BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada awal pertumbuhanya, Islam
bergerak sedikit demi sedikit mengubah peradaban orang-orang jahiliah, tetapi
tidak menghapus seluruh kebudayaanya misalnya, thowaf atau memuliakan ka’bah
yang berada di tengah kota Makkah. Setelah Islam mempunyai kekuatan yang cukup
di Makkah, maka umat Islam mulai menyebarkan agama dan peradabannya ke negara
di kawasan Jazirah Arab, hal itu dilakukan secara setahap yang membuahkan hasil
yang sangat baik sehingga mendapat tanggapan dari masyarakat yang cukup ramah.
Setelah kurun waktu yang sangat
singkat Islam mampu berkembang di negara-negara kawasan Timur Tengah misalnya,
Turki, Iran, berbagai bagian Afrika dan Asia Tenggara. Islam telah
mengubah peradaban dan kebudayaan di
beberapa kawasan tersebut sehingga kawasan–kawasan tersebut memiliki corak
kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai Islam dan berkembang sampai sekarang
atau abad modern dan kontemporer. Semua itu memiliki beberapa aspek pendukung
peradaban dan kebudayaan dari masa ke masa atau abad ke abad sehingga Islam mampu
mempengaruhi dunia sosial, politik, budaya, seni dan sastra. Pusat-pusat dan
aspek-aspek kontemporer merupakan sesuatu yang sangat perlu kita kaji dan
teliti agar nilai-nilai Islam yang termuat di dalam peradabannya tidak hilang
ditelan oleh perkembangan zaman.
1. Bagaimana pembaharuan Islam kontemporer di Timur Tengah?
2. Siapa dan bagaimanakah tokoh pembaharuan
Islam kontemporer?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pembaharuan Islam
kontemporer di Timur Tengah.
2. Untuk mengetahui siapa dan bagaimana
tokoh pembaharuan Islam kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pembaharuan Islam Kontemporer di
Timur Tengah
Pada abad ke 18, kawasan barat yang
sudah mapan memasuki negara-negara Islam serta mendirikan dominasinya di berbagai
jalur sehingga dapat menguasai beberapa aspek kehidupan masyarakat Islam yang akhirnya mendominasi kebudayaan
serta peradaban Islam. Sejak itulah umat
Islam mulai sadar betapa beratnya penderitaan di bawah penjajahan Negara-negara
barat. Mulailah umat Islam menginstropeksi diri dalam segala kehidupannya, baik
dalam bidang agama, politik, sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya.
Kebangkitan dunia Islam dilatar belakangi banyaknya negara-negara Islam yang
memberontak Negara-negara barat melalui beberapa pemikiran serta dipacu oleh
pemuka-pemuka Islam untuk memodernkan dunia Islam. Dalam sejarah perjalanan
Islam dibagi beberapa periode, diantaranya periode klasik (650-1250 M), periode
pertengahan (1250-1800 M), dan peride modern dan kontemporer (1800 M). Pada periode
klasik Islam mengalami kemajuan karena pada masa itu terjadi ekspansi intregasi
dan keemasan Islam. Pada masa itu pula lah lahir beberapa cendekiawan yang
memiliki berbagai macam keahlian ilmu pengetahuan dan filsafat.
Pada masa periode pertengahan Islam
mengalami kemunduran akibat adanya berbagai perpecahan dalam wilayah Islam yang
mendirikan negara sendiri-sendiri serta berbagai macam serangan dari Negara-Negara
barat. Pada masa ini umat Islam berada pada periode kegelapan terutama dalam bidang
pemikiran, kemajuan ilmiah sudah tidak ada lagi dengan ditutupnya pintu
ijtihad, pemikiran menjadi mati.
Banyak aspek-aspek pendukung
peradaban Islam modern dan kontemporer di kawasan Timur Tengah serta kawasan
timur, diantaranya adalah aspek budaya, aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek politik.
