Senin, 02 Desember 2013

MAKALAH MAQOSHID SYARI’AH



A.    Pendahuluan
Islam adalah ajaran yang sumbernya dari Tuhan,shalih likulli zaman wa makan, karena memang sifat dan tabiat ajaran Islam yang relevan dan realistis sepanjang sejarah peradaban dunia, kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang bisa dipakai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja mulai dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan ini.
Hukum islam dibuat untuk mencapai kemaslahatan manusia,tak terkecuali hukum islam yang diyakini bersumber dari Al-quran,hadist ataupun imam-imam mazhab(fiqh).Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terkandung dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut.Oleh para ulama hal tersebut mereka istilahkan dengan Maqashid al-syariah.
Mungkin bila kita berbicara tentang Maqashid Syariah, secara otomatis pikiran kita akan tertuju kepada seorang al-Syatibi. Yang di anggap sebagai peletak dasar konsep Maqashid Syariah. Namun sebenarnya banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama,salah satu yang di anggap sebagai orang pertama yang berbicara tentang Maqashid ialah Abu Abdillah Muhammad bin ali yang popular dengan panggilan al-Turmudzi al- Hakim,Meskipun demikian dalam makalah ini tidak begitu mempersoalkan pada permasalahan tersebut dan lebih menitik beratkan pada urgensi dari Maqashid syariah itu sendiri.

B.     Substansi Kajian
1.      .Pengertian Maqashid Syariah
Secara etimologi maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk plural dari مقصد,قصد,مقصد, atau قصود yang merupakan derivasi dari kata kerja qashada yaqshudu dengan beragam makna seperti menuju arah,tujuan,tengah-tengah,adil dan tidak melampaui batas.Makna tersebut dapat dijumpai dalam penggunaan kata qashada dan derivasinya dalam Al-quran.Sementara syari’ah secara etimologi bermakna المواضعتحدراليالماء  artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan[1].
Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.[2]
Dalam kehidupan sahari-hari ketika ulama menyebutkan kata syai’ah, kita bisa melihat bahwa kata tersebut mengangdung dua arti: Pertama: seluruh agama yang menyangkut aqidah, ibadah, adab, hukum, akhlak dan mu’amalah. Dengan kata lain syari’at menyangkut ushul dan furuq, aqidah dan amal, serta teori dan aplikasi. Ia mencakup seluruh sisi keimanan dan akidah-Tuhan, Nabi dan Sam’iyat dan sebagaimana ia pun mencakup sisi lain sepeti ibadah, mu’amalah, dan akhlak yang dibawa oleh islam serta dirangkum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk kemudian dijelaskan oleh ulama aqidah, fiqih dan akhlak. Kedua, sisi hukum amal di dalam agama. Seperti ibadah dan mu’amalah yang mencakup hubungan dan ibadah kepada Allah SWT. Serta, mencakup juga urusan keluarga (al-Ahwal asy-Syahsyiyah), masyarakat, umat, negara, hukum dan hubungan luar negeri.[3]

2.      Pengertian maqashid syari’ah menurut para Ulama Islam
1)      Sayf  al-Din Abu al-Hasan Ali bin Abi bin Muhammad al-Amidi
Mendefinisikan maqashid syari’ah tujuan syariah yang mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemafsadatan atau kombinasi keduanya.Definisi ini sangat umum,konsepsional dan abstrak sehingga belum bias dibayangkan bagaimana cara menentukannya.
2)      Yusuf al-Qaradhawi
Maqashid al-syari’ah adalah tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh nash dari segala perintah,larangan,kebolehan dan yang ingin direalisasikan oleh hokum-hukum juz’iyah dalam kehidupan orang-orang mukallaf,baik secara personal,keluarga,kelompok dan umat secara keseluruhan.
3)      Al-‘iz bin ‘Abd al-Salam
Maqashid al-syari’ah adalah mendatangkan manfaat dan menolah mafsadat.Barang siapa yang berpandangan seperti itu tentang definisi Maqashid al-syari’ah maka dala dirinya terdapat keyakinan dan pengetahuan mendalam bahwa kemaslahatan dalam suatu permasalahan tidak boleh disia-siakan sebagaimana kemafsadatan yang ada didalamnya juga tidak boleh didekati walaupun dalam masalah tersebut tidak ada ijma’,nash dan qiyas yang khusus.
4)      Thahir Ibn ‘Asyur
Beliau berpendapat bahwa Maqashid al-syari’ah sabgai disiplin keilmuan yang mandiri.Semua hokum Syariah tentu mengandung maksud dari syari’,yaitu hikmah,kemaslahatan dan manfaaat dan bahwa tujuan umum syariah adalah menjaga keteraturan umat dan kelanggengan kemaslahatan hidup mereka.
Ibn ‘Asyur lebih lanjut mendefinisikan  Maqashid al-syari’ah sabagai berikut:
Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikandan dipelihara oleh syari’ dalam setiapbentuk penentuan hukumn-Nya.Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hokum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat,tujuan umum dan makna syariah yang terkandung dalam hukum,serta masuk pula didalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum.
Definisi Ibn Asyur ini sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih kongkret dan operasional.Sebagai penegasnya,beliau juga menyatakan bahwa Maqashid al-syari’ah bias saja bersifat umum yang meliputi keseluruhan al-syari’ah yang khusus seperti Maqashid al-syari’ah yang khusus dalam bab-bab mu’amalah.Dalam konteks ini Maqashid al-syari’ah diartikan sebagai kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh syara’ untuk mewujudkan kemanfaatan bagi kehidupan manusia atau untuk menjaga kemaslahatan umum dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-perbuatan mereka yang mengandung hikmah.
5)      Abu Ishak Asy-Syatibi[4]
Abu Ishak Asy-Syatibi adalah tokoh  yang dikukuhkan sabagai pendiri ilmu maqashid al-syari`ah.Belisu menyatakan bahwa beban-beban syari’ah kembali pada penjagaan tujuan-tujuannya pada makhluk.
Istilah maqashid al-syari`ah yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah:
هذهالشريعةوضعتلتحقيقمقاصدهالشارعقياممصالحفيالدينوالدنيامعا
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam  mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.

