Senin, 30 Desember 2013

Hubungan Agama dengan Modernisasi



A.    PENDAHULUAN 
1.      Latar Belakang
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami kelompok  Dua Belas mampu menyelesaikan makalah Sosiologi Agama yang berjudul Hubungan Agama dengan Modernisasi. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama  yang dibimbing oleh Dr.H. Zulfi Mubaraq, M. Ag.
Pentingnya topik mengenai Hubungan Agama dengan Modernisasi  ini dibahas adalah untuk memberikan pemahaman dan wawasan pada kita tentang segala hal yang berkaitan dengan Agama dengan modernisasi terutama tentang hubungan agama dengan modernisasi sendiri ,sehingga kita bisa mengerti dan memahami bagaimana Sosiologi Agama membahas masalah agama di era-modernisasi saat ini. Sehingga secara ilmiah kita bisa mengetahui hubungan antar keduanya.
Isi global dari makalah ini adalah membahas mengenai pengertian Modernisasi, selanjutnya pandangan para tokoh tentang modernisasi, cara atau perbuatan pergeseran atau peralihan sikap dan mentalis sebagai warga masyarakat untuk menyesuaikan hidup dengan tuntutan hidup masa kini. Serta hubungan agama dan modernisasi dilihat dari realitanya,modernisasi telah melanda dibanyak kalangan dan segala bidang. Untuk mengahadapi era modernisasi ini maka tuntutan yang harus mampu diemban oleh agama itu sendiri adalah bagaimana agama itu mampu memepertahankan eksistensinya dan tidak terpengaruh dengan era perkembangan modernisasi yang justru akan mengurangi nilai-nlai keagamaan dalam masyarakat. Selain itu agama juga mampu berperan aktif untuk melindungi masyarakat dari pengaruh-pengaruh modernisasi yang kurang baik dan mengarahkan manakah yang perlu untuk tetap diikuti dalam perkembangannya.

2.      Tujuan Pembahasan
a.       Ingin memahami pengertian modernisasi
b.      Ingin memahami hubungan agama dengan modernisasi
3.      Rumusan Masalah
a.       Apa unsur-unsur Agama ?
b.      Apa pengertian modernnisasi secara etimologi dan terminologi ?
c.       Bagaimana hubungan agama dengan modernisasi ?


B.     PEMBAHASAN
1.Unsur-unsur Agama
Agama adalah tanggapan manusia terhadap titik kritis di mana dia bersentuhan dengan kekuatan tertinggi dan sakral.[1]
Agama merupakan rasa takut yang selalu ada dan kerendahan hati yang secara paradoks berubah menjadi dasar bagi rasa aman, sebab bila rasa takut yang dikhayalkan ada dalam hati seseorang dan kerendahan hati selamanya tetap diakui, maka terjaminlah keunggulan-keunggulan kesadaran manusia. Tidak akan ada rasa takut atau tindakan yang merendahkan hakikat keagamaan yang terdalam, sebab mereka secara intuisi mengalami kedua emosi tersebut mendahului rasa permusuhan yang diungkapkan terhadap dunia yang begitu luas, sangat berarti bagi keinginan manusia. Sadar atau tidak sadar, ia merupakan perburuan terhadap realitas tertinggi yang mengikuti kekalahan total tetapi diperlukan, merupakan inti dari agama. [2]
Agama, religi dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo ‘tata keimanan atau ‘tata keyakinan’ atas adanyasesuatu yang mutlak di luar manusia. Selain itu ia juga merupakan suatu sistema ritus ‘tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap  yang Mutlak, juga sebagai sistema norma ‘tata kaidah’ yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia serta antara manusia dan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan itu.[3]
Sebuah agama atau aliran kepercayaan menjadi benar atau dibenarkan keberaadaannya jika memiliki 3 unsur. Ketiga unsur tersebut adalah :[4]
a.    Credo
Yakni suatu agama pastilah memiliki sistem kepercayaan yang percaya akan adanya Tuhan. Dalam konteks ini, sebuah agama tentu tidak akan dinamakan agama jika tidak memiliki Tuhan. Ini sesuai dengan pengertian agama dalam pembahasan di awal tentang agama yang berarti mengikat diri kembali kepada Tuhan.
b.    Ritus
Sebuah agama pasti memiliki suatu sistem ritual hubungan antara pemeluk agama dengan Tuhan yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama.Ritus ini pasti ada dan berbeda tiap-tiap agama. Dalam agama islam ritual ini bisa berupa sholat 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhannaik haji bagi yang mampu serta ritual-ritual lainnya yang begitu banyak.
c.    Norma (Hukum)
Sistem norma ini mengatur hubungan-hubungan sosial antara pemeluk agama dengan pemeluk agama lain. Sistem norma inilah yang menciptakan kerukunan antar umat beragama. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang mempunyai sistem norma yang mengajarkan untuk bermusuhan dengan orang dari pemeluk agama lain. Sistem norma ini selalu mengajarkan kebaikan kepada para pemeluk masing-masing agama.