Diantara negara-negara yang mengalami perkembangan peradaban dalam kategori
modern dan kontemporer adalah Baghdad, Mesir, Persia, Turki, dan kawasan
sekitarnya.
1. Baghdad
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah
menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam islam. Itulah
sebabnya, Philip K.Hitti menyebutnya sebagai kota intelektual. Setelah masa
Al-manshur, kota bagdad menjadi lebih masyhur lagi karena perannya sebagai
pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Banyak para ilmuan dari
berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan yang ingin
dituntutnya. Masa keemasan kota bagdad terjadi pada zaman pemerintahan khalifah
Harun Al-Rasyid (786-809) dan anaknya Al-makmun (813-833 M). Dari kota inilah
memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Prestise
politik, supremasi ekonomi, dan aktifitas intelektual merupakan tiga
keistemewaan kota ini.
2. Kairo (Mesir)
Kota yang terletak di tepi sungai Nil ini mengalami tiga
kali masa kejayaan, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, di masa Shalah Al-Din
Al- Ayyubi dan di bawah Baybars dan al-nasyir pada masa dinasti Mamalik.
Periode Fathimiah ini dimulai dengan al-mu’izz dan puncaknya terjadi pada masa
pemerintahan anaknya, al-aziz. Al- muizz lidinillah dan Aziz di Mesir dapat
disejajarkan dengan Harun al-rasyid di Baghdad. Selama pemerintahan mu’izz dan
tiga orang pengganti pertamanya, seni dan ilmu mengalami kemajuan besar.
Pada masa-masa selanjutnya, dinasti fathimiah mulai mendapat
gangguan–gangguan politik. Akan tetapi, Kairo tetap menjadi sebuah kota besar dan
penting. Ketika jayanya, di Kairo terdapat lebih kurang 20.000 toko milik
khalifah, penuh dengan barang-barang dari dalam dan luar negeri. Kafilah-kafilah,
tempat-tempat pemandian, dan sarana umum lainnya banyak sekali didirikan oleh
penguasa. Istana khalifah dihuni oleh 30.000 orang, 12.000 diantaranya adalah
pembantu, dan 1000 pengawal berkuda.
3. Isfahan (Persia)
Persia memiliki kebudayaan dan peradaban yang mempunyai ciri
menggunakan bahasa Indo-Irannya dan ciri etnik karya serta dominasi bahasa
Persia. Pengaruh kebudayaannya mampu mempengaruhi negara-negara di India, Asia
Tenggara khususnya Melayu maupun daratan Cina. Persia memiliki ciri-ciri
kebudayaan seperti arsitektur dan kesenian yang sangat khas sehingga mampu
digunakan sebagai alat dalam penyebaran serta pengembangan agama Islam pada
periode Islam modern dan kontemporer. Pengelompokan keagamaan di Persia banyak
mendapat perhatian dari pihak Arab karena sistematis pengelompokannya sangat
baik dan praktis dengan menggunakan dua corak kehidupan Syiah dan Sunni.
Ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Syafawi,
dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu. Di
dalam kota banyak berdiri bangunan seperti istana, sekolah, masjid, menara,
pasar, dan rumah-rumah yang indah, terukir rapi dengan warna-warna yang
menarik. Masjid Syah yang masih ada sampai sekarang yang didirikan oleh Abbas
1, merupakan salah satu masjid terindah di dunia.
4. Turki
Dalam aspek budaya dan sosialnya kawasan Turki banyak dihuni
oleh suku Kurdi yang sering melakukan pemberontakan dengan kebijakan publik
karena adanya perbedaan pemahaman dalam bidang agama. Dalam aspek agamanya
masyarakat Turki mampu berkembang dan mengembangkan ajaran Islam karena
memiliki dua madzhab dalam memahami ajaran Islam yaitu madzhab Sunni dan Syi’ah.
