A.
Pendahuluan
Islam adalah
ajaran yang sumbernya dari Tuhan,shalih likulli zaman wa makan, karena memang
sifat dan tabiat ajaran Islam yang relevan dan realistis sepanjang sejarah
peradaban dunia, kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang bisa dipakai
kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja mulai dibukanya lembaran
awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan
ini.
Hukum islam dibuat untuk mencapai kemaslahatan manusia,tak terkecuali hukum
islam yang diyakini bersumber dari Al-quran,hadist ataupun imam-imam
mazhab(fiqh).Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk
larangan, yang terkandung dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa
tak bermakna. Akan tetapi
semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan
larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut.Oleh para ulama hal tersebut
mereka istilahkan dengan Maqashid al-syariah.
Mungkin bila
kita berbicara tentang Maqashid Syariah, secara otomatis pikiran kita akan
tertuju kepada seorang al-Syatibi. Yang di anggap sebagai peletak dasar konsep
Maqashid Syariah. Namun sebenarnya banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama,salah
satu yang di anggap sebagai orang pertama yang berbicara tentang Maqashid
ialah Abu Abdillah Muhammad bin ali yang popular dengan panggilan al-Turmudzi
al- Hakim,Meskipun demikian dalam makalah ini tidak begitu mempersoalkan pada
permasalahan tersebut dan lebih menitik beratkan pada urgensi dari Maqashid
syariah itu sendiri.
B.
Substansi Kajian
1.
.Pengertian Maqashid Syariah
Secara etimologi maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yakni
maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk plural dari مقصد,قصد,مقصد, atau قصود yang merupakan derivasi
dari kata kerja qashada yaqshudu dengan beragam makna seperti menuju
arah,tujuan,tengah-tengah,adil dan tidak melampaui batas.Makna tersebut dapat
dijumpai dalam penggunaan kata qashada dan derivasinya dalam Al-quran.Sementara
syari’ah secara etimologi bermakna المواضعتحدراليالماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju
sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan[1].
Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan
yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak
Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.Sedangkan menurut Manna
al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang
disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak,
maupun muamalah.
Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang
disyariatkan kepada umat manusia.[2]
Dalam kehidupan sahari-hari ketika ulama
menyebutkan kata syai’ah, kita bisa melihat bahwa kata tersebut mengangdung dua
arti: Pertama: seluruh agama yang menyangkut aqidah, ibadah, adab,
hukum, akhlak dan mu’amalah. Dengan kata lain syari’at menyangkut ushul dan
furuq, aqidah dan amal, serta teori dan aplikasi. Ia mencakup seluruh sisi
keimanan dan akidah-Tuhan, Nabi dan Sam’iyat dan sebagaimana ia pun mencakup
sisi lain sepeti ibadah, mu’amalah, dan akhlak yang dibawa oleh islam serta
dirangkum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk kemudian dijelaskan oleh ulama
aqidah, fiqih dan akhlak. Kedua, sisi hukum amal di dalam agama. Seperti
ibadah dan mu’amalah yang mencakup hubungan dan ibadah kepada Allah SWT. Serta,
mencakup juga urusan keluarga (al-Ahwal asy-Syahsyiyah), masyarakat,
umat, negara, hukum dan hubungan luar negeri.[3]
2. Pengertian maqashid syari’ah menurut para Ulama Islam
1) Sayf al-Din Abu al-Hasan Ali bin Abi
bin Muhammad al-Amidi
Mendefinisikan maqashid syari’ah tujuan syariah yang
mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemafsadatan atau kombinasi
keduanya.Definisi ini sangat umum,konsepsional dan abstrak sehingga belum bias
dibayangkan bagaimana cara menentukannya.
2)
Yusuf al-Qaradhawi
Maqashid
al-syari’ah adalah tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh nash dari segala
perintah,larangan,kebolehan dan yang ingin direalisasikan oleh hokum-hukum
juz’iyah dalam kehidupan orang-orang mukallaf,baik secara
personal,keluarga,kelompok dan umat secara keseluruhan.
3)
Al-‘iz bin ‘Abd al-Salam
Maqashid al-syari’ah adalah mendatangkan manfaat dan
menolah mafsadat.Barang siapa yang berpandangan seperti itu tentang definisi
Maqashid al-syari’ah maka dala dirinya terdapat keyakinan dan pengetahuan
mendalam bahwa kemaslahatan dalam suatu permasalahan tidak boleh disia-siakan
sebagaimana kemafsadatan yang ada didalamnya juga tidak boleh didekati walaupun
dalam masalah tersebut tidak ada ijma’,nash dan qiyas yang khusus.
4)
Thahir Ibn ‘Asyur
Beliau berpendapat bahwa Maqashid al-syari’ah
sabgai disiplin keilmuan yang mandiri.Semua hokum Syariah tentu mengandung
maksud dari syari’,yaitu hikmah,kemaslahatan dan manfaaat dan bahwa tujuan umum
syariah adalah menjaga keteraturan umat dan kelanggengan kemaslahatan hidup
mereka.
Ibn ‘Asyur lebih lanjut mendefinisikan Maqashid al-syari’ah sabagai berikut:
Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikandan dipelihara oleh syari’ dalam setiapbentuk penentuan hukumn-Nya.Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hokum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat,tujuan umum dan makna syariah yang terkandung dalam hukum,serta masuk pula didalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum.
Definisi Ibn Asyur ini sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih kongkret dan operasional.Sebagai penegasnya,beliau juga menyatakan bahwa Maqashid al-syari’ah bias saja bersifat umum yang meliputi keseluruhan al-syari’ah yang khusus seperti Maqashid al-syari’ah yang khusus dalam bab-bab mu’amalah.Dalam konteks ini Maqashid al-syari’ah diartikan sebagai kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh syara’ untuk mewujudkan kemanfaatan bagi kehidupan manusia atau untuk menjaga kemaslahatan umum dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-perbuatan mereka yang mengandung hikmah.