Abu Ishak Asy-Syatibi membagi maqashid al-syari`ah menjadi 3 tingkatan,yaitu:
a)      Kebutuhan DharuriyatIalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat kelak.Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta harta.
b)      Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
c)      Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.[5]
Terlepas  dari perbedaan kata yang digunakan dalam mendefinisikan maqashid al-syari`ah,para ulama ushul sepakat bahwa maqashid al-syari`ah adalah tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan diaplikasikannya syari’ah.Maqashid al-syari`ah ini bias jadi berupa maqashid al-syari`ah al-‘ammah yakni yang meliputi semua aspek al-syari`ah, maqashid al-syari`ah al-khashshah yang dikhusukan pada satu bab dari bab-bab syari’ah yang ada,separti maqashid al-syari`ah pada bidang ekonomi,hokum keluarga dan lain-lain,atau juga berupa maqashid al-syari`ahal-juz’iyah yang meliputi setiap hokum syara’ seperti kewajiban sholat,diharamkan zina dan lain sebagainya.
Sebagai tujuan akhir syariah,maqashid al-syari`ah seharusnya menduduki posisi penting sebagai ukuran atau indikator benar tidaknya suatu ketentuan hukum.Dengan kata lain menentukan hukum yang benar haruslah melalui pemahaman maqashid al-syari`ah yang baik.

3.      Sumber-sumber Maqasid al-syariah
Didalam Al-Qur’an Allah swt.menyebutkan beberapa kata syari’at diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam Surah Al-Jassiyah dan Asy-Syura:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ (١٨)
Artinya:Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah 45 : 18)
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٢١)
Artinya:Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa iaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Asy-Syura 42: 13)
Perkataan syari’at apabila disebut para ulama boleh terdiri kepada dua pengertian;
1.      Seluruh agama yang mencakup akidah, ibadah, adab, akhlak, hukum dan mu’amalat
2.      Sisi hukum amal di dalam agama
Di dalam tulisan ini, kami memlilih yang kita maksudkan syari’at adalah seluruh maksud Islam kerana akidah adalah pokok, asas dan banggunan seluruh agama.
Dalam istilah para ulama, Maqashid Asy-Syari’ah adalah: tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah dan umat.
Boleh juga disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkan hukum.Baik yang diharuskan ataupun tidak.Kerana dalam setiap hukum yang disyari’atkan oleh Allah untuk hambaNya pasti terdapat hikmah.
Contohnya di dalam pewarisan harta, syari’at Islam memberikan hak istimewa kepada anak perempuan daripada anak lelaki kerana meskipun tidak perlu menanggung kewajipan seperti yang ditanggung anak lelaki, anak perempuan tetap diberikan harta waris.
“Maksud-maksud syari’at bukanlah ‘illat (motif penetapan hukum) yang disebutkan oleh para ahli ushul fikih dalam bab qiyas dan didefinisikan edngan “sifat yang jelas, tetap, dan sesuai dengan hukum.”Illat tersebut sesuai dengan hukum, tetapi ia bukan maksud bagi hukum tersebut.”
Sebagai contoh, ‘illat rukhsah ketika safar baik dalam bentuk jama’-qashar atau berbuka ketika shaum di bulan Ramadhan adalah safar, bukannya hikmah yakni kesusahan yang dirasakan sewaktu bermusafir. Para ahli ushul fikih  tidak menyatukan antara hukum dan hikmah kerana hikmah sulit untuk ditetapkan contohnya jika kesusahan itu i’llat, mungkin ada orang yang mengatakan saya tidak susah.

