Selasa, 17 Desember 2013

Pembaharuan Islam Kontemporer di Timur Tengah

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pada awal pertumbuhanya, Islam bergerak sedikit demi sedikit mengubah peradaban orang-orang jahiliah, tetapi tidak menghapus seluruh kebudayaanya misalnya, thowaf atau memuliakan ka’bah yang berada di tengah kota Makkah. Setelah Islam mempunyai kekuatan yang cukup di Makkah, maka umat Islam mulai menyebarkan agama dan peradabannya ke negara di kawasan Jazirah Arab, hal itu dilakukan secara setahap yang membuahkan hasil yang sangat baik sehingga mendapat tanggapan dari masyarakat yang cukup ramah.
Setelah kurun waktu yang sangat singkat Islam mampu berkembang di negara-negara kawasan Timur Tengah misalnya, Turki, Iran, berbagai bagian Afrika dan Asia Tenggara. Islam telah mengubah  peradaban dan kebudayaan di beberapa kawasan tersebut sehingga kawasan–kawasan tersebut memiliki corak kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai Islam dan berkembang sampai sekarang atau abad modern dan kontemporer. Semua itu memiliki beberapa aspek pendukung peradaban dan kebudayaan dari masa ke masa atau abad ke abad sehingga Islam mampu mempengaruhi dunia sosial, politik, budaya, seni dan sastra. Pusat-pusat dan aspek-aspek kontemporer merupakan sesuatu yang sangat perlu kita kaji dan teliti agar nilai-nilai Islam yang termuat di dalam peradabannya tidak hilang ditelan oleh perkembangan zaman.

B. Rumusan Masalah
1.  Bagaimana pembaharuan Islam kontemporer di Timur Tengah?
2.   Siapa dan bagaimanakah tokoh pembaharuan Islam kontemporer?

C.   Tujuan
1.  Untuk mengetahui pembaharuan Islam kontemporer di Timur Tengah.
2.  Untuk mengetahui siapa dan bagaimana tokoh pembaharuan Islam kontemporer.


BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pembaharuan Islam Kontemporer di Timur Tengah
Pada abad ke 18, kawasan barat yang sudah mapan memasuki negara-negara Islam serta mendirikan dominasinya di berbagai jalur sehingga dapat menguasai beberapa aspek kehidupan masyarakat  Islam yang akhirnya mendominasi kebudayaan serta peradaban Islam. Sejak  itulah umat Islam mulai sadar betapa beratnya penderitaan di bawah penjajahan Negara-negara barat. Mulailah umat Islam menginstropeksi diri dalam segala kehidupannya, baik dalam bidang agama, politik, sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Kebangkitan dunia Islam dilatar belakangi banyaknya negara-negara Islam yang memberontak Negara-negara barat melalui beberapa pemikiran serta dipacu oleh pemuka-pemuka Islam untuk memodernkan dunia Islam. Dalam sejarah perjalanan Islam dibagi beberapa periode, diantaranya periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan peride modern dan kontemporer (1800 M). Pada periode klasik Islam mengalami kemajuan karena pada masa itu terjadi ekspansi intregasi dan keemasan Islam. Pada masa itu pula lah lahir beberapa cendekiawan yang memiliki berbagai macam keahlian ilmu pengetahuan dan filsafat.
Pada masa periode pertengahan Islam mengalami kemunduran akibat adanya berbagai perpecahan dalam wilayah Islam yang mendirikan negara sendiri-sendiri serta berbagai macam serangan dari Negara-Negara barat. Pada masa ini umat Islam berada pada periode kegelapan terutama dalam bidang pemikiran, kemajuan ilmiah sudah tidak ada lagi dengan ditutupnya pintu ijtihad, pemikiran menjadi mati.
Banyak aspek-aspek pendukung peradaban Islam modern dan kontemporer di kawasan Timur Tengah serta kawasan timur, diantaranya adalah aspek budaya, aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek politik. Diantara negara-negara yang mengalami perkembangan peradaban dalam kategori modern dan kontemporer adalah Baghdad, Mesir, Persia, Turki, dan kawasan sekitarnya.
