A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Alhamdulillahi robbil
‘alamin, segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami kelompok VII yang beranggotakan
Mellyyana Romlatul Munawwaroh, Tsuaibatul Islamiyah, Amalia Khusna R, dan Irma
Mei Nursanti kelas IPS B Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
semester III mampu menyelesaikan tugas makalah dengan mata kuliah Sosiologi Agama dengan judul “Hubungan Agama
dengan Stratifikasi Sosial” ini dengan baik dan tepat waktu. Taklupa pula kami
ucapkan terima kasih kepada Dr. H. Zulfi Mubaraq, M.Ag selaku dosen pengampu
mata kuliah Sosiologi Agama.
Pentingnya membahas
topik Hubungan Agama dengan Stratifikasi Sosial adalah untuk memberikan
pemahaman dan wawasan kepada kita tentang segala hal yang berkaitan dengan
Hubungan Agama dengan Stratifikasi Sosial.
Isi global dari
makalah ini adalah membahas mengenai unsur-unsur agama menurut beberapa tokoh,
unsur-unsur stratifikasi sosial, pengertian stratifikasi sosial baik secara
etimologi dan terminologi, dan hubungan antara agama dengan stratifikasi sosial.
1.
Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dari topik di atas adalah:
a.
Untuk memahami
unsur-unsur agama.
b.
Untuk memahami pengertian
stratifikasi sosial secara etimologi dan terminologi.
c.
Untuk memahami
unsur-unsur stratifikasi sosial.
d.
Untuk memahami hubungan antara agama
dan stratifikasi sosial.
2.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang masalah diatas dapat dirumuskan rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
a.
Apa unsur-unsur
agama?
b.
Apa pengertian
stratifikasi sosial secara
etimologi dan terminologi?
c.
Apa unsur-unsur
stratifikasi sosial?
d.
Bagaimana
hubungan antara agama dan stratifikasi sosial?
B.
POKOK PEMBAHASAN
1.
Unsur-Unsur Agama
Secara sepintas kita telah mengenal beberapa
unsur yang sering dianggap sebagai ciri-ciri dari agama, terutama agama dalam
arti sempit dan tradisional. Unsur-unsur tersebut ialah: mitos, sesuatu yang
dianggap sakral, ritual dan pengalaman keagamaan.
a.
Mitos
Mitos adalah bentuk pengungkapan intelektual
premordial dari kepercayaan, sikap keagamaan atau merupakan filsafat primitif,
pengungkapan pemikiran yang sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia
untuk menjelasakan kehidupan dan kematian, takdir dan hakekat, tuhan dan
pemujaan. Mitos juga merupakan pernyataan manusia yang kompleks dan dramatis,
yang melibatkan pikiran, perasaan, sikap dan sentimen.[1]
b.
Sakral
Semua agama erat hubungannya dengan sesuatu
yang dianggap sakral, yaitu yang mempunyai nilai dan makna istimewa dan
menimbulkan rasa hormat. Kesakralan yang dimiliki oleh sesuatu, timul dari
keyakinan bahwa sesuatu itu mengandung kekuatan ghaib. Tetapi pecaya kepada
kekuatan sakral, belum tentu berarti percaya kepada tuhan atau spirit tertentu.[2]
c.
Ritual
Semua orang mengenal ucapan ritual. Ritual
agama tidak hanya membuktikan adanya yang sakral, namun sebaliknya kesakralan
dipelihara oleh pelaksanaan ritualisasi. Salah satu ritual menggugah perasaan
tertentu. Perasaan keagamaan tergantung kepada hakekat seremoni dan berhubungan
sesuatu yang dianggap paling suci oleh masyarakat. Ritual merupakan pengulangan
perasaan dan sikap, yang berguna untuk memantapkan solidaritas kelompok.[3]
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa
unsur pokok:
a.
Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa
ada keraguan lagi.
b.
Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c.
Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan
Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai
dengan ajaran agama.
d.
Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan
yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
2.
Pengertian Stratifikasi Sosial
Secara etimologi, stratifikasi adalah
pembedaan kelas-kelas masyarakat secara bertingkat.Secara terminologi,
stratifikasi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat-masyarakat kedalam
kelas-kelas secara bertigkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise.[5]
Secara etimologi, sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat; peduli
terhadap kepentingan umum.[6]Secara
terminologi, sosial adalah kemampuan untuk memahami cara-cara penyesuaian diri
atau penempatan diri di lingkungan sosial atau kewajiban atas dasar norma
tingkah laku lingkungannya.[7]
Stratifikasi sosial terdiri dari dua kata, yaitu stratifikasi dan sosial.
Secara bahasa, stratifikasi berasal dari kata stratification atau dari stratum
(jamaknya: strata yang berarti lapisan), jadi stratifikasi sosial adalah
pelapisan, pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat
(hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang
rendah. Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam
masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban,
kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara
anggota-anggota masyarakat.[8]
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial
(social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota
masyarakat secara vertikal (bertingkat). Seorang sosiolog terkemuka, yaitu
Pitirim A. Sorokin mengemukakan, stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk
atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis).
Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang
berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam
masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup
teratur. Stratifikasi sosial menurut Max Weber adalah stratifikasi sosial
sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial
tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan,
privilese dan prestise. Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial Ukuran atau
kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial
adalah sebagai berikut:
a) Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat
dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial
yang ada, barang siapa memiliki kekayaanpaling banyak ia akan termasuk lapisan
teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak
mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan
tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda
tersier yang dimilikinya, model cara berpakaian, maupun kebiasaannya dalam
berbelanja.
b) Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang
paling besar menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran
kekayaan, sebab orang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai
orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat
mendatangkan kekayaan.
c) Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari
ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati
akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran
kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka
sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para
orang tua ataupun orangt-orang yang berperilaku dan berbudi luhur.
d) Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh
anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang
paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem
pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini
biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik atau profesi yang disandang oleh
seseorang.[9]
Seorang ahli filsafat dari Yunani yaitu
Aristoteles pernah mengatakan bahwa di dalam tiap-tiap negara terdapat tiga unsur,
yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang miskin, dan mereka yang berada di
tengah-tengahnya. Ucapan demikian itusedikit banyaknya membuktikan pada zaman
itu orang telah mengakui adanya lapisan-lapisan di masyarakat yang mempunyai
kedudukan bertingkat-tingkat dari bawah ke atas.
Berdasarkan status yang diperoleh dengan
sendirinya ini anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis
kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti
kasta dan kelas. Berdasarkan status yang diperoleh ini kita menjumpai berbagai
macam stratifikasi. Bentuk konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat tersebut
bermacam-macam. Namun pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu: [10]
1) Kelas yang didasarkan pada faktor ekonomis,
2) Kelas yang didasarkan pada faktor politis,
3) Kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu
dalam masyarakat.
Ketiga bentuk tersebut biasanya saling
berkaitan satu dengan lainnya. Misalnya, mereka yang termasuk lapisan tertentu
atas dasar politis, biasanya menduduki lapisan tertentu pula dalam lapisan atas
dasar ekonomis, dan biasanya mereka juga menduduki jabatan-jabatan tertentu
dalam masyarakat.