4.      Kaidah berfikir atas dasar maqashid
Abdurahaman Ibrahim Al-kilani secara khusus mengkaji tentang kaidah-kaidah maqasyid al-syari’ah yang harus dijadikan dasar dalam ijtihad dengan mendasarkan pada maqasyid al-syari’ah.Didalam bukunya yang berjudul Qawa’id Al-maqasyid ‘ind al-Imam al-syathibi ‘aradhan wa dirasatan wa tahlilan menyebutkan  bahwa seluruh seluruh kaidah maqasyid yang dinyatakan oleh al-Syatibi dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori besar yaitu:kaidah-kaidah yang berkaitan dengan tema maslahat dan mafsadat,kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dasar penghilangan kesulitan(raf al-haraj) dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan akibat-akibat perbuatan dan tujuan orang-orang mukallaf.
Dari kategori ini tersirat bahwa kemaslahatan,kemudahan dan tujuan akhir dari suatu ketentuan hokum menjadi dasar utama yang hendak dicapai maqashid based ijtihat
Kategori pertama menekankan pada realisasi kemaslahatan sebagai tujuan dari ketentuan hokum islam.Termasuk dalam kategori ini adlah kaidah-kaidah sebagai berikut:
وضعالشرائع انماهولمصالحالعبادفيالعاجل واللاجلمعا
Artinya:Penentuan hokum-hukum syari’ah adalah untuk kemaslahatan hamba,baik untuk saat ini maupun nanti(ibid,hal 126-136)
المفهوم وضع ان الطاعة اوالمعصية تعظم بحسب عظام المصلحة اوالمفسدةالناشاةعنها
Artinya:Yang bisa dipahami dari penentuan Tuhan adalah bahwa ketaatan dan kemaksiatan diukur dengan tingkat kemaslahatan dan kemafsadatan yang ditimbulkan.

     Dari kaidah-kaidah kategorisasi pertama ini diketahui dengan jelas bahwa nilai,makna dan eksistensi kemaslahatan menentukan suatu status hokum dan diposisikan diatas otoritas teks,yang dalam fiqh klasik memilki otoritas yang kuat.
Kategori yang kedua adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan dasar berfikir maqashid untuk menghilangkan kesulitan atau kesukaran.Berikut kaidah-kaidah yang masuk kategori ini:

ان الشارع لم يقصدالى التكلف بالشق والعنات فيه
Artinya:Syari’(Allah)memberikan beban taklif bukan bertujuan untuk menyulitkan dan menyengsarakan
                                                                                                                                        
لانزع فى الشارع قاصدالى التكلف بما يلزم فيه كلفة ومشقة ولكنه لايقصدنفس المشقة بل يقصدما فى ذالك من المصالح العاءدة على المكلفين

Artinya:Tidak dipertentangkan bahwa Allah telah menetapkan hukum taklif yang didalamnya terdapat beban dan kesulitan,tetapi bukanlah esensi kesulitan itu yang sesungguhnya dekehendaki,melainkan kemaslahatan yang akan kembali kepada orang mukallaf yang menjalannya.
من مقصودالشارع فى الاعمال دوام المكلف عليه
Artinya:Termasuk dari tujuan syara’ dalam setiap perbuatan adalah tetap konsistennya mukallaf atas perbuatan tersebut.
 Kaidah-kaidah yang kedua ini menunjukkan bahwa maqasyid-based ijtihad berpihak pada kemudahan dan kemampuan mukallaf sebagai pelksana hukum.Karen itulah fiqh yang didasarkan pada maqasyid al-syari’ah juga disebut dengan fiqh al-taysir(fiqh yang memudahkan)
     Sementara itu,kategori yang ketiga adalah sekelompok kaidah yang berhubungan dengan akibat akhir suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh mukallaf serta tujuan mukallaf itu sendiri,yaitu:
النظرفى مالات الاعمالمعتبرمقصودشرعاكانت الافعال موافقة اومخالفة
Artinya:Menganalisis akibat akhir perbuatan hokum adalah diperintahkan oleh syara’,baik perbuatan hokum itu sesuai dengan tujuan syara’ maupum bertentangan.
للمجتهدان ينظرفي اللاسباب ومسياتها
Artinya:Mujtahid wajib menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat hukum.
Dari kategori yang terakhir ini menunjukkan bahwa proses ijtihad tidak hanya berfokus pada teks dalil tetapi juga pada konteks peristiwa atau perbuatan hukum dan pada sisi akibat(al-ma’al)sebagai upaya untuk mengetahui sisi maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya,Seperti kesimpulan pada kategori yang pertama ,akibat atau efek hokum inilah yang lebih mendominasi sebagai penentu hokum dibandingkan dengan kekuatan teks itu sendiri.

     Sebagai pelengkap dari ketegori diatas yang menekankan pada hubungan teks dengan konteks empiris perbuatan hokum,al-Raysuni berpendapat dalam bukunya yang berjudul al-Fikr Al-maqashidi yaitu beliau lebih menekankan pada bagaimana cara memahami dalil nash dengan menggunakan pendekatanmaqasyid al-syari’ah.Pandangan al-Raysuni manarik untuk dikaitkan dengan pendapat al-sythibi diatas karena beliau dengan baik hati dan lengkap dalam mengkaji pandangan al-sythibi tentangmaqasyid al-syari’ah dan mengakuinya sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam pandangan tentang maqasyid al-syari’ah.Bliau menyatakan bahwa berfikir dengan menggunakan maqasyid al-syari’ahsebagai pendekatan merupakan proses berfikir ilmiah yang pasti memiliki dasar kaidah metodologis yang akan mengantarkan padaktentuan hokum yang berpihak pada maqasyid al-syari’ah .Menurutnya ada empat kaidah dasar yang harus diketahui dan disadari dalam prosesmaqasyid-based ijtihad.