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:[5]
a.    Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
M. Natsir. Agama adalah kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor, antara lain 1) percaya dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari segala sumber hukum dan nilai hidup; 2) percaya dengan wahyu Tuhan kepada Rasul-Nya; 3) percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia atau perseorangan; 4) percaya d3engan hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari; 5) percaya bahwa dengan matinya seorang, kehidupan rohnya tidak berakhir; 6) percaya dengan ibadah sebagai cara mengadakan hubungan Tuhan; 7) percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia. Sungguh pun beberapa faktor lagi yang dapat kita sebut, tetapi sudah cukup untuk melukiskan dengan jelas definisi agama, sehingga kita dapat melihat bedanya dengan yang lain (“Islam dan Sekularisme”, pidato dalam sidang pleno kontituante, 12 November 1957).[6]
Ahmad Mukti Ali menyatakan agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukumyang diwahyukan kepada utusan-utusan untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ciri-ciri agama adalah 1) mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa; 2) memiliki kitab suci dari Tuhan Yang Maha Esa; 3) Memiliki Rasul ‘utusan ‘dari Tuhan Yang Maha Esa; 4) memiliki hukum sendiri bagi kehidupan para penganutnya berupa perintah-perintah larangaan-larangan dan petunjuk-petunjuk[7] K.H.E. Abdurrahman. Agama adalah ketetapan ketuhanan karena kebaikan Allah kepada manusia dengan melalui lidah (dengan menyambung) dari antara mereka. Untuk mencapai kerasulan  itu tidak dapat dengan usaha dan tidak pula di buat-buat, dan tidak akan mendapatkan wahyu dengan cara belajar. In Huwwa ila wahuun yuha, yang demikian tidak lain hanya semata-mata wahyu yang diwahyukan kepadanya.
b.    Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c.    Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama.
d.    Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e.    Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.
Secara umum ruang lingkup suatu agama meliputi unsur-unsurnya sebagai berikut:[8]
a.    Substansi yang disembah
Dalam setiap agama, esensi dari keagamaan adalah penyembahan pada sesuatu yang dianggap berkuasa.Substansi yang disembah menjadi pembeda dalam kategorisasi agamanya, ada yang memusyrikan Allah dan ada yang mentauhidkan Allah.
b.    Kitab Suci
Kitab suci merupakan salah satu ciri khas dari agama.Bila suatu agama tidak memiliki kitab suci, maka sulit dikatakan sebagai suatu agama.
c.    Pembawa Ajaran
Pembawa ajaran suatu Agama Samawi disebut Nabi (Rasul) yang menerima wahyu dari Allah SWT.untuk disampaikan kepada masyarakat berdasarkan wahyu yang diterimanya. Dalam Agama Tabi’i, proses kenabian kadang-kadang melalui proses evaluasi yang dihasilkan berdasarkan sebuah julukan yang sengaja dikatakan untuk (sebagai) penghormatan tanpa adanya pengakuan berdasarkan wahyu dari Allah SWT.
d.    Pokok-pokok Ajaran
Setiap Agama baik Samawi maupun Tabi’i mempunyai pokok-pokok ajaran atau prinsip ajaran yang wajib diyakini bagi pemeluknya.Pokok ajaran ini sering disebut dengan Dogma, yaitu setiap ajaran baik percaya atau tidak, bagi pemeluknya wajib untuk mempercayainya.
e.    Aliran-aliran
Setiap agama yang ada di dunia ini baik Samawi maupun Tabi’i memiliki aliran-aliran yang berkembang pada agama masing-masing yang diakibatkan karena adanya perbedaan pendapat/pandangan baik perorangan maupun kelompok yang mengakibatkan timbulnya suatu aliran yang masing-masing kelompok memperkuat paham kelompoknya. Dalam Islam perbedaan merupakan rahmat, sedangkan dalam agama selain Islam dapat berubah pada masalah-masalah pokok, seperti berubahnya paham ketuhanan dalam agama tauhid menjadi agama musyrik ( syirik kepada Allah SWT).
           
2.Pengertian Modernisasi Secara Etimologi dan Terminologi
a)      Secara Etimologi
Modernisasi berasal darikata modern yang berarti kreasi baru, cara baru, secara baru, model baru, mutakhir.[9]Modernis adalah orang yang berhaluan modern, pencetus ide-ide modern, orang modern. Modernisasi adalah gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan lama untuk menuju bentuk atau model kehidupan yang baru, penerapan model-model baru, pemodernan. Sedangkan modernisme adalah pembaharuan – pembaharuan corak atau model kehidupan gaya hidup modern, adat hidup modern. Dan yang selanjutnya yang memiliki hubungan dengan modernisasi adalah modernitas yaitu kemodernan, yang modern, keadaan modern.[10]
Istilah modern mengacu kepada pengertian “sekarang ini”[11]. Istilah ini dianggap sebagai lawan dari istilah ancient atau tradisonal. Dengan demikian, kedua istilah itu merupakan tipe dari dua tatanan masyarakat yang berbeda. Pada umumnya, dalam pengertian modern, tercakup ciri-ciri masyarakat tertentu yang ditemui sekarang ini. Dalam pengertian ancient atau tradisional, mencakup “pengertian sisa” (residual sense) dari ciri-ciri masyarakat modern. Istilah modern kemudian berkembang menjadi salah satu istilah teknis akademis. Perkembangan istilah tersebut tidak dapat dipisahkan dengan sejarah peradaban eropa.
Modernisasi adalah pemodern (sikap, gaya hidup, cara pandang, dan sebagainya), Proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagaiwarga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[12]



b)      Secara Terminologi
Modernisasi adalah gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan lama untuk menuju bentuk atau model kehidupan yang baru, penerapan model-model baru, pemodernan.[13]
Modernisasi adalah Proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[14]
Menurut Max Weber, modernisasi adalah rasionalisasi yaitu penerapan pengetahuan saintifik ke semua matra kehidupan sehari-hari, pengikisan terhadap keyakinan dan praktik magis dan irrasionalitas, pengembangan ekonomi uang supaya kontribusi dan kebutuhan bisa diukur dengan cermat, sekularisasi nilai-nilai agama, dan pengabaian terhadap realitas dalam menyetujui prinsip-prinsip rasional tentang efisiensi dan kalkulasi[15].