Dalam stratifikasi
sosial, terdapat sebuah model stratifikasi yang sangat popular, yakni model
trikotomik cetusan Clifford Geertz. Model trikotomik Geertz menggolongkan
masyarakat Mojokunto, Kediri, yaitu: santri, abangan dan priyayi. Santri
berpusat di daerah perdagangan atau pasar.Golongan ini berusaha mengamalkan
ajaran Islam tanpa memasukkan unsur-unsur kepercayaan lainnya.Abangan, berpusat
di daerah pedesaan.Pengalaman keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan
Animisme. Priyayi, berpusat di kantor pemerintah. Pengalaman keagamaan mereka
banyak dipengaruhi aspek-aspek Hindu.Trikotomik Geertz memang sejak awal
membingungkan karena mencampuradukkan aspek keberagamaan dengan stratifikasi
sosial dan dalam kenyataan tidak sesederhana itu karena masing-masing terjadi
konversi dan perbaruan.Pada akhirnya muncul dugaan, Geertz ingin menciptakan
konsepsi untuk memberikan substansi kepada teori kelas menengah.Golongan
priyayi menempati posisi teratas, kaum santri di bagian tengah dan golongan abangan
berada di bagian bawah.[11]
Contoh
stratifikasi sosial dalam Islam adalahIslam pada zaman Nabi masih menggunakan
dalam hal mengerjakan pekerjaan yang kasar dan berat, tetapi sistem kerjanya
tidak seperti yang ditampakkan pada kasta Sudra yang ada di agama Hindu,
budak-budak yang ada di Islam pun bisa di bebaskan dan dapat hidup normal pada
sedia kala, budak-budak ini pada umumnya didapatkan pada saat berperang dan
tentara lawan yang kalah dalam peperangan pada umumnya dijadikan sebagai budak.
Apakah di agama Islam ada yang dinamakan stratifikasi sosial? sangat singkat
dan paten Allah SWT berfirman “bahwa setiap manusia dihadapanKu sama dan yang
membedakannya adalah kadar ketaqwaannya saja” dalam hal beribadahpun Islam
tidak pernah membedakan antara si kaya dan si miskin, si Tua dan si Muda dan
lain sebagainya, itu yang ada di dalam agama Islam, tetapi didalam masyarakat
Islam stratifikasi sosial tetap ada demi keteraturan suatu wilayah tersebut
untuk pembagian kerja menurut proporsi mereka masing-masing.[12]
Islam
sangat memperhatikan akhlak atau perilaku yang baik terhadap orang lain. Umat
Islam diperintahkan untuk menghormati orang yang mempunyai keutamaan, apakah
itu kekuasaan, ilmu, kekayaan, dan kehormatan, bila semua itu dalam konteks
ketaqwaan. Penguasa yang adil sangat dimuliakan dalam Islam. Kita harus taat
padanya.
Orang
yang berilmu ('alim) sangat dimuliakan dalam Islam. Kita harus menghormatinya.
Orang kaya yang dermawan, mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam. Kita
harus menghormatinya. Orang yang berjasa kepada masyarakat, mempunyai kedudukan
yang mulia dalam Islam. Kita harus menghormatinya.
Itu
artinya, adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat merupakan hal yang wajar.
Karena anggota masyarakat mempunyai perbedaan kelebihan. Penghormatan kepada
orang yang mempunyai kelebihan, dalam konteks ketaqwaan, juga diperintahkan
dalam Islam.
Namun,
ada tapinya. Bila strata itu dalam konteks kasta, seperti kasta di India, yang
menetapkan kasta tertentu lebih tinggi kedudukannya dan ada beberapa aturan
yang membeda-bedakan antar kasta, hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran
Islam.
Stratifikasi
umat Islam berdasarkan ketaqwaan digambarkan Allah sebagai berikut:
1. Golongan
Nabi
2. Golongan
Orang yang Shidiq
Contoh sahabat Nabi yang dapat gelar Ash-Shiddiq: Abu
Bakar.
3. Golongan
Orang yang Mati Syahid
4. Golongan
Orang yang Sholih[13]
3.
Unsur-Unsur Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial terdiri dari dua
unsur, yaitu kedudukan sosial (status sosial) dan peranan (peran sosial).
Kedudukan sosial dan peranan sosial merupakan dua unsur yang memiliki arti
penting bagi sistem sosial.
a.
Kedudukan sosial (status sosial)
Setiap individu dalam masyarakat
memiliki status sosialnya masing-masing. Status merupakan perwujudan atau
pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status
sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi seseorang dalam
kelompok masyarakatnya.[14]
Ada 3 macam status sosial dalam
masyarakat:[15]
1)
Ascribed Status adalah tipe status yang
didapat sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan,
suku, usia, dan lain sebagainya. Misalnya, kedudukan seorang anak bangsawan
adalah bangsawan pula, seorang kasta Brahmana juga akan memperoleh kedudukan yang
sama.
2)
Achieved Status adalah status sosial
yang didapat seseorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contoh
achieved status yaitu seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan,
dll. Status pekerjaan, misalnya sebagai dokter, dosen, buruh, dll, sangat
menentukan status seseorang dalam masyarakat. Begitu juga dengan tingkat
pendidikan yang telah ditempuh seseorang. Seorang sarjana tentu dipandang lebih
tinggi statusnya dari pada orang yang hanya lulus sekolah dasar. Hal itu
merupakan hasil dari usaha keras yang telah dilakukan.
3)
Assigned Status adalah status sosial
yang diperoleh seseorang didalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak
lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya
seperti seorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan
sebagainya. Dalam hal ini, kesalehan seseorang dalam beragama termasuk
didalamnya. Jika seseorang memiliki pengetahuan agama yang dalam, maka ia akan
memiliki status yang lebih tinggi di masyarakat.
b.
Peranan (Peran sosial)
Sedangkan peran sosial merupakan aspek
yang lebih dinamis dibandingkan dengan kedudukan. Status sosial merupakan
unsure statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi masyarakat.
Peran lebih menjurus pada fungsi seseorang dalam masyarakat. Meskipun demikian,
keduanya tak dapat dipisahkan karena satu dengan yang lainnya saling
berhubungan.
Berdasarkan cara memperolehnya, peranan
dibedakan menjadi dua yaitu:[16]
1)
Peranan bawaan (ascribed roles) : yaitu
peranan yang diperoleh secara otomatis, bukan karena usaha, misalnya peranan
sebagai nenek, anak ketua RT, dan sebagainya.
2)
Peranan pilihan (achive roles) : yaitu
peranan yang diperoleh atas keputusannya sendiri, misalnya seseorang memutuskan
untuk memilih Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Berdasarkan pelaksanaanya, peranan
sosial dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a)
Peranan yang diharapkan (expected
roles) : yaitu cara ideal dalam pelaksanaan peranan menurut penilaian
masyarakat. Masyarakat menghendaki peranan tersebut dilaksanakan
secermat-cermatnya dan tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan seperti yang
telah ditentukan. Misalnya, peranan hakim, diplomatic, dan sebagainya.
b)
Peranan yang disesuaikan (actual roles)
: yaitu cara bagaimana sebenarnya peranan tersebut dijalankan. Peranan ini
pelaksanaannya lebih dinamis, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi
tertentu.
Menurut Levinson yang dikutip oleh Soerjono Soekanto,
suatu peranan mungkin mencakup 3 aspek yaitu :
(1). Meliputi norma-norma yang
dihubungkan dengan posisi seseorang di dalam masyarakat.
(2). Merupakan suatu konsep tentang apa
saja yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat.
(3). Peranan dapat dikatakan sebagai
prilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.[17]
c. Kelompok
Kelompok adalah kumpulan orang yang
meiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi.
d.
Lembaga
Lembaga
adalah suatu sistem norma untuk mencapai tujuan yang dianggap penting oleh
masyarakat.[18]
4.Hubungan Agama dengan Stratifikasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, di dalam setiap
masyarakat di mana pun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai.
Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan,
status haji, status “darah biru” atau keturunan dari keluarga tertentu yang
terhormat, atau apa pun yang bernilai ekonomis. Di lingkungan masyarakat
pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak sering kali dianggap jauh lebih berharga
daripada gelar akademis, misalnya. Sementara itu, di lingkungan masyarakat kota
yang modern, yang terjadi sering kali sebaliknya.[19]
Pitirim A.Sorokin mengemukakan bahwa sistem
pelapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap
masyarakat yang hidup dengan teratur. Mereka yang memiliki barang atau sesuatu
yang berharga dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan
sebaliknya mereka yang yang memiliki dalam jumlah yang relatif sedikit atau
bahkan tidak memiliki sama sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang
rendah.[20]
Bentuk konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu: pertama, kelas
yang didasarakan pada faktor ekonomis; kedua, kelas yang didasarkan pada
faktor politik; ketiga, kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan
tertentu dalam masyarakat. Ketiga bentuk tersebut biasanya saling berkaitan
satu dengan lainnya. Misalnya, mereka yang termasuk lapisan tertentu atas dasar
politik, biasanya menduduki lapisan tertentu pula dalam lapisan atas dasar
ekonomi, dan biasanya mereka juga menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam
masyarakat. Oleh karena itu sebagaimana dijelaskan di atas bahwa sistem lapisan
dalam masyarakat itu bersifat kumulatif, kendati tidak semua demikian, karena
hal itu sangat bergantung pada sistem nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.[21]
Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan
karakteristik stratifikasi sosial, yaitu:[22]
a.
Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan.
Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan
kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya.
b.
Perbedaan dalam gaya hidup (life style).
Seseorang direktur sebuah perusahaan, selain dituntut selalu berpakaian rapi,
mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan aksesoris
aksesoris lain untuk menunjang kemantapan penampilan.
c.
Perbedaan dalam hak-hak dan akses dalam
memanfaatkan sumber daya. Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan
semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seorang yang
tidak menduduki jabatan strategis apa pun tentu hak hak dan fasilitas yang
mampu dinikmati akan semakin kecil.
Terjadinya stratifikasi sosial atau sistem
pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem
pelapisan yang terjadi dengan sendirinya artinya tanpa disengaja, dan sistem
pelapisan yang terjadi karena dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Pertama, lapisan-lapisan masyarakat yang terjadi dengan
sendirinya atau tidak disengaja misalnya, lapisan yang didasarkan pada umur,
jenis kelamin, kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat kepala masyarakat
mungkin dalam batas-batas tertentu berdasarkan harta. Kedua, sistem
lapisan masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya
berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi
formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angakatan bersenjata
dan sebagainya.[23]
Ada beberapa ciri umum tentang faktor-faktor
yang menentukan adanya stratifikasi sosial, yaitu antara lain: pertama,
pemilikan atas kekuasaan bernilai ekonomidalam berbagai bnetuk dan ukuran; kedua,
status atas dasar fungsi dalam pekerjaan; ketiga, kesalahan seseorang
dalam beragama; keempat, status dasar keturunan; kelima, latar
belakang rasial dan lamanya sesorang atau sekelompok orang tinggal pada suatu
tempat; dan keenam, status atas dasar jenis kelamin dan umur seseorang.[24]
Horton dan Hunt[25] menegaskan bahwa jika ditanya berapa banyak
jumlah kelas sosial, mereka sulit menjawabnya. Barangkali, enam klasifikasi
yang diajukan oleh banyak ahli bisa menjadi jawaban, yaitu (1) upper-upper
class; (2) lower-upper class; (3) upper-middle class; (4) lower-middle
class; (5) upper-lower class; (6) lower-lower class.Klasifikasi
sosial di atas, tentu tidak berlaku umum. Sebab, setiap kota ataupun desa
masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Pernyataan ini, paling
tidak, menggambarkan bagaimana kelas sosial sebenarnya.Maka di sini bisa
ditegaskan bahwa kelas sosial merupakan suatu realitas sosial yang penting,
bukan sekedar suatu konsep teoritis. Manusia memang mengklasifikasikan orang
lain ke dalam kelompok yang sederajat, lebih tinggi, atau lebih rendah.
Manakala sejumlah orang menganggap orang-orang tertentu- sebagai anggota
masyarakat- mempunyai karakteristik perilaku tertentu pada gilirannya
menciptakan kelas sosial.
Ada dua pendekatan dalam melihat seberapa
penting dan dibutuhkannya stratifikasi sosial, yaitu Fungsional dan Konflik. Pertama,
Pendekatan Fungsional[26] yang dipelopori oleh Kingsley Davis
dan Wilbert Moore. Menurut kedua pakar ini stratifikasi dibutuhkan demi
kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan berbagai macam jenis pekerjaan.
Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat akan terangsang untuk menekuni
pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan-pekerjaan yang yang membutuhkan proses
belajar yang lama dan mahal. Kedua, Pendekatan Konflik[27] yang berasumsi berhadapan secara diametral
dengan pendekatan Davis dan Moore. Dengan dipelopori oleh Karl Marx, pendekatan
konflik berpandangan bahwa bukan kegunaan fungsional yang menciptakan
stratifikasi sosial, melainkan dominasi kekuasaan. Artinya, menurut pendekatan
konflik, adanya pelapisan sosial bukan dipandang sebagai hasil konsensus karena
semua anggota masyarakat menyetujui dan membutuhkan hal itu tetapi lebih
dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus menerima adanya perbedaan itu
sebab mereka tidak memiliki kemampuan untuk menentangnya.
Adapun menurut Zanden, di dalam sosiologi
dikenal tiga pendekatan untuk mempelajari stratifikasi sosial, yaitu: Objektif,
Subjektif dan Reputasional.
1)
Pendekatan Objektif, artinya usaha untuk
memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan dilakukan menurut
ukuran-ukuran yang objektif berupa variabel yang mudah diukur secara
kuantitatif. Misalnya, masyarakat dibagi menurut kategori umur, tingkat
pendidikan, atau perbedaan besar penghasilan. Pihak yang dikategorikan menurut
pendekatan objektif mungkin saja mereka tidak menyadari atau menolak termasuk
ke dalam kategori yang dibuat secara onjektif oleh pakar tersebut.
2)
Pendekatan Subjektif, artinya munculnya
pelapisan sosial dalam masyarakat tidak diukur dengan kriteria-kriteria yang
objektif, melainkan dipilih menurut kesadaran subjektif warga masyarakat itu
sendiri. Berbeda dengan pendekatan objektif dimana peneliti bisa menyusun
kategori statistik, untuk pendekatan subjektif yang tersusun adalah kategori
sosial yang ditandai oleh kesadaran jenis. Seseorang yang menurut kriteria
onjektif termasuk miskin, menurut pendekatan subjektif ini bisa saja dianggap
tidak miskin kalau ia sendiri memang merasa bukan termasuk masyarakat miskin.
3)
Pendekatan Reputasional, artinya pelapisan
sosial disusun dengan cara subjek penelitian diminta menilai status orang lain
dengan jalan menempatkan orang lain tersebut ke dalam suatu skala tertentu,
misalnya siapa yang paling kaya.[28]
Antara agama dan stratifikasi sosial memiliki
hubungan yang mengandung multi-interpretasi. Hubungan lain dari keduanya adalah
konversi atau beralih agama dari agama tertentu ke agama yang lain. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan orang pindah agama, antara lain faktor ekonomi
dan lingkungan sosial.[29]
Hubungan antara tingkat keberagamaan dan
kedudukan dalam masyarakat dan struktur sosial, dan antara sifat keyakinan keagamaan
dan kedudukan kelas sosial, telah dibicarakan secara intensif dan diperdalam
selama ratusan tahun.[30]
Agama dan pelapisan sosial merupakan dua hal yang berbeda, walaupun demikian,
membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topik tetap akan mempunyai
aspek-aspek positif dalam kajian akademis.