Kaidah yang pertama adalah كل مافى الشريعة معلل وله مقصودهومصلحته (setiap ketentuan hokum syari’ah pasti memiliki ‘illat,maksud dan kemaslahatan)[6](’illat,maksud dan kemaslahatan ketentuan hokum dalam islam pasti ada dan haruslah dicari dan ditemukan sehingga memberikan suatu ketenangan dalam melaksanakannya.Hal ini selaras dengan pendapat Ibn Qayyim yang menyatakan “dalam syar’ah tidak ada satupun ketentuan hokum kecuali ia memiliki makna dan hikmah,yang bisa dipahami oleh orang yang berakal dan tersembunyi bagi orang yang tidak peduli.Karena itu ketika hikmah dan maksud hokum belum diketahui oleh sebagian orang,bukan berarti ia tiak ada dank karenanya sangat mungkin diketahui oleh orang lain.

Kaidah yang kedua adalah لاتقصيدالابدليل (penentuan maqashid syari’ah dalam suatu ketentuan hukum haruslah dengan dalil)
Logika dari kaidah ini adalah bahwa menghubungkan maqashid syari’ah dengan ketentuan hokum Tuhan berarti menhubungkan suatu pernyataan atau hokum dengan Allah SWT.Sementara itu Allah dengan segala ketentuan-Nya telah menyertkan dalil-dalil.Oleh karena itu,menentukan maqashid syari’ah dalam setiap hokum harus didasarkan padadalil.[7]Dari sini jelas bahwa berfikir maqashid syari’ah bukanlah berfikir lepas tanpa terikat pada dalil.Dalil menjadi dasar pokok,hanya saja proses interpretasi atas dalil tersebut berbeda dengan proses berfikir ushul al-fiqh pada umumnya.Berfikir dengan pendekatan maqashid syari’ah dipengaruhi kuat oleh tujuan dan akibat hokum,sementara berfikir hanya dengan ushul al-fiqh ditentukan oleh dalil itu sendiri.

Kaidah ketiga adalahترتيب المصالح والمفاسد  (urgensi menyusun secara heirakis kemaslahatan dan kemafsadatan)ahmad al-raysuni,alfikr al-maqashidi qawa’iduhu wa fawa’iduhu,hlm:68)Sebagai suatu pola berfikir ilmiah metologis,maqashid-based ijtihad meniscayakan adanya penyusunan kemaslahatan dan kemafsadatan atas dasar tingkatan heirarkis dalam upaya memudahkan pross penentuan hokum dengan skala prioritas.Atas dasar inilah maqashid al-syari’ah sendiri oleh para ulama manjadi tiga tingkatan yaitu:dharruriyyat,hajiyyat dan tahsiniyyat,yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Kaidah keempat adalah التمييزبين المقاصدوالوسل  (perlunya pembedaan antara tujuan dan media menuju tujuan/perantara)[8](Hal ini penting karena washilah atau media perantara juga diperlukan eksistensinya sama seperti maqashid.Hanya saja washilah ini diperlukan bukan karena esensinya,melainkan hanya sebagai perantara terwujudnya hal lain yang yang dibutuhkan keberadaannya yaitu maqashid sendiri.Seringkali dalam ketentuan hokum keterkaitan antara maqashid dan wasa’il tampak dengan jelas tetapi tidak menutup kemungkinan terlihat samar dan serupa.Kegagalan membedakan keduanya akan mengakibatkan kesalahan dalam maqashid-based ijtihad yang akan menentukan hokum yang salah pula.

Pandangan Al-Raysuni diatas sesungguhnya menitikberatkan pada urgensi katerkaitan ‘illat,dalil dan kemaslahatan sebagai tujuan hokum.Pandangan ini parallel dengan kaidah yang dikemukakan oleh Al-syathibi di atas dalam sisi keinginan menampakkan wajah hokum Islam yang berorientasi pada kemalahatan sebagai tujuan syari’at.

5.      Lima Hal Pemeliharaan Maqashid Al-Syari’ah

Maqhashid Al-syari’ah yang ditunjukkan melalu hukum-hukum islam dan ditetapkan berdasarkan nash- nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat in mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[9] Kehidupan dunia ditegaskan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara smpurna. Kemulyaan manusia tidak dapat dipisahkan dari pemeliharaan kelima hal ini. Untuk memperoleh gambaran utuh tentang maqasid al- syariah, beriku akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan yang berdasarkan kepada tingkat kepentingan atau kebutuhan masing- masing:

1)      Memelihara agama (Hifzh al- Din)
Islam menjaga hak dan kebebasan,dan kebebasan yang pertama adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah.Setiap pemeluk agama berhak atas agama dan mazhabnya,ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan menuju agama atau mazhab lain juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk ialam.[10]Dasar hak ini sesuai dengan firman Allah SWT,yang berbunyi:

لااكراه في الدين قدتبين الرشدمن الغى
Artinya:Tidak ada paksaan untuk (mamasuki) agama (islam),sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.(QS.Al-Baqarah,256)

افانت تكره الناس حتى يكونوامؤمنين
Artinya :Maka apakah kamu(hendak)memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.(QS.Yunus:99)

