BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Munculnya Gerakan
Pembaruhan Islam
Dalam kosa kata
“Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, secara harfiah tajdîd
berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Kemudian muncul
berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu
modernism, refermisme, puritanisme, revivalisme dan fundamentalisme. Di samping
kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau
pembaruan, yaitu kata Islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai
“Pembaruan”, dan Islah sebagai “Perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama
– sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya
menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek – prateknya dalam komunitas
kaum muslimin. Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam islam bukan dalam
hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam artinya bahwa
pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi ataupun
merevisi nilai – nilai dan prinsip – prinsip Islam supaya sesuai dengan selera
jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap
ajaran – ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta
merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan social.
Pembaharuan Islam adalah
upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru
yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi madern. Sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi
pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan
jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah. Rasulullah
pernah mengisyaratkan bahwa “sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat
ini (Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang yang akan memperbaiki
dan memperbaharui agamanya” (HR. Abu Daud). Meskipun demikian, istilah ini
baru terkenal dan populer pada awal abad ke-18, tepatnya setelah munculnya
pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam, menyusul kontak politik dan
intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secara politis maupun secara
intelektual, Islam telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah
maju dan modern. Kondisi sosiologis seperti itu menyebabkan kaum elit muslim
merasa perlu untuk melakukan pembaharuan. Hal ini karena agama doktrin yang
bersifat absolut, kekal, tidak dapat diubah, dan mutlak benar, sementara pada
saat yang sama perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar dan tuntutan
modernitas atau lebih tepatnya lagi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Beberapa
pendapat para ahli yaitu :
a.
Din Syamsuddin
Bahwa pembaruan islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam
kontekstualisas nilai- nilai Islam ke dalam kehidupan. Sebagai salah satu
pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi mengandung arti sebagai upaya
menemukan substansi dan penanggalan lambang – lambang, sedangkan
kontekstualisasi mengandung arti sebagai upaya pengaitan substansi dengan
peralatan social budaya tertentu dan penggunakan lambing – lambing tersebut
untuk membungkus kembali substansi tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa
rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat disebut sebagai proses subtansi
(pemaknaan secara(pemaknaan secara hakiki, etika dan moralitas) Islam ke dalam
proses kebudayaan dengan melakukan desimbolisasi ( penanggalan lambing –
lambing) budaya asal (baca:arab), dan pengalokasian nilai – nilai tersebut ke
dalam budaya baru (local). Sebagai proses substansiasi, pembaruan Islam
melibatkan pendekatan substantivistik, bukan formalistic terhadap islam.
b.
Harun Nasution
Menganalogikan istilah “ Pembaruan” dengan “modernism” karena
istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung artipikiran, aliran,
gerakan dan usaha mengubah paham – paham, adat istiadat, institusi lama, dan
sebagainya untuk menyesuaiankan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Gagasan ini muncul di barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran –
ajaran yang terdapat dalam agama politik dan protesta dengan ilmu pengetahuan
modern. Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, Harun Nasution
keberatan menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas (
Azra, Azyumardi :1996)
c.
Revivalisasi
Menurut paham ini, “Pembaharuan adalah “membangkitkan” kembali
Islam yang “Murni” sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammmad SAW dan kaum
Salaf (Azra, Azyumardi : 1996)
d.
Kebangkitan Kembali (Resugence)
Dalam kamus Oxford, resurgence didefenisikan sebagai “kegiatan yang
muncul kembali” ( the act of rising again). Pengertian ini mengandung 3 hal
yaitu :
1)
Suatu pandangan dari dalam, suatu cara dalam mana kaum muslimim
melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Islam menjadi
penting kembali. Dalam artian, memperoleh kembali prestise dan kehormatan
dirinya.
2)
“Kebangkitan kembali” menunjukkan bahwa keadaan tersebut telah
terjadi sebelumnya. Jejak hidup Nabi SAW dan para pengikutnya memberikan
pengaruh besar terhadap pemikiran orang – orang yang menaruh perhatian pada
jalan hidup islam saat ini.