Agama dan masyarakat adalah dua unsur yang
saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai sistem
kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya dan
sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang yang
berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial. Memang tidak mudah untuk dapat
menentukan jumlah kelas sosial yang ada di masyarakat. Namun beberapa ahli
menyimpulkan bahwa ada enam pembagian kelas sosial di masyarakat, yaitu:
upper-upper class, lower-upper class, upper-middle class, lower-middle class,
upper-lower class, dan lower-lower class. Klasifikasi di atas tentu tidak
berlaku secara umum di semua masyarakat. Sebab setiap kota ataupun desa masing-masing
memiliki karakteristik yang berbeda.
Manusia sering tidak sengaja dan tanpa sadar
mengklasifikasikan orang lain ke dalam suatu kelas sosial, dan yang paling
sering dijadikan patokan adalah status ia sendiri sebagai anggota masyarakat. Misalnya
menilai seseorang sederajat, lebih tinggi atau lebih rendah darinya.Selain itu
sejumlah orang menganggap orang-orang tertentu memiliki karakteristik perilaku
tertentu yang pada gilirannya menciptakan kelas sosial.[31]
Di Amerika sekalipun yang sering dijadikan
contoh Negara paling demokratis, hubungan antara agama dan kelas sosial tetap
signifikan.Maksudnya karena tidak ada gereja Negara sebagai pemersatu agama
mudah merembes ke dalam kelas-kelas sosial, sebagaimana dikemukakan Demmerath
bahwa kegerejaan mencerminkan pengaruh sosial.Lebih lanjut dia memberi contoh
bahwa agama di Amerika, khususnya Protetanisme secara umum dilihat sebagai
kegiatan masyarakat kelas atas atau menengah.Terdapat tiga indikator yang
mendukung pernyataan diatas, yaitu keanggotaan gereja, kehadiran dalam acara
peribadatan gereja, dan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan resmi
gereja.Dalam setiap unsur tadi, orang-orang yang berstatus tinggi tampaknya
lebih dalam keterlibatannya daripada yang berstatus rendah.[32]
Demikian pula hasil penelitian Contril. Ia
menemukan bahwa anggota-anggota Protestan pada umumnya mempunyai status yang
lebih tinggi, meskipun perbedaan ini tidak terlalu besar di wilayah Amerika
selatan dimana fundamentalisme Protestanisme kuat antara kelas-kelas bawah. Kelas
sosial dengan kehadiran di gereja juga sangat besar hubungannya, kalangan
bisnis tingkat kehadirannya di gereja lebih tinggi daripada kelas pekerja.[33]
Terlepas dari hasil penelitian di atas, yang
jelas antara agama dan stratifikasi sosial memiliki hubungan yang mengandung
multi interpretasi. Penelitian Weber misalnya menyatakan bahwa kelas menengah
rendah dianggap memiliki peranan strategis dalam sejarah agama Kristen. Weber
menyimpulkan bahwa staratifikasi sosial dianggap sebagai faktor yang menentukan
kecenderungan-kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Tak heran jika Weber
menyimpulkan bahwa kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti
para budak dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa
panji-panji agama tertentu.[34]
Hubungan lain dari agama dan stratifikasi
sosial adalah konversi, atau beralih agama, dari agama tertentu kepada agama
lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang pindah agama, antara lain
faktor ekonomi dan lingkungan sosial. Ernest Troeltsch mengungkapkan bahwa
sebagian besar yang beralih ke agama Kristen berasal dari kelas menengah bawah
yang hidup di kota-kota besar, yang menikmati peningkatan ekonomi yang terjadi
secara lamban pada waktu itu.
Menurut Max Weber, stratifikasi sosial
merupakan faktor yang menentukan kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Bagi
Weber kelas-kelas yang secara ekonomis setidaknya mampu, tidak akan pernah
bertindak sebagai pembawa agama-agama tertentu. Sedangkan menurut Ernest
Troeltsch, stratifikasi sosial juga mempengaruhi konversi atau beralihnya
agama. Penelitian yang ia lakukan membuktikan bahwa sebagian yang beralih ke
agama kristen berasal dari kelas menengah ke bawah yang hidup di kota-kota
besar yang menikmati peralihan peningkatan ekonomi yang terjadi secara lambat
laun dari waktu ke waktu.[35]
Max Weber,[36]
menghubungkan agama dengan stratifikasi sosial dengan ilustrasi sebagai
berikut:
1)
Para pedagang kecil dan pengrajin di perkotaan
lebih renggang hubungannya dengan alam dibandingkan dengan petani, kehidupan ekonominya
lebih rasional, sangat mendambakan kejujuran, percaya bahwa setiap kerja ada
imbalan yang seimbang karenanya mereka mempunyai pandangan dunia yang rasional
yang dijiwai oleh etika pembalasan.
2)
Para petani terlibat langsung dengan proses
peristiwa alam yang tidak dapat mereka perhitungkan untuk mempengaruhi kekuatan
kosmos, cenderung tergantung kepada magis. Tidak terikat oleh kekuatan ekonomi
pasar yang rasional. Mereka kurang kecenderungannya pada ide-ide pembalasan
yang adil. Menurut Weber, kelas sosial petani kurang aktif dalam penyebaran
agama.
3)
Kelas pedagang kaya tidak mempercayai etika
pembalasan, teguh kepada orientasi keduniawian, ada kecenderungan menghindari
ajaran etik agama. Akhirnya Weber menyimpulkan, semakin kurang untuk mengembangkan
agama “dunia lain” atau other worldly religion.
4)
Buruh industri besar Eropa menunjukkan pradisposisi
bagi doktrin keselamatan, tetapi lebih sering bersifat agama semu. Dalam
lingkungan proletar umumnya agama digantikan oleh ideologi lainnya. Marxisme
menjadi ajaran penyelamat sekuler bagi sebagian besar kelas buruh pada
pertengahan abad 19 dan perang dunia II.
5)
Kelas elit politik jauh dari ide-ide
keselamatan dan dosa. Dikatakan oleh Weber kelas-kelas yang mempunyai status
sosial tinggi dan memiliki prevelese ekonomi, kurang mengembangkan ide
keselamatan, dan cenderung menggunakan agama sebagai alat legitimasi pada
kehidupan mereka di dunia.Dari contoh tersebut dapat tampak kondisi kehidupan
mempengaruhi orientasi keagamaan. Dengan kata lain kondisi kehidupan dan
stratifikasi sosial berkolerasi dengan kepercayaan, dan pengamalan keagamaan.[37]
Dua kesimpulan penting berkenaan dengan hubungan antara agama dan
stratifikasi sosial diperoleh dari hasil penelitian Max Weber tentang
agama-agama dunia: yang pertama terdapat dalam sejarah agama Kristen, Yahudi,
Islam, Hinduisme, Budha, Konfusianisme, dan Taoisme. Suatu hubungan yang jelas
dan dapat diamati di antara posisi sosial dengan kecenderungan menerima
pandangan keagamaan yang berbeda. Yang kedu, ini bukanlah suatu penentuan yang
tepat tentang pandangan keagamaan oleh stratifikasi sosial. Sebagai misal,
kelas menengah rendah, yang dianggap Weber memainkan peranan strategis dalam
sejarah agam Kristen, melihatkan “suatu kecenderungan yang pasti ke arah “congregational
religion”, ke arah agama keselamatan, dan akhirnya ke arah agama etika
rasional”. Ini berbeda sekali dengan kecenderungan keagamaan kaum petani.