Ibn ‘Asyur lebih lanjut mendefinisikan Maqashid al-syari’ah sabagai berikut:
Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikandan dipelihara oleh syari’ dalam setiapbentuk penentuan hukumn-Nya.Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hokum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat,tujuan umum dan makna syariah yang terkandung dalam hukum,serta masuk pula didalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum.
Definisi Ibn Asyur ini sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih kongkret dan operasional.Sebagai penegasnya,beliau juga menyatakan bahwa Maqashid al-syari’ah bias saja bersifat umum yang meliputi keseluruhan al-syari’ah yang khusus seperti Maqashid al-syari’ah yang khusus dalam bab-bab mu’amalah.Dalam konteks ini Maqashid al-syari’ah diartikan sebagai kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh syara’ untuk mewujudkan kemanfaatan bagi kehidupan manusia atau untuk menjaga kemaslahatan umum dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-perbuatan mereka yang mengandung hikmah.
5)
Abu Ishak Asy-Syatibi[4]
Abu Ishak Asy-Syatibi adalah tokoh yang dikukuhkan sabagai pendiri ilmu maqashid
al-syari`ah.Belisu menyatakan bahwa beban-beban syari’ah kembali pada penjagaan
tujuan-tujuannya pada makhluk.
Istilah maqashid al-syari`ah yang tertuang dalam karyanya
Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah:
هذهالشريعةوضعتلتحقيقمقاصدهالشارعقياممصالحفيالدينوالدنيامعا
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan
maksud Allah dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara
bersama-sama”.
Abu Ishak Asy-Syatibi membagi maqashid al-syari`ah
menjadi 3 tingkatan,yaitu:
a)
Kebutuhan DharuriyatIalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau
disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi,
akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat
kelak.Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta
harta.
b)
Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila
tak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami
kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
c)
Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak
terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tida
pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut
al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat,
menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan
keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.[5]
Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan dalam
mendefinisikan maqashid al-syari`ah,para ulama ushul sepakat bahwa maqashid
al-syari`ah adalah tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan
diaplikasikannya syari’ah.Maqashid al-syari`ah ini bias jadi berupa maqashid
al-syari`ah al-‘ammah yakni yang meliputi semua aspek al-syari`ah, maqashid
al-syari`ah al-khashshah yang dikhusukan pada satu bab dari bab-bab syari’ah
yang ada,separti maqashid al-syari`ah pada bidang ekonomi,hokum keluarga dan
lain-lain,atau juga berupa maqashid al-syari`ahal-juz’iyah yang meliputi setiap
hokum syara’ seperti kewajiban sholat,diharamkan zina dan lain sebagainya.
Sebagai
tujuan akhir syariah,maqashid al-syari`ah seharusnya menduduki posisi penting
sebagai ukuran atau indikator benar tidaknya suatu ketentuan hukum.Dengan kata
lain menentukan hukum yang benar haruslah melalui pemahaman maqashid
al-syari`ah yang baik.
3.
Sumber-sumber
Maqasid al-syariah
Didalam Al-Qur’an Allah swt.menyebutkan beberapa kata syari’at
diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam Surah Al-Jassiyah dan Asy-Syura:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ (١٨)
Artinya:Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at
(peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah 45 : 18)
أَمْ لَهُمْ
شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا
كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ (٢١)
Artinya:Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa iaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Asy-Syura 42: 13)
Perkataan syari’at apabila disebut para ulama boleh terdiri kepada
dua pengertian;
1.
Seluruh agama yang mencakup akidah, ibadah, adab, akhlak, hukum dan
mu’amalat
2.
Sisi hukum amal di dalam agama
Di dalam tulisan ini, kami memlilih yang kita maksudkan syari’at
adalah seluruh maksud Islam kerana akidah adalah pokok, asas dan banggunan
seluruh agama.
Dalam istilah para ulama, Maqashid Asy-Syari’ah adalah:
tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan
dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk
individu, keluarga, jamaah dan umat.
Boleh juga disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan
ditetapkan hukum.Baik yang diharuskan ataupun tidak.Kerana dalam setiap hukum
yang disyari’atkan oleh Allah untuk hambaNya pasti terdapat hikmah.
Contohnya di dalam pewarisan harta, syari’at Islam memberikan hak
istimewa kepada anak perempuan daripada anak lelaki kerana meskipun tidak perlu
menanggung kewajipan seperti yang ditanggung anak lelaki, anak perempuan tetap
diberikan harta waris.
“Maksud-maksud syari’at bukanlah ‘illat (motif
penetapan hukum) yang disebutkan oleh para ahli ushul fikih dalam bab qiyas dan
didefinisikan edngan “sifat yang jelas, tetap, dan sesuai dengan hukum.”Illat
tersebut sesuai dengan hukum, tetapi ia bukan maksud bagi hukum tersebut.”
Sebagai contoh, ‘illat rukhsah ketika safar baik dalam
bentuk jama’-qashar atau berbuka ketika shaum di bulan Ramadhan adalah safar,
bukannya hikmah yakni kesusahan yang dirasakan sewaktu bermusafir. Para ahli
ushul fikih tidak menyatukan antara hukum dan hikmah kerana hikmah sulit
untuk ditetapkan contohnya jika kesusahan itu i’llat, mungkin ada orang
yang mengatakan saya tidak susah.
4.
Kaidah berfikir atas dasar maqashid
Abdurahaman Ibrahim Al-kilani secara khusus mengkaji
tentang kaidah-kaidah maqasyid al-syari’ah yang harus dijadikan dasar dalam
ijtihad dengan mendasarkan pada maqasyid al-syari’ah.Didalam bukunya yang
berjudul Qawa’id Al-maqasyid ‘ind al-Imam al-syathibi ‘aradhan wa dirasatan wa
tahlilan menyebutkan bahwa seluruh
seluruh kaidah maqasyid yang dinyatakan oleh al-Syatibi dapat diklasifikasikan
dalam tiga kategori besar yaitu:kaidah-kaidah yang berkaitan dengan tema
maslahat dan mafsadat,kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dasar penghilangan
kesulitan(raf al-haraj) dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan akibat-akibat
perbuatan dan tujuan orang-orang mukallaf.
