A. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Puji
syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami kelompok Dua
Belas mampu
menyelesaikan makalah Sosiologi Agama yang berjudul Hubungan Agama dengan Modernisasi. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi
Agama yang dibimbing oleh Dr.H. Zulfi
Mubaraq, M. Ag.
Pentingnya topik mengenai Hubungan Agama dengan
Modernisasi ini dibahas adalah untuk
memberikan pemahaman dan wawasan pada kita tentang segala hal yang berkaitan
dengan Agama dengan modernisasi terutama tentang hubungan agama dengan
modernisasi sendiri ,sehingga kita bisa mengerti dan memahami bagaimana
Sosiologi Agama membahas masalah agama di era-modernisasi saat ini. Sehingga
secara ilmiah kita bisa mengetahui hubungan antar keduanya.
Isi global dari makalah ini adalah membahas
mengenai pengertian Modernisasi, selanjutnya pandangan para tokoh tentang
modernisasi, cara atau perbuatan pergeseran atau peralihan sikap dan mentalis
sebagai warga masyarakat untuk menyesuaikan hidup dengan tuntutan hidup masa
kini. Serta hubungan agama dan modernisasi dilihat dari realitanya,modernisasi
telah melanda dibanyak kalangan dan segala bidang. Untuk mengahadapi era
modernisasi ini maka tuntutan yang harus mampu diemban oleh agama itu sendiri
adalah bagaimana agama itu mampu memepertahankan eksistensinya dan tidak
terpengaruh dengan era perkembangan modernisasi yang justru akan mengurangi
nilai-nlai keagamaan dalam masyarakat. Selain itu agama juga mampu berperan
aktif untuk melindungi masyarakat dari pengaruh-pengaruh modernisasi yang
kurang baik dan mengarahkan manakah yang perlu untuk tetap diikuti dalam
perkembangannya.
2. Tujuan
Pembahasan
a. Ingin memahami pengertian modernisasi
b. Ingin
memahami hubungan agama dengan modernisasi
3. Rumusan
Masalah
a.
Apa unsur-unsur Agama ?
b.
Apa pengertian
modernnisasi secara etimologi dan terminologi ?
c.
Bagaimana hubungan agama
dengan modernisasi ?
B. PEMBAHASAN
1.Unsur-unsur Agama
Agama adalah tanggapan manusia
terhadap titik kritis di mana dia bersentuhan dengan kekuatan tertinggi dan
sakral.[1]
Agama merupakan rasa takut yang
selalu ada dan kerendahan hati yang secara paradoks berubah menjadi dasar bagi
rasa aman, sebab bila rasa takut yang dikhayalkan ada dalam hati seseorang dan
kerendahan hati selamanya tetap diakui, maka terjaminlah keunggulan-keunggulan
kesadaran manusia. Tidak akan ada rasa takut atau tindakan yang merendahkan
hakikat keagamaan yang terdalam, sebab mereka secara intuisi mengalami kedua
emosi tersebut mendahului rasa permusuhan yang diungkapkan terhadap dunia yang
begitu luas, sangat berarti bagi keinginan manusia. Sadar atau tidak sadar, ia
merupakan perburuan terhadap realitas tertinggi yang mengikuti kekalahan total
tetapi diperlukan, merupakan inti dari agama. [2]
Agama, religi dan din pada umumnya
merupakan suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata
keyakinan’ atas adanyasesuatu yang mutlak di luar manusia. Selain
itu ia juga merupakan suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada
sesuatu yang dianggap yang Mutlak, juga
sebagai sistema norma ‘tata kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan
manusia serta antara manusia dan
alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan itu.[3]
Sebuah agama atau aliran kepercayaan menjadi benar
atau dibenarkan keberaadaannya jika memiliki 3 unsur. Ketiga unsur tersebut
adalah :[4]
a. Credo
Yakni suatu agama pastilah memiliki sistem kepercayaan yang percaya akan
adanya Tuhan. Dalam konteks ini, sebuah agama tentu tidak akan dinamakan agama
jika tidak memiliki Tuhan. Ini sesuai dengan pengertian agama dalam pembahasan
di awal tentang agama yang berarti mengikat diri kembali kepada Tuhan.
b. Ritus
Sebuah agama pasti memiliki suatu sistem ritual hubungan antara pemeluk
agama dengan Tuhan yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama.Ritus ini
pasti ada dan berbeda tiap-tiap agama. Dalam agama islam ritual ini bisa berupa
sholat 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, naik haji bagi yang mampu serta ritual-ritual lainnya yang begitu banyak.
c. Norma (Hukum)
Sistem norma ini mengatur hubungan-hubungan sosial antara pemeluk agama
dengan pemeluk agama lain. Sistem norma inilah yang menciptakan kerukunan antar
umat beragama. Tidak ada satupun agama di dunia ini
yang mempunyai sistem norma yang mengajarkan untuk bermusuhan dengan orang dari
pemeluk agama lain. Sistem norma ini selalu mengajarkan kebaikan kepada para
pemeluk masing-masing agama.
Menurut Leight,
Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:[5]
a. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap
benar tanpa ada keraguan lagi.