Istilah modernisasi sering diasosiasikan dengan kemajuan atau evolusi.Dalam pemikiran sejumlah peneliti sosial, konsep evolusionisme cenderung disederhanakan.Evolusinisme berkaiatan dengan gagasan bahwa perkembangan dari masyarakat miskin menuju masyarakat maju tidak terhindarkan.Sebagai konsekuensinya, yang menyangkut struktur kebudayaan dapat diramalkan.Selain itu, evolusi itu cenderung disederhanakan artinya dalam mempelajari problematic perkembangan dari evolusi tersebut sering digunakan suatu pembagian menjadi dua, seperti terlihat dari pasangan konsep kaya-miskin, barat-nonbarat, maju-terbelakang.[16]
Pada dasarnya pengertian modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri-ciri negara barat yang stabil.[17]
Modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah (directed change) yang didasarkan pada perencanaan yang biasa dinamakan social planning. Modernisasi merupakan suatu persoalan yang harus dihadapi masyarakat yang besangkutan karena prosesnya meliputi bidang-bidang yang sangat luas, menyangkut proses disorganisasi, problema-problema sosial, konflik antar kelompok, hambatan-hambatan terhadap perubahan, dan sebagainya.[18]
Light dan Keller, mengartikan modernisasi sebagai perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga dan pandangan yang memindahkan masyarakat tradisional kearah industrialisasi dan urbanisasi.Atau seperti ditegaskan Zanden, modernisasi merupakan suatu proses yang melaluinya, suatu masyarakat beralih dari pengaturan sosial dan ekonomi tradisional atau pra-industrial ke masyarakat yang bercirikan industrial. Industrialisasi sering digunakan dalam arti luas sebagai ekuivalen dengan bentuk modernisasi ekonomi.Definisi senada diungkap Nurcholish Madjid, yang mengatakan bahwa “zaman modern”, adalah “zaman Teknik” (technical Age), bila dilihat dari hakikat intinya, karena pada zaman ini peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme sangat kental, wujud keterkaitan antara segi teknologis diacu sebagai dorongan besar pertama umat manusia memasuki zaman sekarang ini, yaitu revolusi industri (teknologis) di Inggris dan revolusi Perancis (social politik) di Perancis.[19]

3.Hubungan Agama dengan Modernisasi
Ada dua pandangan mengenai modernisasi, pertama, pandangan yang menyatakan bahwa modernisasi ditentukan oleh adanya sikap-sikap modern tertentu. Dengan perkataan lain, sikap-sikap modern merupakan prasyarat bagi keberhasilan proses modernisasi. Pandangan ini diwakili oleh David McClelland dan Max Weber. Weber menyatakan bahwa Calvinisme mengandung etos kerja atau –menggunakan istilah McCelland –“viirus mental”. Kedua, anggapan yang mencoba menentang pandangan yang diuraikan pertama yang diwakili oleh Alexander Gerschenkron. Beliau menyatakan bahwa Calvinisme melancarkan proses modernisasi. Keberatan lain atas pandangan yang pertama dikemukakan oleh para antropolog. Mereka mengingatkan agar tidak memandang masyarakat tradisional sebagai masyarakat yang statis dan memiliki nilai yang seragam.[20]
Agama dan modernisasi sering menjadi fokus kajian para sarjana sosiolog dan antropolog sejak awal abad ke-18. Mereka tertarik membicarakan bagaimana nasib agama ketika berhadapan dengan modernisasi yang sedang melanda semua masyarakat di dunia ini. Hampir semua sarjana sosiologi dan antropologi menganggap bahwa ketika agama berhadapan dengan modernisasi, ia akan tersisihkan peranannya sebagai faktor legitimasi utama dalam masyrakat, digantikan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, modernisasi selalu berakibat munculnya sekularisasi dalam keberagaman dan individualisasi dalam hubungan sosial bagi masyarakat tersebut.[21]
Cikal bakal modernisasi berasal dari munculnya gerakan pemikiran abad pertengahan- yang disebut sebagai zaman pencerahan- yang membawa implikasi perubahan mendasar hampir dalam semua kehidupan manusia. Sejak zaman pencerahan itu, dunia ilmu pengetahuan bersifat positivistik dengan meletakkan dominasi ilmu-ilmu empiris, eksak beserta metodologinya sebagai paradigma. Sejak masa itu muncullah dikotomi antara kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan dengan kebenaran berdasarkan agama yang pada zaman sebelumnya kebenaran selalu dipegang oleh agama (gereja). Tata perekonomian dunia juga berubah; ia kini diatur secara sistem kapitalistik yang menekankan pada mekanisme pasar bebas. Keadaan itu merefleksi pada peri kehidupan manusia yang lain dengan ditandai oleh sikap matrealistik yang terlalu duniawi dan lahiriah, yang hampir tidak hampir memperhatikan dan memperdulikan kehidupan batiniah. Keputusan tindakan manusia bersifat pragmatik praktis jangka pendek; baik buruknya diukur dari segi menguntungkan atau tidak menurut nilai ekonomi (economic value), sehingga tujuan pendidikan pun lebih diarahkan pada kemampuan pencapaian kemampuan (skill).[22]