Mengenai tafsir yang pertama,Ibnu katsir mengungkapkan bahwa “janganlah kalian memaksa seseorang untuk memasuki agama islam”sesungguhnya dalil dan bukti akan hal ini sangat jelas dan gambling bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk masuk agama islam.[11]
Alquran menolak segala bentuk pemaksaan,karena orang yang diberi petunjuk oleh Allah maka Dia akan membukakan dan menerangi hatinya lalu orang tersebut akan mesuk islam dengan bukti dan hujjah.Barang siapa hatinya dibutakan,pendebgaranaya dan penglihatannya ditutup oleh Allah maka tidak ada gunanya mereka masuk islam dalam keadan dipaksa.
Untuk orang nonmuslim,islam menjaga tempat beribadahan mereka,manjaga kehormatan syiar mereka,bahkan Alquran menjadi salah satu sebab diperkenankannya berperang adalah karena untuk menjaga kebebasan beribadah dan hal ini tersirat dalam fiman Allah:

اذن للذين يقتلون بانهم ظلموا .وان الله على نصرهم لقدير(39)الذين اخرجوأمن ديرهم بغيرحق الاان يقولوأربناالله.ولولادفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صومع بيعوصلوت ومسجديذكرفيهااسم الله كثير
ا
Artinya:Telah diizinkan (berperang)bagi orang-orang yang diperangi.karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alas an yang benar,kecuali karena mereka berkata “Tuhan kami adalah Allah”Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan)sebagian manusia dengan sebagian yang lain,tentulah telah dirobohkan biara-biara nasrani,gereja-gereja,rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah(QS.Al-hajj:39-40)[12]
Agama merupakan keharusan bagi manusia, dengan nilai- nilai kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan.Sebab keagamaan adalah ciri khas manusia.Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa dengan nilai keagamaan itulah, maka berbagai macam ibadah yang di isyaratkan.Ibadah-ibadah itu di masuksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan[13].
Memelihara agama berdasarkan kepentingnnya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a.       Memelihara agama dalam peringkat dharuriyyat yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksnakan sholat lima waktu. Kalau sholat itu diabaikan maka eksistensi agama akan terancam.
b.      Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan, seperti sholat jama’dan qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka idak akan mengancam eksistensi agama, mlainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c.       Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya menutup aurat, baik didalam maupun di luar sholat, membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan ahklak terpuji.Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.[14]
Dalam Islam berbuat baik dan berlaku adil merupakan dua hal yan hat-rus dilaksanakan seorang muslim kepada sesama manusia dan kepada ahli kitab ( orang-orang yan melaksanakan agama mereka berdasarkan kitab samawi). Islam memperbolehkan kaum muslim memberi makan ahli kitab, juga memakan dari hasil sembelihan mereka atas binatang yang tidak diharamkan bagi kaum muslimin, sebagiamana islam juga memperbolehkan pernikahan dan menikahi wanita-wanita mereka yang terjaga, dengan di kuatkan oleh hukum-hukum yang dikuatkan Al-Qur’an.[15]
2)      Memelihara jiwa(hifzh al-‘nafs)
Ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar
terhindar dari tindakan penganiayaan berupa pembunuhan pemotongan angoota badan maupun tindakan melukai. Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa atau berupa pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik, karenanya islam melindungi kebebasan berkarya(berprofesi), kebebasan berfikir dan berpendapat, kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan untuk menegakkan pilar-pilar kehidupan manusia yang terhormat serta bebas bergerak di tengah dinamika social yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain. [16]

Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a.       Memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyyat seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok itu dibaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
b.      Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat seperti diperbolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kaau kegiatan ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi manusia melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c.       Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyatseperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia ataupun mempersulit kehidupan seseorang.[17]

Sejak 14 abad yang lalu islam telah mensyariatkan(mengatur)hak-hak asasi manusia secara komprehenshif dan mendalam.Islam mengaturnya dengan segala macam jaminan yang cukup untuk menjaga hak-hak tersebut.Islam membentk fondasi daan dasar yang menguatkan dan memperkokoh hak-hak asasi manusia ini.
Hak pertama dan paling utama yang diperhaatikan Islam adalah hak hidup,hak yang disucikan dan tidak boleh dihancurkan kemuliaanya,karena manusia adalah ciptaan Allah SWT.[18]Sebagaimana dalam firman Allah,yang berbunyi:

صنع الله الذى اتقن كل شئ.انه خبيربماتقعلون(88)
Artinya:Begitulah perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu,sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.An-Naml:88)
Dengan ayat ini sangat jelas hikmah Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang diciptakan-Nya  untuk manusia,lalu Dia menjadikan,menyempurnakan kejadian dan manjadikan susunan tubuhnya seimbang,dalam bentuk apa saja yang Allah kehendaki.