1.   Baghdad
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam islam. Itulah sebabnya, Philip K.Hitti menyebutnya sebagai kota intelektual. Setelah masa Al-manshur, kota bagdad menjadi lebih masyhur lagi karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Banyak para ilmuan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan yang ingin dituntutnya. Masa keemasan kota bagdad terjadi pada zaman pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid (786-809) dan anaknya Al-makmun (813-833 M). Dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Prestise politik, supremasi ekonomi, dan aktifitas intelektual merupakan tiga keistemewaan kota ini.
2.   Kairo (Mesir)
Kota yang terletak di tepi sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, di masa Shalah Al-Din Al- Ayyubi dan di bawah Baybars dan al-nasyir pada masa dinasti Mamalik. Periode Fathimiah ini dimulai dengan al-mu’izz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, al-aziz. Al- muizz lidinillah dan Aziz di Mesir dapat disejajarkan dengan Harun al-rasyid di Baghdad. Selama pemerintahan mu’izz dan tiga orang pengganti pertamanya, seni dan ilmu mengalami kemajuan besar.
Pada masa-masa selanjutnya, dinasti fathimiah mulai mendapat gangguan–gangguan politik. Akan tetapi, Kairo tetap menjadi sebuah kota besar dan penting. Ketika jayanya, di Kairo terdapat lebih kurang 20.000 toko milik khalifah, penuh dengan barang-barang dari dalam dan luar negeri. Kafilah-kafilah, tempat-tempat pemandian, dan sarana umum lainnya banyak sekali didirikan oleh penguasa. Istana khalifah dihuni oleh 30.000 orang, 12.000 diantaranya adalah pembantu, dan 1000 pengawal berkuda.
3.   Isfahan (Persia)
Persia memiliki kebudayaan dan peradaban yang mempunyai ciri menggunakan bahasa Indo-Irannya dan ciri etnik karya serta dominasi bahasa Persia. Pengaruh kebudayaannya mampu mempengaruhi negara-negara di India, Asia Tenggara khususnya Melayu maupun daratan Cina. Persia memiliki ciri-ciri kebudayaan seperti arsitektur dan kesenian yang sangat khas sehingga mampu digunakan sebagai alat dalam penyebaran serta pengembangan agama Islam pada periode Islam modern dan kontemporer. Pengelompokan keagamaan di Persia banyak mendapat perhatian dari pihak Arab karena sistematis pengelompokannya sangat baik dan praktis dengan menggunakan dua corak kehidupan Syiah dan Sunni.
Ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Syafawi, dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu. Di dalam kota banyak berdiri bangunan seperti istana, sekolah, masjid, menara, pasar, dan rumah-rumah yang indah, terukir rapi dengan warna-warna yang menarik. Masjid Syah yang masih ada sampai sekarang yang didirikan oleh Abbas 1, merupakan salah satu masjid terindah di dunia.
4.   Turki
Dalam aspek budaya dan sosialnya kawasan Turki banyak dihuni oleh suku Kurdi yang sering melakukan pemberontakan dengan kebijakan publik karena adanya perbedaan pemahaman dalam bidang agama. Dalam aspek agamanya masyarakat Turki mampu berkembang dan mengembangkan ajaran Islam karena memiliki dua madzhab dalam memahami ajaran Islam yaitu madzhab Sunni dan Syi’ah. Masing-masing dari madzhab tersebut memiliki pemimpin dan bergerak  dalam bidangnya masing-masing tanpa mengganggu aktivitas diantara keduanya. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dari kaisar Turki yang membagi daerah penyebaran masing-masing.
B.     Tokoh Pembaharuan Islam Kontemporer
1.      M. Hassan Hanafi
Karya-karya Hanafi dapat diklasifikasikan dalam tiga periode: Periode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an. Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang ber­kembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik po­pulistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal the­ory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontempo­rer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya un­tuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.
a)       Pokok-Pokok Pemikiran Hassan Hanafi
Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: 1) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.
1)      Kritik Terhadap Teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial-poli­tik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang me­manfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya meru­pakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni. Dalam konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti-arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk seti­ap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, ada­lah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah itu.