Babak akhir abad ke-18 merupakan permulaan zaman baru, ketika masyarakat dunia mulai mengadakan modernisasi, terutama dinegara-negara eropa barat, setelah mengalami revolusi industri sebagai akibat ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Sebagai penerapan ilmu pengetahuan dalam setiap aspek kehidupan, modernisasi berakar pada kesadaran abad sebelumnya (abad ke-14), yang disebut “abad pencerahan” terhadap agama adalah kurang bersahabat. Pada umumnya mereka, menganggap agama sesuatu yang patut dimusuhi atau sekurang-kurangnya harus dicurigai, karena dipandang produk masa lalu yang membelenggu kebebasan manusia. Salah satu alirannya adalah Deisme di Inggris, yang menentang kepercayaan berdasarkan agama. Deisme mengakui adanya Tuhan yang menciptakan alam, tetapi sesudah dunia tercipta. Tuhan membiarkan dunia kepada nasibnya sendiri. Deisme memberikan kritik akal serta menyebarkan ilmu pengetahuan yang bebas dari segala dominasi ajaran gereja.[23]
Abad ke-19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Terutama di bidang ilmu pengetahuan, yang ditandai oleh peran yang menentukan dari cara berpikir ilmiah. Bahwa kebenaran itu adalah yang dapat diukur oleh kebenaran ilmiah. Karena itu, agama –yang menawarkan kebenaran teologis- dianggap sesuatu yang telah usang, produk masa lalu, yang telah digantikan oleh kebenaran positivisme. Tokohnya yang dianggap sebagai bapak positivisme dan sosiolog –mengeluarkan hukum tiga tahap dalam perkembangan pemikiran manusia: pertama, manusia hidup dalam tahap teologis, yaitu pemikiran bahwa setiap persoalan hidup dipecahkan melalui kepercayaan akan kekuasaan Tuhan, mulai dari animisme, politeisme, dan monoteisme. Kedua, manusia hidup dalam tahap metafisik. Tahapan ini sebenarnya masih sama dengan yang pertama, hanya diganti dengan kekuatan abstrak, pengertian, dan kosep abstrak. Ketiga, manusia hidup dalam tahapan positif yang bermakna nyata dan ilimiah. Dalam pandangan Comte, agama adalah produk masa lalu yang posisinya akan digantikan oleh positivisme. Dan menurutnya walaupun ada agama, namun hanya merupakan agama humanitas, agama yang sudah disesuaikan dengan positivisme. Pandangan Comte ini banyak memberikan inspirasi luar biasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke-19 dan 20.[24]
Awal abad ke-20 berkembang aliran-aliran pragmatisme, aliran yang menyatakan bahwa sesuatu itu benar apabila ada nilai guna praktisnya bagi kehidupan manusia. Tokohnya yang terkenal diantaranya William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1938). Juga muncul aliran filsafat eksistensialisme dengan tokohnya Soren Kierkegard, Martin Heidgger, Jean Paul Sarte, Karl Jespers dan Gabriel Marcel. Aliran ini menekankan pada eksistensi memanusia dengan seluruh otonominya yang tak terbatas. Kedua aliran ini semakin memojokkan peranan dan legitimasi agama dalam panggung kehidupan manusia modern.[25]
Umat manusia telah terbentuk, sebagaimana produk industri itu sendiri. Tak ada lagi keunikan, yang ada hanyalah kekakuan yang seragam sehingga sadar atau tidak sadar, manusia berangsur-angsur kehilangan asas kemerdekaannya. Padahal itikad dikembangkannya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pembebasan keterbatasan manusia, justru menghadirkan kerumitan hidup dan kegelapan ruang spiritual. Manusiatelah kehilangan kontak secara manusiawi dalam tata hubungan antar manusia karena manusia telah menjadi egoistis.  Manusia kehilangan kontak dengan alam, dan oleh karena itu kerusakan lingkungan menjadi masalah utama dalam kehidupan modern. Manusia telah kehilangan orientasi, tidak tahu kemana arah hidup tertuju.[26]
Tiga dasawarsa terakhir menjelang berakhirnya abad ke-20, terjadi perkembangan pemikiran baru yang mulai menyadari bahwa selama ini manusia salah menjalani kehidupannya. Manusia mulai merindukan dimensi spiritual yang hilang dalam kehidupannya. Di dunia ilmu pengetahuan muncul berbagai pandangan yang menggugat paradigma positivisme. Di era modern ini, menurut beberapa sarjana, terdapat peningkatan perhatian yang signifikan terhadap agama. Hal ini menurut Naisbitt dan Aburdene (1990), dikarenakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidak memberikan makna tentang kehidupan, sehingga di zaman ini muncul istilah Turning To The East, sebagai fenomena bahwa agama akan mengalami kebangkitan.