M. Natsir. Agama adalah kepercayaan dan cara hidup yang mengandung
faktor-faktor, antara lain 1) percaya dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari
segala sumber hukum dan nilai hidup; 2) percaya dengan wahyu Tuhan kepada
Rasul-Nya; 3) percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia atau
perseorangan; 4) percaya d3engan hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya
sehari-hari; 5) percaya bahwa dengan matinya seorang, kehidupan rohnya tidak
berakhir; 6) percaya dengan ibadah sebagai cara mengadakan hubungan Tuhan; 7)
percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia. Sungguh pun
beberapa faktor lagi yang dapat kita sebut, tetapi sudah cukup untuk melukiskan
dengan jelas definisi agama, sehingga kita dapat melihat bedanya dengan yang
lain (“Islam dan Sekularisme”, pidato dalam sidang pleno kontituante, 12
November 1957).[6]
Ahmad Mukti Ali menyatakan agama adalah kepercayaan akan adanya
Tuhan Yang Maha Esa dan hukumyang diwahyukan kepada utusan-utusan untuk kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ciri-ciri agama adalah 1)
mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa; 2) memiliki kitab suci dari Tuhan Yang
Maha Esa; 3) Memiliki Rasul ‘utusan ‘dari Tuhan Yang Maha Esa; 4) memiliki
hukum sendiri bagi kehidupan para penganutnya berupa perintah-perintah
larangaan-larangan dan petunjuk-petunjuk[7]
K.H.E. Abdurrahman. Agama adalah ketetapan ketuhanan karena kebaikan Allah
kepada manusia dengan melalui lidah (dengan menyambung) dari antara mereka.
Untuk mencapai kerasulan itu tidak dapat
dengan usaha dan tidak pula di buat-buat, dan tidak akan mendapatkan wahyu
dengan cara belajar. In Huwwa ila wahuun
yuha, yang demikian tidak lain hanya semata-mata wahyu yang diwahyukan
kepadanya.
b. Simbol agama, yakni identitas agama yang
dianut umatnya.
c. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal
antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan
antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama.
d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk
pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e. Umat beragama, yakni penganut masing-masing
agama.
Secara umum ruang lingkup suatu agama meliputi unsur-unsurnya sebagai
berikut:[8]
a. Substansi yang disembah
Dalam setiap agama, esensi dari keagamaan adalah penyembahan pada
sesuatu yang dianggap berkuasa.Substansi yang disembah menjadi pembeda dalam
kategorisasi agamanya, ada yang memusyrikan Allah dan ada yang mentauhidkan
Allah.
b. Kitab Suci
Kitab suci merupakan salah satu ciri khas dari agama.Bila suatu agama
tidak memiliki kitab suci, maka sulit dikatakan sebagai suatu agama.
c. Pembawa Ajaran
Pembawa ajaran suatu Agama Samawi disebut Nabi (Rasul) yang menerima
wahyu dari Allah SWT.untuk disampaikan kepada masyarakat berdasarkan wahyu yang
diterimanya. Dalam Agama Tabi’i, proses kenabian kadang-kadang melalui proses
evaluasi yang dihasilkan berdasarkan sebuah julukan yang sengaja dikatakan
untuk (sebagai) penghormatan tanpa adanya pengakuan berdasarkan wahyu dari
Allah SWT.
d. Pokok-pokok Ajaran
Setiap Agama baik Samawi maupun Tabi’i mempunyai pokok-pokok ajaran atau
prinsip ajaran yang wajib diyakini bagi pemeluknya.Pokok ajaran ini sering
disebut dengan Dogma, yaitu setiap ajaran baik percaya atau tidak, bagi
pemeluknya wajib untuk mempercayainya.
e. Aliran-aliran
Setiap agama yang ada di dunia ini baik Samawi maupun Tabi’i memiliki
aliran-aliran yang berkembang pada agama masing-masing yang diakibatkan karena
adanya perbedaan pendapat/pandangan baik perorangan maupun kelompok yang
mengakibatkan timbulnya suatu aliran yang masing-masing kelompok memperkuat
paham kelompoknya. Dalam Islam perbedaan merupakan rahmat, sedangkan dalam
agama selain Islam dapat berubah pada masalah-masalah pokok, seperti berubahnya
paham ketuhanan dalam agama tauhid menjadi agama musyrik ( syirik kepada Allah
SWT).
2.Pengertian Modernisasi Secara Etimologi dan Terminologi
a)
Secara Etimologi
Modernisasi berasal darikata modern yang berarti kreasi
baru, cara baru, secara baru, model baru, mutakhir.[9]Modernis
adalah orang yang berhaluan modern, pencetus ide-ide modern, orang modern. Modernisasi
adalah gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan lama untuk menuju bentuk atau
model kehidupan yang baru, penerapan model-model baru, pemodernan. Sedangkan modernisme
adalah pembaharuan – pembaharuan corak atau model kehidupan gaya hidup modern,
adat hidup modern. Dan yang selanjutnya yang memiliki hubungan dengan
modernisasi adalah modernitas yaitu kemodernan, yang modern, keadaan
modern.[10]
Istilah modern mengacu kepada pengertian “sekarang ini”[11].
Istilah ini dianggap sebagai lawan dari istilah ancient atau tradisonal.
Dengan demikian, kedua istilah itu merupakan tipe dari dua tatanan masyarakat
yang berbeda. Pada umumnya, dalam pengertian modern, tercakup ciri-ciri
masyarakat tertentu yang ditemui sekarang ini. Dalam pengertian ancient atau
tradisional, mencakup “pengertian sisa” (residual sense) dari ciri-ciri
masyarakat modern. Istilah modern kemudian berkembang menjadi salah satu
istilah teknis akademis. Perkembangan istilah tersebut tidak dapat dipisahkan
dengan sejarah peradaban eropa.
Modernisasi adalah pemodern (sikap, gaya hidup, cara pandang, dan
sebagainya), Proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagaiwarga masyarakat
untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[12]
b)
Secara Terminologi
Modernisasi adalah gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan lama
untuk menuju bentuk atau model kehidupan yang baru, penerapan model-model baru,
pemodernan.[13]
Modernisasi adalah Proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai
sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[14]
Menurut Max Weber, modernisasi adalah rasionalisasi yaitu
penerapan pengetahuan saintifik ke semua matra kehidupan sehari-hari,
pengikisan terhadap keyakinan dan praktik magis dan irrasionalitas,
pengembangan ekonomi uang supaya kontribusi dan kebutuhan bisa diukur dengan
cermat, sekularisasi nilai-nilai agama, dan pengabaian terhadap realitas dalam
menyetujui prinsip-prinsip rasional tentang efisiensi dan kalkulasi[15].