Masing-masing dari madzhab tersebut memiliki pemimpin dan bergerak dalam bidangnya masing-masing tanpa mengganggu
aktivitas diantara keduanya. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dari kaisar
Turki yang membagi daerah penyebaran masing-masing.
B.
Tokoh
Pembaharuan Islam Kontemporer
1.
M. Hassan
Hanafi
Karya-karya Hanafi dapat
diklasifikasikan dalam tiga periode: Periode pertama berlangsung pada
tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga
dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an. Pada awal dasawarsa 1960-an
pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir,
yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai
ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan
setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal
dasawarsa ini pula (1956-1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang
berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih
banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya
dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu,
selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode
interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic
legal theory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama
dalam konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus merupakan
upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan
ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese
(Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh
penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam
karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab
filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Pada fase awal pemikirannya itu,
tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa
itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan
kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Ia
mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat
membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial,
sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya
dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.
a)
Pokok-Pokok
Pemikiran Hassan Hanafi
Pemikiran Hanafi sendiri, menurut
Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu
pada tiga landasan: 1) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan;
3) analisis sosial Marxian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan
semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar
watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan
ciri khas tradisi Marxian.
1) Kritik Terhadap Teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang
rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi
perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks
sosial-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam
konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi
Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi
merupakan refleksi dari wahyu yang memanfaatkan kosakata zamannya dan didorong
oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan
keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya merupakan
cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni. Dalam konteks ini, teologi
merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam
teks-teks kitab suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti-arti yang betul-betul
berdiri sendiri untuk setiap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi,
adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli
teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka
lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya
pada naskah-naskah itu.
Hanafi ingin meletakan teologi
tradisional Islam pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan
yang suci yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja.
Namun teologi adalah ilmu kemanusiyaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi
dan falsifikasi baik secara historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam.
Pemikiran ini juga tidak jauh berbeda dengan teolgi pembebasan yang terjadi di
Kristen. Secara praksis, teologi tradisional menurut hasan Hanafi gagal menjadi
ideologi yang fugsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim dikarenakan oleh
para sikap teolog yang tidak mengaitkan teologi dengan kesadaan murni dan
nilai-nilai perbuatan manusia. Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi
pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh
para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan
kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu,
Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri
sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian,
adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara
arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu
berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Hanafi menegaskan bahwa
rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi
lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang
datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah.
Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan
memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebebasan,
kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa.
Teologi baru itu harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan
perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakapan. Karena itu pula
harus tersusun secara kemanusiaan.
Asumsi dasar dari pandangan teologi
semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, adalah protes, oposisi
dan revolusi. Baginya, Islam memiliki makna ganda. Pertama, Islam
sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua,
Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa
dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim
politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu
perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai
pergolakan. Melihat kegagalan teologi tradisional, Hanafi mewacanakan
rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islam benar-benar menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi
dan revisi, serta membangun kembali epistimologi lama menuju epistimologi yang
baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi
agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu
tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional
memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
Menurut Hasan Hanafi, untuk
melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilator belakangi oleh tiga
hal, sebagai berikut:
· Pertama, kebutuhan akan adanya
sebuah idiologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai
Idiologi.
·
Kedua, pentingnya teologi baru ini
bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan
praktis untuk secara nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah,
salah satu kepentingan praksis idiologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan
kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim.
·
Ketiga, kepentingan teologi yang
bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui
realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Menurut hasan Hanafi, rekonstruksi
teologi merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan
teologi dapat memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban
manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang
kemanusiaan, baik secara eksistensia, kognitif, naupun kesejahteraan. Selanjutnya Hanafi menawarkan dua
hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu analisa
bahasa dan analisa realitas.
2) Oksidentalisme
Tradisi, menurut Hassan Hanafi bukanlah
sekedar barang mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan
ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah barang
hidup yang selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah elemen-elemen budaya,
kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam
tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan
sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta membimbing perilaku bagi setiap
generasi mendatang.