Islam yang diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup dari rangkaian petunjuk (wahyu) Tuhan untuk membimbing kehidupan manusia. Islam adalah agama yang diklaim sebagai agama yang sempurna bagi yang meyakininya. Dan salah satu makna kesempurnaan itu ialah bahwa islam diyakini bersifat universal yang meliputi berbagai dimensi ruang dan waktu. Jika ditafsirkan secara kontekstual, maka ajaran islam cocok untuk diterapkan kapan dan dimana saja, atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).[27]
Pada setiap zaman juga terjadi dan akan selalu terjadi reinterpretasi dan reaktulisasi atas ajaran islam yang disesuaikan dengan tingkat pemikiran manusia pada zaman itu. Hal ini merujuk pada sabda nabi Muhammad SAW: “ Sesuaikan pengajaran agama islam dengan tingkat akal budi manusia”. Nasib agama islam di zaman modern ini juga sangat ditentukan oleh sejauh mana kemampuan umat islam merespons secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah yang terjadi di era modern.[28]
Nurcholis Madjid pernah mengomentari islam dan tantangan modernitas. Dalam pandangannya, Al-Qur’an menunjukkan bahwa risalah islam karena universalitasnya dapat diadaptasikan dengan lingkungan kultural manapun termasuk lingkungan masyarakat perkotaan modern. Kemampuan islam mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan kebudayaan modern diakui oleh sejumlah ilmuwan sosial. Salah satunya adalah Ernest Gellne. Ia menegaskan bahwa islam dapat dimodernisasi, dan upaya modernisasi itu dapat dilakukan serempak dengan upaya pemurniannya. Modernisasi islam, yakni adaptasinya dengan lingkungan modern, harus berlangsung tanpa merusak keaslian dan otensitasnya sebagai agama wahyu.[29]
Peradaban barat –seperti yang telihat dinegara-negara eropa barat dan amerika utara – telah mengalami kemajuan yang menakjubkan dan telah menemukan “kemajuan” ilmu pengetahuan yang luar biasa sejak mereka menolak hegemoni ajaran agama (gereja) pada abad pertengahan. Karena ketidakpercayaan mereka pada ajaran gereja, ditanamkanlah dalam pandangan manusia bahwa agama merupakan penghambat kemajuan dan pengekang otonomi manusia.[30]
Mereka tidak menyadari atau tidak mengetahui bahwa tidak semua agama menghambat kemajuan dan mengekang kemajuan ilmu pengetahuan; agama tertentu bahkan sangat mendukung kemajuan dan otonomi manusia. Islam malahan menyuruh umatnya untuk selalu mengali ilmu pengetahuan dan mengolah dunia untuk kehidupan yang baik bagi manusia.Kesalahan penafsiran dan pemahaman kalangan agamawan sendiri terhadap agamanya selama ini sejak awal abad pertengahan di Eropa, yang sebenarnya menghalangi kemajuan.Atau, mungkin juga agama yang selama ini mereka anut dan percayai di Eropa secara kembangaan maupun ajarannya pada saat itu, tidak kondusif bagi kemajuan keilmuan dan peradaban manusia.[31]
Satu warisan kultural zaman pencerahan yang mencerminkan kelemahan manusia modern adalah sikap mendewakan secara berlebihan rasionalitas manusia. Kelemahan mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menyisihkan seluruh pengertian nilai dan norma moral berdasarkan agama dalam memandang kenyataan kehidupan. Manusia modern yang mewarisi sikap positivistic ini, cenderung menolak keterkaitan antara subtansi jasmani dan subtansi rohani manusia, serta menolak pengertian ketersusunan alam dunia dan akhirat.[32]
Setiap analisis tentang kaitan agama dan modernitas dilihat dari sudut pandang agama, cenderung bersifat apologis. Sikap apologis itu dalam rumusan umum sering menempatkan agama tidak ubahnya seperti suatu alat untuk membenarkan semua perilaku kemodernan si satu pihak, atau bahkan agama merupakan “ palu godam ” untuk mengutuk apa saja yang berbau modern di lain pihak. Kedua sikap ini sangat merendahkan martabat agama serta sekaligus memantulkan kesan ketidakberdayaan agama dalam menghadapi gelombang besar transformasi yang menyertai peradaban modern.[33]
Dilihat dari perspektif islam, terjadinya aliensi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari modernitas tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Karena modernitas yang kita hayati dalam kehidupan kita sehari-hari saat ini adalah diimpor dari dunia barat yang memiliki system nilai dan logika perkembangan tersendiri, yang didalamnya mungkin terdapat unsure yang sinkron dan saling melengkapi yang bersifatuniversal. Para penulia kenamaan seperti Sayid Quthub, Al- Maududi, Ali Syariati dan m asih banyak yang lainnya telah banyak mengajukan sikap apologisnya terhadap islam ketika islam ketika islam bertekuk lutut kepada barat. Slah satu tulisan yang bergaya apologistersebut terutama adalah menunjukkan kebrengsekan dibalik kemilau peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tersebut, sambil mengajukan klaim-klaim deduktif yang diambilkan dari berbagai sumber nilai ajaran islam. Sikap apologis yang terkadang berlebihan itu diantara lain disebabkan oleh pantulan emosi terhadap situasi yang dihadapi umat islam yang sampai perang dunia kedua nyaris semuanya berada dibawah belenggu penjajahan barat yang telah menyemaikan “ virus ” modernitas tersebut.[34]
Dalam bentuknya yang positif tentu saja umat islam pun secara jujur mengakui “ hutang budi ” mereka kepada barat, terutama dalam mengikis kungkungan tradisionalisme, untuk kemudian menerima tatanan baru yang mendorong untuk melakukan berbagai inivasi guna menjawab tantangan jaman di lingkungannya masing-masing. Virus modernitas telah mendorong umat islam untuk makin siap menhadapi realita kehidupan, bahkan jika perlu bersikap pragmatis. Ini tidak berarti bahwa umat islam “ membebek ” dan bahkan “ mengadaikan diri ” kepada barat demi merangkul modernitas. Disinilah letak dilemanya: umat islam kehilangan jati diri dalam melihat tatanan yang serba asing untuk kemudian menempatkannya secara proporsional, baik sebagai “ kawan ” maupun sebagai “ lawan ”.[35]