Tetapi Weber menegaskan bahwa hal ini “jauh dari setiap determinisme yang
serupa”. Dia menegaskan bahwa “dalam kelas menengah rendah, dan khususnya di
kalangan pengrajin, terdapat perbedaan besar yang saling berdampingan”, dan
bahwa para pengrajin ini memperlihatkan “suatu diversifikasi yang sangat
nyata”.[38]
Kita akan memperoleh pandangan yang lebih konkrit tentang apa yang terdapat
dalam hubungan agama dengan stratifikasi sosial jika kita memperlihatkan apa
yang harus dikaitkan Weber tentang agama dari berbagai kelas yang diamatinya.
Sekarang marilah kita meneruskan pembahasan ini dengan kelas menengah rendah,
khususnya kaum pengrajin perkotaan dan para pedagang kecil. Weber melihat
kelompok ini dengan alam, jauh lebih renggang dibanding dengan petani dan jauh
lebih terlibat dalam kehidupan yang bertolak dari pertimbangan ekonomis yang
rasional. Karena itu, cara mereka menangani situasi kehidupan memberi
kemungkinan berupa kemampuan memperhitungkan dan manipulasi secara sengaja.
Disamping itu dia menemukan bahwa kejujuran merupakan cara berperilaku yang
diandalkan kelompok ini, dan mereka cenderung percaya bahwa bekerja dan
kewajiban bekerja sama akan menghasilkan suatu imbalan yang seimbang “karena
alasan-alasan ini, para pedagang kecil dan kaum pengrajin bersedia menerima
suatu pandangan dunia yang rasional dijiwai oleh etika pembalasan”.[39]
Sebaliknya para petani terlibat dalam proses organik dari berbagai
peristiwa alam yang tidak dapat mereka perhitungkan. Dalam masyarakat
tradisional, mereka tidak erat terintegrasi ke dalam ekonomi pasar yang
rasional. Karena itu mereka cenderung tergantung pada magis untuk mempengaruhi
kekuatan-kekuatan kosmos yang tidak rasional dan tidak bisa diramalkan. Mereka
tidak begitu mudah cenderung pada ide-ide pembalasan yang adil, kecuali bila
kekuatan magis telah dilumpuhkan, suatu proses dimana para pengrajin mungkin sekali
memainkan peran penting, bukannya para petani itu sendiri. Menurut Weber petani
sebagai kelas sosial tidak begitu sudi menjadi penyebar agama yang aktif
kecuali kalau tidak diancam perbudakan atau dirampas harta miliknya. Sementara
di awal tahap perkembangan kerajinan, kaum pengrajin juga terlibat intens
dengan magis, tetapi gaya hidupnya berkembang ke arah rasional. Hal ini tidak
dijumpai di kalangan petani kecuali mereka dirembesi oleh pengaruh luar yang
sangat kuat.[40]
Weber menyadari bahwa kelas pedagang kaya sangat tidak mempercayai etika
pembalasan, tidak seperti kelas menengah rendah, dan “sepanjang periode
sejarah” tetap teguh pada “orientasi keduniawian” yang sangat berguna
“menghindari kecenderungan-kecenderungan yang ada terhadap risalat agama dan
etis”. Sesungguhnya mereka tidak pernah menjadi “penyandang panji-panji
agama-etis atau agama penyelamat”. Menurut Weber, semakin tinggi posisi
privilese kelas tersebut, semakin kurang kemungkinan mereka untuk mengembangkan
agama keduniawian lainnya.[41]
Disamping itu para kesatria berada dalam kehidupan yang tidak menunjukkan
afinitas dengan tuntutan etika yang sistematis tehadap hubungan transenden
dengan Tuhan, atau dengan ide-ide seperti dosa-dosa, keselamatan dan kerendahan
hati dalam pengertian keagamaan. Para kesatria ini menghadapi kematian, atau
unsur-unsur yang tidak rasional dan tidak bisa diramalkan dalam eksistensi
manusia sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari saja. Ia hanya tertarik pada
penghargaan dan kebutuhannya pada agama hanya sebagai pelindung dari roh jahat,
berdo’a demi kemenangan, atau keyakinan bahwa nanti ada surga bagi kaum
kesatria. Etika pembalasan bukanlah merupakan ide yang ditemukan Weber sedang
marak dalam konteks pengalaman kesatria. Petualangan dan kesempatan melayani keduniawian
ini sampai tingkat tertentu telah menjauhkan perhatiannya sari aspek agama
keduniawian lainnya.
Weber sangat tertarik mengkaji birokrasi di masyarakat Barat dan di dunia
peradaban lainnya. Dia melihat kecenderungan agama di kalangan birokrat yang “secara
klasik dirumuskan dalam faham Kong Hu Cu (Confucianism)”. Akibatnya, walaupun
menarik secara estetika, adalah sikap opportunistis dan utilitarian. Ini
merupakan badan konvensi yang memperlihatkan “tidak adanya perasaan butuh bagi
keselamatan atau bagi setiap penempatan transenden bagi etika”. Agam personal
yang sifatnya emosional cenderung dihilangkan. Menurut Weber di Cina pejabat
menjunjung tinggi upacara menghormati (ritus) arwah leluhur dan orang-orang tua
demi: terpeliharanya tertib sosial, tetapi sungguh dirasakan adanya jarak
tertentu dari roh”.[42]
Weber menemukan kelas buruh industri modern di Eropa memperlihatkan
pra-disposisi bagi doktrin keselamatan, tetapi lebih sering bersifta semu-agama
ketimbang bersifat agama. “Dalam lingkungan rasionalisme proletar, agama pada
umumnya digantikan oleh ideologi lainnya”. Marx menyebut kelas buruh Eropa
sebagai “proletariat”, yang dimaksudkannya dengan istilah ini ialah kelas yang
tidak memperoleh “bagian” dalam sistem sosial yang ada. Buruh bekerja dan hidup
di suatu masyarakat dimana ia tidak merasa sebagai bagian dari masyarakat itu.[43]
Marxisme menjadi ajaran penyelamat sekuler bagi sejumlah besar kelas buruh di
masa pertengahan abad ke-19 dan Perang Dunia kedua.