3)      Memelihara akal (hifzh al-aql)
Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat preventif yang dilakukan syariat islam seungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakannya. Diharapkannya meminum arak dan segala sesuatunya yang memabukkan atau menghilangkan daya ingatan adalah di maksudkan untuk menjamin keselamatan akal.
Akal merupakan sumber hikmah(pengetahuan),sinar hidayah,cahaya mata hati dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.Dengan akal pikiran surat perintah dari Allah SWT disampaikan,dengannya pula manusia berhak menjadi pemimpin di muka bumi dan dengannya manusia menjdi sempurna,mulia dan berbeda dengan makhluk lainnya.[19]Allah SWT berfirman:

ولقدكرمنابنىءادم وحملنهم في البر والبحرورزقنهم من الطيبت وفضلنهم على كثيرممن خلقناتفضيلا

Artinya:Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam,kami angkut mereka di daratan dan di lautan,kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.(QS.Al-Isra’ 70)

Andai tanpa akal,manusia tidak berhak mendapatkan pemuliaan yang bisa mengangkatnya menuju barisan para malaikat.[20]Dengan akal,manusia naik menuju alam malaikat yang luhur.Karena itulah,akal menjadi poros pembebanan pada diri manusia.Dengannya,manusia akan mendapatkan pahala dan berhak mendapat siksa.Balasan di dunia dan di akhirat berdasarkan akal dan kekuatan pengetahuan.
Melalui akalnya,manusia mendapatkan petunjuk menuju ma’rifat kepada penciptanya yaitu Allah.Serta dengan akalnya dia menyembah dan mentaati Allah,membenarkan para Nabi dan Rosul dan mempercayai bahwa mereka adalah perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka,membawa kabar gembira untuk mereka dengan janji dan membawa peringatan dengan ancaman.Maka manusia mengoperasikan akalnya dengan mempelajari yang halal dan yang haram,yang berbahaya dan yang bermanfaat serta yang baik dan yang buruk.[21]
Akal dinakaman عقل(ikatan) kerena ia bisa mengikat dan mencegah pemiliknya untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran.Dinamakan demikian,karena akal pun menyerupai ikatan unta,sebuah ikatan akan mencegah manusia  menuruti hawa nafsu yang sudh tidak terkendali,sebagaimana ikatan pada unta akan mencegah unta agar tidak melarikan diri saat berlari.Amir bin Abdul Qais berkata:

اذاعقلك عقلك عما لاينبغي فانت عاقل
Artinya:Jika akal mengikatmu dari sesuatu yang tidak sepatutnya,maka kamu adalah orang yang berakal.[22]

العقل نورفى القلب يفرق به بين الحق والباطل
Artinya:akal adalah cahaya dalam hati yang membedakan antara yang haq dan yang batil.

Dari sinilah Islam memerintahkan kita untuk menjaga akal,mencegah segala bentuk penganiayaan yang ditujukan kepadanya,atau yang bisa menyebabkan rusak dan berkurangnya akal tersebut untuk menghormati dan memuliakan mereka dan untuk merealisasikan semua kemaslahatan umum yang menjadi fondasi kehidupan manusia,yakni dengan menjaga agama,akal,jiwa,keturunan dan harta benda.[23]
Menjaga dan melindungi akal bisa dilaksanakan dengan penjagaan antara akal itu sendiri dengan ujian dan bencana yang melemahkan dan merusaknya,atau menjadikan pemiliknya sebagai sumber kejahatan dan sampah dalam masyarakat.
Memelihara akal berdasarkan kepentinganyya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a.       Memelihara akal dalam tingkat dharuriyyat, seperti diharamkan meminum-minuman keras. Jika ketentuan ini tidak di indahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
b.      Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, sperti di njurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya mengembangka ilmu pengetahuan.
c.       Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyah, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak harfiyah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung. [24]

4)      Memelihara Terhadap Harta Benda
Harta adalah salah satu kebutuhan inti dalam khidupan,dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya.Hal ini sudah dijelaskan dalam firman Allah yang berbunyi:

المال والبنون زينة الحيوة الدنيا
Artinya:Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.(QS.Al-kahfi:46)
Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi,dia tidak boleh berdiri sebagai penghalang antara dirinya dan harta.Namun semua motivasi ini dibatasi oleh tiga syarat,yaitu harta dikumpulkan dengan cara yang halal,dipergunakan untuk hal-hal yang halal dan dari harta ini dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.[25]
Setelah itu barulah dia dapat menikmati harta tersebut dengan sesuka hatinya,nemun tanpa ada pemborosan karena pemborosan untuk kenikmatan materi akan mengakibatkan hal sebaliknya,yakni sakitnya tubuh sebagai hasil dari keberlebihan. Allah berfirman:
وكلواواشربواولاتسرفوا
Artinya:Makan dan minumlah dan janganlah berlebihan(QS.Al-a’raf:31)

Cara mmenghasilkan harta tersebut adalah dengan bekerja dan mewaris,maka seseorang tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

يايها الذينءامنولاتاءكلوامولكم بينكم بالبطل الاانتكون تجرة عن تراض منكن
Artinya:Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamusaling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu(QS.An-Nisa’:29)
Apabila seseorang meminjamkan hartanya kepada orang lain dalm bentuk utang maka dia bisa memilih salah satu diantara tiga kemungkinan berikut,yaitu:
a)      Meminta kembali hartanya tanpa tambahan
b)      Apabila tidak bisa mendapatkannya kembali,maka dia harus bersabar dan tidak membebaninya dengn melakukan tagihan.
c)      Apabila orang yang memberikan pinjaman tersebut adalah orang kaya,dia dapat menyedekahkan pinjaman tersebut kepada peminjam yang dalam keadaan miskin atau payah,karena nikmat harta harus menjadi motivator untuk saling mengasihi,tidak untuk bersikap antipasti.[26]
Harta yang baik pastinya berasal dari tangan-tangan orang yang cara memilikinya berasal dari pekerjaan yang dianjurkan oleh agama,seperti bekerja di sawah sendiri.
Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal berikut:
a)      Memiliki hak untuk dijaga dari para musuhnya,baik dari tindak pencurian,perampasan atau tindakan lain,memakan harta prang lain dengan cara yang batil baik dilakukan orang muslim maupun nonmuslim,seperti merampok dan menipu.
b)      Harta tersebut digunakan untuk hal-hal yang mubah,tanpa ada unsur mubazir atau menipu untuk hal-hal yang dihalalkan oleh Allah.Maka harta ini tidak dinafkahkan untuk kefasikan.[27]
Dalam islam harta adalah milik Allah yang dititipkan pada alam sebagai anugerah ilahi,yang diawasi dan ditundukan-Nya untuk manusia dan makhluk lainnya.[28]