3)
Kebangkitan kembali sesuai suatu konsep, mengandung paham tentang
suatu tangtangan, bahkan suatu ancaman terahadap pengikut pandangan – pandangan
lain (Muzaffar, Chandra :1988)
Dalam usaha pembaruan
ala barat (sekulerisme), usaha pembaruan malah menjadi usaha pendangkalan dan
pemusnahan ajaran Islam. Sedangkan pembaruan dimaksud Islam adalah kembali
kepada ajaran Islam yang murni dengan tetap menjaga esensi dan karakteristik
ajaran Islam.
Periode modern (1800 M
dan seterusnya) adalah zaman kebangkitan bagi umat islam. Ketika mesir jatuh
ketangan barat (Perancis) serentak mengagetkan sekaligus mengingatkan umat
islam bahwa ada peradaban yang maju di barat sana (eropa) dan merupakan ancaman
bagi islam. Sehingga menimbulkan keharusan bagi raja-raja islam dan
pemuka-pemuka islam itu untuk melakukan pembaharuan dalam islam.
Dalam kenyataanya
(ironis memang) selain radiasi modernisasi yang kuat dari luar,
kekeroposan di dalam islam sendiri juga terjadi. Mengakibatkan gerakan-gerakan
perlunya pembaharuan dalam islam. Namun, dalam perjalanannya di dalam islam terjadi
perbedaan pandangan tentang bagaimana menyikapi dan menindaklanjuti pembaharuan
atau modernisasi dalam islam.
Hal sedemikian itu
menyebabkan munculnya istilah kaum medernis dan kaum tradisionalis. Basis Islam
tradisional dan legitimasi masyarakat kaum Muslim perlahan-lahan berubah
sejalan dengan makin disekularkannya ideologi, hukum dan lembaga-lembaga
negara. Secara kasat mata terjadi dua sudut pandang yang berbeda, lambat laun
terlihat adanya benang merah yang bisa ditarik (muncul titik temu) dari dua
pandangan tersebut yang bisa ditarik (tentunya masih menyisakan pandangan yang
berbeda pula), yang dimaksud dengan pembaharuan dalam islam, bukan mengubah
Al-quran dan Al-hadis, tetapi justru kembali kepada Al-quran dan Al-hadis,
sebagai sumber ajaran islam yang utama. Dengan pengamalan-pengamalan yang murni
tanpa terkontaminasi paham-paham yang bertentangan dengan Al-quran dan Al-hadis
itu sendiri.
Adapun ciri – ciri dari gerakan pembaruhan
dalam islam :
a) Kepercayaan yang kuat
bahwa masyarakat harus ditata atas dasar Al- Qur’an dan As- Sunnah/ Hadist
Nabi.
b) Kebudayaan barat harus
ditolak. Meskipun ada yang mau menerima kemajuan – kemajuan barat dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi (Muzaffar, Chandra :1988)
Tokoh-tokoh
gerakan pembaharuan dalam Islam adalah:
1)
Mesir :
a. Muhammad Ali Pasya; Dengan
usahanya menterjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab.
b. Al-Tahtawi; Berpendapat bahwa
penterjemahan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab penting, agar umat Islam
dapat mengetahui ilmu-ilmu yang membawa kemajuan Barat. Dia juga aktif
mengarang dan menerbitkan surat kabar resmi " الوقا ئع المصرية" dan mendirikan majallah " روضة المدارس" yang bertujuan memajukan bahasa Arab dan menyebarkan ilmu-ilmu pengetahuan
modern kepada khalayak ramai. Dia berpendapat bahwa ulama harus mengetahui
ilmu-ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syari’at dengan
kebutuhan-kebutuhan modern. Ini mengisyaratkan bahwa pintu ijtihad masih
terbuka, tapi dia belum berani mengatakan secara terang-terangan. Dia juga mencela paham fatalisme. Menurutnya,
disamping orang harus percaya pada qadha dan kadar Tuhan, ia harus berusaha
c. Jamaluddin Al Afghani; Dengan usahanya mendirikan perkumpulan “Urwatul
Wusqo” . Pemikirannya : Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman
dan semua keadaan. Pintu
ijtihad masih terbuka, kemunduran Islam karena meninggalkan ajaran Islam yang
sebenarnya. Paham qadha dan kadar dirusak oleh
paham fatalisme yang membawa umat Islam pada keadaan statis, lemahnya
rasa persaudaraan umat Islam.
d.