Weber juga berbicara secara umum tentang kaum elit dan kelas yang tidak
memiliki hak istimewa. Ide-ide seperti keselamatan, dosa dan kerendahan hati
ditemukan Weber “jauh dari semua kelas elit politik” dan sebenarnya layak
dicela sesuai dengan rasa kehormatan diri kelas yang demikian. Dia mengatakan:
“jika hal-hal lain tetap sama, maka kelas-kelas yang punya status sosial tinggi
dan yang memiliki privilese ekonomi akan kurang cenderung mengembangkan gagasan
keselamatan. Sebaliknya, mereka memanfaatkan fungsi agama sebagai pengasah pola
kehidupan kondisi mereka di dunia” Sebaliknya kelas yang tidak mempunyai hak
istimewa atau yang sudah tergusur, menunjukkan kecenderungan untuk merangkul
dan mengembangkan agama-agama penyelamat, “menerima pandangan dunia rasional
yang dijiwai oleh etika konpenasi”, dan untuk memberikan persamaan derajat pada
wanita dalam partisipasi keagamaan. Weber menyatakan: “selama setiap kebutuhan
untuk keselamatan merupakan ungkapan dari beberapa keadaan yang sulit, maka
tekanan sosial atau ekonomis merupakan sumber yang efektif bagi keselamatan keyakinan, walaupun bukan
sebagai sumber eksklusif satu-satunya”. Sebaliknya, Weber menyimpulkan
“kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti para budak dan
buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-panji agama
tertentu”.[44]
Situasi rumit yang dilahirkan oleh tekanan sosial seringkali menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan messianik (ratu adil) yang dipimpin oleh para
pemimpin kharismatik yang menawarkan keselamatan pada mereka yang tertindas
baik pada dunia ini atau dunia nanti. Gerakan-gerakan semacam itu terdapat di
seluruh dunia. Sementara sekarang ini gerakan tersebut cenderung berorientasi
politik dan hanya merupakan gerakan keagamaan semu di masa lalu, sebagian
gerakan tersebut mempunyai sifat keagamaan yang definitif. Lapisan sosial yang
tertindas karena merasa perlu diselamatkan dari situasi yang tidak
membahagiakan itu, telah mengembangkan ide-ide utopia berupa campur tangan
Ketuhanan dan pendirian kerajaan Tuhan di bumi. Dalam Yudaisme, ide demikian
dipautkan dengan harapan akan datangnya Messiah dan bermulanya abad Messianis,
dalan agama Kristen ide telah lama dihubung-hubungkan dengan kedatangan kembali
juru selamat beserta kerajaannya untuk selama ribuan tahun di atas bumi yang
telah diperbaharui. Sedang agama lain mengambil bentuk macam-macam, dari
Messianisme teologis yang canggih sampai pada beberapa cara pemujaan di
kalangan orang-orang primitif. Mannheim, seorang pelopor studi sosiologi ilmu
pengetahuan yang terkemuka, telah menunjukkan bagaimana dari perspektif kelas
tertindas dan kerinduan mereka akan utopia lahir dalam pemikiran manusia. Dalam
bab terakhir kita melihat bagaimana perkembangan organisasi keagamaan tertentu
melahirkan gerakan protes dalam kelompok yang demikian. Menifestasi protes yang
demikian seringkali merupakan akibat kombinasi daro oposisi agama dan oposisi
sosial terhadap perkembangan masyarakat dan agama.[45]
Weber juga memberikan perhatian pada berbagai kecenderungan keagamaan di
kalangan wanita. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa wanita memperlihatkan
“sifat menerima yang besar” terhadap “semua risalat keagamaan kecuali agama
yang berorientasi militer”. Dia juga mengatakan wanita cencerung berpartisipasi
dalam kegiatan keagamaan dengan keterlibatan emosional yang sangat tinggi,
bahkan sampai mendekati tingkat yang disebutnya histeria.[46]
Apa yang ditawarkan oleh Weber pada pembaca adalah pandangan yang mendalam
kepada kecenderungan hubungan antara stratifikasi sosial dan doktrin keagamaan.
Ini bukan “hukum-hukum” sosiologis, mereka tidak mengklaim faktor sederhana dan
faktor kedaulatan yang membentuk sifat sensitif keagamaan manusia. Kondisi
kehidupan mempengaruhi kecenderungan agama manusia, dan kondisi kehidupan
memiliki korelasi yang cukup berarti dengan fakta stratifikasi sosial di semua
masyarakat. Namun perkembangan ide, nilai dan praktek tertentu di suatu
masyarakat dapat mempengaruhi semua kelas, strata dan kelompok yang ada di
masyarakat tersebut. Bila manusia disosialisir dalam suatu kebudayaan dan
masyarakat tertentu, mereka akan belajar menerima ide-ide dan nilai-nilainya
yang dominan, dan pelajaran mana ditunjang oleh pendapat umum para sahabat
mereka melalui pensahihan konsensus. Weber menunjukkan kelas-kelas yang mungkin
tidak berasal dari suatu tipe agama tertentu dalam hal ini dapat dipengaruhi
oleh agama. Tambahan lagi ide-ide agama tertentu cenderung mempunyai daya tarik
yang universal. Misalnya bila ide-ide tersebut telah dimapankan maka agama
keselamatan (solvation religion) akan mempunyai daya pikat yang sangat luas.
Pada abad pertengahan, aristokrat pejuang menempatkan agama Kristen dan etika
pertarungan dalam tata krama kesatria. Weber mengatakan: “periode agitasi
pembaharuan agama atau agitasi risalat sering menarik kebangsawanan ke jalur
agama etika risalat, karena tipe agama seperti ini merembes ke seluruh kelas
dan estate, oleh sebab itu kebangsawanan umum dianggap sebagai pembawa
pendidikan pertama bagi awam”.[47]
Thomas
F. O’dea menyatakan bahwa pada awal abad pertengahan di kerajaan Romawi timbul
tiga kelas utama, yaitu pengurus gereja, bangsawan dan rakyat. Gereja merupakan
lembaga sentral dan paling berpengaruh. Gereja menjalankan fungsi demi
terlaksananya tujuan dan nilai-nilai keagamaan. Karena itu gereja banyak
memiliki warisan nilai moral dan kultural serta nilai-nilai agama merupakan
nilai sentral pada kebudayaan Kristianitas Eropa.
Pengurus
gereja dan agama merupakan inti aktif yang penting dalam masyarakat. Sedangkan
para jemaah awam merupakan anggota “kelas dua”. Apalagi dalam kenyataan pemimpin
tertinggi gereja seperti para uskup, anggota biara dari kelas bangsawan. Lagi
pula gereja mengumpulkan kekayaan dan sumbanagan, akhirnya gereja terlibat
dalam hubungan feodalisme. Dalam pengurusan kegerejaan sukar dibedakan antara
kaum agamawan, bangsawan dan foedalis. Akhirnya tantangan gerakan sosial
terhadap gereja dari kelas menengah bawah yang membenci gereja.
Di biara berkembang protes melawan kelemahan moralitas kependetaan. Dalam
situasi seperti ini agama berfungsi memperkuat kedudukan istimewa para pemimpin
gereja, di lain pihak dapat melahirkan gagasan dan kepemimpinan untuk protes
dari kelas baru. Agama secara kompleks terjalin dengan unsur lain dalam
masyarakat. Gagasan dan nilai sebagian dipengaruhi oleh faktor premordial
kelompok sosial. Agama sekaligus mempengaruhi dan dipengaruhi kondisi sosial,
berfungsi sebagai sebab maupun akibat.[48]
Glock
dan Stark menegaskan kelas sosial mempunyai pengaruh besar terhadap lokasi
gereja. Partisipasi kegiatan keagamaan juga berbeda karena perbedaan kelas
sosial.[49]
Orang-orang miskin kurang yang menjadi anggota gereja, mengikuti acara kurang
teratur, kurang melibatkan diri dalam kegiatan gereja. Mereka juga kurang
mendapat informasi tentang pelajaran agama.
Akan
tetapi bagi orang-orang miskin yang biasa ke gereja cenderung secara emosional
lebih tebal kepercayaannya dibandingkan dengan mereka yang tinggi income-nya.[50]
Fukuyama,[51]
meneliti 4.000 anggota dari 12 gereja congregational daerah urban. Ia mengukur
keterlibatan terhadap kehidupan keagamaan dengan indikator variabel sebagai
berikut:
1) pengetahuan tentang Bible dan ajaran agama
2) partisipasinya di gereja
3) kepercayaan terhadap doktrin gereja dan
4) “perasaan” keagamaannya yang ditunjukkan
oleh ketaatan beribadah, dan membaca Bible. Hasilnya menunjukkan bahwa
pengetahuan dan partisipasi keagamaan berkolerasi dengan status sosial ekonomi
yang lebih tinggi, sedangkan intensitas perasaan keagamaan berkolerasi dengan
status sosial ekonomi yang lebih rendah.
Orang-orang
yang lebih kaya cenderung lebih tinggi pengetahuan keagamaannya, lebih formal
dan terorganisir dibandingkan dengan orang yang miskin. Mereka pergi ke gereja
secara teratur, lebih aktif di gereja
dan mendapat informasi tentang ajaran keagamaan dengan baik. Tetapi
dibandingkan dengan orang miskin yang sering ke gereja, mereka kurang
keimanannya dan kurang ekspresif, secara emosional kurang khusyu’. Dengan kata
lain, orang-orang miskin lebih jarang pergi ke gereja, kurang mendapat
informasi serta kurang mengikuti kegiatan gereja. Tetapi mereka (orang miskin)
yang religious cenderung lebih tekun.