Oksidentalisme
merupakan antitesis Orientalisme. Para oksidentalis mengkritik orientalisme
sekaligus mengkaji ulang Barat. Ibarat permainan bola, Oksidentalisme melakukan
serangan balik terhadap Orientalisme. Para penyerang dari kubu Oksidentalis
antara lain Edward Said, Anouar Abdel-Malek dan Hassan Hanafi. Hassan Hanafi
terang-terangan menyebut kritikannya terhadap Orientalisme sebagai
Oksidentalisme. Profesor filsafat Universitas Kairo ini pula yang membeda
dengan menghadirkan Oksidentalisme bercorak filosofis.
Dengan
Oksidentalisme, Hassan Hanafi berupaya membalik kedudukan Orientalisme bahkan
Barat. “Dalam
‘Oksidentalisme’ neraca-neraca berbalik, peran-peran pun bergantian, ego Eropa
yang dulu pengkaji hari ini menjadi objek kajian sebagaimana liyan non-Eropa
yang kemarin dikaji kini menjadi subjek pengkaji.”
Pembalikan kedudukan itu ditujukan untuk menghilangkan kesombongan Eropa dan
kerendahdirian non-Eropa. Namun Hanafi mengantisipasi masuknya unsur-unsur
Orientalisme ke dalam Oksidentalisme dalam pembalikan itu. Ia menetapkan
garis-garis pembeda antara keduanya antara lain: Pertama, Oksidentalisme
muncul pasca gerakan kemerdekaan nasional sehingga bernuansa pembelaan atas
kemerdekaan, yang tentu saja berbeda dengan Orientalisme yang muncul bersama
Kolonialisme yang merenggut kemerdekaan. Kedua, Orientalisme menggunakan
metode-metode abad ke-19 bercorak positivistik, historistik, dan rasialis,
sementara Oksidentalisme memanfaatkan metode-metode kontemporer yang mengkritik
metode-metode tersebut di atas, seperti metode linguistik, metode fenomenologi
dan metode pembebasan nasional. Ketiga, Oksidentalisme tak berkehendak
untuk kuasa kecuali kehendak untuk merdeka sehingga lebih netral ketimbang
Orientalisme yang berselingkuh dengan Kolonialisme. Seperti dijelaskan Hassan Hanafi,
Oksdentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme.
Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the
other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua
antara ego dengan the other, dan
dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakab al-naqish) pada ego dengan
kompleksitas superioritas (murakab al-‘uzma) pada pihak the other. Oreintalisme
lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji
terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat dalam melihat
Timur. Hal demikian dibalikkan dengan Oksidentalisme, yang tugasnya yaitu
mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan
superioritas the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji,
dan melenyapkan infererioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek
pengkaji. Hanya saja Oksidentalsime kali ini dibangun di atas ego yang netral
dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia
juga tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui
keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi,
ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego
Orientalisme.
2.