Dalam posisi seperti paparan diatas, maka kita telaah tentang agama dan modernitas tidak membuat kita makin bijak bahkan bias sebaliknya. Tanpa bermaksud terlibat dalam polemik panjang diatas, kita juga menyadari bahwa jika agama menjadi makin marginal kedudukannya dalam kehidupan modern ini, maka bahaya besar akan selalu mengitari peradaban. Cepat atau lambat ia akan mengalami kenagkrutan total. Dengan pendirian semacam ini, maka posisi yang makin jelas bahwa umat beragama harus berani menjadi benteng yang akan selalu siap menangkal setiap kecenderungan destruktif yang muncul dalam masyarakat karena agama telah dienyahkan dari pergaulan hidup dan manusia mengikuti naluri “ kebinatangannya ”.[36]
Dua tugas pokok umat islam yang paling mendesak untuk diaktualisasikan, pertama, upaya mengetualisasikan ajaran islam dalam jabaran yang lebih konkret dan dapat diterapkan di dalam realitas hidup keseharian. Islam harus bisa dipahami dan dinyatalaksanakan dalam kehidupan nyata oleh segenap lapisan masyarakat.Agama tidak cukup hanya menjadi bahan perbincangan dan pergunjingan, tetapi juga harus siap dihadapkan secara proposional dengan semua kenyataan hidup. Pada sisi kedua realitas hidup itu sendiri harus bisa menjadi sumber motivasi yang menantang agar untuk makin “ memanusia”.[37]
Diingatkan kembali bahwa menegakkan ajaran agama ditengah-tengah masyarakat yang cenderung sekular memang bukan pekerjaan yang gampang. Agama yang secara hakiki seyogyanya menjadi penunjuk arah, sumber motivasi dan sekaligus sebagai alat control dan kritik terhadap segenap aspek pembangunan pada kenyataannya sering tidak bisa fungsional. Subornasi agama pada tataran duniawi pada giliran berikutnya akan sampai pada klimaksnya ketika manusia telah sampai pada kesimpulan bahwa agama tidak lebih dari sekedar konvensi moral yang setiap saat bisa berubah menurut selerah manusia. Pada tahap awal orang menganggap bahwa semua agama adalah “ sama benarnya ”, karena itu bertukar agama juga dipandang lumrah dan akhirnya muncul pula anggapan bahwa beragama pun kehidupan manusia terus berlangsung.[38]
Dengan kata lain sikap anogstik sampai ke ateistik, apalagi sekedar berpindah-pindah agama dianggap lumrah. Dalam kaitan inilah umat islam Indonesia sebagai suatu komunitas islam terbesar dalam satuan Negara bangsa di dunia seyogyanya makin tertinggi untuk dapat memberikan “ sesuatu ” yang diperlukan masyarakat modern untuk mengisi kekosongan hati nuraninya dari ajaran-ajaran transendental.[39]
Pembentukan komunitas dalam segenap lapisan masyarakat islam merupakan suatu keharusan untuk mampu mewujudkan sesuatu teladan bagi bangsa lain yang umat islamnya adalah sangat minoritas. Entah dari mana kita harus membenahi islam agar pembinaan masyarakat muslim dapat benar-benar menjadi kenyataan. Akan tetapi, ke-islaman seseorang hendaknya tidak dipertentangkan dengan kemodernannya.[40]
Bagi masyarakat Indonesia mengidealisasikan peranan agama dalam pembentukan budaya dan kepribadian bangsa adalah wajar, karena agama memang memiliki akar yang kokoh di dalam, hamper segala untuk tidak menyebut seluruh subkultur yang ada di Indonesia, konon sejak zaman dahulu kala. Dengan kata lain, bangsa Indonesia, agama telah menjadi salah satu unsure yang paling dominan dalam sejarah peradaban kita, termasuk didalamnya era modern ini, dan bahkan diduga keras akan tetap berpengaruh di masa depan. Memang aneh kedengarannya jika dipersepsikan di masa depan agama tetap memegang peranan penting dalam suatu peradaban barat, terbukti agama mengalami pasang-surut, tenggelam dibawah arus kedua kekuatan sejarah tersebut.[41]
Di pihak lain perlu pula disadari tentang pengkajian agama di dalam dunia ilmu sosial itu sendiri. Perubahan tentang organisasi dan gerakan-gerakan agama dilihat dari perspektif teori sosiologis merupakan salah satu diantara tipe studi agama dua bentuk lainnya adalah pengkajian agama sebagai suatu problem teoritis yang bersifat sentral dalam memahami tindakan sosial, dan agama dilihat dari pertautannya dengan kawasan kehidupan sosial lainnya, seperti ekonomi, politik, dan kelas sosial.[42]
Di zaman modernisasi dan globalisasi sekarang ini, manusia di Barat sudah berhasil mengembangkan kemampuan nalarnya (kecerdesan intelektualnya) untuk mencapai kemajuan yang begitu pesat dari waktu kewaktu diberbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang sains dan teknologi yang kemajuannya tidak dapat dibendung lagi akan tetapi kemajuan tersebut jauh dari spirit agama sehingga yang lahir adalah sains dan teknologi sekuler. Manusia saling berpacu meraih kesuksesan dalam bidang material, soial, politik, ekonomi, pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan dan seterusnya, namun tatkala mereka sudah berada dipuncak kesuksesan tersebut lalu jiwa mereka mengalami goncangan-goncangan mereka bingung untuk apa semua ini. Kenapa bisa terjadi demikian, karena jiwa mereka dalam kekosongan dari nilai-nilai spiritual, disebabkan tidak punya oreintasi yang jelas dalam menapaki kehidupan di alam dunia ini. Sayyid Hussein Nasr menilai bahwa keterasingan (alienasi) yang dialami oleh orang-orang Barat karena peradaban moderen yang mereka bangun bermula dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan manusia.Akibatnya manusia lupa terhadap eksistensi dirinya sebagai ‘abid (hamba) dihadapan Tuhan karena telah terputus dari akar-akar spiritualitas.Hal ini merupakan fenomena betapa manusia moderen memiliki spiritualitas yang akut.Pada gilirannya, mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup[43]