Mengenai
hubungan stratifikasi sosial dan sikapnya terhadap institusi agama dikemukakan
oleh Broom,[52]
bahwa wanita lebih banyak yang percaya kepada institusi agama dibanding dengan
pria. Wanita menganggap ajaran agama sangat penting, orang kulit hitam lebih
tinggi dibanding dengan kulit putih. Lebih banyak presentase orang kulit hitam
yang menganggap ajaran agama sangat penting. Sedang dilihat dari segi usia,
tampak semakin bertambah usia semakin tebal kepercayaannya terhadap institusi
agama. Namun semakin tinggi pendidikannya semakin rendah tingkat kepercayaan
terhadap institusi agama atau semakin rendah presentase orang yang menganggap
pentingnya ajaran agama.
Dilihat
dari status pekerjaan, orang yang pekerjaannya memerlukan keahlian (white
collar) lebih banyak yang menganggap ajaran agama sangat penting dibanding
dengan orang pekerja kasar (blue collar) dan lebih tinggi presentasenya ibu-ibu
rumah tangga yang menganggap ajaran agama sangat penting dibandingkan dengan
barang yang lainnya.
Aristoteles berpendapat bahwa perbuatan yang
paling baik dilakukan manusia ialah merealisasikan diri (self-realization)
sejauh mungkin, sesuai dengan kemampuan setiap individu. Apa yang dimaksud
dengan realisasi diri oleh Aristotelesini tidak lain dari penggunaan ‘akal’.[53]Untuk
tujuan-tujuan meningkatkan nilai diri sebagai manusia.
Interpretasi dari penggunaan akal ini, dengan
sendirinya menyangkut, masalah-masalah perbaikan hidup, dimana akal dijadikan
sebagai alat utama untuk maju. Akal yang sehat dengan sendirinya dilandasi oleh
moral yang tinggi. Bila akal saja yang cerdas, tetapi budi pekerti/moral rusak,
maka self realization itu salah tempat. Mestinya ia tidak ditempatkan
pada diri manusia, tetapi pada tubuh hewan.
Pendapat ini dikuatkan oleh Urban, dengan
uraiannya: “Bilamana self itu dimisalkan ada pada binatang, maka dengan
sendirinya perbuatan-perbuatannya juga adalah merupakan realisasi dari
binatang”. Sebab itu pengertian self itu sendiri tidak lain dari pengertian
yang sifatnya spiritual, rohaniah. Spiritual disini mengandung suatu dinamika,
yang menghidupi pisik dan akal, budi/rasio manusia. Semua perbuatan manusia,
tidak lain dari perbuatan self yang bernilai spiritual itu. Untuk jelasnya
diberikan sebuah contoh sebagai berikut: Perbuatan akal/rasio itu, tentulah
nilainya lebih tinggi daripada perbuatan fisik, sebab perbuatan akal adalah
intrinsik, sifatnya permanen, produktif. Sedang perbuatan fisik misalnya
mengambil air, adalah merupakan realisasi dari hasil pikiran yang dikerjakan
oleh fisik. Manusia dalam realisasi dirinya, sudah seharusnya terealisasi
dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan martabat dirinya. Bila terjadi
suatu realisasi yang bernilai kurang baik, tidak senonoh, maka itu berarti
manusia yang bersangkutan sengaja menurunkan nilai dirinya, turun menjadi self
yang tidak spiritual lagi, menjadi suatu fisik yang evil, jahat.[54]
Contoh Unsur-unsur Agama dan Unsur-unsur
Stratifikasi Sosial
Unsur-unsur
Agama
|
Unsur-unsur
Stratifikasi Sosial
|
Contoh
|
Penjelasan
|
1. Simbol Agama
|
1. Kedudukansosial
1.1
Ascribed Status
1.2 Achieved Status
1.3 Assigned Status
|
1.
Adanya perbedaan kasta di Bali
1.1 kedudukan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam suatu
keluarga.
1.2 harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan
1.3 kesalehan seseorang dalam beragama
|
1. Kedudukan seorang brahmana
1.1 kedudukan seorang anak bangsawan.
1.2 seorang sarjana kedudukan-nya lebih tinggi daripada seorang lulusan
sekolah dasar
1.3 seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang dalam, ia akan memiliki
status yang tinggi di masyarakat.
|
2.
Kepercayaan
|
2. Peranan sosial
2.1
Peranan bawaan (ascribed roles)
2.2
Peranan pilihan (achive roles)
|
2. Kyai,pendeta
2.1Peranan sebagai seorang ibu
2.2Seseorang memutus-kan memilih fakultas Tarbiyah UIN
Malang
|
2.Orang yang berpengaruh penting dalam
masyarakat sekitar
2.1Sebuah peranan yang dibawa secara
otomatis.
2.2Sebuah peranan yang dipilih menurut
keputusannya.
|
3.
Praktik Keagamaan
|
3.
Kelompok
|
3.Pengajian, khutbah, merayakan hari raya agama
masing-masing
|
3. Kegiatan untuk menyebarkan keagamaan
|
4.
Pengalaman Keagamaan
|
3.
Lembaga
|
4.
Menikah dengan lain agama
|
4.Berpindah-pindah agama
|
5.
Umat Beragama
|
|
5.
Islam, Kristen, Hindu, Budha
|
5.Kepercayaan yang dianut oleh umat beragama
|
C. ANALISIS DAN DISKUSI
1. Analisis
Menurut kami unsur-unsur agama adalah mitos,
sakral, spiritual, simbol agama, kepercayaan, praktik keagamaan, pengalaman
keagamaan dan umat beragama. Agama merupakan kepercayaan yang ada pada setiap
individu kemudian stratifikasi sosial merupakan tingkatan kelas yang ada di
dalam masyarakat berada di tingkatan kelas bawah, mengengah dan atas.
Unsur-unsur stratifikasi sosial adalah kedudukan
sosial (status sosial) dan peranan (peran sosial), kelompok, dan lembaga.
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan
kelas-kelas yang ada didalam masyarakat secara bertingkat dilihat atas dasar
kekuasaan, hak istimewa, dan juga prestise. Stratifikasi sosial ini memandang
bahwa didalam masyarakat terdapat tingkatan kelas yaitu: kelas bawah, kelas
menengah, dan kelas atas. Didalam kelas itu dikuasai oleh kaum Borjuis yang
selalu menindas para kaum ploretar.
Hubungan agama dengan stratifikasi sosial adalah
bagaimana masyarakat yang berada pada tingkatan bawah dalam mengikuti aktivitas
keagamaan atau tingkat spiritual mereka ketika berada pada posisi kelas bawah.
Mengacu pada paparan materi di makalah bahwasanya masyarakat yang berada pada
tingkatan kelas bawah tingkat spiritualnya rendah dan kelas atas tingkat
spiritualnya dirasa lebih tinggi. Di dalam kelas dalam masyarakat sebenarnya
hubungan antara agama dengan kelas itu sangatlah sederhana dimana para kaum
kelas menengah ke atas itu agama bagi mereka merupakan etis rasional dan kelas
menengah kebawah memandang bahwa agama itu merupakan apa yang dianggap sebagai
acuan di dalam hidup mereka, dirasa agama sebagai hal yang sangat sakral di
dalam kehidupan mereka.
2. Diskusi
D. KESIMPULAN
1.