Dari kategori ini tersirat bahwa kemaslahatan,kemudahan dan tujuan akhir dari suatu ketentuan hokum menjadi dasar utama yang hendak dicapai maqashid based ijtihat
Dari kategori ini tersirat bahwa kemaslahatan,kemudahan dan tujuan akhir dari suatu ketentuan hokum menjadi dasar utama yang hendak dicapai maqashid based ijtihat
Kategori pertama menekankan pada realisasi kemaslahatan
sebagai tujuan dari ketentuan hokum islam.Termasuk dalam kategori ini adlah
kaidah-kaidah sebagai berikut:
وضعالشرائع
انماهولمصالحالعبادفيالعاجل واللاجلمعا
Artinya:Penentuan hokum-hukum syari’ah
adalah untuk kemaslahatan hamba,baik untuk saat ini maupun nanti(ibid,hal
126-136)
المفهوم وضع ان
الطاعة اوالمعصية تعظم بحسب عظام المصلحة اوالمفسدةالناشاةعنها
Artinya:Yang bisa dipahami dari penentuan Tuhan adalah bahwa
ketaatan dan kemaksiatan diukur dengan tingkat kemaslahatan dan kemafsadatan
yang ditimbulkan.
Dari kaidah-kaidah
kategorisasi pertama ini diketahui dengan jelas bahwa nilai,makna dan
eksistensi kemaslahatan menentukan suatu status hokum dan diposisikan diatas
otoritas teks,yang dalam fiqh klasik memilki otoritas yang kuat.
Kategori yang kedua adalah kaidah-kaidah yang
berhubungan dengan dasar berfikir maqashid untuk menghilangkan kesulitan atau
kesukaran.Berikut kaidah-kaidah yang masuk kategori ini:
ان الشارع لم
يقصدالى التكلف بالشق والعنات فيه
Artinya:Syari’(Allah)memberikan beban taklif
bukan bertujuan untuk menyulitkan dan menyengsarakan
لانزع فى الشارع
قاصدالى التكلف بما يلزم فيه كلفة ومشقة ولكنه لايقصدنفس المشقة بل يقصدما فى ذالك
من المصالح العاءدة على المكلفين
Artinya:Tidak dipertentangkan bahwa Allah telah
menetapkan hukum taklif yang didalamnya terdapat beban dan kesulitan,tetapi
bukanlah esensi kesulitan itu yang sesungguhnya dekehendaki,melainkan
kemaslahatan yang akan kembali kepada orang mukallaf yang menjalannya.
من مقصودالشارع
فى الاعمال دوام المكلف عليه
Artinya:Termasuk dari tujuan syara’ dalam
setiap perbuatan adalah tetap konsistennya mukallaf atas perbuatan tersebut.
Kaidah-kaidah yang kedua ini
menunjukkan bahwa maqasyid-based ijtihad berpihak pada kemudahan dan kemampuan mukallaf
sebagai pelksana hukum.Karen itulah fiqh yang didasarkan pada maqasyid
al-syari’ah juga disebut dengan fiqh al-taysir(fiqh yang memudahkan)
Sementara
itu,kategori yang ketiga adalah sekelompok kaidah yang berhubungan dengan
akibat akhir suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh mukallaf serta tujuan
mukallaf itu sendiri,yaitu:
النظرفى مالات الاعمالمعتبرمقصودشرعاكانت الافعال موافقة اومخالفة
Artinya:Menganalisis
akibat akhir perbuatan hokum adalah diperintahkan oleh syara’,baik perbuatan
hokum itu sesuai dengan tujuan syara’ maupum bertentangan.
للمجتهدان ينظرفي اللاسباب ومسياتها
Artinya:Mujtahid
wajib menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat hukum.
Dari kategori yang terakhir ini menunjukkan bahwa proses
ijtihad tidak hanya berfokus pada teks dalil tetapi juga pada konteks peristiwa
atau perbuatan hukum dan pada sisi akibat(al-ma’al)sebagai upaya untuk
mengetahui sisi maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya,Seperti kesimpulan
pada kategori yang pertama ,akibat atau efek hokum inilah yang lebih
mendominasi sebagai penentu hokum dibandingkan dengan kekuatan teks itu
sendiri.
Sebagai
pelengkap dari ketegori diatas yang menekankan pada hubungan teks dengan
konteks empiris perbuatan hokum,al-Raysuni berpendapat dalam bukunya yang
berjudul al-Fikr Al-maqashidi yaitu beliau lebih menekankan pada bagaimana cara
memahami dalil nash dengan menggunakan pendekatanmaqasyid al-syari’ah.Pandangan
al-Raysuni manarik untuk dikaitkan dengan pendapat al-sythibi diatas karena
beliau dengan baik hati dan lengkap dalam mengkaji pandangan al-sythibi
tentangmaqasyid al-syari’ah dan mengakuinya sebagai tokoh yang paling
berpengaruh dalam pandangan tentang maqasyid al-syari’ah.Bliau menyatakan bahwa
berfikir dengan menggunakan maqasyid al-syari’ahsebagai pendekatan merupakan
proses berfikir ilmiah yang pasti memiliki dasar kaidah metodologis yang akan mengantarkan
padaktentuan hokum yang berpihak pada maqasyid al-syari’ah .Menurutnya ada
empat kaidah dasar yang harus diketahui dan disadari dalam prosesmaqasyid-based
ijtihad.