5)      Memelihara kehormatan
Di dalam menanggapi berbagai kebutuhan biologis ini, Islam mempunyai pandangan yang realistis. Karenanya, Islam memerintahkan agar masalah perkawinan dapat dipermudah, terutama sekali masalah prosedur, dan memberikan pertolongan kepada orang-orangyang tidak mampu menanggung biaya pernikahan. Apabila perkawinan itu dimulai dari keadaan yang serba kekurangan, maka Allah akan menjamin kehidupan yang layak dan mulia, selama perkawinan itu diniatkan untuk memelihara dirinya. 
Allah berfirman yang ditujukan kepada orang tua yang bertanggung jawab terhadap perkawinan putra-putrinya :
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya”. (Q.S. 24 : 32). 
Kemudian, ayat lainnya juga menerangkan kepada para orang tua yang tidak mempunyai kesanggupan menanggung nafkah istri, agar sebaiknya melaksanakan ‘iffah (menjaga kehormatan) hingga Allah memberikan kemurahan-Nya untuk sebuah perkawinan. 

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ
 Allah berfirman : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. “. (Q.S. 24 : 33). 
Demikianlah Allah menjanjikan kepada orang-orang yang berkeinginan melaksanakan kawin, padahal keadaannya kurang memungkinkan. Allah akan memberinya kecukupan yang dapat menopang pelaksanaan niatnya. Begitu pula Allah mengajak kepada para jejaka untuk berlaku iffah sampai Allah memberikan kemudahan bagi mereka. 
Rasulullah menjelaskan melalui sabdanya, bahwa puasa adalah sarana bagi para pemuda di dalam rangka menahan diri :
 ياممعشر الشباب من استطع منكم الباءة فليتزوّج، فانّه اغضّ للبصر واحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصّوم فانّه له وجاء (رواه البخارومسلم
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah mampu melaksanakan perkawinan, maka segeralah, karena perkawinan akan menenangkan pandangan mata dan lebih memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka sebaiknya ia melakukan puasa, karena puasa dapat memadamkan nafsu birahinya (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)”.
            Dalam mazhab Hanifiyah dikatakan : dengan zina, hukum mahram mushaharah (menantu) menjadi ada. Adapun golongan Hambali berpendapat : menurut mazhab yang shahih, dengan zina hukum mahram menjadi ada; orang yang berzina dengan seorang wanita, maka si ibu dan putri si wanita haram baginya. Ayah dan anak laki-laki pun haram bagi si wanita.[29]
         Golongan syafi’iyyah berpendapat : zina tidak dapat menjadikan tetapnya mahram mushaharah, bagaimanapun keadaannya. Karena hubungan mahram ini adalah nikmat Allah SWT. maka ia tidak dapat didapatkan atau ditetapkan dengan zina, dan karena air zina adalah sia-sia, tidak ada kemulyaan kepadanya. Jadi, orang yang berzina dengan seorang wanita maka halal baginya menikahi anak atau orang tuanya (ibu atau nenek), seperti halalnya si wanita tersebut untuk orang tua dan anak-anaknya. Namun, makruh hukumnya menikahi wanita tersebut.[30]
            Golongan malikiyyah berpendapat: menurut pendapat yang dijadikan pegangan, zina tidak dapt menyebabkan hukum kemahraman; orang yang berzina dengan seorang wanita, maka dia boleh menikahi anak atau orang tua si wanita[31].