Unsur-unsur agama adalah mitos, sakral,
spiritual, simbol agama, kepercayaan agama,praktik keagamaan, pengalaman
keagamaan, dan umat beragama.
2.
Pengertian stratifikasi sosial secara
etimologi adalah stratifikasi berasal dari kata stratification atau dari
stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Stratifikasi sosial secara
terminologi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara bertingkat (hierarkis).
3.
Unsur-unsur stratifikasi sosial adalah kedudukan
sosial (status sosial), peranan (peran sosial), kelompok dan lembaga.
4.
Antara agama dan stratifikasi sosial memiliki
hubungan yang mengandung multi-interpretasi. Hubungan lain dari keduanya adalah
konversi atau beralih agama dari agama tertentu ke agama yang lain. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan orang pindah agama, antara lain faktor ekonomi
dan lingkungan sosial.
DAFTAR RUJUKAN
Mubaraq, Zulfi. 2010.Sosiologi Agama.Malang:
UIN-Maliki Press.
Kurniawan,Dhonny. Kamus Praktis Ilmiah
Populer. Yogyakarta: Karya Ilmu.
O’Dea, Thomas F.1996.Sosiologi Agama Suatu
Pengenalan Awal.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Robertson,Roland, ed. 1988.Agama: Dalam
Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: CV.Rajawali.
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Weber,Max. 2002. Sosiologi Agama.
Jakarta: IRCiSoD.
KBI (Kamus Bahasa Indonesia). 2008.Pusat Bahasa.
Djamari H.1993.Agama: Dalam Perspektif
Sosiologi.Bandung: CV Alfabeta.
http://aangkunefidwidra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/unsur-agama.html,
Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:00.
http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/agama-dan-stratifikasi-sosial.html,
Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:15.
http://www.syahidismail.com/2011/12/agama-dan-stratifikasi-sosial.html,
Minggu, 27 Oktober 2013, 05:30.
http://sosiologiislamsma.blogspot.com/2010/05/stratifikasi-sosial-dalam-pandangan.html,
Senin, 28 Oktober 2013, 10:11.
http://www.bisosial.com/2012/10/unsur-unsur-stratifikasi-sosial.html,
Rabu, 11 Desember 2013, 15:30.
http://ninaelfishy.blogspot.com/2012/12/lapisan-masyarakatstratifikasi-sosial.html,
Kamis, 5 November 2013, 14:20.
http://www.kedipmata.com/stratifikasi-sosial/,
Rabu, 4 November 2013, 16:10.
http://andhiniputri.wordpress.com/2013/11/15/unsur-unsur-stratifikasi-sosial/,
Sabtu, 26 Oktober 2013, 15:15.
http://tantridilogi10.blogspot.com/2013/06/agama-dan-stratifikasi-sosial.html,
Minggu, 27 Oktober 2013, 16:45.
[1]Dr. H. Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Bandung: CV
Alfabeta, 1993), 30.
[2]Ibid., 33.
[3]Ibid., 35.
[4]http://aangkunefidwidra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/unsur-agama.html, Jum’at,
25 Oktober 2013, 13:00.
[8]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 63. Lihat
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 204.
[9] http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/agama-dan-stratifikasi-sosial.html, Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:15.
[10]Ibid.
[11]http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/agama-dan-stratifikasi-sosial.html,
Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:15.
[12]http://www.syahidismail.com/2011/12/agama-dan-stratifikasi-sosial.html,
Minggu, 27 Oktober 2013, 05:30.
[13]http://sosiologiislamsma.blogspot.com/2010/05/stratifikasi-sosial-dalam-pandangan.html,
Senin, 28 Oktober 2013, 10:11.
[14]http://www.bisosial.com/2012/10/unsur-unsur-stratifikasi-sosial.html,Rabu, 11
Desember 2013, 15:30.
[15]http://ninaelfishy.blogspot.com/2012/12/lapisan-masyarakatstratifikasi-sosial.html,Kamis,5Desember
2013, 14:20.
[16]Ibid.
[17]http://www.kedipmata.com/stratifikasi-sosial/, Rabu, 4 Desember 2013,
16:10.
[18]http://andhiniputri.wordpress.com/2013/11/15/unsur-unsur-stratifikasi-sosial/,
Kamis, 26 Oktober 2013, 15:15.
[19]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007),
198. Lihat Pitirim A. Sorokin, Social and
Cultural Mobility, (Collier-Macmillan Limited, London: The Free Press of
Glencoe, 1959), 11.
[20]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press,
2010), 64. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 203.
[21]Mubaraq, Sosiologi
Agama, 64; J. DwiNarwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks
Pengantar dan Terapan,(Jakarta: Kencana, 2007),154.
[23]Ibid., 65.
[24]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), 66. Lihat Abdul Syani, Sosiologi: Sistematika, Teori dan Terapan (Jakarta: Bumi
Aksara, 1994), 85-86.
[25]Dadang
Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 155. Lihat
Horton & Hunt, Sosiologi, jilid 2 (Jakarta, 1992) 5.
[27]Ibid., 66.
[28]Ibid., 67.
[29]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), 67. Lihat Dadang Kahmad, SosiologiAgama
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), 157.
[30]Roland Robertson, ed., Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis
(Jakarta:Rajawali Pers,1988), 393.
[31]http://tantridilogi10.blogspot.com/2013/06/agama-dan-stratifikasi-sosial.html,
Minggu, 27 Oktober 13, 16:45.
[32]Max Weber, Sosiologi Agama (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002), 156. Lihat
Roland Robertson, ed., Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,
terjemahan Ahmad Fedyani, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 395.
[33]Ibid., 156.
[34]Ibid., 157. Lihat Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan
Awal (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), 109.
[35]http://faisal-wibowo.blogspot.com/2013/01/agama-dan-stratifikasi-sosial.html,
Jum’at, 25 Oktober 2013, 13:15.
[36]Dr. H. Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Bandung:CV
Alfabeta,1993), hlm. 113. Lihat Max
Weber, The Sociology of Religion, terj. Eprhaim Fischoff, Beacon Press,
Boston, 1963, hlm.91-101; Thomas O’dea The Sociology of Religion,
Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1996, hlm. 58.
[37]Ibid., 115.
[38]Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal (Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada,1996), hlm. 109. Lihat Max Weber, The Sociology of
Religion, diterjemahkann oleh Ephraim Fishoff (Boston: Beacon Press, 1963),
hlm. 95-95.
[39]Ibid., 109-110.
[40]Ibid., 110.
[41]Ibid., 111.
[42]Ibid., 111-112.
[43]Ibid., 112.
[44]Ibid., 113.
[45]Ibid., 113-114.
[46]Ibid., 114-115.
[47]Ibid., 115-116.
[48]Dr. H. Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologis (Bandung: CV
Alfabeta, 1993), 115-116. Lihat Thomas F. O’dea, Ibid., hlm. 59060.
[49]Ibid., 116. Lihat Charles Y. Glock and Rodney Stark, Religion, Society
in Tension, Rand McNally, Chocago, 1915, hlm. 187.
[50]Ibid., 116. Lihat Nicholas J. Demerath, Social Class in American
Protestantism, Rand McNally, Chicago, 1965, hlm. 65.
[51]Ibid.,116. Lihat Yoshio Fukuyama, Population change in Europa Since 1939,
Allen & Unwin, London, 1951.
[52]Ibid., 117. Lihat L. Broom & Philip Selznick, Dorothy B. Darroch, Sociology,
Harper & Row Publisher, New York, 1981, hlm. 393.
[53]Ibid., 45. Lihat Thomas English Hill, Contamporary Ethical Teories.
[54]Ibid., 45. Lihat W.M. Urban, Fundamentals of Ethics, Henry Holt
& Co, N. York 1930.
0 komentar:
Posting Komentar