tetapi lebih sering bersifta semu-agama ketimbang bersifat agama. “Dalam lingkungan rasionalisme proletar, agama pada umumnya digantikan oleh ideologi lainnya”. Marx menyebut kelas buruh Eropa sebagai “proletariat”, yang dimaksudkannya dengan istilah ini ialah kelas yang tidak memperoleh “bagian” dalam sistem sosial yang ada. Buruh bekerja dan hidup di suatu masyarakat dimana ia tidak merasa sebagai bagian dari masyarakat itu.[43] Marxisme menjadi ajaran penyelamat sekuler bagi sejumlah besar kelas buruh di masa pertengahan abad ke-19 dan Perang Dunia kedua.
Weber juga berbicara secara umum tentang kaum elit dan kelas yang tidak memiliki hak istimewa. Ide-ide seperti keselamatan, dosa dan kerendahan hati ditemukan Weber “jauh dari semua kelas elit politik” dan sebenarnya layak dicela sesuai dengan rasa kehormatan diri kelas yang demikian. Dia mengatakan: “jika hal-hal lain tetap sama, maka kelas-kelas yang punya status sosial tinggi dan yang memiliki privilese ekonomi akan kurang cenderung mengembangkan gagasan keselamatan. Sebaliknya, mereka memanfaatkan fungsi agama sebagai pengasah pola kehidupan kondisi mereka di dunia” Sebaliknya kelas yang tidak mempunyai hak istimewa atau yang sudah tergusur, menunjukkan kecenderungan untuk merangkul dan mengembangkan agama-agama penyelamat, “menerima pandangan dunia rasional yang dijiwai oleh etika konpenasi”, dan untuk memberikan persamaan derajat pada wanita dalam partisipasi keagamaan. Weber menyatakan: “selama setiap kebutuhan untuk keselamatan merupakan ungkapan dari beberapa keadaan yang sulit, maka tekanan sosial atau ekonomis merupakan sumber yang efektif  bagi keselamatan keyakinan, walaupun bukan sebagai sumber eksklusif satu-satunya”. Sebaliknya, Weber menyimpulkan “kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti para budak dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-panji agama tertentu”.[44]
Situasi rumit yang dilahirkan oleh tekanan sosial seringkali menyebabkan munculnya gerakan-gerakan messianik (ratu adil) yang dipimpin oleh para pemimpin kharismatik yang menawarkan keselamatan pada mereka yang tertindas baik pada dunia ini atau dunia nanti. Gerakan-gerakan semacam itu terdapat di seluruh dunia. Sementara sekarang ini gerakan tersebut cenderung berorientasi politik dan hanya merupakan gerakan keagamaan semu di masa lalu, sebagian gerakan tersebut mempunyai sifat keagamaan yang definitif. Lapisan sosial yang tertindas karena merasa perlu diselamatkan dari situasi yang tidak membahagiakan itu, telah mengembangkan ide-ide utopia berupa campur tangan Ketuhanan dan pendirian kerajaan Tuhan di bumi. Dalam Yudaisme, ide demikian dipautkan dengan harapan akan datangnya Messiah dan bermulanya abad Messianis, dalan agama Kristen ide telah lama dihubung-hubungkan dengan kedatangan kembali juru selamat beserta kerajaannya untuk selama ribuan tahun di atas bumi yang telah diperbaharui. Sedang agama lain mengambil bentuk macam-macam, dari Messianisme teologis yang canggih sampai pada beberapa cara pemujaan di kalangan orang-orang primitif. Mannheim, seorang pelopor studi sosiologi ilmu pengetahuan yang terkemuka, telah menunjukkan bagaimana dari perspektif kelas tertindas dan kerinduan mereka akan utopia lahir dalam pemikiran manusia. Dalam bab terakhir kita melihat bagaimana perkembangan organisasi keagamaan tertentu melahirkan gerakan protes dalam kelompok yang demikian. Menifestasi protes yang demikian seringkali merupakan akibat kombinasi daro oposisi agama dan oposisi sosial terhadap perkembangan masyarakat dan agama.[45]
Weber juga memberikan perhatian pada berbagai kecenderungan keagamaan di kalangan wanita. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa wanita memperlihatkan “sifat menerima yang besar” terhadap “semua risalat keagamaan kecuali agama yang berorientasi militer”. Dia juga mengatakan wanita cencerung berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan dengan keterlibatan emosional yang sangat tinggi, bahkan sampai mendekati tingkat yang disebutnya histeria.[46]
Apa yang ditawarkan oleh Weber pada pembaca adalah pandangan yang mendalam kepada kecenderungan hubungan antara stratifikasi sosial dan doktrin keagamaan. Ini bukan “hukum-hukum” sosiologis, mereka tidak mengklaim faktor sederhana dan faktor kedaulatan yang membentuk sifat sensitif keagamaan manusia. Kondisi kehidupan mempengaruhi kecenderungan agama manusia, dan kondisi kehidupan memiliki korelasi yang cukup berarti dengan fakta stratifikasi sosial di semua masyarakat. Namun perkembangan ide, nilai dan praktek tertentu di suatu masyarakat dapat mempengaruhi semua kelas, strata dan kelompok yang ada di masyarakat tersebut. Bila manusia disosialisir dalam suatu kebudayaan dan masyarakat tertentu, mereka akan belajar menerima ide-ide dan nilai-nilainya yang dominan, dan pelajaran mana ditunjang oleh pendapat umum para sahabat mereka melalui pensahihan konsensus. Weber menunjukkan kelas-kelas yang mungkin tidak berasal dari suatu tipe agama tertentu dalam hal ini dapat dipengaruhi oleh agama. Tambahan lagi ide-ide agama tertentu cenderung mempunyai daya tarik yang universal. Misalnya bila ide-ide tersebut telah dimapankan maka agama keselamatan (solvation religion) akan mempunyai daya pikat yang sangat luas. Pada abad pertengahan, aristokrat pejuang menempatkan agama Kristen dan etika pertarungan dalam tata krama kesatria. Weber mengatakan: “periode agitasi pembaharuan agama atau agitasi risalat sering menarik kebangsawanan ke jalur agama etika risalat, karena tipe agama seperti ini merembes ke seluruh kelas dan estate, oleh sebab itu kebangsawanan umum dianggap sebagai pembawa pendidikan pertama bagi awam”.[47]
          Thomas F. O’dea menyatakan bahwa pada awal abad pertengahan di kerajaan Romawi timbul tiga kelas utama, yaitu pengurus gereja, bangsawan dan rakyat. Gereja merupakan lembaga sentral dan paling berpengaruh. Gereja menjalankan fungsi demi terlaksananya tujuan dan nilai-nilai keagamaan. Karena itu gereja banyak memiliki warisan nilai moral dan kultural serta nilai-nilai agama merupakan nilai sentral pada kebudayaan Kristianitas Eropa.