Keimanan atau kepercayaan pada agama (Tuhan) terutama Islam itu, secara pragmatis merupakan kebutuhan untuk menenangkan jiwa, terlepas apakah objek kualitas iman itu benar atau salah. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa Islam selalu mengajarkan dan menyadarkan akan nasib keterasingan manusia dari Tuhannya. Manusia bagaimanapun juga tidak akan dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya dan agama diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.[44]
Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan manusia moderendari segala aspek spiritual.Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para Sufi.Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekedar entitas-entitas fisik.Sains moderen menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari wacananya.Padahal kosmologi adalah “ilmu sakral” yang menjelaskan kaitan dunia materi dengan wahyu dan doktrin metafisis.Manusia sebenarnya menurut fitrahnya tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan spiritual karena memang diri manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, manusia disamping makhluk fisik juga makhluk non fisik.Dalam diri manusia tuntutan kebutuhan jasmani dan rohani harus dipenuhi secara bersamaan dan seimbang, kebutuhan jasmani dapat terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi sedangkan kebutuhan ruhani harus dipenuhi dengan yang bersifat spiritual seperti ibadah, dzikir, etika dan amal shaleh lainnya. Apabila kedua hal tersbeut tidak dapat dipenuhi secara adil maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan akan mengalami kekeringan dan kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengalami setres. Salah satu kritik yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dari sudut pandang Islam ialah karena ilmu pengetahuan dan teknologi moderen tersebut hanya absah secara metodologi, tetapi miskin dari segi moral dan etika.Pandangan masyarakat moderen yang bertumpu pada prestasi sains dan teknologi, telah meminggrikan dimensi transendental Ilahiyah.Akibatnya, kehidupan masyarakat moderen menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental, yaitu aspek spiritual.[45]
Setiap analisis tentang kaitan antara agama dan modernitas dilihat dari sudut pandang agama, cenderung bersifat apologis. Sikap apologis itu dalam rumusan umum sering menempatkan agama tidak ubahnya seperti suatu alat untuk membenarkan semua perilaku kemodernan disatu pihak, atau bahkan agama dijadikan alasan untuk mengutuk apa saja yang berbau moderen disatu lain pihak. Kedua sikap ini sangat merendahkan martabat agama serta sekaligus memantulkan kesan ketidakberdayaan agama dalam menghadapi gelombang besar transformasi yang menyertai peradaban moderen.[46]
Dilihat dari perspektif islam, terjadinya alienasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari modernitas tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Karena modernitas yang kita hayati dalam kejidupan kita sehari-hari saat ini adalah diimpor dari dunia barat yang memiliki sistem nilai dan logika perkembangan tersendiri, yang didalamnya mungkin terdapat unsur yang sinkron dan saling melengkapi yang bersifat universal.[47]

2.ANALISIS
a.Analisis
Berdasarkan penjelasan di atas,bahwasannya Modernisasi adalahProses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Modernisasi tidak selamanya membawa pengaruh buruk yang umum diyakini dan dipahami masyarakat yang memang belum tahu tentang modernisasi itu seperti apa. Modernisasi juga membawa pengaruh positif bagi masyarakat. Misalnya, perkembangan IPTEK yang akan merubah pola pemikiran masyarakat menuju kemajuan. Tapi dari perubahan pola pikir itu pula yang cenderung merubah pola perilaku masyarakat yang awalnya tradisional menjadi meniru gaya-gaya orang barat pada umumnya.Sehingga perlu adanya peran agama untuk tetap mampu mempertahankan intensitas keyakinan dan budaya yang ada pada masyarakat dengan tidak terpengaruh ke arah modernisasi yang tidak di harapkan. Sebagaimana tujuan murni dari sebuah modernisasi itu sendiri adalah untuk memberikan prospek kemajuan bagi masyarakat yang awalnya dulu lebih berada dalam kekuasaan gereja yang membatasi ruang gerak ilmu pengetahuan dan perkembangan masyarakat. Jadi modernisasi ini muncul untuk mengatasi dan memperjuangkan kehidupan masyarakat agar lebih maju dan berkembang dengan catatan tidak merubah dasar-dasar yang ada dalam masyarakat tersebut.
Analisis menurut kami,bahwa modernisasi adalah pergeseran sikap, gaya hidup, cara pandang, dan sebagainya sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan perkembangan zaman. Namun pada kenyataannya modernisasi dapat berdampak buruk pada perkembangan pemikiran atau pola pikir masyarakat itu sendiri. Hal ini sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat yang mungkin akhirnya akan terbawa arus sekularisasi,karena itu peran agama sangat dibutuhkan. Bagaimanapun juga manusia selalu punya ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau adanya agama untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.Sehingga meskipun ada modernisasi, agama tetap mempunyai peran penting untuk mempertahankan intensitas keyakinan dan budaya yang ada pada masyarakat dengan tidak terpengaruh ke arah modernisasi yang tidak diharapkan atau berdampak buruk pada kehidupan masyarakat.Dalam hal ini modernisasi dapat memberikan prospek kemajuan bagi masyarakat yang awalnya bersifat tradisional menjadi masyarakat yang lebih maju dan berkembang dengan tidak merubah aturan dan dasar-dasar yang ada dalam masyarakat tersebut.