Hanafi ingin meletakan teologi tradisional Islam pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja. Namun teologi adalah ilmu kemanusiyaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi baik secara historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam. Pemikiran ini juga tidak jauh berbeda dengan teolgi pembebasan yang terjadi di Kristen. Secara praksis, teologi tradisional menurut hasan Hanafi gagal menjadi ideologi yang fugsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim dikarenakan oleh para sikap teolog yang tidak mengaitkan teologi dengan kesadaan murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bah­wa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdi­ri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebe­basan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Teologi baru itu harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakap­an. Karena itu pula harus tersusun secara kemanu­siaan.
Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, ada­lah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam me­miliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketunduk­an; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu re­zim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan. Melihat kegagalan teologi tradisional, Hanafi mewacanakan rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islam benar-benar menjadi ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistimologi lama menuju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
         Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilator belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut:
·                            Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah idiologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Idiologi.
·                           Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis idiologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim.
·                             Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Menurut hasan Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensia, kognitif, naupun kesejahteraan. Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu analisa bahasa dan analisa realitas.
2) Oksidentalisme
Tradisi, menurut Hassan Hanafi bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah barang hidup yang selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.
Oksidentalisme merupakan antitesis Orientalisme. Para oksidentalis mengkritik orientalisme sekaligus mengkaji ulang Barat. Ibarat permainan bola, Oksidentalisme melakukan serangan balik terhadap Orientalisme. Para penyerang dari kubu Oksidentalis antara lain Edward Said, Anouar Abdel-Malek dan Hassan Hanafi. Hassan Hanafi terang-terangan menyebut kritikannya terhadap Orientalisme sebagai Oksidentalisme. Profesor filsafat Universitas Kairo ini pula yang membeda dengan menghadirkan Oksidentalisme bercorak filosofis.
Dengan Oksidentalisme, Hassan Hanafi berupaya membalik kedudukan Orientalisme bahkan Barat. “Dalam ‘Oksidentalisme’ neraca-neraca berbalik, peran-peran pun bergantian, ego Eropa yang dulu pengkaji hari ini menjadi objek kajian sebagaimana liyan non-Eropa yang kemarin dikaji kini menjadi subjek pengkaji.” Pembalikan kedudukan itu ditujukan untuk menghilangkan kesombongan Eropa dan kerendahdirian non-Eropa. Namun Hanafi mengantisipasi masuknya unsur-unsur Orientalisme ke dalam Oksidentalisme dalam pembalikan itu. Ia menetapkan garis-garis pembeda antara keduanya antara lain: Pertama, Oksidentalisme muncul pasca gerakan kemerdekaan nasional sehingga bernuansa pembelaan atas kemerdekaan, yang tentu saja berbeda dengan Orientalisme yang muncul bersama Kolonialisme yang merenggut kemerdekaan. Kedua, Orientalisme menggunakan metode-metode abad ke-19 bercorak positivistik, historistik, dan rasialis, sementara Oksidentalisme memanfaatkan metode-metode kontemporer yang mengkritik metode-metode tersebut di atas, seperti metode linguistik, metode fenomenologi dan metode pembebasan nasional. Ketiga, Oksidentalisme tak berkehendak untuk kuasa kecuali kehendak untuk merdeka sehingga lebih netral ketimbang Orientalisme yang berselingkuh dengan Kolonialisme. Seperti dijelaskan Hassan Hanafi, Oksdentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakab al-naqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (murakab al-‘uzma) pada pihak the other. Oreintalisme lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan dengan Oksidentalisme, yang tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hanya saja Oksidentalsime kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi, ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego Orientalisme.