Istilah modernisasi sering
diasosiasikan dengan kemajuan atau evolusi.Dalam pemikiran sejumlah peneliti
sosial, konsep evolusionisme cenderung disederhanakan.Evolusinisme berkaiatan
dengan gagasan bahwa perkembangan dari masyarakat miskin menuju masyarakat maju
tidak terhindarkan.Sebagai konsekuensinya, yang menyangkut struktur kebudayaan
dapat diramalkan.Selain itu, evolusi itu cenderung disederhanakan artinya dalam
mempelajari problematic perkembangan dari evolusi tersebut sering digunakan
suatu pembagian menjadi dua, seperti terlihat dari pasangan konsep kaya-miskin,
barat-nonbarat, maju-terbelakang.[16]
Pada dasarnya pengertian
modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan bersama yang
tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke
arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri-ciri negara barat yang
stabil.[17]
Modernisasi merupakan
suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah
(directed change) yang didasarkan pada perencanaan yang biasa dinamakan social
planning. Modernisasi merupakan suatu persoalan yang harus dihadapi
masyarakat yang besangkutan karena prosesnya meliputi bidang-bidang yang sangat
luas, menyangkut proses disorganisasi, problema-problema sosial, konflik antar
kelompok, hambatan-hambatan terhadap perubahan, dan sebagainya.[18]
Light dan Keller, mengartikan modernisasi
sebagai perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga dan pandangan yang memindahkan
masyarakat tradisional kearah industrialisasi dan urbanisasi.Atau seperti
ditegaskan Zanden, modernisasi merupakan suatu proses yang melaluinya, suatu
masyarakat beralih dari pengaturan sosial dan ekonomi tradisional atau
pra-industrial ke masyarakat yang bercirikan industrial. Industrialisasi sering
digunakan dalam arti luas sebagai ekuivalen dengan bentuk modernisasi
ekonomi.Definisi senada diungkap Nurcholish Madjid, yang mengatakan bahwa
“zaman modern”, adalah “zaman Teknik” (technical Age), bila dilihat dari
hakikat intinya, karena pada zaman ini peran sentral teknikalisme serta
bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme sangat kental,
wujud keterkaitan antara segi teknologis diacu sebagai dorongan besar pertama
umat manusia memasuki zaman sekarang ini, yaitu revolusi industri (teknologis)
di Inggris dan revolusi Perancis (social politik) di Perancis.[19]
3.Hubungan Agama dengan Modernisasi
Ada dua pandangan mengenai modernisasi, pertama,
pandangan yang menyatakan bahwa modernisasi ditentukan oleh adanya sikap-sikap
modern tertentu. Dengan perkataan lain, sikap-sikap modern merupakan prasyarat
bagi keberhasilan proses modernisasi. Pandangan ini diwakili oleh David
McClelland dan Max Weber. Weber menyatakan bahwa Calvinisme mengandung etos
kerja atau –menggunakan istilah McCelland –“viirus mental”. Kedua, anggapan
yang mencoba menentang pandangan yang diuraikan pertama yang diwakili oleh
Alexander Gerschenkron. Beliau menyatakan bahwa Calvinisme melancarkan proses
modernisasi. Keberatan lain atas pandangan yang pertama dikemukakan oleh para
antropolog. Mereka mengingatkan agar tidak memandang masyarakat tradisional
sebagai masyarakat yang statis dan memiliki nilai yang seragam.[20]
Agama dan modernisasi sering menjadi fokus kajian para
sarjana sosiolog dan antropolog sejak awal abad ke-18. Mereka tertarik
membicarakan bagaimana nasib agama ketika berhadapan dengan modernisasi yang
sedang melanda semua masyarakat di dunia ini. Hampir semua sarjana sosiologi
dan antropologi menganggap bahwa ketika agama berhadapan dengan modernisasi, ia
akan tersisihkan peranannya sebagai faktor legitimasi utama dalam masyrakat,
digantikan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh masyarakat
itu sendiri yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, modernisasi
selalu berakibat munculnya sekularisasi dalam keberagaman dan individualisasi
dalam hubungan sosial bagi masyarakat tersebut.[21]
Cikal bakal modernisasi berasal dari munculnya gerakan
pemikiran abad pertengahan- yang disebut sebagai zaman pencerahan- yang membawa
implikasi perubahan mendasar hampir dalam semua kehidupan manusia. Sejak zaman
pencerahan itu, dunia ilmu pengetahuan bersifat positivistik dengan meletakkan
dominasi ilmu-ilmu empiris, eksak beserta metodologinya sebagai paradigma.
Sejak masa itu muncullah dikotomi antara kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan
dengan kebenaran berdasarkan agama yang pada zaman sebelumnya kebenaran selalu
dipegang oleh agama (gereja). Tata perekonomian dunia juga berubah; ia kini
diatur secara sistem kapitalistik yang menekankan pada mekanisme pasar bebas.
Keadaan itu merefleksi pada peri kehidupan manusia yang lain dengan ditandai
oleh sikap matrealistik yang terlalu duniawi dan lahiriah, yang hampir tidak
hampir memperhatikan dan memperdulikan kehidupan batiniah. Keputusan tindakan
manusia bersifat pragmatik praktis jangka pendek; baik buruknya diukur dari
segi menguntungkan atau tidak menurut nilai ekonomi (economic value),
sehingga tujuan pendidikan pun lebih diarahkan pada kemampuan pencapaian
kemampuan (skill).[22]
Babak akhir abad ke-18 merupakan permulaan zaman baru,
ketika masyarakat dunia mulai mengadakan modernisasi, terutama dinegara-negara
eropa barat, setelah mengalami revolusi industri sebagai akibat ditemukannya
mesin uap oleh James Watt. Sebagai penerapan ilmu pengetahuan dalam setiap
aspek kehidupan, modernisasi berakar pada kesadaran abad sebelumnya (abad
ke-14), yang disebut “abad pencerahan” terhadap agama adalah kurang bersahabat.