          Pengurus gereja dan agama merupakan inti aktif yang penting dalam masyarakat. Sedangkan para jemaah awam merupakan anggota “kelas dua”. Apalagi dalam kenyataan pemimpin tertinggi gereja seperti para uskup, anggota biara dari kelas bangsawan. Lagi pula gereja mengumpulkan kekayaan dan sumbanagan, akhirnya gereja terlibat dalam hubungan feodalisme. Dalam pengurusan kegerejaan sukar dibedakan antara kaum agamawan, bangsawan dan foedalis. Akhirnya tantangan gerakan sosial terhadap gereja dari kelas menengah bawah yang membenci gereja.
Di biara berkembang protes melawan kelemahan moralitas kependetaan. Dalam situasi seperti ini agama berfungsi memperkuat kedudukan istimewa para pemimpin gereja, di lain pihak dapat melahirkan gagasan dan kepemimpinan untuk protes dari kelas baru. Agama secara kompleks terjalin dengan unsur lain dalam masyarakat. Gagasan dan nilai sebagian dipengaruhi oleh faktor premordial kelompok sosial. Agama sekaligus mempengaruhi dan dipengaruhi kondisi sosial, berfungsi sebagai sebab maupun akibat.[48]
          Glock dan Stark menegaskan kelas sosial mempunyai pengaruh besar terhadap lokasi gereja. Partisipasi kegiatan keagamaan juga berbeda karena perbedaan kelas sosial.[49] Orang-orang miskin kurang yang menjadi anggota gereja, mengikuti acara kurang teratur, kurang melibatkan diri dalam kegiatan gereja. Mereka juga kurang mendapat informasi tentang pelajaran agama.
          Akan tetapi bagi orang-orang miskin yang biasa ke gereja cenderung secara emosional lebih tebal kepercayaannya dibandingkan dengan mereka yang tinggi income-nya.[50]
          Fukuyama,[51] meneliti 4.000 anggota dari 12 gereja congregational daerah urban. Ia mengukur keterlibatan terhadap kehidupan keagamaan dengan indikator variabel sebagai berikut:
1) pengetahuan tentang Bible dan ajaran agama
2) partisipasinya di gereja
3) kepercayaan terhadap doktrin gereja dan
4) “perasaan” keagamaannya yang ditunjukkan oleh ketaatan beribadah, dan membaca Bible. Hasilnya menunjukkan bahwa pengetahuan dan partisipasi keagamaan berkolerasi dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi, sedangkan intensitas perasaan keagamaan berkolerasi dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah.
          Orang-orang yang lebih kaya cenderung lebih tinggi pengetahuan keagamaannya, lebih formal dan terorganisir dibandingkan dengan orang yang miskin. Mereka pergi ke gereja secara teratur,  lebih aktif di gereja dan mendapat informasi tentang ajaran keagamaan dengan baik. Tetapi dibandingkan dengan orang miskin yang sering ke gereja, mereka kurang keimanannya dan kurang ekspresif, secara emosional kurang khusyu’. Dengan kata lain, orang-orang miskin lebih jarang pergi ke gereja, kurang mendapat informasi serta kurang mengikuti kegiatan gereja. Tetapi mereka (orang miskin) yang religious cenderung lebih tekun.
          Mengenai hubungan stratifikasi sosial dan sikapnya terhadap institusi agama dikemukakan oleh Broom,[52] bahwa wanita lebih banyak yang percaya kepada institusi agama dibanding dengan pria. Wanita menganggap ajaran agama sangat penting, orang kulit hitam lebih tinggi dibanding dengan kulit putih. Lebih banyak presentase orang kulit hitam yang menganggap ajaran agama sangat penting. Sedang dilihat dari segi usia, tampak semakin bertambah usia semakin tebal kepercayaannya terhadap institusi agama. Namun semakin tinggi pendidikannya semakin rendah tingkat kepercayaan terhadap institusi agama atau semakin rendah presentase orang yang menganggap pentingnya ajaran agama.
          Dilihat dari status pekerjaan, orang yang pekerjaannya memerlukan keahlian (white collar) lebih banyak yang menganggap ajaran agama sangat penting dibanding dengan orang pekerja kasar (blue collar) dan lebih tinggi presentasenya ibu-ibu rumah tangga yang menganggap ajaran agama sangat penting dibandingkan dengan barang yang lainnya.
Aristoteles berpendapat bahwa perbuatan yang paling baik dilakukan manusia ialah merealisasikan diri (self-realization) sejauh mungkin, sesuai dengan kemampuan setiap individu. Apa yang dimaksud dengan realisasi diri oleh Aristotelesini tidak lain dari penggunaan ‘akal’.[53]Untuk tujuan-tujuan meningkatkan nilai diri sebagai manusia.
Interpretasi dari penggunaan akal ini, dengan sendirinya menyangkut, masalah-masalah perbaikan hidup, dimana akal dijadikan sebagai alat utama untuk maju. Akal yang sehat dengan sendirinya dilandasi oleh moral yang tinggi. Bila akal saja yang cerdas, tetapi budi pekerti/moral rusak, maka self realization itu salah tempat. Mestinya ia tidak ditempatkan pada diri manusia, tetapi pada tubuh hewan.
Pendapat ini dikuatkan oleh Urban, dengan uraiannya: “Bilamana self itu dimisalkan ada pada binatang, maka dengan sendirinya perbuatan-perbuatannya juga adalah merupakan realisasi dari binatang”. Sebab itu pengertian self itu sendiri tidak lain dari pengertian yang sifatnya spiritual, rohaniah. Spiritual disini mengandung suatu dinamika, yang menghidupi pisik dan akal, budi/rasio manusia. Semua perbuatan manusia, tidak lain dari perbuatan self yang bernilai spiritual itu. Untuk jelasnya diberikan sebuah contoh sebagai berikut: Perbuatan akal/rasio itu, tentulah nilainya lebih tinggi daripada perbuatan fisik, sebab perbuatan akal adalah intrinsik, sifatnya permanen, produktif. Sedang perbuatan fisik misalnya mengambil air, adalah merupakan realisasi dari hasil pikiran yang dikerjakan oleh fisik. Manusia dalam realisasi dirinya, sudah seharusnya terealisasi dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan martabat dirinya. Bila terjadi suatu realisasi yang bernilai kurang baik, tidak senonoh, maka itu berarti manusia yang bersangkutan sengaja menurunkan nilai dirinya, turun menjadi self yang tidak spiritual lagi, menjadi suatu fisik yang evil, jahat.[54]