Muhammad Abduh; Dengan
pemikirannya bahwa, kemunduran-kemunduran disebabkan oleh paham jumud di kalangan umat Islam yaitu
keadaan membeku, statis, tidak ada perubahan, dan juga masuknya bid’ah dalam
Islam yang membuat umat Islam lupa akan ajaran Islam yang sebenarnya, pintu
ijtihad perlu dibuka kembali, memerangi taklid, merubah cara pandang/faham
jumud/fatalisme menjadi faham dinamika (kebebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan).
e. Rasyid Ridha; Dengan
usahanya menerbitkan majalah “ Al Manar” yang bertujuan mengadakan
pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul,
bid’ah, menghilangkan paham fatalisme. Pemikirannya bahwa umat Islam mundur
sebab tidak mengamalkan ajaran yang sebenarnya. Perlu dihidupkan paham jihad,
persatuan umat Islam, ijtihad.
2)
Turki
a.
Sultan Mahmud II; Dengan
mengadakan perubahan : dalam organisasi pemerintahan, bidang pendidikan antara
lain menambahkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah, mendirikan
sekolah militer, sekolah teknik, kedokteran dan sekolah pembedahan, mengirim
siswa-siswa ke Eropa.
b.
Tanzimat; Pembaharuan sebagai lanjutan dari
usaha-usaha sultan Mahmud II, dengan tokohnya Mustafa Rasyid Pasya.
c. Usmani muda; Yaitu golongan
intelegensia kerajaan Usmani yang banyak menentang kekuasaan absolut Sultan,
dengan tokohnya Ziya Pasya.
d. Turki muda
e. Mustafa Kemal Pasya dengan ide westernisme, sekularisasi,
nasionalisme.
3)
India-Pakistan
a. Gerakan mujahidin; Dengan
tokohnya sayyid Ahmad Syahid dengan pemikirannya : bahwa umat Islam India
mundur karena agama yang mereka anut tidak lagi murni, tetapi bercampur dengan
faham dari Persia dan India, Animisme dan adat istiadat Hindu. Yang boleh
disembah hanya Tuhan tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebihan, tidak boleh
memberikan sifat yang berlebihan pada makhluk, sunnah yang diterima hanyalah
sunnah Nabi dan sunnah Khalifah yang empat, dan larangan bid’ah, menentang
taklid.
b. Sayyid Ahmad Khan; Dengan
pandangan bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti
perkembangan zaman, harus menghargai kekuatan akal, menentang paham fatalisme,
menolak taklid, pendidikan merupakan satu-satunya jalan bagi umat Islam India
untuk mencapai kemajuan.
c. Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali. Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Abul Kalam Azad, dll.
4) Indonesia
a. Salah
satunya adalah Muhammadiyah, dengan pemimpinnya KH. Ahmad Dahlan.
B. Tahapan atau Model pembaharuan Islam
Gerakan
pembaharuan Islam telah melewati sejarah panjang. Secara historis, perkembangan
pembaharuan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap. Keempatnya
menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan
lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada
pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan
pembaharuan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemoderenan yang telah
cukup lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus
berekspansi hingga sekarang.
Tahap-tahap
gerakan pembaharuan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Model pertama,
adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism
revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish).
Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim.
Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap
dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri
pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah
perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk melakukan transormasi secara
mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam.
Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari
segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan
gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”
Reorientasi
semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan
purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan
praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus
ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum
intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran
jika seruan untuk membuka embali pintu ijtihad yang selama ini
diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaharu. Ciri
lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat
bergairah. Wahhabiyah berangkali merupakan contoh yang paling refresentatif
untuk menggambarkan model gerakan ini dalam realitas.