C.     Kesimpulan
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Maqhashid Al-syari’ah yang ditunjukkan melalu hukum-hukum islam dan ditetapkan berdasarkan nash- nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat in mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kehidupan dunia ditegaskan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara smpurna. Kemulyaan manusia tidak dapat dipisahkan dari pemeliharaan kelima hal ini. Untuk memperoleh gambaran utuh tentang maqasid al- syariah, beriku akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan yang berdasarkan kepada tingkat kepentingan atau kebutuhan masing- masing. Antara lain:
1)      Memelihara agama (Hifzh al- Din)
Islam menjaga hak dan kebebasan,dan kebebasan yang pertama adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah.Setiap pemeluk agama berhak atas agama dan mazhabnya,ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan menuju agama atau mazhab lain juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk ialam
2)      Memelihara jiwa(hifzh al-‘nafs)
Ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar
terhindar dari tindakan penganiayaan berupa pembunuhan pemotongan angoota badan maupun tindakan melukai. Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa atau berupa pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik, karenanya islam melindungi kebebasan berkarya(berprofesi), kebebasan berfikir dan berpendapat, kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan untuk menegakkan pilar-pilar kehidupan manusia yang terhormat serta bebas bergerak di tengah dinamika social yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain.
3)      Memelihara akal (hifzh al-aql)
Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat preventif yang dilakukan syariat islam seungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakannya. Diharapkannya meminum arak dan segala sesuatunya yang memabukkan atau menghilangkan daya ingatan adalah di maksudkan untuk menjamin keselamatan akal.
4)      Memelihara Terhadap Harta Benda
Harta adalah salah satu kebutuhan inti dalam khidupan,dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya.Hal ini sudah dijelaskan dalam firman Allah yang berbunyi:
المال والبنون زينة الحيوة الدنيا
Artinya:Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.(QS.Al-kahfi:46)
5)      Memelihara kehormatan
Di dalam menanggapi berbagai kebutuhan biologis ini, Islam mempunyai pandangan yang realistis. Karenanya, Islam memerintahkan agar masalah perkawinan dapat dipermudah, terutama sekali masalah prosedur, dan memberikan pertolongan kepada orang-orangyang tidak mampu menanggung biaya pernikahan. Apabila perkawinan itu dimulai dari keadaan yang serba kekurangan, maka Allah akan menjamin kehidupan yang layak dan mulia, selama perkawinan itu diniatkan untuk memelihara dirinya.

DAFTAR RUJUKAN
A’la,abd.2010.fiqih minoritas.yogyakarta: PT.LkiS.
Umar,hazbi.2007.nalar fiqih.jakarta: gaung persada.
al Qaradhawi.yusuf.2007.fiqih maqashid syari’ah. Jakarta Timur: Pusataka Al-Kautsar.
Al-Syathibi.2012. al-Muafaqat. Jakarta: PT.husada Bengkulu.
Khatimah,husnul.2007.penerapan Syaria’ah Islam. Bengkulu:Pustaka Pelajar.
al-raysuni,ahmad. alfikr al-maqashidi qawa’iduhu wa fawa’iduhu. Jakarta:Ghaliai media.
jauhar,husain, Ahmad Al-mursi.2009.maqashid syariah. jakarta:Amzah.
http://islamiwiki.blogspot.com/2012/02/menjaga-kehormatan-di-dalam-Islam.html#.UmTRuJhkMxg






1.       [1]prof Dr.Abd A’la,Ma,fiqh minoritas(Yogyakarta:Penerbit PT.LKiS Yogyakarta 2010)
[2] Hasbi umar,Nalar Fiqh(Jakarta:Gaung Persada,2007) hal 120.
[3] Fiqih Maqashid Syari’ah, Yusuf al Qaradhawi (Jakarta Timur; Pusataka Al-Kautsar, 2007), 16
[4]Al-Syathibi,al-Muafaqathlm(Jakarta:penerbit PT.husada Bengkulu 2012)
[5]Husnul khatimah,penerapan Syaria’ah Islam,(Bengkulu:Pustaka Pelajar,2007)hal 132
[6]Ahmad al-raysuni,alfikr al-maqashidi qawa’iduhu wa fawa’iduhu(Jakarta:Ghaliai media)hlm:37
[7]Al-Syathibi,al-Muafaqathlm.417-418
[8]ahmad al-raysuni,alfikr al-maqashidi qawa’iduhu wa fawa’iduhu(Jakarta:Ghaliai media)hlm:77
[9]hasbi Umar,Nalar Fiqh(Jakarta:Gaung  Persada 2007)hal:123
[10]Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:1

[11]Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:1
[12]Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal,3
[13]Satria Effend, Maqasid al-syariah dan perubahan social, Di muat dalam dialog (Badan Litbang Depag, No 33 tahun XV, Januari, 1991) hal 29
[14]Op.cit., Hasbi Umar, Nalar fiqh, hal 124
[15] Maqasyid Syariah, ahmad al mursi husaen jauhar (Jakarta: Amzah, 2009) ,7
[16] Ibid hal 125
[17]Op.cit., Hasbi Umar, Nalar fiqh, hal 124
[18]Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:22

[19]Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:91
[20] Ibid.hal 92                                                                                                                                    
[21]Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:93
[22]ibid,hak 93                                                       
[23]Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:94
[24]Satria Effend, Maqasid al-syariah dan perubahan social, Di muat dalam dialog (Badan Litbang Depag, No 33 tahun XV, Januari, 1991)
[25]Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:167
[26] .Ahmad Al-mursi Husain jauhar,maqashid syariah(Penerbit:Amzah 2009)hal:169
[27]Ibid hal,171
[28] Ibid hal,175
[29] Maqasyid Syariah, ahmad al mursi husaen jauhar (Jakarta: Amzah, 2009) 132
[30] Maqasyid Syariah, ahmad al mursi husaen jauhar (Jakarta: Amzah, 2009) 132. Lihat Kitab Al-aqna’ Syarh abi syuja ma’ah khasyiyah tuhfat al-habib, jilid 3, hlm 356
[31] Maqasyid Syariah, ahmad al mursi husaen jauhar (Jakarta: Amzah, 2009) 132. Lihat Kitab Bidayah AL-mujtahid, ibnu rusyd, jilid 2, hlm 28

0 komentar:

Posting Komentar