2.      M. Syahrur
Masa-masa pembentukan Syahrur bebarengan dengan instabilitas politis-pemerintahan pasca kemerdekaan Syiria pada 1947, yang berlanjut dengan kekacauan ideologis. Pada 1959, Syahrur berangkat ke sebuah kota dekat Moskow untuk belajar teknik sipil, dimana dia lagi-lagi mengalami kebingungan politis-ideologis. Disini pula, keimanannya dihadapkan pada tantangan filsafat Marxis yang atheis, sebagaimana pengakuannya. 11 Pertemuaannya dengan filsafat Marxis ini mengajarkannya bahwa sebuah ideologi membutuhkan konsep pengetahuan tentang benda-benda yang ada dalam realitas objektif. Pada masa belajar di Soviet inilah, dia bertemu dengan orang yang berperan penting dalam perkembangan pemikirannya, Ja’far Dik al-Bab, yang mengajar linguistika. Buku yang berjudul lengkap al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah Mu’ashirah13, yang diterbitkan pertama kali pada 1990, memantik kontroversi berkepanjangan yang memicu penerbitan banyak buku, artikel, dan tulisan lain yang menolak satu atau beberapa aspek dari pemikiran Syahrur yang termuat dalam buku itu. Perdebatan ini memuncak pada tahun 2000 pada saat penerbitan buku berjudul al-Markslamiyya wa al-Qur’an aw al-bahitsun an ‘imamah li Darwin wa Marks wa Zawjat al-Nu’man: Qira’ah fi Da’wa al-Mua’shirah. Buku yang ditulis oleh Muhammad Sayyah al-Ma’arrawiyya dan terdiri dari 1014 halaman ini ditujukan sebagai bantahan komprehensif atas karya Syahrur. Disamping itu, antara tahun 1990 sampai 2000 terdapat setidaknya delapan belas buku dan banyak artikel jurnal yang secara spesifik berbicara tentang buku Syahrur. Banyak kritikus Syahrur yang mencoba kecenderungan Marxis-materialistik-sekular dalam pemikiran Syahrur, yang hal ini kemudian direspon oleh kalangan intelektual kiri yang mencoba mengambil jarak dari Syahrur yang mereka anggap tidak terlalu Marxis dan materialis-sekular. Popularitas buku Syahrur ini dibuktikan dengan luasnya kritikus yang terlibat dalam perdebatan sekitarnya, mulai dari ahli agama, ahli bahasa, ahli ekonomi, insinyur, praktisi hukum, jurnalis, dan sivitas akademika.
Beragam kritik dan bantahan yang ditulis oleh berbagai kalangan tidak mengurangi popularitas Syahrur dan bukunya. Alih-alih, pada 1992 ceramah Syahrur di Universitas Damaskus menarik kedatangan lebih dari 5000 orang, meskipun kemudian ceramah ini dibatalkan. Namun, tidak seperti kalangan liberal di Mesir, misalnya, yang harus berhadapan dengan perangkat hukum setempat, Syahrur tidak harus mengalami nasib yang sama. Dia tidak pernah secara resmi dihukum karena melakukan tindakan penghinaan agama atau sejenisnya. Setelah pensiun dari Universitas Damaskus pada 1998, Syahrur tetap menerima undangan untuk memberikan kuliah di beberapa negara. Tidak diragukan lagi bahwa karya terbesar Syahrur adalah al-Kitab wa al-Qur’an yang terbit pada 1990. Buku ini penting, karena di dalamnya, dia mengeksplorasi sisi epistemologis yang penting untuk membaca pemikirannya dengan lengkap, terlebih lagi buku ini didahului dengan penjelelasan metode linguistik yang ditulis oleh guru bahasanya, Ja’far Dik al-Bab. Selanjutnya pada 1994, buku keduanya terbit berjudul Dirasah Islamiyah fi al-Dawla wa al-Mujtama’. Dalam buku ini dia mendiskusikan konsep-konsep yang berkaitan dengan negara dari unitnya yang terkecil. Dua tahun kemudian terbitlah bukunya yang berjudul al-Islam wa al-Iman Manzhumah al-Qiyam yang membahas tentang konsep-konsep teologis dalam Islam. Pada pergantian milenium, Syahrur menerbitkan bukunya yang keempat berjudul Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami Fiqh al-Mar’ah al-Washiyah al-Irts al-Qiwamah al-Ta’addudiyah al-Libas. Buku ini berbicara tentang isu-isu feminisme setelah terlebih dahulu berbicara tentang dasar-dasar epistemologis-filosofis yang mendasari diskusinya kemudian. Bukunya yang terakhir berjudul Tajfif Manabi’ al-Irhab, yang di dalamnya dia membantah penafsiran konsep-konsep kunci dalam Al-Quran yang ditawarkan oleh kalangan Islam radikal. Setahun kemudian, pada 2009, kumpulan tulisannya yang terjemahkan dan diedit ulang diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dengan judul The Qur’an, Morality and Critical Reason: the Essential of Muhammad Shahrur. Di samping beberapa buku diatas, Syahrur juga menulis banyak artikel ilmiah yang dipublikasikan di berbagai jurnal, koran, dan situs internet.