Contoh Unsur-unsur Agama dan Unsur-unsur Stratifikasi Sosial
Unsur-unsur Agama
Unsur-unsur Stratifikasi Sosial
Contoh
Penjelasan
1.    Simbol Agama
1.    Kedudukansosial
1.1 Ascribed Status
1.2 Achieved Status
1.3  Assigned Status

1.   Adanya perbedaan kasta di Bali
1.1     kedudukan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam suatu keluarga.
1.2     harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan
1.3     kesalehan seseorang dalam beragama
1.    Kedudukan seorang brahmana
1.1  kedudukan seorang anak bangsawan.
1.2  seorang sarjana kedudukan-nya lebih tinggi daripada seorang lulusan sekolah dasar
1.3  seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang dalam, ia akan memiliki status yang tinggi di masyarakat.
2.    Kepercayaan
2.    Peranan sosial
2.1 Peranan bawaan (ascribed roles)
2.2 Peranan pilihan (achive roles)
2. Kyai,pendeta
2.1Peranan sebagai seorang ibu
2.2Seseorang memutus-kan memilih fakultas Tarbiyah UIN Malang
2.Orang yang berpengaruh penting dalam masyarakat sekitar
2.1Sebuah peranan yang dibawa secara otomatis.
2.2Sebuah peranan yang dipilih menurut keputusannya.
3.    Praktik Keagamaan
3.    Kelompok
3.Pengajian, khutbah, merayakan hari raya agama masing-masing 
3. Kegiatan untuk menyebarkan keagamaan
4.    Pengalaman Keagamaan
3.    Lembaga
4.   Menikah dengan lain agama
4.Berpindah-pindah agama
5.      Umat Beragama