M. Syahrur
Masa-masa pembentukan Syahrur bebarengan
dengan instabilitas politis-pemerintahan pasca kemerdekaan Syiria pada 1947,
yang berlanjut dengan kekacauan ideologis. Pada 1959, Syahrur berangkat ke
sebuah kota dekat Moskow untuk belajar teknik sipil, dimana dia lagi-lagi
mengalami kebingungan politis-ideologis. Disini pula, keimanannya dihadapkan
pada tantangan filsafat Marxis yang atheis, sebagaimana pengakuannya. 11
Pertemuaannya dengan filsafat Marxis ini mengajarkannya bahwa sebuah ideologi
membutuhkan konsep pengetahuan tentang benda-benda yang ada dalam realitas
objektif. Pada masa belajar di Soviet inilah, dia bertemu dengan orang yang
berperan penting dalam perkembangan pemikirannya, Ja’far Dik al-Bab, yang
mengajar linguistika. Buku yang berjudul lengkap al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah
Mu’ashirah13, yang diterbitkan pertama kali pada 1990, memantik kontroversi
berkepanjangan yang memicu penerbitan banyak buku, artikel, dan tulisan lain
yang menolak satu atau beberapa aspek dari pemikiran Syahrur yang termuat dalam
buku itu. Perdebatan ini memuncak pada tahun 2000 pada saat penerbitan buku berjudul
al-Markslamiyya wa al-Qur’an aw al-bahitsun an ‘imamah li Darwin wa Marks wa
Zawjat al-Nu’man: Qira’ah fi Da’wa al-Mua’shirah. Buku yang ditulis oleh
Muhammad Sayyah al-Ma’arrawiyya dan terdiri dari 1014 halaman ini ditujukan
sebagai bantahan komprehensif atas karya Syahrur. Disamping itu, antara tahun
1990 sampai 2000 terdapat setidaknya delapan belas buku dan banyak artikel
jurnal yang secara spesifik berbicara tentang buku Syahrur. Banyak kritikus
Syahrur yang mencoba kecenderungan Marxis-materialistik-sekular dalam pemikiran
Syahrur, yang hal ini kemudian direspon oleh kalangan intelektual kiri yang
mencoba mengambil jarak dari Syahrur yang mereka anggap tidak terlalu Marxis
dan materialis-sekular. Popularitas buku Syahrur ini dibuktikan dengan luasnya
kritikus yang terlibat dalam perdebatan sekitarnya, mulai dari ahli agama, ahli
bahasa, ahli ekonomi, insinyur, praktisi hukum, jurnalis, dan sivitas
akademika.
Beragam kritik dan bantahan yang
ditulis oleh berbagai kalangan tidak mengurangi popularitas Syahrur dan
bukunya. Alih-alih, pada 1992 ceramah Syahrur di Universitas Damaskus menarik
kedatangan lebih dari 5000 orang, meskipun kemudian ceramah ini dibatalkan.
Namun, tidak seperti kalangan liberal di Mesir, misalnya, yang harus berhadapan
dengan perangkat hukum setempat, Syahrur tidak harus mengalami nasib yang sama.
Dia tidak pernah secara resmi dihukum karena melakukan tindakan penghinaan
agama atau sejenisnya. Setelah pensiun dari Universitas Damaskus pada 1998,
Syahrur tetap menerima undangan untuk memberikan kuliah di beberapa negara. Tidak
diragukan lagi bahwa karya terbesar Syahrur adalah al-Kitab wa al-Qur’an yang terbit pada 1990. Buku ini penting,
karena di dalamnya, dia mengeksplorasi sisi epistemologis yang penting untuk
membaca pemikirannya dengan lengkap, terlebih lagi buku ini didahului dengan
penjelelasan metode linguistik yang ditulis oleh guru bahasanya, Ja’far Dik
al-Bab. Selanjutnya pada 1994, buku keduanya terbit berjudul Dirasah Islamiyah fi al-Dawla wa
al-Mujtama’. Dalam buku ini dia mendiskusikan konsep-konsep yang berkaitan
dengan negara dari unitnya yang terkecil. Dua tahun kemudian terbitlah bukunya
yang berjudul al-Islam wa al-Iman
Manzhumah al-Qiyam yang membahas tentang konsep-konsep teologis dalam
Islam. Pada pergantian milenium, Syahrur menerbitkan bukunya yang keempat
berjudul Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh
al-Islami Fiqh al-Mar’ah al-Washiyah al-Irts al-Qiwamah al-Ta’addudiyah
al-Libas. Buku ini berbicara tentang isu-isu feminisme setelah terlebih
dahulu berbicara tentang dasar-dasar epistemologis-filosofis yang mendasari
diskusinya kemudian. Bukunya yang terakhir berjudul Tajfif Manabi’ al-Irhab, yang di dalamnya dia membantah penafsiran
konsep-konsep kunci dalam Al-Quran yang ditawarkan oleh kalangan Islam radikal.