Kaidah yang pertama adalah كل مافى الشريعة معلل وله مقصودهومصلحته (setiap ketentuan hokum syari’ah
pasti memiliki ‘illat,maksud dan kemaslahatan)[6](’illat,maksud dan kemaslahatan ketentuan
hokum dalam islam pasti ada dan haruslah dicari dan ditemukan sehingga
memberikan suatu ketenangan dalam melaksanakannya.Hal ini selaras dengan pendapat
Ibn Qayyim yang menyatakan “dalam syar’ah tidak ada satupun ketentuan hokum
kecuali ia memiliki makna dan hikmah,yang bisa dipahami oleh orang yang berakal
dan tersembunyi bagi orang yang tidak peduli.Karena itu ketika hikmah dan
maksud hokum belum diketahui oleh sebagian orang,bukan berarti ia tiak ada dank
karenanya sangat mungkin diketahui oleh orang lain.
Kaidah yang kedua adalah لاتقصيدالابدليل (penentuan
maqashid syari’ah dalam suatu ketentuan hukum haruslah dengan dalil)
Logika dari kaidah ini adalah bahwa menghubungkan
maqashid syari’ah dengan ketentuan hokum Tuhan berarti menhubungkan suatu
pernyataan atau hokum dengan Allah SWT.Sementara itu Allah dengan segala
ketentuan-Nya telah menyertkan dalil-dalil.Oleh karena itu,menentukan maqashid
syari’ah dalam setiap hokum harus didasarkan padadalil.[7]Dari sini jelas bahwa berfikir maqashid syari’ah bukanlah berfikir
lepas tanpa terikat pada dalil.Dalil menjadi dasar pokok,hanya saja proses
interpretasi atas dalil tersebut berbeda dengan proses berfikir ushul al-fiqh
pada umumnya.Berfikir dengan pendekatan maqashid syari’ah dipengaruhi kuat oleh
tujuan dan akibat hokum,sementara berfikir hanya dengan ushul al-fiqh
ditentukan oleh dalil itu sendiri.
Kaidah
ketiga adalahترتيب
المصالح والمفاسد (urgensi menyusun secara heirakis kemaslahatan
dan kemafsadatan)ahmad al-raysuni,alfikr al-maqashidi qawa’iduhu wa
fawa’iduhu,hlm:68)Sebagai suatu pola berfikir ilmiah metologis,maqashid-based
ijtihad meniscayakan adanya penyusunan kemaslahatan dan kemafsadatan atas dasar
tingkatan heirarkis dalam upaya memudahkan pross penentuan hokum dengan skala
prioritas.Atas dasar inilah maqashid al-syari’ah sendiri oleh para ulama
manjadi tiga tingkatan yaitu:dharruriyyat,hajiyyat dan tahsiniyyat,yang sudah
dijelaskan pada bab sebelumnya.
Kaidah
keempat adalah التمييزبين
المقاصدوالوسل (perlunya pembedaan antara tujuan dan media
menuju tujuan/perantara)[8](Hal
ini penting karena washilah atau media perantara juga diperlukan eksistensinya
sama seperti maqashid.Hanya saja washilah ini diperlukan bukan karena
esensinya,melainkan hanya sebagai perantara terwujudnya hal lain yang yang
dibutuhkan keberadaannya yaitu maqashid sendiri.Seringkali dalam ketentuan
hokum keterkaitan antara maqashid dan wasa’il tampak dengan jelas tetapi tidak
menutup kemungkinan terlihat samar dan serupa.Kegagalan membedakan keduanya
akan mengakibatkan kesalahan dalam maqashid-based ijtihad yang akan menentukan
hokum yang salah pula.
Pandangan
Al-Raysuni diatas sesungguhnya menitikberatkan pada urgensi katerkaitan
‘illat,dalil dan kemaslahatan sebagai tujuan hokum.Pandangan ini parallel
dengan kaidah yang dikemukakan oleh Al-syathibi di atas dalam sisi keinginan
menampakkan wajah hokum Islam yang berorientasi pada kemalahatan sebagai tujuan
syari’at.
5.
Lima Hal
Pemeliharaan Maqashid Al-Syari’ah
Maqhashid Al-syari’ah yang ditunjukkan melalu
hukum-hukum islam dan ditetapkan berdasarkan nash- nash agama adalah maslahat
hakiki. Maslahat in mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.[9]
Kehidupan dunia ditegaskan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya
kelima hal ini akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara smpurna.
Kemulyaan manusia tidak dapat dipisahkan dari pemeliharaan kelima hal ini.
Untuk memperoleh gambaran utuh tentang maqasid al- syariah, beriku akan
dijelaskan kelima pokok kemaslahatan yang berdasarkan kepada tingkat
kepentingan atau kebutuhan masing- masing:
1)
Memelihara
agama (Hifzh al- Din)
Islam menjaga hak dan kebebasan,dan kebebasan
yang pertama adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah.Setiap pemeluk agama
berhak atas agama dan mazhabnya,ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan
menuju agama atau mazhab lain juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari
keyakinannya untuk masuk ialam.[10]Dasar
hak ini sesuai dengan firman Allah SWT,yang berbunyi:
لااكراه في الدين قدتبين الرشدمن الغى
Artinya:Tidak ada paksaan untuk (mamasuki)
agama (islam),sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat.(QS.Al-Baqarah,256)
افانت تكره الناس حتى يكونوامؤمنين
Artinya :Maka apakah kamu(hendak)memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.(QS.Yunus:99)
Mengenai tafsir yang pertama,Ibnu katsir
mengungkapkan bahwa “janganlah kalian memaksa seseorang untuk memasuki agama
islam”sesungguhnya dalil dan bukti akan hal ini sangat jelas dan gambling bahwa
seseorang tidak boleh dipaksa untuk masuk agama islam.[11]
Alquran menolak segala bentuk pemaksaan,karena
orang yang diberi petunjuk oleh Allah maka Dia akan membukakan dan menerangi
hatinya lalu orang tersebut akan mesuk islam dengan bukti dan hujjah.Barang
siapa hatinya dibutakan,pendebgaranaya dan penglihatannya ditutup oleh Allah
maka tidak ada gunanya mereka masuk islam dalam keadan dipaksa.