5.   Islam, Kristen, Hindu, Budha
5.Kepercayaan yang dianut oleh umat beragama
C.  ANALISIS DAN DISKUSI

1.    Analisis
Menurut kami unsur-unsur agama adalah mitos, sakral, spiritual, simbol agama, kepercayaan, praktik keagamaan, pengalaman keagamaan dan umat beragama. Agama merupakan kepercayaan yang ada pada setiap individu kemudian stratifikasi sosial merupakan tingkatan kelas yang ada di dalam masyarakat berada di tingkatan kelas bawah, mengengah dan atas.
Unsur-unsur stratifikasi sosial adalah kedudukan sosial (status sosial) dan peranan (peran sosial), kelompok, dan lembaga.
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan kelas-kelas yang ada didalam masyarakat secara bertingkat dilihat atas dasar kekuasaan, hak istimewa, dan juga prestise. Stratifikasi sosial ini memandang bahwa didalam masyarakat terdapat tingkatan kelas yaitu: kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas. Didalam kelas itu dikuasai oleh kaum Borjuis yang selalu menindas para kaum ploretar.
Hubungan agama dengan stratifikasi sosial adalah bagaimana masyarakat yang berada pada tingkatan bawah dalam mengikuti aktivitas keagamaan atau tingkat spiritual mereka ketika berada pada posisi kelas bawah. Mengacu pada paparan materi di makalah bahwasanya masyarakat yang berada pada tingkatan kelas bawah tingkat spiritualnya rendah dan kelas atas tingkat spiritualnya dirasa lebih tinggi. Di dalam kelas dalam masyarakat sebenarnya hubungan antara agama dengan kelas itu sangatlah sederhana dimana para kaum kelas menengah ke atas itu agama bagi mereka merupakan etis rasional dan kelas menengah kebawah memandang bahwa agama itu merupakan apa yang dianggap sebagai acuan di dalam hidup mereka, dirasa agama sebagai hal yang sangat sakral di dalam kehidupan mereka.