Pada umumnya mereka, menganggap agama sesuatu yang patut dimusuhi atau
sekurang-kurangnya harus dicurigai, karena dipandang produk masa lalu yang
membelenggu kebebasan manusia. Salah satu alirannya adalah Deisme di Inggris,
yang menentang kepercayaan berdasarkan agama. Deisme mengakui adanya Tuhan yang
menciptakan alam, tetapi sesudah dunia tercipta. Tuhan membiarkan dunia kepada
nasibnya sendiri. Deisme memberikan kritik akal serta menyebarkan ilmu
pengetahuan yang bebas dari segala dominasi ajaran gereja.[23]
Abad ke-19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh
filsafat positivisme. Terutama di bidang ilmu pengetahuan, yang ditandai oleh
peran yang menentukan dari cara berpikir ilmiah. Bahwa kebenaran itu adalah
yang dapat diukur oleh kebenaran ilmiah. Karena itu, agama –yang menawarkan
kebenaran teologis- dianggap sesuatu yang telah usang, produk masa lalu, yang
telah digantikan oleh kebenaran positivisme. Tokohnya yang dianggap sebagai
bapak positivisme dan sosiolog –mengeluarkan hukum tiga tahap dalam
perkembangan pemikiran manusia: pertama, manusia hidup dalam tahap
teologis, yaitu pemikiran bahwa setiap persoalan hidup dipecahkan melalui
kepercayaan akan kekuasaan Tuhan, mulai dari animisme, politeisme, dan
monoteisme. Kedua, manusia hidup dalam tahap metafisik. Tahapan ini
sebenarnya masih sama dengan yang pertama, hanya diganti dengan kekuatan
abstrak, pengertian, dan kosep abstrak. Ketiga, manusia hidup dalam
tahapan positif yang bermakna nyata dan ilimiah. Dalam pandangan Comte, agama
adalah produk masa lalu yang posisinya akan digantikan oleh positivisme. Dan menurutnya
walaupun ada agama, namun hanya merupakan agama humanitas, agama yang sudah
disesuaikan dengan positivisme. Pandangan Comte ini banyak memberikan inspirasi
luar biasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke-19 dan 20.[24]
Awal abad ke-20 berkembang aliran-aliran pragmatisme,
aliran yang menyatakan bahwa sesuatu itu benar apabila ada nilai guna
praktisnya bagi kehidupan manusia. Tokohnya yang terkenal diantaranya William
James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1938). Juga muncul aliran filsafat
eksistensialisme dengan tokohnya Soren Kierkegard, Martin Heidgger, Jean Paul
Sarte, Karl Jespers dan Gabriel Marcel. Aliran ini menekankan pada eksistensi
memanusia dengan seluruh otonominya yang tak terbatas. Kedua aliran ini semakin
memojokkan peranan dan legitimasi agama dalam panggung kehidupan manusia
modern.[25]
Umat manusia telah terbentuk, sebagaimana produk industri
itu sendiri. Tak ada lagi keunikan, yang ada hanyalah kekakuan yang seragam
sehingga sadar atau tidak sadar, manusia berangsur-angsur kehilangan asas
kemerdekaannya. Padahal itikad dikembangkannya ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai pembebasan keterbatasan manusia, justru menghadirkan kerumitan hidup
dan kegelapan ruang spiritual. Manusiatelah kehilangan kontak secara manusiawi
dalam tata hubungan antar manusia karena manusia telah menjadi egoistis. Manusia kehilangan kontak dengan alam, dan
oleh karena itu kerusakan lingkungan menjadi masalah utama dalam kehidupan
modern. Manusia telah kehilangan orientasi, tidak tahu kemana arah hidup
tertuju.[26]
Tiga dasawarsa terakhir menjelang berakhirnya abad ke-20,
terjadi perkembangan pemikiran baru yang mulai menyadari bahwa selama ini
manusia salah menjalani kehidupannya. Manusia mulai merindukan dimensi
spiritual yang hilang dalam kehidupannya. Di dunia ilmu pengetahuan muncul
berbagai pandangan yang menggugat paradigma positivisme. Di era modern ini,
menurut beberapa sarjana, terdapat peningkatan perhatian yang signifikan
terhadap agama. Hal ini menurut Naisbitt dan Aburdene (1990), dikarenakan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern tidak memberikan makna tentang kehidupan,
sehingga di zaman ini muncul istilah Turning To The East, sebagai
fenomena bahwa agama akan mengalami kebangkitan.
Islam yang diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup
dari rangkaian petunjuk (wahyu) Tuhan untuk membimbing kehidupan manusia. Islam
adalah agama yang diklaim sebagai agama yang sempurna bagi yang meyakininya.
Dan salah satu makna kesempurnaan itu ialah bahwa islam diyakini bersifat
universal yang meliputi berbagai dimensi ruang dan waktu. Jika ditafsirkan
secara kontekstual, maka ajaran islam cocok untuk diterapkan kapan dan dimana
saja, atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi
semesta alam).[27]
Pada setiap zaman juga terjadi dan akan selalu terjadi
reinterpretasi dan reaktulisasi atas ajaran islam yang disesuaikan dengan
tingkat pemikiran manusia pada zaman itu. Hal ini merujuk pada sabda nabi
Muhammad SAW: “ Sesuaikan pengajaran agama islam dengan tingkat akal budi manusia”.