Untuk orang nonmuslim,islam menjaga tempat
beribadahan mereka,manjaga kehormatan syiar mereka,bahkan Alquran menjadi salah
satu sebab diperkenankannya berperang adalah karena untuk menjaga kebebasan
beribadah dan hal ini tersirat dalam fiman Allah:
اذن للذين
يقتلون بانهم ظلموا .وان الله على نصرهم لقدير(39)الذين اخرجوأمن ديرهم بغيرحق
الاان يقولوأربناالله.ولولادفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صومع بيعوصلوت
ومسجديذكرفيهااسم الله كثير
ا
Artinya:Telah diizinkan (berperang)bagi
orang-orang yang diperangi.karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.Dan
sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,yaitu orang-orang
yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alas an yang benar,kecuali
karena mereka berkata “Tuhan kami adalah Allah”Dan sekiranya Allah tiada
menolak (keganasan)sebagian manusia dengan sebagian yang lain,tentulah telah
dirobohkan biara-biara nasrani,gereja-gereja,rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah(QS.Al-hajj:39-40)[12]
Agama merupakan keharusan bagi manusia, dengan
nilai- nilai kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia lebih tinggi
derajatnya dari derajat hewan.Sebab keagamaan adalah ciri khas manusia.Dalam
rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa
dengan nilai keagamaan itulah, maka berbagai macam ibadah yang di
isyaratkan.Ibadah-ibadah itu di masuksudkan untuk membersihkan jiwa dan
menumbuhkan semangat keberagamaan[13].
Memelihara agama berdasarkan kepentingnnya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a.
Memelihara
agama dalam peringkat dharuriyyat yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban
keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksnakan sholat lima waktu.
Kalau sholat itu diabaikan maka eksistensi agama akan terancam.
b.
Memelihara
agama dalam peringkat hajiyyat yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud
menghindari kesulitan, seperti sholat jama’dan qashar bagi orang yang sedang
bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka idak akan mengancam
eksistensi agama, mlainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c.
Memelihara
agama dalam peringkat tahsiniyyat yaitu mengikuti petunjuk agama guna
menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban
terhadap Tuhan. Misalnya menutup aurat, baik didalam maupun di luar sholat,
membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan
ahklak terpuji.Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak
akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang
melakukannya.[14]
Dalam Islam berbuat baik
dan berlaku adil merupakan dua hal yan hat-rus dilaksanakan seorang muslim
kepada sesama manusia dan kepada ahli kitab ( orang-orang yan melaksanakan
agama mereka berdasarkan kitab samawi). Islam memperbolehkan kaum muslim
memberi makan ahli kitab, juga memakan dari hasil sembelihan mereka atas
binatang yang tidak diharamkan bagi kaum muslimin, sebagiamana islam juga
memperbolehkan pernikahan dan menikahi wanita-wanita mereka yang terjaga,
dengan di kuatkan oleh hukum-hukum yang dikuatkan Al-Qur’an.[15]
2)
Memelihara
jiwa(hifzh al-‘nafs)
Ialah memelihara hak untuk hidup secara
terhormat dan memelihara jiwa agar
terhindar dari tindakan penganiayaan berupa
pembunuhan pemotongan angoota badan maupun tindakan melukai. Termasuk juga
memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf
(menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa atau berupa
pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik,
karenanya islam melindungi kebebasan berkarya(berprofesi), kebebasan berfikir
dan berpendapat, kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain
yang bertujuan untuk menegakkan pilar-pilar kehidupan manusia yang terhormat
serta bebas bergerak di tengah dinamika social yang utama sepanjang tidak
merugikan orang lain. [16]
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya,
dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a.
Memelihara jiwa
dalam peringkat dharuriyyat seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa
makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok itu dibaikan, maka
akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
b.
Memelihara jiwa
dalam peringkat hajiyyat seperti diperbolehkannya berburu binatang untuk
menikmati makanan yang lezat dan halal. Kaau kegiatan ini diabaikan maka tidak
akan mengancam eksistensi manusia melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c.
Memelihara jiwa
dalam peringkat tahsiniyyatseperti ditetapkannya tata cara makan dan
minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika sama sekali
tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia ataupun mempersulit kehidupan
seseorang.[17]
Sejak 14 abad yang lalu islam telah
mensyariatkan(mengatur)hak-hak asasi manusia secara komprehenshif dan
mendalam.Islam mengaturnya dengan segala macam jaminan yang cukup untuk menjaga
hak-hak tersebut.Islam membentk fondasi daan dasar yang menguatkan dan
memperkokoh hak-hak asasi manusia ini.
Hak pertama dan paling utama yang diperhaatikan
Islam adalah hak hidup,hak yang disucikan dan tidak boleh dihancurkan
kemuliaanya,karena manusia adalah ciptaan Allah SWT.[18]Sebagaimana
dalam firman Allah,yang berbunyi:
صنع الله الذى
اتقن كل شئ.انه خبيربماتقعلون(88)
Artinya:Begitulah
perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu,sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.An-Naml:88)
Dengan ayat ini sangat
jelas hikmah Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang diciptakan-Nya untuk manusia,lalu Dia
menjadikan,menyempurnakan kejadian dan manjadikan susunan tubuhnya
seimbang,dalam bentuk apa saja yang Allah kehendaki.
3)
Memelihara akal
(hifzh al-aql)
Ialah terjaminnya akal
fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di
tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan, atau bahkan menjadi sampah
masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat preventif yang dilakukan syariat
islam seungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan
menjaganya dari berbagai hal yang membahayakannya. Diharapkannya meminum arak
dan segala sesuatunya yang memabukkan atau menghilangkan daya ingatan adalah di
maksudkan untuk menjamin keselamatan akal.