2.    Diskusi

D.  KESIMPULAN

1.    Unsur-unsur agama adalah mitos, sakral, spiritual, simbol agama, kepercayaan agama,praktik keagamaan, pengalaman keagamaan, dan umat beragama.
2.    Pengertian stratifikasi sosial secara etimologi adalah stratifikasi berasal dari kata stratification atau dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Stratifikasi sosial secara terminologi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis).
3.    Unsur-unsur stratifikasi sosial adalah kedudukan sosial (status sosial), peranan (peran sosial), kelompok dan lembaga.
4.    Antara agama dan stratifikasi sosial memiliki hubungan yang mengandung multi-interpretasi. Hubungan lain dari keduanya adalah konversi atau beralih agama dari agama tertentu ke agama yang lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang pindah agama, antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial.


DAFTAR RUJUKAN

Mubaraq, Zulfi. 2010.Sosiologi Agama.Malang: UIN-Maliki Press.
Kurniawan,Dhonny. Kamus Praktis Ilmiah Populer. Yogyakarta: Karya Ilmu.
O’Dea, Thomas F.1996.Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Robertson,Roland, ed. 1988.Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: CV.Rajawali.
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Weber,Max. 2002. Sosiologi Agama. Jakarta: IRCiSoD.
KBI (Kamus Bahasa Indonesia). 2008.Pusat Bahasa.
Djamari H.1993.Agama: Dalam Perspektif Sosiologi.Bandung: CV Alfabeta.
http://aangkunefidwidra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/unsur-agama.html, Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:00.
http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/agama-dan-stratifikasi-sosial.html, Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:15.
http://www.syahidismail.com/2011/12/agama-dan-stratifikasi-sosial.html, Minggu, 27 Oktober 2013, 05:30.
http://sosiologiislamsma.blogspot.com/2010/05/stratifikasi-sosial-dalam-pandangan.html, Senin, 28 Oktober 2013, 10:11.
http://www.bisosial.com/2012/10/unsur-unsur-stratifikasi-sosial.html, Rabu, 11 Desember 2013, 15:30.
http://ninaelfishy.blogspot.com/2012/12/lapisan-masyarakatstratifikasi-sosial.html, Kamis, 5 November 2013, 14:20.
http://www.kedipmata.com/stratifikasi-sosial/, Rabu, 4 November 2013, 16:10.
http://andhiniputri.wordpress.com/2013/11/15/unsur-unsur-stratifikasi-sosial/, Sabtu, 26 Oktober 2013, 15:15.
http://tantridilogi10.blogspot.com/2013/06/agama-dan-stratifikasi-sosial.html, Minggu, 27 Oktober 2013, 16:45.


                                        