Nasib agama islam di zaman modern ini juga sangat ditentukan oleh sejauh mana
kemampuan umat islam merespons secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah yang
terjadi di era modern.[28]
Nurcholis Madjid pernah mengomentari islam dan tantangan
modernitas. Dalam pandangannya, Al-Qur’an menunjukkan bahwa risalah islam
karena universalitasnya dapat diadaptasikan dengan lingkungan kultural manapun
termasuk lingkungan masyarakat perkotaan modern. Kemampuan islam
mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan kebudayaan modern diakui oleh sejumlah
ilmuwan sosial. Salah satunya adalah Ernest Gellne. Ia menegaskan bahwa islam
dapat dimodernisasi, dan upaya modernisasi itu dapat dilakukan serempak dengan
upaya pemurniannya. Modernisasi islam, yakni adaptasinya dengan lingkungan
modern, harus berlangsung tanpa merusak keaslian dan otensitasnya sebagai agama
wahyu.[29]
Peradaban barat –seperti yang telihat dinegara-negara
eropa barat dan amerika utara – telah mengalami kemajuan yang menakjubkan dan
telah menemukan “kemajuan” ilmu pengetahuan yang luar biasa sejak mereka
menolak hegemoni ajaran agama (gereja) pada abad pertengahan. Karena
ketidakpercayaan mereka pada ajaran gereja, ditanamkanlah dalam pandangan
manusia bahwa agama merupakan penghambat kemajuan dan pengekang otonomi manusia.[30]
Mereka tidak menyadari atau tidak mengetahui bahwa tidak
semua agama menghambat kemajuan dan mengekang kemajuan ilmu pengetahuan; agama
tertentu bahkan sangat mendukung kemajuan dan otonomi manusia. Islam malahan
menyuruh umatnya untuk selalu mengali ilmu pengetahuan dan mengolah dunia untuk
kehidupan yang baik bagi manusia.Kesalahan penafsiran dan pemahaman kalangan
agamawan sendiri terhadap agamanya selama ini sejak awal abad pertengahan di
Eropa, yang sebenarnya menghalangi kemajuan.Atau, mungkin juga agama yang
selama ini mereka anut dan percayai di Eropa secara kembangaan maupun ajarannya
pada saat itu, tidak kondusif bagi kemajuan keilmuan dan peradaban manusia.[31]
Satu
warisan kultural zaman
pencerahan yang mencerminkan kelemahan manusia modern adalah sikap mendewakan
secara berlebihan rasionalitas manusia. Kelemahan mengakibatkan adanya
kecenderungan untuk menyisihkan seluruh pengertian nilai dan norma moral
berdasarkan agama dalam memandang kenyataan kehidupan. Manusia modern yang
mewarisi sikap positivistic ini, cenderung menolak keterkaitan antara subtansi
jasmani dan subtansi rohani manusia, serta menolak pengertian ketersusunan alam
dunia dan akhirat.[32]
Setiap
analisis tentang kaitan agama dan modernitas dilihat dari sudut pandang agama,
cenderung bersifat apologis. Sikap apologis itu dalam rumusan umum sering
menempatkan agama tidak ubahnya seperti suatu alat untuk membenarkan semua
perilaku kemodernan si satu pihak, atau bahkan agama merupakan “ palu godam ”
untuk mengutuk apa saja yang berbau modern di lain pihak. Kedua sikap ini
sangat merendahkan martabat agama serta sekaligus memantulkan kesan
ketidakberdayaan agama dalam menghadapi gelombang besar transformasi yang
menyertai peradaban modern.[33]
Dilihat
dari perspektif islam, terjadinya aliensi sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari modernitas tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Karena modernitas yang
kita hayati dalam kehidupan kita sehari-hari saat ini adalah diimpor dari dunia
barat yang memiliki system nilai dan logika perkembangan tersendiri, yang
didalamnya mungkin terdapat unsure yang sinkron dan saling melengkapi yang
bersifatuniversal. Para penulia kenamaan seperti Sayid Quthub, Al- Maududi, Ali
Syariati dan m asih banyak yang lainnya telah banyak mengajukan sikap apologisnya
terhadap islam ketika islam ketika islam bertekuk lutut kepada barat. Slah satu
tulisan yang bergaya apologistersebut terutama adalah menunjukkan kebrengsekan
dibalik kemilau peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tersebut,
sambil mengajukan klaim-klaim deduktif yang diambilkan dari berbagai sumber
nilai ajaran islam. Sikap apologis yang terkadang berlebihan itu diantara lain
disebabkan oleh pantulan emosi terhadap situasi yang dihadapi umat islam yang
sampai perang dunia kedua nyaris semuanya berada dibawah belenggu penjajahan
barat yang telah menyemaikan “ virus ” modernitas tersebut.[34]
Dalam
bentuknya yang positif tentu saja umat islam pun secara jujur mengakui “ hutang
budi ” mereka kepada barat, terutama dalam mengikis kungkungan tradisionalisme,
untuk kemudian menerima tatanan baru yang mendorong untuk melakukan berbagai
inivasi guna menjawab tantangan jaman di lingkungannya masing-masing. Virus
modernitas telah mendorong umat islam untuk makin siap menhadapi realita
kehidupan, bahkan jika perlu bersikap pragmatis. Ini tidak berarti bahwa umat
islam “ membebek ” dan bahkan “ mengadaikan diri ” kepada barat demi merangkul
modernitas. Disinilah letak dilemanya: umat islam kehilangan jati diri dalam
melihat tatanan yang serba asing untuk kemudian menempatkannya secara
proporsional, baik sebagai “ kawan ” maupun sebagai “ lawan ”.[35]
Dalam
posisi seperti paparan diatas, maka kita telaah tentang agama dan modernitas
tidak membuat kita makin bijak bahkan bias sebaliknya. Tanpa bermaksud terlibat
dalam polemik panjang
diatas, kita juga menyadari bahwa jika agama menjadi makin marginal
kedudukannya dalam kehidupan modern ini, maka bahaya besar akan selalu
mengitari peradaban. Cepat atau lambat ia akan mengalami kenagkrutan total. Dengan
pendirian semacam ini, maka posisi yang makin jelas bahwa umat beragama harus