Akal merupakan sumber
hikmah(pengetahuan),sinar hidayah,cahaya mata hati dan media kebahagiaan
manusia di dunia dan akhirat.Dengan akal pikiran surat perintah dari Allah SWT
disampaikan,dengannya pula manusia berhak menjadi pemimpin di muka bumi dan
dengannya manusia menjdi sempurna,mulia dan berbeda dengan makhluk lainnya.[19]Allah SWT
berfirman:
ولقدكرمنابنىءادم
وحملنهم في البر والبحرورزقنهم من الطيبت وفضلنهم على كثيرممن خلقناتفضيلا
Artinya:Dan sesungguhnya telah kami muliakan
anak-anak Adam,kami angkut mereka di daratan dan di lautan,kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.(QS.Al-Isra’ 70)
Andai tanpa akal,manusia tidak berhak
mendapatkan pemuliaan yang bisa mengangkatnya menuju barisan para malaikat.[20]Dengan
akal,manusia naik menuju alam malaikat yang luhur.Karena itulah,akal menjadi
poros pembebanan pada diri manusia.Dengannya,manusia akan mendapatkan pahala
dan berhak mendapat siksa.Balasan di dunia dan di akhirat berdasarkan akal dan
kekuatan pengetahuan.
Melalui akalnya,manusia mendapatkan petunjuk
menuju ma’rifat kepada penciptanya yaitu Allah.Serta dengan akalnya dia
menyembah dan mentaati Allah,membenarkan para Nabi dan Rosul dan mempercayai
bahwa mereka adalah perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang
diperintahkan oleh Allah kepada mereka,membawa kabar gembira untuk mereka
dengan janji dan membawa peringatan dengan ancaman.Maka manusia mengoperasikan
akalnya dengan mempelajari yang halal dan yang haram,yang berbahaya dan yang
bermanfaat serta yang baik dan yang buruk.[21]
Akal dinakaman عقل(ikatan)
kerena ia bisa mengikat dan mencegah pemiliknya untuk melakukan hal-hal buruk
dan mengerjakan kemungkaran.Dinamakan demikian,karena akal pun menyerupai
ikatan unta,sebuah ikatan akan mencegah manusia
menuruti hawa nafsu yang sudh tidak terkendali,sebagaimana ikatan pada
unta akan mencegah unta agar tidak melarikan diri saat berlari.Amir bin Abdul
Qais berkata:
اذاعقلك عقلك عما لاينبغي فانت عاقل
Artinya:Jika akal mengikatmu dari sesuatu yang
tidak sepatutnya,maka kamu adalah orang yang berakal.[22]
العقل نورفى القلب يفرق به بين الحق والباطل
Artinya:akal adalah cahaya dalam hati yang
membedakan antara yang haq dan yang batil.
Dari sinilah Islam memerintahkan kita untuk
menjaga akal,mencegah segala bentuk penganiayaan yang ditujukan kepadanya,atau
yang bisa menyebabkan rusak dan berkurangnya akal tersebut untuk menghormati
dan memuliakan mereka dan untuk merealisasikan semua kemaslahatan umum yang
menjadi fondasi kehidupan manusia,yakni dengan menjaga
agama,akal,jiwa,keturunan dan harta benda.[23]
Menjaga dan melindungi akal bisa dilaksanakan
dengan penjagaan antara akal itu sendiri dengan ujian dan bencana yang
melemahkan dan merusaknya,atau menjadikan pemiliknya sebagai sumber kejahatan
dan sampah dalam masyarakat.
Memelihara akal berdasarkan kepentinganyya,
dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a.
Memelihara akal
dalam tingkat dharuriyyat, seperti diharamkan meminum-minuman keras.
Jika ketentuan ini tidak di indahkan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi akal.
b.
Memelihara akal
dalam peringkat hajiyyat, sperti di njurkannya menuntut ilmu pengetahuan.
Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal tetapi akan
mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya mengembangka ilmu pengetahuan.
c.
Memelihara akal
dalam peringkat tahsiniyyah, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau
mendengarkan sesuatu yang tidak harfiyah. Hal ini erat kaitannya dengan etika,
tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung. [24]
4)
Memelihara Terhadap
Harta Benda
Harta adalah salah satu kebutuhan inti dalam
khidupan,dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya.Hal ini sudah
dijelaskan dalam firman Allah yang berbunyi:
المال والبنون زينة الحيوة الدنيا
Artinya:Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia.(QS.Al-kahfi:46)
Manusia termotivasi untuk mencari harta demi
menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi,dia tidak
boleh berdiri sebagai penghalang antara dirinya dan harta.Namun semua motivasi
ini dibatasi oleh tiga syarat,yaitu harta dikumpulkan dengan cara yang
halal,dipergunakan untuk hal-hal yang halal dan dari harta ini dikeluarkan hak
Allah dan masyarakat tempat dia hidup.[25]
Setelah itu barulah dia dapat menikmati harta
tersebut dengan sesuka hatinya,nemun tanpa ada pemborosan karena pemborosan
untuk kenikmatan materi akan mengakibatkan hal sebaliknya,yakni sakitnya tubuh
sebagai hasil dari keberlebihan. Allah berfirman:
وكلواواشربواولاتسرفوا
Artinya:Makan dan minumlah
dan janganlah berlebihan(QS.Al-a’raf:31)
Cara mmenghasilkan harta
tersebut adalah dengan bekerja dan mewaris,maka seseorang tidak boleh memakan
harta orang lain dengan cara yang batil.