3.KESIMPULAN
1.      Modernisasi berasal dari kata modern yang berarti cara baru, secara baru, model baru, kreasi baru, mutakhir. Modernis adalah orang yang berhaluan modern, pencetus ide-ide modern, orang modern. Modernisasi adalah proses, cara atau perbuatan pergeseran atau peralihan sikap dan mentalis sebagai warga masyarakat untuk menyesuaikan hidup dengan tuntutan hidup masa kini. Light dan Keller, mengartikan modernisasi sebagai perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga dan pandangan yang memindahkan masyarakat tradisional kearah industrialisasi dan urbanisasi.Definisi senada diungkap Nurcholish Madjid, yang mengatakan bahwa “zaman modern”, adalah “zaman Teknik” (technical Age), bila dilihat dari hakikat intinya, karena pada zaman ini peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme sangat kental, wujud keterkaitan antara segi teknologis diacu sebagai dorongan besar pertama umat manusia memasuki zaman sekarang ini.
2.   Letak peran penting pemimpin agama untuk dapat menginterpretasi agama dari berbagai sudut pandang, rasional, universal yang sesuai dengan kebutuhan umat manusia dan zaman hingga agama tidaklah dipandang sebagai momok penghalang dari era modern ini. Agama yang secara hakiki seyogyanya menjadi penunjuk arah, sumber motivasi dan sekaligus sebagai alat control dan kritik terhadap segenap aspek pembangunan pada kenyataannya sering tidak bisa fungsional. Manusia bagaimanapun juga tidak akan dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya dan agama diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.


DAFTAR RUJUKAN
Partanto, Pius A., M. Dahlan Al Barry. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
Tim Gama Press. 2010. Kamus Ilmiah Populer. Gama Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
Dahlan M., Y. Albarry., L. Lya Sofyan Yacub. 2003. Kamus Induk Istilah Imiah. Surabaya: Target Press.
Turner, Bryan S. 2008. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
ZulfiMubaraq. 2010. Sosiologi Agama. Malang: Uin-Maliki Press.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia-UMM Press.
Sztompka Piort. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.



[1] Thomas F. O’DEA, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 50.
[2]Ibid., 48. Lihat Edward Sapir, culture, language and personalit, (Berkeley: University of California Press, 1960), hal. 122-123.
[3] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 30. Lihat: John R. Bennet, Religion  dalam Encyclopedia Americana volume 29, New York, hlm.324,”Religion...may broadly bedefined as acceptanceof obligation toward powers higher than man himself’ (Religi....dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia itu sendiri).
[4] Anonim, Pengertian, Jenis dan Unsur Agama, http://kaazima.blogspot.com/2012/10/pengertian-jenis-dan-unsur-agama.html, (Diakses pada tanggal 11 November 2013).
[5] Aang Dwidra, Pendidikan Agama, http://aangkunefidwidra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/unsur-agama.html, (Diakses pada tanggal 11 November 2013).
[6]Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 34.
[7] Ibid, 42.Lihat: “Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional”, Al-Jami’ah Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam No.1, Tahun 1, Januari 1962. 

[8] Anonim, Dienul Islam, http://tatangjm.wordpress.com/dienul-islam/, (Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013).
[9]Pius A Partanto., M. Dahlan Al Barry. 2001. Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya: Arkola) 482.
[10]ibid
[11] Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 101; Lihat Judistira K.Garna, Antropologi Agama, Tinjuan Agama dari Perspektif Ilmu Sosial (Bandung: Jurusan Antropologi Universitas Padjajaran, 1997), 4; Nurcholis Madjid, Islam: doktrin dan peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), 451-452.
[12]M.Dahlan.Y.Al-Barry., L.Lya Sofyan Yacub. 2003. Kamus Induk Istilah Imiah. (Surabaya: Target Press)Hal. 518
[13]Tim Gama Press. 2010. Kamus Ilmiah Populer. (Gama Press).Hal.453
[14]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Hal.589
[15]Bryan S. Turner. 2008. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 299-300.
[16]Dadang Kahmad. 2009. Sosiologi Agama. Hal 185.
[17]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2007), 304; Lihat Wilbert, E., Moore, op.cit., 129
[18]Ibid
[20]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 102.
[21]Ibid 102-103
[22]Ibid 103
[23]Ibid 104
[24]Ibid 105
[25]Ibid
[26]Dadang Kahmad. 2009. Sosiologi Agama.Hal 198
[27]Ibid 203
[28]Ibid 204
[29]Ibid 205-206
[30]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),105-106.
[31]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 102; Lihat Kahmad, sosiologi, 195-196
[32]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 106.
[33]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakara:PT. Ghalia Indonesia, 2002), 78
[34]Ibid
[35]Ibid 78-79
[36]Ibid 79
[37]Ibid
[38]Ibid
[39]Ibid 80
[40]Ibid
[41]Ibid
[42]Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 110
[44]Ibid
[45]Ibid
[46]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakara:PT. Ghalia Indonesia, 2002), 78
[47]Ibid



0 komentar:

Posting Komentar