Model kedua, dikenal
dengan istilah modernisme klasik. Di sini pembaharuan Islam termanifestasikan
dalam pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari
argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk
mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk
“mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama
sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan
dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme Barat yang melanda hampir
seluruh dunia Islam. Implikasinya, kaum pembaharu pada tahap ini mempergunakan
ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meskipun demikian, bukan berarti pembaru
mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin senter untuk
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pada tahap ini
juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil
kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim mundur karena
meniggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan
melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran
wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaharuan politik melalui bentuk
pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi
kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam dengan corak
lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya. Meski
kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan
kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan
gerakan pembaharuan. Mereka ingin mempertahankan status quo masyarakat
Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.
Tahap ketiga, gerakan
pembaharuan Islam disebut revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist),
atau disebut juga neorevivalist (new revivalist). Pada tahap itu
kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan
ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun
ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan –gerakan sosial dan
politik yang merupakan aksentusi utama dari tahap ini mulai dilansir dalam
bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap
sebagai lembaga pendidikan modern –untuk dibedakan dengan madrasah yang
tradisional- juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti
pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap
ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan
merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya.
Sejalan dengan
itu, pada tahap ini muncul pandangan dikalangan muslim, bahwa Islam di samping
merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan,
nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua
bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya
arus “pemBaratan” di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak
tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam
dan ajaran-ajarannya.
Dalam ketiga
tahap atau model itulah muncul gerakan Tahap keempat yang disebut
neomodernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya.
Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai “pengibar bendera” neomodernisme
menegaskan bahwa gerakan ini dilancarkan berdasarkan krtik terhadap
gerakan-gerakan terdahulu. Menurut Fazlur Rahman, gerakan-gerakan terdahulu
hanya mengatasi tantangan Barat secara ad hoc. Karena mengambil begitu
saja istilah Barat dan kemudian mengemasnya dengan simbol-simbol Islam tanpa
disertai sikap kritis terhadap Barat dan warisan Islam. Dengan sikap kritis,
baik terhadap Barat maupun warisan Islam sendiri, maka kaum muslim akan
menemukan solusi bagi masa depannya.
C. Faktor
Pendorong Munculnya Gerakan Pembaruhan Islam
Adapun
faktor-faktor pendorong pembaharuan Islam diantaranya:
1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh
generasi baru muslim.
2. Gagalnya
system social yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme.
3. Gaya hidup
elit sekuler di Negara – Negara Islam.
4. Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara segmen kelas menengah
yang semakin berkembang yang tidak dapat diakomodasi secara politik.
5. Pencarian keamanan psikologi diantara kaum pendatang baru di
daerah perkotaan.
6. Ketahanan ekonomi Negara – Negara Islam tertentu akibat
melonjaknya harga minyak.
7. Rasa percaya diri akan masa depan akibat kemenangan Mesir atas
Israel tahun 1973, Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan kembali peradaban
Islam abad ke 15 Hijriah ( Mazaffar, Chandra ;1988 )
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam
sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah
baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas
doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah. Pembaharuan Islam bukanlah dimaksudkan
untuk mengubah, memodifikasi ataupun merevisi nilai – nilai dan prinsip –
prinsip Islam supaya sesuai dengan selera zaman, melainkan lebih berkaitan
dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran – ajaran dasar agar sesuai
dengan kebutuhan perkembangan, serta merupakan aktualisasi ajaran tersebut
dalam perkembangan social.
Tahap-tahap
gerakan pembaharuan Islam dibagi mejadi 4 model atau tahap: Model pertama,
adalah revalisme pramodernis (premodernism revivalish), Model kedua,
adalah modernisme klasik, Tahap ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut
revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), Tahap keempat
yang disebut neomodernisme.
Adapun
faktor-faktor pendorong pembaharuan Islam diantaranya:
1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh
generasi baru muslim.
2. Gagalnya
sistem sosial yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme.
3. Gaya hidup
elit sekuler di Negara – Negara Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Asmui, Yusran. 2001. Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan (Dirasah Islamiah III).
Jakarta:Rajawali Pers.
Rahman, Faslur. 2001. Kebangkitan dan Pembaharuan
di dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
0 komentar:
Posting Komentar