berani menjadi benteng yang akan selalu siap menangkal setiap kecenderungan
destruktif yang muncul dalam masyarakat karena agama telah dienyahkan dari
pergaulan hidup dan manusia mengikuti naluri “ kebinatangannya ”.[36]
Dua
tugas pokok umat islam
yang paling mendesak untuk diaktualisasikan, pertama, upaya mengetualisasikan
ajaran islam dalam jabaran yang lebih konkret dan dapat diterapkan di dalam
realitas hidup keseharian. Islam harus bisa dipahami dan dinyatalaksanakan
dalam kehidupan nyata oleh segenap lapisan masyarakat.Agama tidak cukup hanya
menjadi bahan perbincangan dan pergunjingan, tetapi juga harus siap dihadapkan
secara proposional dengan semua kenyataan hidup. Pada sisi kedua realitas hidup
itu sendiri harus bisa menjadi sumber motivasi yang menantang agar
untuk makin “ memanusia”.[37]
Diingatkan kembali bahwa menegakkan ajaran agama
ditengah-tengah masyarakat yang cenderung sekular memang bukan pekerjaan yang
gampang. Agama yang secara hakiki seyogyanya menjadi penunjuk arah, sumber
motivasi dan sekaligus sebagai alat control dan kritik terhadap segenap aspek
pembangunan pada kenyataannya sering tidak bisa fungsional. Subornasi agama
pada tataran duniawi pada giliran berikutnya akan sampai pada klimaksnya ketika
manusia telah sampai pada kesimpulan bahwa agama tidak lebih dari sekedar
konvensi moral yang setiap saat bisa berubah menurut selerah manusia. Pada
tahap awal orang menganggap bahwa semua agama adalah “ sama benarnya ”, karena
itu bertukar agama juga dipandang lumrah dan akhirnya muncul pula anggapan
bahwa beragama pun kehidupan manusia terus berlangsung.[38]
Dengan
kata lain sikap anogstik sampai ke ateistik, apalagi sekedar berpindah-pindah
agama dianggap lumrah. Dalam kaitan inilah umat islam Indonesia sebagai suatu
komunitas islam terbesar dalam satuan Negara bangsa di dunia seyogyanya makin
tertinggi untuk dapat memberikan “ sesuatu ” yang diperlukan masyarakat modern
untuk mengisi kekosongan hati nuraninya dari ajaran-ajaran transendental.[39]
Pembentukan
komunitas dalam segenap lapisan masyarakat islam merupakan suatu keharusan
untuk mampu mewujudkan sesuatu teladan bagi bangsa lain yang umat islamnya
adalah sangat minoritas. Entah dari mana kita harus membenahi islam agar
pembinaan masyarakat muslim dapat benar-benar menjadi kenyataan. Akan tetapi,
ke-islaman seseorang hendaknya tidak dipertentangkan dengan kemodernannya.[40]
Bagi
masyarakat Indonesia mengidealisasikan peranan agama dalam pembentukan budaya
dan kepribadian bangsa adalah wajar, karena agama memang memiliki akar yang
kokoh di dalam, hamper segala untuk tidak menyebut seluruh subkultur yang ada
di Indonesia, konon sejak zaman dahulu kala. Dengan kata lain, bangsa
Indonesia, agama telah menjadi salah satu unsure yang paling dominan dalam
sejarah peradaban kita, termasuk didalamnya era modern ini, dan bahkan diduga
keras akan tetap berpengaruh di masa depan. Memang aneh kedengarannya jika
dipersepsikan di masa depan agama tetap memegang peranan penting dalam suatu
peradaban barat, terbukti agama mengalami pasang-surut, tenggelam dibawah arus
kedua kekuatan sejarah tersebut.[41]
Di
pihak lain perlu pula disadari tentang pengkajian agama di dalam dunia ilmu
sosial itu sendiri. Perubahan tentang organisasi dan gerakan-gerakan agama
dilihat dari perspektif teori sosiologis merupakan salah satu diantara tipe
studi agama dua bentuk lainnya adalah pengkajian agama sebagai suatu problem
teoritis yang bersifat sentral dalam memahami tindakan sosial, dan agama
dilihat dari pertautannya dengan kawasan kehidupan sosial lainnya, seperti
ekonomi, politik, dan kelas sosial.[42]
Di zaman modernisasi dan
globalisasi sekarang ini, manusia di Barat sudah berhasil mengembangkan
kemampuan nalarnya (kecerdesan intelektualnya) untuk mencapai kemajuan yang
begitu pesat dari waktu kewaktu diberbagai bidang kehidupan termasuk dalam
bidang sains dan teknologi yang kemajuannya tidak dapat dibendung lagi akan
tetapi kemajuan tersebut jauh dari spirit agama sehingga yang lahir adalah
sains dan teknologi sekuler. Manusia saling berpacu meraih kesuksesan dalam
bidang material, soial, politik, ekonomi, pangkat, jabatan, kedudukan,
kekuasaan dan seterusnya, namun tatkala mereka sudah berada dipuncak kesuksesan
tersebut lalu jiwa mereka mengalami goncangan-goncangan mereka bingung untuk
apa semua ini. Kenapa bisa terjadi demikian, karena jiwa mereka dalam
kekosongan dari nilai-nilai spiritual, disebabkan tidak punya oreintasi yang
jelas dalam menapaki kehidupan di alam dunia ini. Sayyid Hussein Nasr menilai
bahwa keterasingan (alienasi) yang dialami oleh orang-orang Barat karena
peradaban moderen yang mereka bangun bermula dari penolakan (negation) terhadap
hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan manusia.Akibatnya manusia lupa
terhadap eksistensi dirinya sebagai ‘abid (hamba) dihadapan Tuhan karena telah
terputus dari akar-akar spiritualitas.Hal ini merupakan fenomena betapa manusia
moderen memiliki spiritualitas yang akut.Pada gilirannya, mereka cenderung
tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, dan kemudian terperangkap
dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup[43]
Keimanan atau kepercayaan pada agama (Tuhan)
terutama Islam itu, secara pragmatis merupakan kebutuhan untuk menenangkan
jiwa, terlepas apakah objek kualitas iman itu benar atau salah. Secara
psikologis, ini menunjukkan bahwa Islam selalu mengajarkan dan menyadarkan akan
nasib keterasingan manusia dari Tuhannya. Manusia bagaimanapun juga tidak akan
dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya ketergantungan
kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya
dan agama diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai
makhluk rasional dan spiritual.[44]
Pandangan dunia sekuler,
yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan
menyingkirkan manusia moderendari segala aspek spiritual.Akibatnya mereka hidup
secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini
adanya oleh para Sufi.Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia
imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala
realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekedar entitas-entitas
fisik.Sains moderen menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari
wacananya.Padahal kosmologi adalah “ilmu sakral” yang menjelaskan kaitan dunia
materi dengan wahyu dan doktrin metafisis.Manusia sebenarnya menurut fitrahnya
tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan spiritual karena memang diri manusia
terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, manusia disamping makhluk
fisik juga makhluk non fisik.Dalam diri manusia tuntutan kebutuhan jasmani dan
rohani harus dipenuhi secara bersamaan dan seimbang, kebutuhan jasmani dapat
terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi sedangkan kebutuhan ruhani harus
dipenuhi dengan yang bersifat spiritual seperti ibadah, dzikir, etika dan amal
shaleh lainnya. Apabila kedua hal tersbeut tidak dapat dipenuhi secara adil
maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan akan mengalami kekeringan dan
kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengalami setres. Salah satu
kritik yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dari sudut
pandang Islam ialah karena ilmu pengetahuan dan teknologi moderen tersebut
hanya absah secara metodologi, tetapi miskin dari segi moral dan
etika.Pandangan masyarakat moderen yang bertumpu pada prestasi sains dan
teknologi, telah meminggrikan dimensi transendental Ilahiyah.Akibatnya,
kehidupan masyarakat moderen menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling
fundamental, yaitu aspek spiritual.[45]
Setiap analisis tentang kaitan antara agama dan
modernitas dilihat dari sudut pandang agama, cenderung bersifat apologis. Sikap
apologis itu dalam rumusan umum sering menempatkan agama tidak ubahnya seperti
suatu alat untuk membenarkan semua perilaku kemodernan disatu pihak, atau
bahkan agama dijadikan alasan untuk mengutuk apa saja yang berbau moderen
disatu lain pihak. Kedua sikap ini sangat merendahkan martabat agama serta
sekaligus memantulkan kesan ketidakberdayaan agama dalam menghadapi gelombang
besar transformasi yang menyertai peradaban moderen.[46]
Dilihat dari perspektif islam, terjadinya alienasi
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari modernitas tersebut merupakan
sesuatu yang wajar. Karena modernitas yang kita hayati dalam kejidupan kita
sehari-hari saat ini adalah diimpor dari dunia barat yang memiliki sistem nilai
dan logika perkembangan tersendiri, yang didalamnya mungkin terdapat unsur yang
sinkron dan saling melengkapi yang bersifat universal.[47]
2.ANALISIS
a.Analisis
Berdasarkan penjelasan di atas,bahwasannya Modernisasi adalahProses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai sebagai
warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Modernisasi
tidak selamanya membawa pengaruh buruk yang umum diyakini dan dipahami
masyarakat yang memang belum tahu tentang modernisasi itu seperti apa.
Modernisasi juga membawa pengaruh positif bagi masyarakat. Misalnya,
perkembangan IPTEK yang akan merubah pola pemikiran masyarakat menuju kemajuan.
Tapi dari perubahan pola pikir itu pula yang cenderung merubah pola perilaku
masyarakat yang awalnya tradisional menjadi meniru gaya-gaya orang barat pada
umumnya.Sehingga perlu adanya peran agama untuk tetap mampu mempertahankan
intensitas keyakinan dan budaya yang ada pada masyarakat dengan tidak terpengaruh
ke arah modernisasi yang tidak di harapkan. Sebagaimana tujuan murni dari
sebuah modernisasi itu sendiri adalah untuk memberikan prospek kemajuan bagi
masyarakat yang awalnya dulu lebih berada dalam kekuasaan gereja yang membatasi
ruang gerak ilmu pengetahuan dan perkembangan masyarakat. Jadi modernisasi ini muncul untuk mengatasi dan memperjuangkan kehidupan masyarakat agar lebih
maju dan berkembang dengan catatan tidak merubah dasar-dasar yang ada dalam
masyarakat tersebut.
Analisis menurut kami,bahwa
modernisasi adalah pergeseran sikap, gaya hidup, cara pandang, dan sebagainya sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan perkembangan zaman. Namun pada kenyataannya modernisasi dapat
berdampak buruk pada perkembangan pemikiran atau pola pikir masyarakat itu
sendiri. Hal ini sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat yang mungkin
akhirnya akan terbawa arus sekularisasi,karena itu peran agama sangat
dibutuhkan. Bagaimanapun juga manusia selalu punya
ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau
adanya agama untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional
dan spiritual.Sehingga meskipun ada modernisasi, agama tetap mempunyai peran
penting untuk mempertahankan intensitas keyakinan dan budaya yang ada pada masyarakat
dengan tidak terpengaruh ke arah modernisasi yang tidak diharapkan atau berdampak buruk pada kehidupan
masyarakat.Dalam hal ini modernisasi dapat memberikan prospek kemajuan bagi masyarakat
yang awalnya bersifat
tradisional menjadi masyarakat yang lebih maju dan berkembang dengan tidak merubah aturan dan dasar-dasar yang ada dalam masyarakat tersebut.