a)      Prinsip-Prinsip Linguistik-Filosofis dan Tradisi yang Berpengaruh Padanya
Syahrur mengakui bahwa tujuan dari karya-karyanya adalah untuk melampaui epistemologi kesarjanaan Islam tradisional,21 yang tanpa terlepas darinya pembaharuan takkan bisa terjadi. Namun keinginannya ini tidak selalu terjadi. Dalam pemaparan prinsip kebahasaan yang mendasari pembacaannya, misalnya, dia menyebut bahwa dia mengikuti al-Jurjani yang mengatakan bahwa makna hanya ada dalam struktur bahasa dan konteks kesejarahan tertentu. Disamping itu, guru linguistiknya, dalam kata pengantar al-Kitab wa al-Qur’an, yang merupakan pemaparan metode kebahasaan yang digunakan Syahrur dalam bukunya, mengakui bahwa metode linguistik yang digunakan Syahrur diambil dari mazhab linguistik Abu ‘Ali al-Farisi. Dalam bukunya Syahrur mengelaborasi metode yang digunakan dalam pembacaan, yang diklasifikasikan menjadi dua kategori, linguistik dan filosofis.
Metode yang secara eksplisit diakui Syahrur sebagai metode yang digunakan adalah kritisisme dialektis, yang diakuinya sangat penting dalam teori pengetahuannya. Dia menggunakan metode ini untuk mengeksplorasi hubungan kausal antara bentuk dan isi dalam berbagai konteks kemanusiaan. Di sisi lain, sebagai seorang pemikir yang cenderung pada analisis matematis, Syahrur banyak dipengaruhi oleh Alfred N. Whitehead yang juga merupakan seorang filosof-matematikawan. Dan melalui Whitehead inilah, dia dipengaruhi oleh filsafat positivis Jerman. Cara baca kontemporer yang dimaksud Syahrur, dengan demikian adalah sintesis dari filsafat proses Whitehead, idealisme rasionalis Jerman, dan nalar teknis-matematis. Pengaruh-pengaruh ini dapat menjelaskan alternatif epistemologis yang dipilih Syahrur setelah pilihannya untuk secara menyeluruh meninggalkan tradisi penafsiran yang telah mapan, disamping juga menjelaskan pekuliaritas hasil bacaannya.
C.                Tantangan Dunia Islam Kontemporer
Dunia Islam memiliki dua tantangan: internal dan eksternal. Secara internal, umat Islam harus berjuang untuk bangkit dari kebodohan dan keterbelakangan. Juga dari budaya tidak islami yang tumbuh subur di negeri-negeri muslim, seperti korupsi, kolusi, dan manipulasi. Juga masalah klasik: konflik dan perpecahan di tubuh umat Islam sendiri.
Pada saat yang sama, dunia Islam saat ini menghadapi tantangan eksternal yang sangat hebat. Propaganda negatif terhadap Islam begitu gencar dan intens dilancarkan. Mula-mula Islam dipropagandakan dengan predikat opresif. Belakangan ini propagandanya lebih dahsyat lagi, yaitu propaganda fundamentalisme dan terorisme. Semua propaganda ini pada dasarnya tujuannya tidak lain adalah untuk men-demarketing Islam. Sekarang ini, tantangan kita adalah bagaimana Islam bisa survive dan bahkan menguat di tengah-tengah konspirasi global semacam ini.



0 komentar:

Posting Komentar