يايها الذينءامنولاتاءكلوامولكم بينكم بالبطل
الاانتكون تجرة عن تراض منكن
Artinya:Hai orang-orang yang beriman,janganlah
kamusaling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,kecuali dengan cara
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu(QS.An-Nisa’:29)
Apabila seseorang meminjamkan hartanya kepada
orang lain dalm bentuk utang maka dia bisa memilih salah satu diantara tiga
kemungkinan berikut,yaitu:
a)
Meminta kembali
hartanya tanpa tambahan
b)
Apabila tidak
bisa mendapatkannya kembali,maka dia harus bersabar dan tidak membebaninya
dengn melakukan tagihan.
c)
Apabila orang
yang memberikan pinjaman tersebut adalah orang kaya,dia dapat menyedekahkan
pinjaman tersebut kepada peminjam yang dalam keadaan miskin atau payah,karena
nikmat harta harus menjadi motivator untuk saling mengasihi,tidak untuk
bersikap antipasti.[26]
Harta yang baik pastinya berasal dari
tangan-tangan orang yang cara memilikinya berasal dari pekerjaan yang
dianjurkan oleh agama,seperti bekerja di sawah sendiri.
Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak
dalam dua hal berikut:
a)
Memiliki hak
untuk dijaga dari para musuhnya,baik dari tindak pencurian,perampasan atau
tindakan lain,memakan harta prang lain dengan cara yang batil baik dilakukan
orang muslim maupun nonmuslim,seperti merampok dan menipu.
b)
Harta tersebut
digunakan untuk hal-hal yang mubah,tanpa ada unsur mubazir atau menipu untuk
hal-hal yang dihalalkan oleh Allah.Maka harta ini tidak dinafkahkan untuk
kefasikan.[27]
Dalam islam
harta adalah milik Allah yang dititipkan pada alam sebagai anugerah ilahi,yang
diawasi dan ditundukan-Nya untuk manusia dan makhluk lainnya.[28]
5) Memelihara kehormatan
Di
dalam menanggapi berbagai kebutuhan biologis ini, Islam mempunyai pandangan
yang realistis. Karenanya, Islam memerintahkan agar masalah perkawinan dapat
dipermudah, terutama sekali masalah prosedur, dan memberikan pertolongan
kepada orang-orangyang tidak mampu menanggung biaya pernikahan. Apabila
perkawinan itu dimulai dari keadaan yang serba kekurangan, maka Allah akan
menjamin kehidupan yang layak dan mulia, selama perkawinan itu diniatkan untuk
memelihara dirinya.
Allah berfirman yang ditujukan
kepada orang tua yang bertanggung jawab terhadap perkawinan
putra-putrinya :
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya”. (Q.S. 24 : 32).
Kemudian, ayat lainnya juga menerangkan kepada
para orang tua yang tidak mempunyai kesanggupan menanggung nafkah
istri, agar sebaiknya melaksanakan ‘iffah (menjaga kehormatan) hingga Allah
memberikan kemurahan-Nya untuk sebuah perkawinan.
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ
يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ
وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ
عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
Allah
berfirman : “Dan orang-orang
yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang
memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka
sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu
paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. “. (Q.S. 24 :
33).
Demikianlah Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang berkeinginan melaksanakan kawin, padahal
keadaannya kurang memungkinkan. Allah akan memberinya kecukupan yang dapat
menopang pelaksanaan niatnya. Begitu pula Allah mengajak kepada para jejaka
untuk berlaku iffah sampai Allah memberikan kemudahan bagi mereka.
Rasulullah menjelaskan melalui sabdanya, bahwa puasa
adalah sarana bagi para pemuda di dalam rangka menahan diri :
ياممعشر الشباب
من استطع منكم الباءة فليتزوّج، فانّه اغضّ للبصر واحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه
بالصّوم فانّه له وجاء (رواه البخارومسلم)
“Wahai para
pemuda, barang siapa di antara kamu telah mampu melaksanakan perkawinan, maka
segeralah, karena perkawinan akan menenangkan pandangan mata dan lebih
memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka sebaiknya ia
melakukan puasa, karena puasa dapat memadamkan nafsu birahinya (Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim)”.
Dalam mazhab Hanifiyah
dikatakan : dengan zina, hukum mahram mushaharah (menantu) menjadi ada.
Adapun golongan Hambali berpendapat : menurut mazhab yang shahih, dengan zina
hukum mahram menjadi ada; orang yang berzina dengan seorang wanita, maka si ibu
dan putri si wanita haram baginya. Ayah dan anak laki-laki pun haram bagi si
wanita.[29]
Golongan syafi’iyyah
berpendapat : zina tidak dapat menjadikan tetapnya mahram mushaharah, bagaimanapun
keadaannya. Karena hubungan mahram ini adalah nikmat Allah SWT. maka ia tidak
dapat didapatkan atau ditetapkan dengan zina, dan karena air zina adalah
sia-sia, tidak ada kemulyaan kepadanya. Jadi, orang yang berzina dengan seorang
wanita maka halal baginya menikahi anak atau orang tuanya (ibu atau nenek),
seperti halalnya si wanita tersebut untuk orang tua dan anak-anaknya. Namun,
makruh hukumnya menikahi wanita tersebut.[30]
Golongan malikiyyah
berpendapat: menurut pendapat yang dijadikan pegangan, zina tidak dapt
menyebabkan hukum kemahraman; orang yang berzina dengan seorang wanita, maka
dia boleh menikahi anak atau orang tua si wanita[31].