3.KESIMPULAN
1. Modernisasi berasal dari kata modern yang berarti
cara baru, secara baru, model baru, kreasi baru, mutakhir. Modernis
adalah orang yang berhaluan modern, pencetus ide-ide modern, orang modern. Modernisasi
adalah proses, cara atau perbuatan pergeseran atau peralihan sikap dan mentalis
sebagai warga masyarakat untuk menyesuaikan hidup dengan tuntutan hidup masa
kini. Light dan Keller, mengartikan modernisasi
sebagai perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga dan pandangan yang memindahkan
masyarakat tradisional kearah industrialisasi dan urbanisasi.Definisi senada
diungkap Nurcholish Madjid, yang mengatakan bahwa “zaman modern”, adalah “zaman
Teknik” (technical Age), bila dilihat dari hakikat intinya, karena pada zaman
ini peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait
dengan teknikalisme sangat kental, wujud keterkaitan antara segi teknologis
diacu sebagai dorongan besar pertama umat manusia memasuki zaman sekarang ini.
2. Letak peran penting pemimpin agama untuk dapat
menginterpretasi agama dari berbagai sudut pandang, rasional, universal yang
sesuai dengan kebutuhan umat manusia dan zaman hingga agama tidaklah dipandang
sebagai momok penghalang dari era modern ini. Agama yang secara hakiki
seyogyanya menjadi penunjuk arah, sumber motivasi dan sekaligus sebagai alat
control dan kritik terhadap segenap aspek pembangunan pada kenyataannya sering
tidak bisa fungsional. Manusia bagaimanapun juga
tidak akan dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya
ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau
apapun bentuknya dan agama diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.
DAFTAR RUJUKAN
Partanto, Pius A., M. Dahlan Al Barry. 2001. Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkola.
Tim Gama Press. 2010. Kamus Ilmiah Populer. Gama Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
Dahlan M., Y. Albarry., L. Lya Sofyan Yacub.
2003. Kamus Induk Istilah Imiah. Surabaya: Target Press.
Turner, Bryan S. 2008. Runtuhnya
Universalitas Sosiologi Barat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
ZulfiMubaraq. 2010. Sosiologi Agama. Malang: Uin-Maliki Press.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama.
Jakarta: PT. Ghalia Indonesia-UMM Press.
Sztompka Piort. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
[1]
Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta:
Rajawali, 1987), 50.
[2]Ibid.,
48. Lihat Edward Sapir, culture, language and personalit, (Berkeley:
University of California Press, 1960), hal. 122-123.
[3]
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), 30. Lihat: John R. Bennet, Religion dalam Encyclopedia Americana volume 29, New
York, hlm.324,”Religion...may broadly bedefined as acceptanceof obligation
toward powers higher than man himself’ (Religi....dalam arti luas dapat
didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang
lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri).
[4]
Anonim, Pengertian, Jenis dan Unsur Agama, http://kaazima.blogspot.com/2012/10/pengertian-jenis-dan-unsur-agama.html,
(Diakses pada tanggal 11 November 2013).
[5]
Aang Dwidra, Pendidikan Agama, http://aangkunefidwidra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/unsur-agama.html,
(Diakses pada tanggal 11 November 2013).
[6]Endang
Saifuddin Anshari, Wawasan Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), 34.
[7] Ibid, 42.Lihat: “Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian
Nasional”, Al-Jami’ah Majalah Ilmu
Pengetahuan Agama Islam No.1, Tahun 1, Januari 1962.
[8]
Anonim, Dienul Islam, http://tatangjm.wordpress.com/dienul-islam/,
(Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013).
[9]Pius A Partanto., M. Dahlan Al Barry. 2001. Kamus Ilmiah Populer.
(Surabaya: Arkola) 482.
[10]ibid
[11] Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),
101; Lihat Judistira K.Garna, Antropologi Agama, Tinjuan Agama dari
Perspektif Ilmu Sosial (Bandung: Jurusan Antropologi Universitas
Padjajaran, 1997), 4; Nurcholis Madjid, Islam: doktrin dan peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1995), 451-452.
[12]M.Dahlan.Y.Al-Barry., L.Lya Sofyan Yacub. 2003. Kamus Induk Istilah
Imiah. (Surabaya: Target Press)Hal. 518
[13]Tim Gama Press. 2010. Kamus Ilmiah Populer. (Gama Press).Hal.453
[14]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Balai Pustaka. Hal.589
[15]Bryan S. Turner. 2008. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 299-300.
[16]Dadang Kahmad. 2009. Sosiologi Agama. Hal 185.
[17]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2007), 304; Lihat Wilbert, E., Moore, op.cit., 129
[18]Ibid
[19]http://hanimtsuroy.blogspot.com/2012/05/v-behaviorurldefaultvmlo.html, Selasa 24
September 2013. 19.00
[20]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),
102.
[21]Ibid 102-103
[22]Ibid 103
[23]Ibid 104
[24]Ibid 105
[25]Ibid
[26]Dadang Kahmad. 2009. Sosiologi Agama.Hal 198
[27]Ibid 203
[28]Ibid 204
[29]Ibid 205-206
[30]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press,
2010),105-106.
[31]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),
102; Lihat Kahmad, sosiologi, 195-196
[32]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),
106.
[33]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakara:PT. Ghalia Indonesia,
2002), 78
[34]Ibid
[35]Ibid 78-79
[36]Ibid 79
[37]Ibid
[38]Ibid
[39]Ibid 80
[40]Ibid
[41]Ibid
[42]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 110
[43]http://hanimtsuroy.blogspot.com/2012/05/v-behaviorurldefaultvmlo.html, Selasa, 24
September 2013. 19.00
[44]Ibid
[45]Ibid
[46]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakara:PT. Ghalia Indonesia,
2002), 78
0 komentar:
Posting Komentar