Setahun kemudian, pada 2009, kumpulan tulisannya yang terjemahkan dan diedit
ulang diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dengan judul The Qur’an, Morality and Critical Reason: the Essential of Muhammad
Shahrur. Di samping beberapa buku diatas, Syahrur juga menulis banyak
artikel ilmiah yang dipublikasikan di berbagai jurnal, koran, dan situs
internet.
a)
Prinsip-Prinsip
Linguistik-Filosofis dan Tradisi yang Berpengaruh Padanya
Syahrur
mengakui bahwa tujuan dari karya-karyanya adalah untuk melampaui epistemologi
kesarjanaan Islam tradisional,21 yang tanpa terlepas darinya pembaharuan takkan
bisa terjadi. Namun keinginannya ini tidak selalu terjadi. Dalam pemaparan
prinsip kebahasaan yang mendasari pembacaannya, misalnya, dia menyebut bahwa
dia mengikuti al-Jurjani yang mengatakan bahwa makna hanya ada dalam struktur
bahasa dan konteks kesejarahan tertentu. Disamping itu, guru linguistiknya,
dalam kata pengantar al-Kitab wa al-Qur’an, yang merupakan pemaparan metode
kebahasaan yang digunakan Syahrur dalam bukunya, mengakui bahwa metode
linguistik yang digunakan Syahrur diambil dari mazhab linguistik Abu ‘Ali
al-Farisi. Dalam bukunya Syahrur mengelaborasi metode yang digunakan dalam
pembacaan, yang diklasifikasikan menjadi dua kategori, linguistik dan filosofis.
Metode yang secara eksplisit diakui
Syahrur sebagai metode yang digunakan adalah kritisisme dialektis, yang
diakuinya sangat penting dalam teori pengetahuannya. Dia menggunakan metode ini
untuk mengeksplorasi hubungan kausal antara bentuk dan isi dalam berbagai
konteks kemanusiaan. Di sisi lain, sebagai seorang pemikir yang cenderung pada
analisis matematis, Syahrur banyak dipengaruhi oleh Alfred N. Whitehead yang
juga merupakan seorang filosof-matematikawan. Dan melalui Whitehead inilah, dia
dipengaruhi oleh filsafat positivis Jerman. Cara baca kontemporer yang dimaksud
Syahrur, dengan demikian adalah sintesis dari filsafat proses Whitehead,
idealisme rasionalis Jerman, dan nalar teknis-matematis. Pengaruh-pengaruh ini
dapat menjelaskan alternatif epistemologis yang dipilih Syahrur setelah
pilihannya untuk secara menyeluruh meninggalkan tradisi penafsiran yang telah
mapan, disamping juga menjelaskan pekuliaritas hasil bacaannya.
C.
Tantangan Dunia Islam Kontemporer
Dunia
Islam memiliki dua tantangan: internal dan eksternal. Secara internal, umat
Islam harus berjuang untuk bangkit dari kebodohan dan keterbelakangan. Juga
dari budaya tidak islami yang tumbuh subur di negeri-negeri muslim, seperti
korupsi, kolusi, dan manipulasi. Juga masalah klasik: konflik dan perpecahan di
tubuh umat Islam sendiri.
Pada saat yang sama, dunia Islam saat ini menghadapi
tantangan eksternal yang sangat hebat. Propaganda negatif terhadap Islam begitu
gencar dan intens dilancarkan. Mula-mula Islam dipropagandakan dengan predikat
opresif. Belakangan ini propagandanya lebih dahsyat lagi, yaitu propaganda
fundamentalisme dan terorisme. Semua propaganda ini pada dasarnya tujuannya
tidak lain adalah untuk men-demarketing Islam. Sekarang ini, tantangan kita
adalah bagaimana Islam bisa survive dan bahkan menguat di tengah-tengah
konspirasi global semacam ini.
0 komentar:
Posting Komentar