[1]Dr. H. Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Bandung: CV Alfabeta, 1993), 30.
[2]Ibid., 33.
[3]Ibid., 35.
[4]http://aangkunefidwidra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/unsur-agama.html, Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:00.
[5]Menurut KBI (Kamus Bahasa Indonesia) – Pusat Bahasa, 2008, 1377.
[6] Dhonny Kurniawan,S.Pd., Kamus Praktis Ilmiah Populer(Yogyakarta: Karya Ilmu), 441.
[7] Dhonny Kurniawan,S.Pd., Kamus Praktis Ilmiah Populer,(Yogyakarta: Karya Ilmu), 441.
[8]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 63. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 204.
[9] http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/agama-dan-stratifikasi-sosial.html, Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:15.
[10]Ibid.
[11]http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/agama-dan-stratifikasi-sosial.html, Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:15.
[12]http://www.syahidismail.com/2011/12/agama-dan-stratifikasi-sosial.html, Minggu, 27 Oktober 2013, 05:30.
[13]http://sosiologiislamsma.blogspot.com/2010/05/stratifikasi-sosial-dalam-pandangan.html,
Senin, 28 Oktober 2013, 10:11.
[14]http://www.bisosial.com/2012/10/unsur-unsur-stratifikasi-sosial.html,Rabu, 11 Desember 2013, 15:30.
[15]http://ninaelfishy.blogspot.com/2012/12/lapisan-masyarakatstratifikasi-sosial.html,Kamis,5Desember 2013, 14:20.
[16]Ibid.
[17]http://www.kedipmata.com/stratifikasi-sosial/, Rabu, 4 Desember 2013, 16:10.
[18]http://andhiniputri.wordpress.com/2013/11/15/unsur-unsur-stratifikasi-sosial/, Kamis, 26 Oktober 2013, 15:15.
[19]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 198. Lihat Pitirim A. Sorokin, Social and Cultural Mobility, (Collier-Macmillan Limited, London: The Free Press of Glencoe, 1959), 11.
[20]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 64. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 203.
[21]Mubaraq, Sosiologi Agama, 64; J. DwiNarwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,(Jakarta: Kencana, 2007),154.
[22]Ibid.,154-155.
[23]Ibid., 65.
[24]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 66. Lihat Abdul Syani, Sosiologi:  Sistematika, Teori dan Terapan (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 85-86.
[25]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 155. Lihat Horton & Hunt, Sosiologi, jilid 2 (Jakarta, 1992) 5.
[26]Mubaraq, Sosiologi Agama, 66; Narwoko dan Suyanto, Sosiologi, 166.
[27]Ibid., 66.
[28]Ibid., 67.
[29]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 67. Lihat Dadang Kahmad, SosiologiAgama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), 157.
[30]Roland Robertson, ed., Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta:Rajawali Pers,1988), 393.
[31]http://tantridilogi10.blogspot.com/2013/06/agama-dan-stratifikasi-sosial.html, Minggu, 27 Oktober 13, 16:45.
[32]Max Weber, Sosiologi Agama (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002), 156. Lihat Roland Robertson, ed., Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terjemahan Ahmad Fedyani, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 395.
[33]Ibid., 156.
[34]Ibid., 157. Lihat Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), 109.
[35]http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/agama-dan-stratifikasi-sosial.html, Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:15.
[36]Dr. H. Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Bandung:CV Alfabeta,1993), hlm. 113. Lihat  Max Weber, The Sociology of Religion, terj. Eprhaim Fischoff, Beacon Press, Boston, 1963, hlm.91-101; Thomas O’dea The Sociology of Religion, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1996, hlm. 58.
[37]Ibid., 115.
[38]Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1996), hlm. 109. Lihat Max Weber, The Sociology of Religion, diterjemahkann oleh Ephraim Fishoff (Boston: Beacon Press, 1963), hlm. 95-95.
[39]Ibid., 109-110.
[40]Ibid., 110.
[41]Ibid., 111.
[42]Ibid., 111-112.
[43]Ibid., 112.
[44]Ibid., 113.
[45]Ibid., 113-114.
[46]Ibid., 114-115.
[47]Ibid., 115-116.
[48]Dr. H. Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologis (Bandung: CV Alfabeta, 1993), 115-116. Lihat Thomas F. O’dea, Ibid., hlm. 59060.
[49]Ibid., 116. Lihat Charles Y. Glock and Rodney Stark, Religion, Society in Tension, Rand McNally, Chocago, 1915, hlm. 187.
[50]Ibid., 116. Lihat Nicholas J. Demerath, Social Class in American Protestantism, Rand McNally, Chicago, 1965, hlm. 65.
[51]Ibid.,116. Lihat Yoshio Fukuyama, Population change in Europa Since 1939, Allen & Unwin, London, 1951.
[52]Ibid., 117. Lihat L. Broom & Philip Selznick, Dorothy B. Darroch, Sociology, Harper & Row Publisher, New York, 1981, hlm. 393.
[53]Ibid., 45. Lihat Thomas English Hill, Contamporary Ethical Teories.
[54]Ibid., 45. Lihat W.M. Urban, Fundamentals of Ethics, Henry Holt & Co, N. York 1930.

0 komentar:

Posting Komentar