C. Kesimpulan
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata
yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti
kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang
berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan,
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan
Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju
sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Maqhashid Al-syari’ah yang
ditunjukkan melalu hukum-hukum islam dan ditetapkan berdasarkan nash- nash
agama adalah maslahat hakiki. Maslahat in mengacu terhadap pemeliharaan
terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kehidupan dunia
ditegaskan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini akan
tercapai kehidupan manusia yang luhur secara smpurna. Kemulyaan manusia tidak
dapat dipisahkan dari pemeliharaan kelima hal ini. Untuk memperoleh gambaran
utuh tentang maqasid al- syariah, beriku akan dijelaskan kelima pokok
kemaslahatan yang berdasarkan kepada tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-
masing. Antara lain:
1)
Memelihara
agama (Hifzh al- Din)
Islam menjaga hak dan kebebasan,dan kebebasan
yang pertama adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah.Setiap pemeluk agama
berhak atas agama dan mazhabnya,ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan
menuju agama atau mazhab lain juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari
keyakinannya untuk masuk ialam
2)
Memelihara
jiwa(hifzh al-‘nafs)
Ialah memelihara hak untuk hidup secara
terhormat dan memelihara jiwa agar
terhindar dari tindakan penganiayaan berupa
pembunuhan pemotongan angoota badan maupun tindakan melukai. Termasuk juga
memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf
(menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa atau berupa
pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik,
karenanya islam melindungi kebebasan berkarya(berprofesi), kebebasan berfikir
dan berpendapat, kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain
yang bertujuan untuk menegakkan pilar-pilar kehidupan manusia yang terhormat
serta bebas bergerak di tengah dinamika social yang utama sepanjang tidak
merugikan orang lain.
3)
Memelihara akal
(hifzh al-aql)
Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan
yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat,
menjadi sumber kejahatan, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya
pencegahan yang bersifat preventif yang dilakukan syariat islam seungguhnya
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari
berbagai hal yang membahayakannya. Diharapkannya meminum arak dan segala
sesuatunya yang memabukkan atau menghilangkan daya ingatan adalah di maksudkan
untuk menjamin keselamatan akal.
4)
Memelihara
Terhadap Harta Benda
Harta adalah salah satu kebutuhan inti dalam
khidupan,dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya.Hal ini sudah
dijelaskan dalam firman Allah yang berbunyi:
المال والبنون زينة الحيوة الدنيا
Artinya:Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia.(QS.Al-kahfi:46)
5) Memelihara kehormatan
Di dalam menanggapi berbagai kebutuhan biologis
ini, Islam mempunyai pandangan yang realistis. Karenanya, Islam memerintahkan
agar masalah perkawinan dapat dipermudah, terutama sekali masalah prosedur, dan
memberikan pertolongan kepada orang-orangyang tidak mampu menanggung biaya
pernikahan. Apabila perkawinan itu dimulai dari keadaan yang serba kekurangan,
maka Allah akan menjamin kehidupan yang layak dan mulia, selama perkawinan itu
diniatkan untuk memelihara dirinya.
DAFTAR RUJUKAN
A’la,abd.2010.fiqih minoritas.yogyakarta:
PT.LkiS.
Umar,hazbi.2007.nalar fiqih.jakarta:
gaung persada.
al Qaradhawi.yusuf.2007.fiqih maqashid syari’ah. Jakarta Timur: Pusataka Al-Kautsar.
Al-Syathibi.2012. al-Muafaqat.
Jakarta: PT.husada Bengkulu.
Khatimah,husnul.2007.penerapan
Syaria’ah Islam. Bengkulu:Pustaka Pelajar.
al-raysuni,ahmad. alfikr
al-maqashidi qawa’iduhu wa fawa’iduhu. Jakarta:Ghaliai media.
jauhar,husain, Ahmad Al-mursi.2009.maqashid
syariah. jakarta:Amzah.
http://islamiwiki.blogspot.com/2012/02/menjaga-kehormatan-di-dalam-Islam.html#.UmTRuJhkMxg |
|
[3] Fiqih Maqashid Syari’ah, Yusuf al Qaradhawi (Jakarta Timur; Pusataka
Al-Kautsar, 2007), 16
[4]Al-Syathibi,al-Muafaqathlm(Jakarta:penerbit
PT.husada Bengkulu 2012)
[5]Husnul
khatimah,penerapan Syaria’ah Islam,(Bengkulu:Pustaka Pelajar,2007)hal 132
[6]Ahmad
al-raysuni,alfikr al-maqashidi qawa’iduhu wa fawa’iduhu(Jakarta:Ghaliai
media)hlm:37
[7]Al-Syathibi,al-Muafaqathlm.417-418
[8]ahmad
al-raysuni,alfikr al-maqashidi qawa’iduhu wa fawa’iduhu(Jakarta:Ghaliai
media)hlm:77
[9]hasbi
Umar,Nalar Fiqh(Jakarta:Gaung Persada
2007)hal:123
[10]Ahmad
Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:1
[11]Ahmad
Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:1
[12]Ahmad
Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal,3
[13]Satria
Effend, Maqasid al-syariah dan perubahan social, Di muat dalam dialog (Badan
Litbang Depag, No 33 tahun XV, Januari, 1991) hal 29
[14]Op.cit.,
Hasbi Umar, Nalar fiqh, hal 124
[16]
Ibid hal 125
[17]Op.cit.,
Hasbi Umar, Nalar fiqh, hal 124
[18]Ahmad
Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:22
[19]Ahmad
Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:91
[20]
Ibid.hal 92
[21]Ahmad
Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:93
[22]ibid,hak
93
[23]Ahmad
Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:94
[24]Satria
Effend, Maqasid al-syariah dan perubahan social, Di muat dalam dialog (Badan
Litbang Depag, No 33 tahun XV, Januari, 1991)
[25]Ahmad
Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:167
[26]
.Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:169
[27]Ibid
hal,171
[28]
Ibid hal,175
[30] Maqasyid Syariah, ahmad al mursi husaen jauhar (Jakarta: Amzah, 2009) 132.
Lihat Kitab Al-aqna’ Syarh abi syuja ma’ah khasyiyah tuhfat al-habib, jilid 3,
hlm 356
[31] Maqasyid Syariah, ahmad al mursi husaen jauhar (Jakarta: Amzah, 2009) 132.
Lihat Kitab Bidayah AL-mujtahid, ibnu rusyd, jilid 2, hlm 28
0 komentar:
Posting Komentar